Matinya Para Perempuan Penembang (dimuat di Koran Joglosemar, 8 Maret 2013)


Matinya Para Perempuan Penembang



Kala malam tiba, anak-anak menangis karena gelap. Takut jika bayangan hantu-hantu yang menakutkan itu muncul menemuinya. Perempuan itu, yang juga seorang ibu berulang kali dipanggil. Sesaat kemudian ia mengusir hantu-hantu itu dengan lantunan tembangnya, mengalun merdu. Membuat sang anak lebih nyaman dan tak berselang lama tertidur lelap. Kisah-kisah para perempuan penembang itu yang saat ini hanya menjadi mitos. Kelindan lagu-lagu yang dibawakannya kini tak tampak lagi. Semakin lama semakin sayup tergantikan dengan digit-digit handphone, laptop, tablet, blackberry, playstation, televisi dan lain sebagainya. Padahal, tembang-tembang malam banyak mengguratkan narasi kultural, tentang identitas, gender dan eksotisme kebudayaan lokal.

Perempuan Penembang
Perempuan dianggap sebagai makhluk asing di dunia ini. Apapun tentangnya seolah harus selalu diwacanakan kepada publik, tentang emansipasi, kesetaraan gender, profesi, lingkungan, sosial, status dan lain sebagainya. Tak mengherankan kemudian banyak media cetak maupun elektronik mencantumkan kolom dan edisi  khusus perempuan. Pada konteks ini perempuan menjadi manusia yang tiada habis diulas, dibahas dan dijelaskan. Bahkan duniapun membuat hari khusus perempuan yang dirayakan setiap tanggal delapan maret. Yang paling menonjol, sejak emansipasi digulirkan oleh Kartini, adalah wacana dalam mengangkat harkat dan martabatnya. Perempuan tangguh di masa kini adalah mereka yang memegang dominasi penting dalam kehidupan. Perempuan dianggap hebat jika perannya mampu melampaui, menggusur eksistensi dan prestasi yang selama ini dipegang oleh laki-laki. Dari seorang dokter, pengusaha sukses, pejabat hingga politikus. Emansipasi masa kini kemudian meniadakan kehadiran perempuan sebagai seorang ibu.
Ibu sebagai kodrat alami perempuan mulai tertepikan oleh berbagai godaan profesi. Perempuan butuh eksisensi dan pengakuan status. Ia ingin dikenang bukan atas keberhasilannya menjadi seorang ibu yang baik, namun keberhasilannya dalam pencapaian berbagai prestasi sosial dan politik yang disandangnya. Anak-anak masa kini kemudian kehilangan sentuhan suara dan belaiannya. Dendang-dendang malam seorang ibu dalam menghantarkan sang anak menuju peraduan tidurnya sudah tak mampu lagi terdengar lantang. Ibu di abad dua satu malu untuk menembang.
Hal yang paling hakiki menyangkut dialek budaya terjadi dalam sebuah kamar penuh imajinasi. Kala sang anak banyak mengandaikan arti dari kalimat ibu yang keluar lewat tembang-tembang sakralnya. Darinya tertuang simbol-simbol yang hanya mampu dimengerti antara ibu dan sang anak. Cerita tembang tak melulu harus berhubungan dengan gamelan dalam balutan nada-nada pentatonik (selendro dan pelog). Tembang malam bisa saja di luar kontrol nada yang selama ini kita kenal. Beberapa di antaranya bahkan terasa sumbang dan falsh, namun toh mampu membuat sang anak menyemai mimpi. Secara tak langsung, dentum dekonstruksi makna musik telah digelar. Musik bukan semata urusan nada dan harmoni, musik adalah bahasa.
Bahasa tembang adalah bahasa imajinasi. Beban-beban kultural yang selama ini berganyut lewat bunyi dan plot cerita tembang kemudian harus dibebesakan. Lewat tembang itu, sang ibu berusaha membuat musiknya sendiri. Terlihat sederhana memang. Namun apa yang dilakukannya lewat tembang adalah alam imajiner yang akan senantiasa dikenang oleh anak hingga dirinya dewasa. Tema kadang berisi tentang narasi-narasi kultural. Tentang budi, pendidikan, kedewasaan, kejujuran dan kesantunan hidup. Oleh sang perempuan penambang, dendang itu tak berdiri sendiri, adakalanya bergandeng mesra dengan dongeng-dongeng. Ibu menjadi perempuan musisi dan sekaligus sastrawan dengan penggemar yang senantiasa menanti setiap malam (Faisal Komandobat, 2007).
Kini peran perempuan penembang dianggap sebagai profesi yang mengkebiri peran wanita. Laku kerja itu dianggap erat bersentuhan dengan bingkai dapur dan kamar. Menempatkan sosok perempuan hanya sebatas pelayan. Padahal kodrat yang diemban sebagai sosok penembang kadang lebih berat dari berbagai macam profesi yang ada di dunia. Perempuan penembang adalah profesi paling hakiki dalam membentuk, mencipta dan mengkonstruksi nalar berfikir manusia di dunia.
Lewat perempuan penembang, jejak-jejak nyanyian itu tergambar di setiap daerah. Bahkan di antaranya memiliki keunikan tersendiri, baik bahasa, pelaguan maupun cara menyanyikannya. Usaha membumikan bahasa daerah yang selama ini hanya didengung-dengungkan lewat tembok-tembok sekolah, justru dapat dengan lentur menampakkan jati dirinya lewat tembang-tembang malam pengantar tidur. Perempuan penembang adalah katalisator yang tak semata mempertautkan pertalian antara ibu dan anak, namun juga menyuarakan identitas kultural.

Bahasa Perempuan
Bahasa ibu beberapa waktu lalu dirayakan secara internasional (21 Februari). Berusaha mengembalikan bahasa-bahasa daerah kepangkuan kodratnya, tak terkecuali juga bahasa nasional. Pemaknaan yang diberikan hanya sebatas kepentingan diksi dalam imaji ketakutan agar bahasa itu tak punah. Bahasa ibu adakalanya juga menjadi penting untuk diartikan secara literal, yakni bahasa yang dibentuk dan dikonstruksi oleh sosok ibu –perempuan-. Lewat bahasa yang keluar dari ibu, adalah medan tempat bergumulnya berbagai macam kisah positif, dan tembang menjadi salah satu bagian pentingnya.
Lewat tembang-tembang yang dibangun itu, suasana seolah menjadi cair dan  nyaman. Memecahkan kebuntuan dalam membangun hubungan emosi personal. Bait-bait dendang nada yang keluar menjadi tiran bagi sang anak untuk memetik nilai-nilai positif. Pada titik ini, tembang merubah diri laksana alas atau pijakan yang membawa anak untuk memapah diri dan pikiran. Tembang-tembang bermunculan bagai kunang-kunang yang menyinari gelap malam. Kerinduan terbesar bagi anak kala dirinya tumbuh dewasa adalah lantunan nada yang sederhana itu. Simbol kasih tiada batas.
Namun sayang, tembang-tembang malam itu kini telah tergantikan dengan visualisasi benda mati. Peran perempuan sebagai ibu tergantingan dengan kuasa teknologi. Anak-anak tak lagi mampu mengenal ibunya dengan lebih dekat. Ibu hanya menjadi simbol atas legalitas status bagi perempuan masa kini, sementara peran dan fungsinya telah mengalami kebangkrutan eksistensi. Selebrasi hari perempuan dan bahasa ibu internasional kemudian menjadi satir atas peran perempuan di kamar imajiner sang anak.
Anak-anak masa kini lebih mengenal penembang dengan ujudnya yang lain, berupa artis-artis yang muncul lewat layar kaca dan sejenisnya. Ibu tak mampu menjadi artis perempuan dan penyanyi idaman bagi anaknya. Beberapa waktu di Solo menggelar lomba tembang pengantar tidur bagi anak. Kebanyakan peserta bukanlah seorang ibu, namun penyanyi dengan keahlian suaranya yang tak diragukan lagi. Perempuan-perempuan masa kini merasa malu untuk menjadi ibu penembang, namun dengan lantang mengukuhkan dan menyuarakan identitas profesi perstisius yang dijabatnya.
Hari perempuan dan bahasa ibu internasional yang beberapa waktu lalu berlangsung sudah selayaknya digunakan sebagai momentum untuk kontemplasi, menghidupkan detak dan denyut suara perempuan sebagai ibu lewat titian tembang-tembang merdunya. Kembalikan suara itu lewat tangan dan sentuhan kreatif seorang perempuan.


Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta 

Tidak ada komentar:

Pengikut