Solo Kota Kreatif Desain (di muat di Koran Joglosemar 29 Januari 2013)


Solo Beranjak ke Kota (Kreatif) Desain



Beberapa waktu lalu, Direktorat Perancangan Destinasi dan Investasi Pariwisata, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif merencanakan pengajuan proposal Jaringan Kota Kreatif kepada UNESCO. Kota-kota yang diajukan sebagai kota kreatif adalah Bandung sebagai kota Gastronomi atau kuliner, Yogyakarta sebagai Kota Craft and Folk Art, dan Solo sebagai Kota Desain. Rencana tersebut telah disosialisasikan padaworkshop tentang Penyusunan Zona Kreatif yang difasilitasi oleh Direktorat Perancangan Destinasi dan Investasi Pariwisata, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Novotel Solo, 8-9 November 2012 dan Sosialisasi “Application Guidelines UNESCO Creative Cities Network” 21 Nopember 2012.
Solo sebagai kota “desain”? Pertanyaan yang tentu membuat kita tercengang. Hal itu wajar, sebab Solo selama ini lebih kental dianggap sebagai kota yang dengan tekun menjadikan seni tradisi sebagai alas pijaknya. Sehingga untuk kata desain, mungkin lebih tepat jika Bandung yang notabene kota mode (fashion, busana) menyandang gelar itu. Namun tunggu dulu, desain bukanlah diksi yang diartikan secara sederhana sebagai ujudnya yang verbal. Desain dalam pengertian yang dimaksud adalah “bangunan proses kreatif” dalam memunculkan warna dan karya-karya baru, berpijak dengan alas dan bahan yang sudah ada. Intinya, Solo dengan segala asesorisnya dianggap sebagai tumpuan bahan dan sumber ide kreatif untuk berkarya.

Solo Sebagai Sumber Ide
Solo menjadi kota yang mampu melukiskan tentang peradaban dan kebudayaan Jawa. Hal ini ditandaskan dan dikuatkan dengan icon kotanya sebagai the spirit of Java. Kuatnya sejarah terbentuknya kota Solo dianggap mampu menjadi sumber desain dalam mengkonstruk warna kebudayaan baru di masa kini dan yang akan datang. Melihat Solo, berarti menelisik akan jejak episentrum tradisi yang masih begitu pekat dipertahankan. Berbagai ruang, tak terkecuali arsitektur, kuliner, tata kota, seni rupa dan seni pertunjukan. Solo dalam beberapa waktu terakhir juga menjadi barometer munculnya karya-karya kreatif unggulan baik di tinggat Nasional maupun Internasional. Lihatlah banyaknya forum-forum kaliber internasional yang digelar di kota ini.
Keberadaaan akar tradisi dan kebudayaan menjadi desain besar (grand design) terhadap sumber inspirasi terciptanya bentuk karya baru dengan warna dan corak yang mempresentasikan jati diri Solo. Sebagai contoh, simaklah kemudian kemunculan maestro-maestro seni pertunjukan yang mendunia, seperti Rahayu Supanggah, Sardono W Kusumo, Sahita, Retno Maruti, Blacius Subono dan masih banyak lagi. Mereka adalah maestro di bidangnya yang terkenal tak semata karena kepandaian dalam mencipta wujud seni baru, namun juga mengambil Solo sebagai inspirasi kreatif. Solo seolah mampu menyediakan segudang sumber.
Fenomena Matah Ati (September 2012) dalam beberapa waktu lalu misalnya, begitu menyedot perhatian publik. Bahkan berbagai media menjadikannya head line pemberitaan. Sebuah wacana baru dalam jagad seni pertunjukan Indonesia masa kini. Jika penonton dapat digunakan sebagai tolak ukur kesuksesan sebuah even pertunjukan, maka dengan dibanjiriannya lima ribu lebih tiap malamnya adalah sebuah pencapaian yang menomental. Bagaimanapun juga fenomena Matah Ati tak terhenti dalam domain seni pertunjukan semata, namun mencoba melukiskan warna Solo secara lebih terbuka. Bayangkan jika Solo tak memiliki laku sejarah sebagaimana yang menjadi sumber cerita Matah Ati yang berkait tentang jejak pendiri Mangkunegaran.
Detail kisah, cerita dan peninggalan tradisi masa lalu adalah alas kreatif bagi manusia masa kini. Karena hal itulah, Solopun kemudian mentasbihkan dirinya sebagai World Heritage Cities. Menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Euro Asia untuk Organisasi Jaringan Kota Pusaka Dunia pada 2008. Lalu sudahkah kita puas dengan pengakuan Solo sebagai kota pusaka dan kota Cagar Budaya? Sementara di sisi lain, keniscayaan sebagai kota pusaka justru indentik dengan stereotip masa lalu, kota tua, kuno, tradisional, dan bahkan kolot. Guna mendekonstruksi anggapan itulah, Solo sebagai kota kreatif yang tak melulu konservatif juga telah diajukan.
Banyak kalangan menyambut antusias akan hal itu. Beberapa institusi yang berkepentinganpun turut terlibat dalam menggodok konsep, ide dan bahan dasar untuk membuat proposal ajuan. Para pelaku terdiri dari para akademisi, birokrat, budayawan dan seniman. Harapannya, dengan diakuinya Solo sebagai kota kreatif, mampu mendudukkan Solo sejajar dengan kota-kota besar di dunia. Solo tak semata menjadi ajang bisnis pelancongan dan persinggahan sementara bagi wisatawa, namun datang ke Solo berarti turut untuk berlaku kreatif, menemukan pengalaman berupa ide-ide baru yang lebih segar. Hal ini tentunya harus didukung oleh banyak pihak dengan mengembangkan berbagai potensi kota yang sudah ada.

Potensi
Selama ini banyak potensi terpendam kota Solo yang belum termanfaatkan dengan baik. Narasi Matah Ati adalah satu dari sekian timbunan kisah lainnya yang belum tergarap. Arsitektur bangunan yang banyak menyimpan cerita dan konsep kehidupan juga belum sepenuhnya terkomunikasi dengan lebih baik. Arsitektur Pasar gede misalnya, bangunan yang didirikan pada era Pakubuwana X itu bertahan mengikuti perkembangan zaman hingga kini. Namun tahukan kita bahwa Pasar gede didirikan tak semata sebagai ajang jual beli kebutuhan hidup masyarakat sekitar, namun didasarkan pula atas konsep Mandala. Pasar gede adalah simbol kehidupan duniawi, otomatis letaknya berada disebelah timur keraton. Sedangkan simbol akhirat, seperti Masjid, diletakkan pada sebelah barat keraton (Dhian Lestari Hastuti, 2012). Konsep kreatif dalam membuat bangunan itulah yang kini tak banyak dimengerti. Dengan munculnya Solo sebagai kota kreatif desain, diharapkan mampu membongkar renik-renik konsep kreatif lainnya, tak semata arsitektur saja tentunya.
Atau juga batik misalnya, tak semata menjadi brand image Indonesia namun juga dunia, yang awalnya adalah “milik” Solo. Bagaimana dengan pemanfaatan gamelan yang belum optimal sementara dunia sedang berlomba-lomba untuk berkarya dan memilikinya. Joss Wibisono (2011) dengan gamblang mengetengahkan bahwa komponis dunia akan dianggap ketinggalan zaman jika tidak memasukkan unsur-unsur gamelan dalam karyanya. Gamelan telah menjadi inspirasi kreatif bagi musisi di dunia, sementara di Solo masih sayup-sayup tak terdengar. Pesta-pesta rakyat dan ritus sakral yang dimiliki Solo masih terhenti dalam domain tradisi atau ritus wajib sementara narasi dalam penjelasan konsep kreatif keberadaanya belum terwacanakan pada publik di dunia. Harapannya, dengan diakuinya Solo sebagai kota kreatif desain, sumber-sumber kreatif yang dimiliki Solo tersebut tak hilang dimakan waktu.
Bukan satu hal yang asing jika Solo saat ini telah banyak berbenah, berubah menjadi kota yang terus maju berproses dengan zaman. Namun alangkah baiknya jika perubahan yang ada disertai dengan prilaku kreatif dengan memanfaatkan sumber daya yang telah ada. Basis tradisi kemudian menjadi bekal yang paling mungkin untuk dipegang. Oleh karena itu, laku kreatif Kota Solo adalah tak jauh beranjak dari pekat budaya yang dimilikinya. Bagaimanapun juga pengajuan Solo sebagai Kota Kreatif Desain (UNESCO Creative Cities Networkadalah sumbangan positif dalam menjaga denyut hidup Solo untuk semakin berdetak kencang. Implikasinya, diharapkan mampu memunculkan ide-ide kreatif baru di kota ini. Sehingga masyarakat juga berlomba-lomba membuat terobosan baru berupa munculnya industri-industri kreatif yang mampu menghidupi dirinya dan Kota Solo tentunya.

Aris Setiawan
Tim Perumus Solo Kota Kreatif (bidang Seni Pertunjukan)
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta

Kisah (Calon) Penulis! (dimuat di Radar Surabaya 13 Januari 2013)


Kisah (Calon) Penulis!


Menulis adalah ziarah kata. Tak semata timbunan huruf. Menulis adalah upaya mencairkan konstruksi beban-beban nalar dalam otak yang selama ini terkurung, berakhir untuk dilupakan. Menulis berarti melukiskan jejak sebuah diri. Peradaban manusia dapat ditelisik lewat goresan pena, tonggak awal bergulirnya cerita dan sejarah berbagai ilmu pengetahuan. Menulis merupakan sebuah kisah. Aktivitas ini erat bersentuhan dengan dunia imajinasi dan intelektualis. Tak jarang, membaca sebuah goresan pena membuat kita banjir air mata, menyemai senyum bahkan kadang duka dan kematian.

Kisah Melawan Lupa
Eksistensi menulis untuk menyiarkan kata dalam selembar kertas tak banyak dilakukan oleh rezim intelektual (mahasiswa) di abad mutakhir. Mereka lebih banyak menyuarakan deru argumentasi lewat laku otot dan kekerasan. Orasi lewat corong auditif dengan nada lantang yang justru kadang berujung pada pertikaian. Perjuangan lewat tulisan belum menjadi menu pilihan utama. Apalagi bercita menjadi aktor utama di balik goresan kata itu, “penulis”.
Penulis adalah arsitek dalam menyusun bangunan kata. Profesi yang belum bisa memberi kuasa untuk hidup berlimpah harta. Kisah ini pernah dilukiskan oleh Sitok Srengenge lewat tulisannya berjudul Penulis (2012). Penulis bukanlah profesi, nama itu tak tertera dalam pilihan kerja di kolom pengisian Kartu Tanda Penduduk (KTP). Ia terkalahkan dengan kerja yang lebih tak masuk akal, “paranormal” dan “dukun” misalnya. Profesi yang berada dalam jalur ‘nir’ itu justru terpampang jelas sebagai sebuah kerja laku hidup. Sementara penulis tak lebih dari sekedar hobi, bukanlah profesi. Ia belum memiliki akar kuat untuk gantungan hidup. Menulis seolah menjadi aktifitas sampingan dalam ingar-bingar kerja pencarian harta.
Jejak menulis dari kalangan intelektual muda masa kini layaknya mahasiwa hanya dapat dilihat dalam upaya meraih ambisi penuh pamrih. Ambisi yang mengisahkan syarat untuk merengkuh gelar, namun alpa dalam proses pencarian harga diri. Menulis semata berbicara tentang tugas, skripsi, tesis dan disertasi. Hasil olah intelektualitas yang selama ini menyesakkan ruang perpustakaan, tak terbaca, lapuk termakan rayap dan waktu. Perpustakaan seolah hanya menjadi ‘peti es’ yang membekukan rumusan kata-kata menjadi benda antik yang sakral. Perpustakaan menggoreskan mitos intelektual.
Menulis merupakan lorong kecil melawan lupa. Menyadarkan diri bahwa sebuah perstiwa pernah ternarasikan lewat timbunan kata. Mengembalikan memori kehidupan untuk kembali menelisik, menghargai atas apa yang pernah terjadi. Teks Proklamasi misalnya, begitu detail berkisah tentang dentum perjuangan, himpitan waktu dan ambisi nafsu merdeka. Tulisan yang tak sekedar kata, namun titian doa dan ritus pengharapan menjadi negara yang tak terjajah. Menulis menjadi pilihan yang tak terelakkan dalam laku sejarah Indonesia. Perjuangan hidup dengan lukisan kata.
Namun tak jarang, menulis menjadi momok yang menakutkan. Tak semua mampu merayakan kebebasan imajinasi lewat tulisan. Oleh karenanya, banyak ‘warung-warung’ bertebaran sebagai jasa dalam membuat bangunan kata. Mahasiswa berlarian memburu ‘calo tulis’ sebagai akhir dari masa studi. Dunia menulis kemudian juga menjadi dunia penuh intrik dan tipu daya. Tak jelas persinggungan antara ralitas dan tanggungjawab moral. Wajah intelektual dengan seketika nampak ompong, luntur oleh ketidakjujuran. Mahasiswa lebih khusyuk membawa ‘gunting’ untuk memindah kata dalam internet dengan mengatasnamakan murni karyanya. Pembajakan kata bertebaran di mana-mana. Tak bisa dikontrol dan dibendung.

Penulis Masa Kini
Syahdan, untuk menghasilkan serat Kalatidha itu, Rangga Warsita (1802-1873) harus berdiam diri, alias bersemedi dengan laku puasa yang berat. Karya menumental itu diwujudkannya dalam bentuk tembangSinom Jawa. Sesudah ia tiada, karya itu menjadi kelindan perdebatan yang tak kunjung usai hingga kini. Lewat tulisannya, ia mampu menerawang masa depan dengan gamblang. Tulisan itu kemudian menjadi kitab, dianut dan diakui kuasa kebenaran atas ramalannya. Rangga Warsita hanya seorang penulis, bukan dukun ataupun kesatria perang. Ia meraih penghargaan tertinggi lewat bangunan kata-katanya, bukan mantra dan pedang.
Tulisan menjadi benda abadi, jejak sekaligus bukti sebuah peradaban yang tak pernah terlupakan. Rangga Warsita seolah menyerukan bahwa proses menulis bukanlah hal yang sepele. Centhini (1742) lebih gila lagi, adalah karya tulis terbesar dalam mengisahkan Jawa agar tak terlupakan di hari esok. Selebrasi besar-besaran peradaban Jawa dipahatkan lewat kitab itu. Intinya, menulis adalah laku kerja yang prestisius. Kuasa penulis dengan kata-kata kadang lebih tinggi dari gapaian mantra dan orasi. Karenanya, menulis adalah sebuah ritus sakral di mana penulis menemukan pesta perayaan kebebasan imajinasi. Ritus yang kemudian hari justru terbakukan menjadi laku komersial dan orientasi harga.
Terlepas dari itu, keberanian untuk menulis belum sepenuhnya tumbuh dalam diri manusia muda di abad mutakhir, terlebih di ruang-ruang intelektual seperti mahasiswa. Ketakutan dan ketidakpercayaan diri menjadi penyebabnya. Banyak kolom-kolom khusus mahasiswa disediakan di banyak surat kabar, namun yang mengisinya dapat dihitung dengan jari. Sampai pada titik ini, lorong dalam sumbangsih wacana pemikiran telah mengalami kebuntuan. Mahasiswa lebih disibukkan dengan urusan-urusan yang tak lagi genting nalar. Kampus yang selama ini harusnya menjadi medan olah karya pemikiran, kemudian menjadi ruang pamer penampilan yang banal. Kampus bertransformasi menjadi catwalk, ajang pertaruhan untuk tampilnya berbagai gaya dari merek baju, sepatu, handphone dan gemerlap asesoris lainnya.
Mahasiwa berusaha melenakan diri dari tradisi tulis menulis. Lebih menyenangkan untuk mendandani penampilan daripada pemikiran. Ironi calon penulis masa kini. Gempuran teknologi dan modernitas tak diimbangan dengan tradisi olah intelenjensia yang pekat. Sebenarnya, Soe Hok Gie (1942-1969) pernah memberi tauladan berharga selama dirinya menjadi mahasiswa. Ia adalah contoh anak muda, mahasiswa, yang dengan tekun menuliskan jejak-jejak pemikirannya. Setelah ia tiada, kumpulan dari banyak tulisannya terbukukan dengan apik lewat sebuah judul Catatan Seorang Demonstran (1983). Kegelisahan dan kegundahannya terhadap pemerintahan yang otoriter, tak semata diluapkannya dengan orasi, namun juga pahatan kata dalam lembaran kertas.
Ia harum bukan karena apa yang dilakukan, namun  apa yang telah dituliskan. Gie adalah transformasi dari satir untuk mahasiswa masa kini. Penulis tak dikenang dari seberapa besar harga yang didapatnya dari sebuah tulisan. Namun seberapa besar hasil tulisan itu mampu merubah, memberi cerah, dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Penulis memang bukanlah sebuah profesi idaman yang mampu mendatangkan pundi-pundi keuntungan. Namun penulis adalah laku kerja sakral, jembatan yang menghubungkan manusia dengan kompleksitas alam imajinasi dalam pemikirannya.
            Jangan takut untuk menuliskan apapun tentang apapun. Karena pada dasarnya, dengan menulis berarti kita telah telah turut memberikan sumbangan berharga dalam poros peradaban manusia. 



Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
cat: artikel ini pernah dipresentasikan pada gelar karya dosen dan mahasiswa Etnomusikologi ISI Surakarta sebulan yang lalu (13 Desember 2012)

Amerika dan Panoptik Kekerasan (dimuat di Koran Joglosemar 4 Januari 2013)


Amerika dan Panoptik Kekerasan



Pembunuhan adalah salah satu konsekuensi logis dari budaya kekerasan di Amerika Serikat. Sejarah Amerika adalah sejarah perang dengan berbagai warna dan rupa senjata. Perang dan kekerasan bahkan sudah menjadi komoditi dan ajang pertaruhan bisnis yang menguntungkan. Adab yang konon didengung-dengungkan sebagai kebudayaan paling modern dan digadang-gadang sebagai budaya panutan di dunia itu saat ini harus kembali untuk dipertanyakan. Di penghujung tahun, pembunuhan yang terjadi di Newtown, Connecticut, AS, Jumat (14/12) lalu adalah satu dari sekian banyak kejadian yang menegaskan bahwa Amerika seolah dibangun dari akar budaya yang salah. Dengan dalih demokrasi dan kebebasan, etika dan norma kehidupan semakin tak mendapat porsi dalam abad mutakhir. Amerika hidup dalam himpitan teror. Amerika menjadi satu-satunya negara di dunia yang secara konstitusi mengizinkan warganya bebas memiliki senjata api. Peredaran senjata api layaknya kentang gerang, laris manis di pasaran.  

Sumir
Amerika menjadi maestro citra kebudayaan ideal di dunia. Satu-satunya negara demokrasi yang dengan lantang bersua bahwa kebudayaanya paling maju di antara negara-negara lain. Amerika menjadi tolok ukur dalam domain apapun, keterbukaan informasi, kebebasan berpendapat, ekonomi, politik dan sosial. Namun sayang, Amerika seolah alpa dalam menegakkan nilai-nilai moral. Telisik jejak sejarah Amerika adalah negara yang paling banyak mengkonstruksi laku kekerasan. Berbagai peristiwa dapat dicatat dengan jelas. Dalam proses kelahirannya, Amerika disibukkan dengan perang warna kulit (hitam-putih), setelahnya Amerika banyak menggelar perang di banyak negara, menempatkan pasukannya di berbagai penjuru belahan dunia. Kisah Amerika seolah bercerita tentang maskulinitas, arogansi dan kesombongan.
Perang di negara itu tak hanya dapat ditelisik lewat domain senjata dan otot, namun juga kebudayaan. Supremasi kebudayaan Amerika dengan masif mencoba mempengaruhi kebudayaan lain di dunia dan telah berlangsung cukup lama. MacDonal (1957) mengisahkan dengan jelas bagaimana Amerika telah berhasil dalam memberikan virus kekerasan lewat berbagai macam sajian budaya pop. Kisah-kisah pertempuran dan kepahlawanan, superhero dengan berbagai rupa senjata telah mengilhami anak-anak di dunia mengidolakannya. Rasa keamanan dan kedamain yang senantiasa diusik lewat berbagai media itu menempatkan Amerika sebagai juru solusi. Walaupun demikian, Amerika seolah mampu mengatasi masalah pelik di dunia namun kewalahan dalam mengontrol masalah kekerasan (penembakan massal) di negerinya sendiri.
Persoalannya kemudian, apa yang menyebabkan tragedi penembakan di Amerika senantiasa terulang? Ada beberapa faktor yang disinyalir sebagai penyebab. Pertama, karena peredaran senjata api yang begitu besar. Kedua, pengaruh dari budaya pop terutama video game dan film laga (action). Dan untuk menjawab persoalan itu, kiranya menjadi penting untuk kembali lagi melihat film dokumenter besutan Michael Moore yang berjudul Bowling for Columbine (2002). Film tersebut bercerita tentang penembakan massal di Columbine High School, Colorado, pada tanggal 20 April 1999, yang merenggut nyawa 12 siswa dan seorang guru.
Michael Moore mendekonstruksi alasan utama yang selama ini banyak didengungkan sebagai penyebab, peredaran senjata dan budaya pop. Jika peredaran senjata yang menjadi alasan utama, maka Meksiko menjadi negara yang masuk dalam kategori. Setidaknya di negara itu terdapat tuju juta senjata yang beredar bebas di tangan masyarakat sipil, namun angka kejahatan yang disebabkan letusan senjata api sangat jarang terjadi. Sementara jika persoalan video game, Jepang adalah produsen yang paling banyak membuat permainan digital bertema perang, senjata dan kekerasan. Namun nyatanya, angka kematian di Jepang yang disebabkan oleh kekerasan (terutama menggunakan senjata api) dapat dikatakan jarang, kalau bukannya tidak ada. Begitupun dengan kisah-kisah film bertema laga, setidaknya produksi Hollywood juga ditonton oleh hampir seluruh masyarakat di dunia, namun tak banyak memiliki efek samping berupa penembakan massal seperti di Amerika.

Panoptik
Jawaban atas semua masalah terlihat saat Marilyn Manson, musisi eksentrik yang konon dianggap pemuja setan, memberikan pernyataan yang mengejutkan di film itu. Menurutnya, masyarakat Amerika selalu dikondisikan oleh para politisi dan media untuk menjalani kehidupan dengan rasa takut. Berbagai bencana alam, teror perang, virus penyakit, pembunuhan diekspose besar-besaran. Saat melihat televisi, masyarakat senantiasa disuguhi dengan berbagai peristiwa kelam, sesaat kemudian iklan akan muncul dengan menawarkan berbagai macam produk untuk dikonsumsi dan dibeli. Begitulah cara kerja pengendaliannya, bagi masyarakat yang panik dan ketakutan, mereka akan menjadi penurut dengan membeli dan memiliki apapun yang ditawarkan. Faktor ekonomi adalah pamrih di balik itu.
Di sisi lain, dengan pemberitaan yang besar-besaran terhadap teror kehidupan menjadikan masyarakat Amerika hidup dalam zona yang tidak aman, penuh ketakutan. Kecurigaan terhadap sesama kemudian muncul. Setiap saat ruang gerak seseorang seolah-olah senantiasa diawasi oleh orang lain, begitupun sebaliknya. Rasa aman menjadi semakin mahal. Masyarakat membutuhkan perlindungan diri. Oleh karena itu senjata api laku keras di pasaran masyarakat sipil. Memiliki senjata api menjadi pengobat dari rasa ketakutan yang berlebihan terhadap sesama.
Pemerintah yang sengaja menciptakan kondisi demikian mengambil untung besar-besaran dari hasil penjualan berbagai produk, termasuk senjata api. Hal ini mengingatkan kita pada konsep Michel Foucault (1926-1984) tentang panoptik lewat tulisannya yang berjudul Discipline and Punish: The Birth of the Prison(1977). Panoptik adalah konsep yang mengisyaratkan harus adanya pusat kuasa sentralistik yang menjadi tempat beroperasinya nilai-nilai, norma serta hukum yang mengatur disiplin sosial. Panoptisme tidak mengandalkan pengawasan secara langsung, akan tetapi ia dirancang untuk menciptakan teror tentang berbagai citra seperti kekerasan, trauma psikologis massa. Dikonstruksi sedemikian rupa agar seolah-olah di setiap ruang publik ada yang selalu memata-matai.
Kontrol yang sama juga pernah diterapkan di Indonesia semasa orde baru, mencoba mengendalikan masyarakat dengan membuka teror adanya petrus (penembak misterius). Ketakutan merajalela, kedisiplinan coba ditegakkan dengan memberi kesan rasa takut dan was-was pada masyarakat. Padahal dalam realitasnya bisa saja petrus itu tidak ada, atau kasuistik pada wilayah tertentu. Semakin meneror, dibesar-besarkan dan dipergunjingkan, maka konsep pengendalian (panoptik) ini berjalan dengan baik.
Begitupun yang terjadi di Amerika, kontrol atas kebebasan demokrasi dan kebudayaan dilakukan secara sentralistik. Berpusat pada sang pemegang otoritas kekuasaan. Bahkan dalam kehidupan duniapun demikian. Amerika adalah aktor utama yang senantiasa menghembuskan isu konflik, peperangan dan kekerasan. Tapi di sisi lain, Amerika juga berusaha memberi kontrol atas pemberi kedamaian dan kenyamanan hidup. Bagai dua sisi mata uang, pencipta teror dan sekaligus pemberi rasa aman. Amerika meraih keuntungan besar darinya.
Dengan demikian, jangan heran kemudian jika peristiwa penembakan di Newtown akan terulang lagi. Dan benar saja, pada empat hari setelahnya (18/12/12) terjadi penembakan di Longmont Corolado oleh seorang laki-laki yang menewaskan tiga orang dari masyarakat sipil. Persoalan utamanya bukan pada seberapa banyak senjata api telah beredar, namun seberapa besar teror dan rasa ketakutan itu dipelihara. Pada titik ini, bangsa yang dianggap paling mutakhir itu kemudian juga menjadi negara dengan kebudayaan yang paling primitif.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Pengikut