Akademis Tanpa Budaya Menulis
Beberapa waktu yang lalu, Gigih Wiyono lewat tulisannya “Kritik Alumnus Untuk ISI Solo” di harian ini (27/02) mengkritik dengan keras pengajar di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Menurutnya, kualitas karya para dosen yang dipamerkan tak jauh beda dengan karya mahasiswa semester awal. Gigih membuncahkan kritik atas dasar pengamatannya pada pameran seni rupa ISI Surakarta di Taman Budaya Surakarta (TBS) beberapa hari sebelumnya. Berangkat dari peristiwa itulah gigih dapat dengan leluasa masuk pada persoalan lain, walaupun agak keluar konteks, seperti manajemen kampus, Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) dan lain sebagainya. Namun apapun itu, menjadi catatan penting dan sekaligus koreksi berharga bagi ISI Solo dalam menata dan memperbaiki diri.
Tak hanya tulisan Gigih saja yang menjadi satu-satunya ulasan kritik bagi kampus seni negeri di Jawa Tengah itu. Beberapa bulan sebulumnya, muncul keluhan oleh masyarakat di media ini bahwa banyak pengajar di Pascasarjana yang tidak kompeten. Para dosen pengajarnya sudah terlalu tua, sementara banyak dosen muda kompeten tidak dilibatkan. Semua menjadi cambuk, sekaligus tauladan berharga bagaimana publik telah menunjukkan sikapnya pada institusi ini. Namun demikian, pertanyaan yang cukup mengganjal, sejauh mana ISI Solo menghadapi berbagai kritik itu? Sudahkan ISI Solo berbenah dan membuat klarifikasi serta menggunakan hak jawab atas kritik-kritik yang bermunculan?
Anti Kritik
ISI Solo agaknya belum terbiasa dalam menghadapi kritik. Bahkan konon, pendidikan tinggi seni ini dikenal dengan sebutan “bebal kritik” alias muka besi. Bukan diksi atau julukan yang asal muncul memang. Alasannya, sejak banyak kritik yang muncul di media, belum sekalipun ISI Solo (yang diwakili oleh pihak atau pejabat berwenang) mengklarifikasi dan menanggapi atas segala persoalan itu. Terkesan mendiamkan. Sampai pada titik ini, masyarakat berkesimpulan bahwa kritik yang dilontarkan kemudian menjadi satu-satunya kebenaran tunggal. Seolah-olah memang demikianlah keadaannya. Walaupun dari hasil penelusuran investigasi yang dilakukan penulis, tidak semua kritik yang terlontar itu seratus persen benar. Ada beberapa di antaranya yang bermaksud untuk menghakimi.
Namun demikian pada konteks ini saya tidak akan mengklarifikasi atau berusaha memberi sanggahan dan tanggapan atas kritik-kritik yang sebelumnya bermunculan dan bayak termuat di media. Saya di tulisan ini hanya akan menyoroti bagaimana budaya mengklarifikasi, menjawab, dan memberikan pandangan lain adalah sebuah keniscayaan penting bagi institusi pendidikan yang berada dalam arus pusaran kritik atas dirinya. Kritik memang tak harus ditanggapi. Namun masyarakat memerlukan informasi sejauh mana ISI Solo telah berproses dan melakukan pembenahan diri atas umpan kritik itu. Apalagi, jika kritik-kritik yang ada sudah tak lagi sehat dan jernih. Mengandung maksud tertentu untuk menjatuhkan, menghujat, mengolok-olok serta merendahkan. Di titik ini lembaga terkait hukumnya wajib untuk memberikan alternatif jalan tengah, agar kritik yang ada tidak lagi timpang.
Sebuah lembaga atau institusi tidak boleh anti kritik. Apalagi dengan memusuhi dan menghakimi kritikus. Justru sebaliknya, institusi apapun itu akan menjadi besar ketika mampu mengakomodasi medan kritik dengan bijak dan memberikan jawaban komprehensif atas wacana yang sedang berkembang dan diperdebatkan. Anti pati terhadap kritik akan membunuh diri sendiri secara pelan-pelan. Keseimbangan memang harus dibutuhkan, sebuah lembaga besar harus disertai dengan kontrol yang baik (kritikus). Keduanya ibarat dua kutub medan magnet, berlawanan namun bersenyawa.
Sayangnya, keterbukaan infomasi dan budaya bertarung lewat kritik (terutama di ruang media) belum menjadi sebuah budaya di ISI Solo. Akibatnya dari berbagai kritik yang ada, institusi ini justru terkesan mengamini. Sementara untuk menanggapi ulasan kritik di media berarti harus mengenal lebih dekat media massa. Ironisnys, banyak kaum intelektual berpandangan, menulis di media massa adalah kerja tak berpamrih di balik ingar-bingar berbagai proyek (penelitian, pengajaran, pengabdian) yang ada. Karenanya, tak banyak civitas kampus ISI yang dengan tekun menyumbangkan gagasan dan pemikirannya lewat media. Kalupun ada, jumlahnya sangat terbatas, dan sosoknya hanya itu-itu saja. Hal ini yang melatar belakangi kenapa segala kritik yang ada seolah dibiarkan dan didiamkan, hingga akhirnya menjadi kebenaran tunggal. Hubungan dengan media masih dianggap tabu.
Menulis di Media
Ada kisah menarik. Beberapa mahasiswa fakultas seni pertunjukan ISI Solo menjalin kerja sama dengan salah satu media lokal setempat. Artikel mahasiswa akan diterbitkan secara berkala setiap dua minggu sekali. Hal ini disambut positif oleh mahasiswa yang terlibat, walaupun dari aktifitas menulis itu mereka tak pernah mendapatkan upah, hanya jejak artikelnya terkomunikasikan pada publik. Pada suatu waktu, dua orang peneliti media dari Solo dan Semarang menggunakan mereka sebagai subjek penelitian, kaitannya dengan aktivitas menulis di media massa. Saat tiba pada satu pertanyaan, apa penghargaan yang diberikan kampus ISI Solo atas aktivitas anda ini? Mahasiswa menjadi binggung, karena sejauh yang mereka mengerti, kampus tak pernah memberikan apapun pada mereka.
Kemudian, berceritalah peneliti itu, bahwa dikampus lain, setiap mahasiswa yang mampu dengan baik menulis di media massa dan menyertakan nama institusi, maka kampus akan memberikan penghargaan. Tak penting seberapa besar dan tingginya penghargaan itu. Namun, setidaknya kampus telah memberikan perhatian lebih pada mahasiswa yang turut “mengiklankan” dan sekaligus “mengharumkan” nama kampus pada publik. Sampai di sini, mahasiswa penulis dari ISI menanyakan pada pejabat yang bersangkutan. Namun sayang, jawaban yang didapat tidaklah memuaskan. Intinya, kampus lebih memberikan perhatian pada ruang-ruang kreatif dalam bentuk praktik (menari, bermusik, mendalang, berteater) dibandingkan dengan menulis di media.
Aktifitas menulis di media dikebiri. Tidak dianggap sebagai laku kerja yang positif. ISI Solo dalam rentang sejarahnya memang dibangun dari kuatnya aktivitas laku otot dan tubuh dibanding laku otak dan pena. Seniman-seniman handal bermunculan, terkenal dan mendunia. Namun sayang, miskin penulis (media), apalagi melahirkan kritikus seni. Tolok ukurnya, sejak pertama kali media ini (Solopos) membuka kolom opini mahasiswa –Mimbar Mahasiswa-, hanya Purnawan Andra (mahasiswa Jurusan tari kala itu) yang tercatat sebagai satu-satunya mahasiswa ISI Solo yang pernah menulis di media massa. Ironis memang, namun demikianlah keadaannya. Oleh karena itu, jangan heran kemudian jika kritik di media massa hanya akan menjadi angin lalu, karena memang kebutuhan atas fungsi media belum atau bahkan tidak dianggap penting.
Padahal media massa memiliki peran positif dalam mengkomunikaksikan dan mendekatkan ISI Solo dengan publik. Sudah selayaknya budaya menulis (media) ditumbuhkan dan menjadi aktivitas penting dalam denyut berkesenian. Bertarung gagasan lewat ruang media adalah juga kerja intelektual, bukan sesuatu yang tanpa hasil. Publiklah yang akan menilai, mana yang benar dan salah, atas dasar apologi dan bukti-bukti yang diketengahkan. Tak cukup dengan hanya ngrasani atau nggrundel apalagi nggondhok di belakang. Menyikapi kritik di media adalah dengan menulis di media, tidak di luar itu. Karenanya, tanggap terhadap persoalan di media adalah dengan membangun aktivitas yang erat bersentuhan dengan media, termasuk kritik. Semoga saja ISI Solo tidak bebal kritik. Amiin..
Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Solo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar