Kisah
Kemenangan Monyet
Para penari berpose membentuk
formasi layaknya simpingan dalam
wayang kulit. Tak berselang lama, sang dalang mulai membuka pocapan, berisi tentang ringkasan
singkat dari cerita yang akan dipertontonkan. Dari samping kiri panggung, Endah
Laras dengan langkah pelan keluar dengan senandung Jula-juli Surabaya yang
merdu, memperkenalkan semua tokoh yang ada. Dari kesepuluh peran itu, ada tiga
tokoh yang menjadi “roh” pertunjukan, dialah si Monyet (Kethek) yang dibawakan Heru Purwoko, Tuan Badut oleh Anggono
Kusuno, dan Ledhek oleh penyanyi keroncong kenamaan Sruti Respati.
Lampu mulai menyinar terang
seolah mengisahkan fajar, sayup-sayup bunyi tetembangan gamelan mengalun merdu.
Dari teks tembang itu, penonton diajak untuk merenung, sesak nasihat kehidupan.
Anane ana, merga ra ana, nek wes ana,
banjur ngapa begitulah nukilan teks tembang itu yang kurang lebih berarti:
apa yang ada berasal dari yang tak ada, jika sudah ada terus mau apa? Bahwa
semua materi, tubuh, harta dan dunia hanya ilusi yang mempermainkan kehidupan,
tak ada yang abadi selain keabadian itu sendiri.
Inti dari pertunjukan itu justru dimulai
kala si Badut dengan kejam menyiksa Monyet untuk menuruti egonya. Monyet itu
harus dicambuk, ditampar bahkan tak jarang ditendang. Namun siapa sangka,
diam-diam si Ledhek yang juga istri Tuan Badut merasa iba pada sang Monyet.
Rasa iba yang kemudian menjadi bibit benih rasa cinta. Mengingatkan kisah dan
lakon dalam mitologi orang Sunda, Lutung Kasarung. Deru percintaan antara hewan
dan manusia itulah yang menjadi puncak pementasan trilogi ketiga serial Opera
Jawa, berjudul “Selendang Merah” garapan Garin Nugroho yang malam itu
dipentaskan di Tetaer Jakarta, Taman Ismail Marzuki Jakarta (13-14/04/2013).
Kisah
Dengan pola rampak, percampuran antara tari Jawa dan kontemporer, menjadi laku
gerak Tuan Badut dan anak buahnya kala menangkap si Monyet. Perburuanpun dimulai,
kegesitan Monyet membuat langkah Tuan Badut tersenggal dan emosi naik pitam.
Segala daya dan usaha dikeluarkan hingga membuat sang Monyet terluka dan
akhirnya tertangkap juga. Keangkuhan si badut begitu terlihat kala membawa Monyet
tangkapannya itu pentas keliling. Monyet harus dituntut mampu berpura-pura
menjadi bentuk lain di luar wujud sejatinya. Namun siapa sangka, dari tubuh
lain sang Monyet tersembunyi mutiara gerak. Sesekali ia memakai topeng,
bergerak layaknya tari Reog, Gandrung Banyuwangi, Remo Surabaya, Hudog atau mungkin
membawa gerobak dan naik sepeda ontel dengan lucunya.
Kepatuhan si Kethek tak membuat Tuan Badut berlaku baik padanya. Hal ini membuat
istri Tuan Badut bersedih. Secara sembunyi-sembunyi ia mendatangi si Monyet,
membasuh mukanya dan menyanyikan tembang-tembang penghibur lara. Monyet terharu
namun juga terhibur. Benih-benih cintapun muncul. Monyet mengajak majikan
wanitanya yang cantik dan molek itu untuk memadu kasih. Si Ledhek bingung bukan
kepayang. Bagaimana ia harus mencintai makhluk yang tak sejenis dengannya.
Tapi, seiring bergulirnya waktu, rasa telah mengalahkan rasio dan cinta telah
merubuhkan bangunan logika.
Cinta keduanya diketahui pula
oleh Tuan Badut. Si Ledhek diam seribu bahasa. Siapa sangka, percintaan antara
manusia dengan monyet berakibat membuat dunia gonjang-ganjing tak karuan. Si Ledhek
dianggap melanggar ketentuan dan kodrat hidup manusia karena mencintai hewan.
Sang juru selamat pun keluar, yang tak lain adalah dukun sakti. Ia
memerintahkan untuk diadakan ritual tolak bala. Ritual itu mengharuskan Tuan
Badut dan Monyet bertarung, menentukan siapa paling kuat. Pemenang tak hanya akan
menjadi pemangku dunia, namun menjadi pendamping Ledhek seksi berbibir tipis
itu selamanya.
Di luar nalar, karena cintanya
yang suci kepada Ledhek, Monyet itu mampu bertiwikrama menjadi Hanoman. Dewa Monyet
yang menjadi sesembahan manusia di muka bumi. Peristiwa itu mengingatkan
pendapat Darwin, bahwa monyet adalah nenek moyang. Terompet sangkakala yang
sakral dibunyikan, mengiringi pertarungan antara keduanya. Lalu Gending Brubuh dilantunkan, dimulai dari
instrumen kempul dengan pola pukulan yang intens dan konstans menyerupai sampak, pertanda pertarungan semakin
sengit dengan pamer segala ilmu kanuragan. Namun tak ada juga yang kalah dan
menang, kekuatan keduanya imbang, sama-sama sakti.
Darah membanjir, ritus doa-doa
keluar untuk momohon bantuan. Sampai tiba pada saatnya, oleh sang dukun semua
pilihan harus diserahkan pada si Ledhek. Sebuah tawaran yang sulit. Dalam
pertempuran itu, ia diperintahkan untuk membunuh salah satu di antara yang
bertikai. Suami atau hewan yang cintai. Tarik ulur batin, antara logika dan
rasa. Dalam keadaan dan posisi mengadu ilmu dengan si Monyet, Tuan Badut
memohon agar Ledhek tak membunuhnya, mengingat ia adalah suami sah yang selama
ini dilayani.
Anehnya, hal yang tak terduga
telah terjadi, tiba-tiba saja Ledhek lebih memilih Monyet untuk mendampingi
hidupnya. Tuan Badut dibunuh tanpa sedikitpun penyesalan. Ledhek memilih Monyet
yang dianggapnya sebagai dewa sekaligus pembawa bahagia bagi alam semesta. Lagu
puja-pujian menyeruak keluar, sesekali berlaras slendro-pelog bahkan diatonis,
atau tidak ketiganya. Selendang merah dikibaskan, pertanda pertunjukan telah
berakhir. Monyet menjadi pemenangnya.
Luruh
Pertunjukan yang berdurasi kurang
lebih satu setengah jam itu di koreograferi oleh Danang dan Anggono Kusumo
serta Rahayu Supanggah sebagai penata musik. Selain koreografi yang indah,
setiap babak cerita dihadirkan bunyi yang mampu luruh dengan gerak. Maklum
saja, Rahayu Supanggah sudah menggarap musik serial Opera Jawa garapan Garin
dari sewindu yang lalu. Bahkan lewat Opera Jawa (versi film), musisi asal Solo
itu menyabet piala bergengsi sebagai komposer terbaik
dalam Festival Film Indonesia (2006), Festival Film Asia Pasific dan Asia Film
Awards (2007). Dua penghargaan terakhir itu menjadi begitu prestisius. Selain menjadi satu-satunya kategori yang diraih oleh film Opera Jawa, penghargaan itu juga merupakan kali pertama untuk film Indonesia dalam ajang festival se-Asia
tersebut.
Walaupun Opera Jawa telah
bermetamorfosis menjadi bentuk dan tema yang baru. Namun pendekatan yang coba
dilakukan masih berada dalam kisaran konsep yang sama, yakni mendudukkan tubuh
penari tak sebatas gerak, tapi juga musikal. Para penari Opera Jawa dituntut
mampu membawakan tembang-tembang yang menguatkan karakter setiap tokoh yang
diperankan. Hal itu menjadi satir bagi dunia tari dewasa ini. Di mana cukup
sulit untuk menjumpai penari yang juga mampu menembang. Berburu
penari-penembang ibarat mencari kisah berlian yang hilang. Padahal sejarah
dunia kepenarian Jawa dibangun dari tradisi tembang yang kuat, sebut saja
misalnya budaya Langendriyan. Beruntung Garin menemukan para penari handal
seperti Cahwati, Heru, Anggono Kusumo, Endah Laras, Danar, Sruti Respati yang
semuanya juga seorang penembang unggul dan tentusaja mampu mengakomodasi
lagu-lagu karya Rahayu Supanggah yang khas itu. Jangan heran kemudian jika saat
menonton pertujukan Opera Jawa, tak ada lagi batas antara penari dan pemusik,
gerak dan tari. Semua luruh menjadi satu senyawa.
Aris
Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar