Politik Tubuh Dalam Tari (dimuat di Koran Joglosemar edisi 26 April 2013)


Politik Tubuh Dalam Tari


Tubuh bukan sebatas daging, kulit dan tulang. Terangkai dari bagian-bagian terkecilnya hingga menjadi sebuah keajaiban medis. Lebih dari itu, bagi Anthony Synnott lewat bukunya Tubuh Sosial (2002), mengurai tubuh sebagai “sebuah diri”. Berbagai kontroversi, kontradiksi, perdebatan menarik diberlangsungkan di wilayah tubuh. Mengenai ikatan, makna, nilai, kriteria hidup-mati, dihias, dan tentu saja bagaimana ia harus diperlakukan dan dicintai. Semua hal unik tentang tubuh tersebut dikemas dan terdeskripsi lewat “gerak”. Dengan gerak kita mampu memahami berbagai simbol yang tertuang dalam tubuh.
Lewat gerak pula manusia terkotak-kotakkan menurut hukum formalitas kebudayaan di mana manusia itu hidup. Lalu, muncullah berbagai ekspresi kumpulan dan susunan gerak tubuh yang kemudian disebut sebagai “tari (dance)”. Mampu memberi rasa, warna, dan karakter detak kultural. Gaya Minang, Solo, Banyuwangi, Yogya, Bali, Papua, Makassar, Dayak Kalimantan dan lain sebagainya adalah kumpulan gerak yang terbakukan dengan berbagai ikatan dan simbol kebudayaan, ternarasi dalam tari tradisi. Namun apakah semua hanya berbicara tentang gerak tubuh semata? Apakah segala eksplorasi tentang gerak, senantiasa dan melulu, hanya sebatas perayaan tubuh?

Politik Tubuh
Berbicara gerak tubuh sebagai sebuah tari berarti tak cukup dengan hanya meletakkan dikotomi dalam dualisme bergerak dan diam. Namun terangkai dalam berbagai ikatan yang menyertainya. Tubuh adalah ‘kamar imajiner’ tempat bergumul dan terciptanya berbagai elemen artistik. Dengan demikian berbicara tubuh tari berarti tak melulu berbicara gerak, namun juga ekspresi musikal, bahkan juga mimik, teatrikal, kostum, tata panggung, imajinasi dan tentu saja kreativitas. Semua elemen tersebut menjadi satu kesatuan yang sah untuk digelar, menghantarkan pencapaian sebuah rasa artistik tentang gerak tubuh yang puncak.  
Selebrasi tentang gerak dan ekspresi artistik yang menyertainya mencoba dirayakan sebagai “Hari Tari Dunia” (HTD) setiap tanggal 29 April. Solo, kurang lebih tujuh tahun ini rutin menyelenggarakan perayaan itu. Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta bekerjasama dengan pemerintah kota berpesta lewat tari. Tak kurang seribu penari lebih memadatkan jalan-jalan kota Solo kala peristiwa itu berlangsung. Ada beberapa catatan penting terkait perstiwa ini. HTD tak semata ritus berpesta, namun ruang kontemplasi diri untuk mencoba melihat posisi kembali tubuh kita dalam tumpukankisah laku hidup.
Politik tubuh telah berlangsung yang tak melulu dalam dunia tari. Jokowi misalnya, gubernur kenamaan dari Jakarta itu sedang memainkan politik Tubuh. Jokowi mampu menjungkir balikkan kuasa tubuh ideal dalam percaturan kisah politik tanah air. Tubuh Jokowi adalah dekonstrusi terhadap kemapanan. Ia adalah manusia yang kurus kering, tak berdaging, cungkring, yang tinggal seolah hanya tulang dan kulit. Jokowi bukanlah ekspresi tubuh ideal seperti Susilo Bambang Yudhoyono yang gagah perkasa dengan gerak layaknya pahlawan itu. Ia merontokkan argumentasi awam, bahwa pemimpin dan pahlawan ideal bertubuh ideal.
Jokowi dengan tubuh "rapuhnya" itu berhasil menjadi pikat bagi masyarakat Indonesia mutakhir. Menghasilkan iba dan semaian doa. Gerakan yang klemar-klemer kemudian dipautkan dengan karakter orang Solo yang konon halus dan kalem. Perlakuan terhadap tubuh kemudian tak semata hanya dalam upaya pencitraan semata namun ciri budaya. Tubuh sebagai ruang ditempatkan pada pembakuan tradisi. Gerak-gerak tertentu dieksploitasi sebagai penanda tubuh kultural. Identitas manusia ditentukan lewat pola dan ekspresi geraknya. Karenanya, perayaan hari tari menjadi begitu istimewa karena kebebasan terhadap gerak mendapatkan ruang yang seluas-luasnya. Solo menjadi tuan rumah. Gaung pembebasan tubuh tak semata menempatkan Solo sebagai yang berpesta. Namun banyak peserta yang datang dari pulau dan negara lain, demi kebersamaan membebaskan gerak tubuh.
Namun demikian di acara itu kita mampu melihat ekspresi keragaman gerak di nusantara. Semua terbalut atas nama tradisi. Tari-tari tradisi dipertontontan, menambah semarak dan referensi kita terhadap varian gerak. Ada yang gerak halus ala Jokowi, gagah seperti SBY bahkan penuh kejutan layaknya Superhero. Sementara di sisi lain, ekspresi gerak yang paling kontemporerpun tak bisa ditinggalkan. HTD, menjadi wadah eksperimentatif bagi seniman untuk menemukan jejak gerak baru yang terbalut estetika, sehingga menjadi tontonan yang lebih menyegarkan. Di perayaan itu kemudian juga menjadi medan interaksi, saling bertukar pikiran dan lebih penting lagi menambah jejaring kerja berkesenimanan.

Kontinyu
Dengan adanya perayaan HTD yang ke tujuh kalinya, seolah mampu membuktikan jati dirinya sebagai wadah penting dalam usaha menunjukkan detak kencang nadi kehidupan seni tari nusantara. Di sinilah medan transaksi berlangsung, muara bertemunya beragam profesi yang saling berinteraksi seperti seniman, birokrat, pengusaha, masyarakat umum bahkan mahasiswa. Membawa satu kesepahaman yang akan terumuskan lewat seminar atau sarasehan yang digelar sebelum dan sesudah acarara berlangsung. Dalam forum itu setidaknya persoalan-persoalan atau isu penting terkait dengan masalah seni di Indonesia dapat diangkat kepermukaan. Tidak hanya sebatas meramaikan, sarasehan yang ada diharapkan mampu berperan sebagai katalisator dalam melahirkan gagasan-gagasan atau solusi ideal dalam memecahkan masalah yang selama ini dihadapi ruang hidup seni tradisi khususnya tari di Indonesia.
Sadar atau tidak, perayaan HTD lahir dari sebuah kebutuhan kultural. Merupakan kerja yang dibangun dalam takaran kolektif. Oleh karena itu, tampil di HTD bukanlah semata-mata tujuan utamanya, karena HTD tidak lebih dari sebuah media yang dikonstruksikan menjadi pusat medan interaksi, bertemunya seni dengan masyarakat yang terbingkai dalam ruang pluralisme. Ketika proses itu sendiri dimaknai bagian dari tujuan, maka kesediaan melakukan eksplorasi ide-ide baru dan segar adalah cara kerja harus dimunculkan dalam laboratorium kekaryaannya.
Dayatahan dan komitmen adalah bekal dasar dalam proses tersebut. Bukan  merupakan suatu hal yang aneh jika gerbong HTD selalu akan tampil dengan wajah baru menggantikan wajah lama yang telah undur diri. Wajah yang akan banyak dihiasi karya-karya baru yang lebih menumental. Tidak berlebihan kiranya jika harapan besar disematkan pada HTD tahun ini agar tidak semata menjadi pesta yang hanya menghamburkan uang, namun juga mampu membawa dampak yang lebih baik dalam proses berkesenian kita terutama bagi kota Solo.
HTD sejatinya juga menjadi satir atas perlakuan tubuh sosial kita. Yang termanjakan lewat berbagai pelayanan instan. Tubuh tak lagi harus bergerak, karena telah terlayani dengan berbagai kuasa teknologi. Tak lagi perlu membeli makanan ke warung, cukup dengan hanya telepon, maka makanan lezat langsung datang. Tubuh mengalami penurunan daya kerja hingga menjadi sarang dari berbagai penyakit. Oleh karena itu di HTD, menuntut manusia untuk kembali bergerak, mengembalika nkodrat gerak pada tubuh. Bahkan di forum itu, ritus gerak dilangsungkan selama24 jam nonstop. Selamat Hari Tari Dunia, selamat bergerak dan menari.

Aris Setiawan
Etnomusikolog,Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut