Santet, Musik dan Narasi Kultural (dimuat di Jawapos edisi 27 Maret 2013)



Santet, Musik dan Narasi Kultural




Santet, diksi dan kata sederhana yang sudah akrab bagi telinga masyarakat Indonesia. Santet secara sederhana merupakan sebuah usaha untuk mempengaruhi psikologis dan fisik atau memasukkan benda-benda tertentu pada tubuh seseorang. Santet subur bertebaran di Nusantara. Bahkan keberadaannya sudah kekal sebelum negeri ini merdeka. Santet tak semata sebuah aktivitas magis, namun darinya banyak menarasikan simbol-simbol kultural. Uniknya, isu tentang santet beberapa waktu belakangan ini menyeruak kepermukaan. Indonesia darurat santet. Begitu pentingnya pembahasan tentang Rancangan Undang-Undang Santet, sampai-sampai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus melakukan studi banding ke Eropa. Namun, pada konteks ini penulis tak hendak berusaha menjawab legal-formalnya keberadaan santet di Indonesia, terutama dari kacamata hukum. Penulis justru tertarik bagaimana santet sejatinya telah turut mewarnai, merintis dan membentuk wajah kebudayaan (musik) di Indonesia.

Medium Bunyi
Santet di Nusantara memiliki berbagai medium yang menghubungkan antara penyantet (pelaku) dengan orang yang disantetnya (korban), tak terkecuali lewat bunyi. Di daerah Taeh Barueh Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, aktivitas dalam “mempengaruhi” seseorang bukanlah menggunakan senjata tajam atau sejenisnya, namun dengan Saluang Sirompak, alat musik tiup dari bambu dengan lima lubang. Kala cinta ditolak, sirompak bertindak. Nil Ikhwan lewat tulisannya Proses Magis Sirompak (2003) menjelaskan bahwa alat musik ini menjadi medium bagi seorang laki-laki yang dipermalukan oleh wanita karena cintanya ditolak. Dengan membawa syarat-syarat tertentu, laki-laki yang sakit hati itu kemudian mendatangi peniup Saluang Sirompak. Alat musik itupun dibunyikan. Tak lama berselang, si gadis akan tergila-gila pada laki-laki yang awalnya ditolak. Bahkan tak jarang, si gadis menjadi gila dalam arti sesungguhnya, tergantung dari kadar sakit hati yang diderita pihak laki-laki. Aktivitas ritus inipun semakin jarang dilakukan, terutama sejak Islam menjadi agama mayoritas masyarakat Sumatera Barat (Roni Febriandi, 2009).
Pada suku Dayak di Kalimantan juga begitu lekat dengan garantung (sejenis instrumen gong). Instrumen musik yang tak semata menjadi selebrasi profan, namun kental dengan aroma mistisnya. Alat musik berpencu itu menjadi medium yang menghantarkan manusia di bumi untuk menjalin hubungan dengan arwah-arwah leluhur. Garantung senantiasa menemai para Balian (dukun adat atau pemimpin upacara) dalam setiap ritus sakral. Lewat instrumen itu, para arwah leluhur akan melindungi anak keturunannya dari segala marabahaya, termasuk santet. Garantung ada dalam setiap prosesi penyembuhan bahkan bagi kematian seseorang. Garantung menjadi benda berharga sekaligus mistis. Tak semua orang berhak memiliki dan membunyikan. Hanya orang-orang terpilih dan dianggap mempunyai kemampuan kasat mata yang berhak.
Begitupun di Sulawesi, tepatnya masyarakat Kaili di Kabupaten Donggala dan Poso. Mereka menganal Lalove, instrumen tiup yang digunakan oleh para pemimpin upacara untuk memanggil arwah atau roh tertentu. Dengan mendengarkannya, tak jarang seseorang akan kesurupan, marah-marah bahkan hilang kesadaran. Instrumen ini memiliki arti penting dalam menarasikan arti sakral dan magis. Lalove juga menjadi medium yang menyembuhkan seseorang dari pengaruh-pengaruh ilmu negatif. Sebelum Islam masuk di Poso pada abad ke-17, aktivitas ritus lalove masih begitu lekat dengan kehidupan masyarakat Kaili. Walaupun saat ini, instrumen tersebut telah dianggap sebagai alat musik semata, namun darinya mampu mengguratkan kisah-kisah kebudayaan dan sejarah peradaban masyarakatnya.
Di Jawa barangkali lebih banyak lagi. Banyak instrumen musik yang dianggap sakral. Gong Sekaten misalnya, dianggap membawa petuah dan menghindarkan seorang pembawa saji dari rentetan marabahaya. Oleh karenanya, nama gong pun tak main-main, disebut “kyai” atau “nyai” (pemberi berkah). Berbagai warna dupa, kemenyan dan sesaji senantiasa menyertai keberadaannya. Selain itu, ada juga yang disebut sebagai Gending Gadhung Melati, gending sakral yang konon diciptakan oleh Nyi Roro Kidul. Barang siapa membunyikannya tanpa berpuasa atau memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, niscaya akan mengalami nasib sial, sakit bahkan kematian. Kepercayaan ini masih dipelihara hingga kini, terutama bagi masyarakat Jawa yang erat bersentuhan dengan dunia keraton.

Narasi Kultural
Santet banyak berbicara akan denyut kebudayaan bangsa Indonesia. Medium yang digunakan kadang tak semata silet, paku dan jarum atau benda-benda tajam yang selama ini kita kenal. Santet justru dengan lantang mengukuhkan jati diri yang mampu menjawab pertanyaan “siapa kita sebenarnya”. Aktivitas mistis ini mampu melukiskan keberadaan musik tradisional, bahasa tradisional, pakaian tradisional, bahkan senjata-senjata tradisonal. Bahasa santet adalah bahasa ibu yang hanya dimengerti oleh penganut kepercayaan di daerahnya. Bunyinyapun adalah instrumen musik tradisional (seperti penjelasan di atas), sebagai katalisator yang menghubungkan pelaku dengan ruang imajinasi mistis yang dipujanya. Sementara pakaian dan senjata tradisional adalah dua unsur yang kadang lekat dan tak mampu dipisahkan. Keris, rencong, pedang, tombak justru dapat dengan lentur kita lihat dalam budaya santet di Indonesia, di mana benda-benda itu kini sedikit demi sedikit telah lenyap dari peredaran.
Membicarakan santet berarti mendedah kebudayaan dan peradaban bangsa. Namun, melogikan sesuatu yang tak logis bukanlah pekerjaan mudah, butuh intensitas perumusan yang panjang. Pertanyaannya kemudian, sudahkah ahli-ahli santet Nusantara diundang untuk turut serta merumuskan rancangan undang-undang persantetan itu. Siapa ahli santet itu? Dukun? Pemain musik sakral? Atau pembawa keris dengan kemenyan? Penaruh dupa di Gong? Terminologi santet dan pelaku saja masih belum jelas, bagaimana kemudian hendak membakukannya. Di atas adalah salah satu gambaran singkat, bagaimana aktivitas yang disebut santet itu tak semata melibatkan unsur atau pihak yang salah dan benar, namun lebih dari itu, santet telah besentuhan mesra dengan kebudayaan tradisi di Indonesia, terutama musik.
Sayang, pikiran-pikiran jernih dalam memandang santet dalam sisi yang berbeda belum sepenuhnya muncul. Kita masih melihat santet dalam kisaran untung rugi, belum menelisik lebih jauh sebagai sebuah peristiwa budaya yang pada ruang-ruang tertentu kehadirannya masih sangat dibutuhkan. Kajian tentang santet memang masih jarang dilakukan, tak lain karena aktivitas itu bersentuhan dengan sesuatu yang di luar nalar. Namun melihat medium, alat dan syarat yang digunakan adalah simbol-simbol penting kebudayaan yang saat ini sayup-sayup semakin tak mampu lagi dijumpai. Santet adalah peristiwa budaya yang harusnya dapat dikaji dan dianalisis dengan mendudukkan pelaku sebagai subjek kajian. Lucunya, para pejabat Senayan justru harus belajar mengenal santet di Nusantara dengan berkunjung ke dunia penuh logika (Eropa).
Saran Saya, berkunjunglah para pejabat DPR ke daerah-daerah basis ritus itu diberlangsungkan. Maka terminologi santet yang selama ini menghantui kita mungkin akan sedikit memudar. Karena niscaya di balik sisi negatif yang menyeruak, kita akan menemukan Indonesia di dalamnya. Dan harusnya tak usah repot-repot membuat undang-undang, karena urusan santet adalah urusan rasa bukan logika. Menikmati santet, saya justru tertarik dengan kelindan bunyi-bunyian sakral itu, senjata tradisional itu dan tentu saja bahasa tradisionalnya. Menarik kiranya jika simbol-simbol itu kita kaji dan dituangkan dalam analisis akademik yang lebih intelektual. Hal ini tentu akan lebih bermanfaat dari pada mencari sesuatu yang tak bisa digapai.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta 

Tidak ada komentar:

Pengikut