Amerika dan Panoptik Kekerasan (dimuat di Koran Joglosemar 4 Januari 2013)


Amerika dan Panoptik Kekerasan



Pembunuhan adalah salah satu konsekuensi logis dari budaya kekerasan di Amerika Serikat. Sejarah Amerika adalah sejarah perang dengan berbagai warna dan rupa senjata. Perang dan kekerasan bahkan sudah menjadi komoditi dan ajang pertaruhan bisnis yang menguntungkan. Adab yang konon didengung-dengungkan sebagai kebudayaan paling modern dan digadang-gadang sebagai budaya panutan di dunia itu saat ini harus kembali untuk dipertanyakan. Di penghujung tahun, pembunuhan yang terjadi di Newtown, Connecticut, AS, Jumat (14/12) lalu adalah satu dari sekian banyak kejadian yang menegaskan bahwa Amerika seolah dibangun dari akar budaya yang salah. Dengan dalih demokrasi dan kebebasan, etika dan norma kehidupan semakin tak mendapat porsi dalam abad mutakhir. Amerika hidup dalam himpitan teror. Amerika menjadi satu-satunya negara di dunia yang secara konstitusi mengizinkan warganya bebas memiliki senjata api. Peredaran senjata api layaknya kentang gerang, laris manis di pasaran.  

Sumir
Amerika menjadi maestro citra kebudayaan ideal di dunia. Satu-satunya negara demokrasi yang dengan lantang bersua bahwa kebudayaanya paling maju di antara negara-negara lain. Amerika menjadi tolok ukur dalam domain apapun, keterbukaan informasi, kebebasan berpendapat, ekonomi, politik dan sosial. Namun sayang, Amerika seolah alpa dalam menegakkan nilai-nilai moral. Telisik jejak sejarah Amerika adalah negara yang paling banyak mengkonstruksi laku kekerasan. Berbagai peristiwa dapat dicatat dengan jelas. Dalam proses kelahirannya, Amerika disibukkan dengan perang warna kulit (hitam-putih), setelahnya Amerika banyak menggelar perang di banyak negara, menempatkan pasukannya di berbagai penjuru belahan dunia. Kisah Amerika seolah bercerita tentang maskulinitas, arogansi dan kesombongan.
Perang di negara itu tak hanya dapat ditelisik lewat domain senjata dan otot, namun juga kebudayaan. Supremasi kebudayaan Amerika dengan masif mencoba mempengaruhi kebudayaan lain di dunia dan telah berlangsung cukup lama. MacDonal (1957) mengisahkan dengan jelas bagaimana Amerika telah berhasil dalam memberikan virus kekerasan lewat berbagai macam sajian budaya pop. Kisah-kisah pertempuran dan kepahlawanan, superhero dengan berbagai rupa senjata telah mengilhami anak-anak di dunia mengidolakannya. Rasa keamanan dan kedamain yang senantiasa diusik lewat berbagai media itu menempatkan Amerika sebagai juru solusi. Walaupun demikian, Amerika seolah mampu mengatasi masalah pelik di dunia namun kewalahan dalam mengontrol masalah kekerasan (penembakan massal) di negerinya sendiri.
Persoalannya kemudian, apa yang menyebabkan tragedi penembakan di Amerika senantiasa terulang? Ada beberapa faktor yang disinyalir sebagai penyebab. Pertama, karena peredaran senjata api yang begitu besar. Kedua, pengaruh dari budaya pop terutama video game dan film laga (action). Dan untuk menjawab persoalan itu, kiranya menjadi penting untuk kembali lagi melihat film dokumenter besutan Michael Moore yang berjudul Bowling for Columbine (2002). Film tersebut bercerita tentang penembakan massal di Columbine High School, Colorado, pada tanggal 20 April 1999, yang merenggut nyawa 12 siswa dan seorang guru.
Michael Moore mendekonstruksi alasan utama yang selama ini banyak didengungkan sebagai penyebab, peredaran senjata dan budaya pop. Jika peredaran senjata yang menjadi alasan utama, maka Meksiko menjadi negara yang masuk dalam kategori. Setidaknya di negara itu terdapat tuju juta senjata yang beredar bebas di tangan masyarakat sipil, namun angka kejahatan yang disebabkan letusan senjata api sangat jarang terjadi. Sementara jika persoalan video game, Jepang adalah produsen yang paling banyak membuat permainan digital bertema perang, senjata dan kekerasan. Namun nyatanya, angka kematian di Jepang yang disebabkan oleh kekerasan (terutama menggunakan senjata api) dapat dikatakan jarang, kalau bukannya tidak ada. Begitupun dengan kisah-kisah film bertema laga, setidaknya produksi Hollywood juga ditonton oleh hampir seluruh masyarakat di dunia, namun tak banyak memiliki efek samping berupa penembakan massal seperti di Amerika.

Panoptik
Jawaban atas semua masalah terlihat saat Marilyn Manson, musisi eksentrik yang konon dianggap pemuja setan, memberikan pernyataan yang mengejutkan di film itu. Menurutnya, masyarakat Amerika selalu dikondisikan oleh para politisi dan media untuk menjalani kehidupan dengan rasa takut. Berbagai bencana alam, teror perang, virus penyakit, pembunuhan diekspose besar-besaran. Saat melihat televisi, masyarakat senantiasa disuguhi dengan berbagai peristiwa kelam, sesaat kemudian iklan akan muncul dengan menawarkan berbagai macam produk untuk dikonsumsi dan dibeli. Begitulah cara kerja pengendaliannya, bagi masyarakat yang panik dan ketakutan, mereka akan menjadi penurut dengan membeli dan memiliki apapun yang ditawarkan. Faktor ekonomi adalah pamrih di balik itu.
Di sisi lain, dengan pemberitaan yang besar-besaran terhadap teror kehidupan menjadikan masyarakat Amerika hidup dalam zona yang tidak aman, penuh ketakutan. Kecurigaan terhadap sesama kemudian muncul. Setiap saat ruang gerak seseorang seolah-olah senantiasa diawasi oleh orang lain, begitupun sebaliknya. Rasa aman menjadi semakin mahal. Masyarakat membutuhkan perlindungan diri. Oleh karena itu senjata api laku keras di pasaran masyarakat sipil. Memiliki senjata api menjadi pengobat dari rasa ketakutan yang berlebihan terhadap sesama.
Pemerintah yang sengaja menciptakan kondisi demikian mengambil untung besar-besaran dari hasil penjualan berbagai produk, termasuk senjata api. Hal ini mengingatkan kita pada konsep Michel Foucault (1926-1984) tentang panoptik lewat tulisannya yang berjudul Discipline and Punish: The Birth of the Prison(1977). Panoptik adalah konsep yang mengisyaratkan harus adanya pusat kuasa sentralistik yang menjadi tempat beroperasinya nilai-nilai, norma serta hukum yang mengatur disiplin sosial. Panoptisme tidak mengandalkan pengawasan secara langsung, akan tetapi ia dirancang untuk menciptakan teror tentang berbagai citra seperti kekerasan, trauma psikologis massa. Dikonstruksi sedemikian rupa agar seolah-olah di setiap ruang publik ada yang selalu memata-matai.
Kontrol yang sama juga pernah diterapkan di Indonesia semasa orde baru, mencoba mengendalikan masyarakat dengan membuka teror adanya petrus (penembak misterius). Ketakutan merajalela, kedisiplinan coba ditegakkan dengan memberi kesan rasa takut dan was-was pada masyarakat. Padahal dalam realitasnya bisa saja petrus itu tidak ada, atau kasuistik pada wilayah tertentu. Semakin meneror, dibesar-besarkan dan dipergunjingkan, maka konsep pengendalian (panoptik) ini berjalan dengan baik.
Begitupun yang terjadi di Amerika, kontrol atas kebebasan demokrasi dan kebudayaan dilakukan secara sentralistik. Berpusat pada sang pemegang otoritas kekuasaan. Bahkan dalam kehidupan duniapun demikian. Amerika adalah aktor utama yang senantiasa menghembuskan isu konflik, peperangan dan kekerasan. Tapi di sisi lain, Amerika juga berusaha memberi kontrol atas pemberi kedamaian dan kenyamanan hidup. Bagai dua sisi mata uang, pencipta teror dan sekaligus pemberi rasa aman. Amerika meraih keuntungan besar darinya.
Dengan demikian, jangan heran kemudian jika peristiwa penembakan di Newtown akan terulang lagi. Dan benar saja, pada empat hari setelahnya (18/12/12) terjadi penembakan di Longmont Corolado oleh seorang laki-laki yang menewaskan tiga orang dari masyarakat sipil. Persoalan utamanya bukan pada seberapa banyak senjata api telah beredar, namun seberapa besar teror dan rasa ketakutan itu dipelihara. Pada titik ini, bangsa yang dianggap paling mutakhir itu kemudian juga menjadi negara dengan kebudayaan yang paling primitif.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut