Telisik Dewantara di Seni Tradisi
Momen Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei lalu merupakan sebuah ritus yang tak semata berbau seremoni dan selebrasi upacara. Namun lebih pada sebuah ruang kontemplasi, untuk kembali lagi menelisik jejak perjuangan Ki Hadjar Dewantara, bapak pendidikan yang tersohor itu. Namun sayang, seperti dikutip dari Koran Jakarta (4/5/2013), pendidikan di Indonesia saat ini jauh dari ajaran Ki Hadjar Dewantara. Kisah-kisah perjuangannya tak lagi banyak menjadi inspirasi dan ilham untuk munculnya ide serta gagasan baru bagi generasi sesudahnya. Kendati demikian, di bulan kelahirannya ini, pelbagai hal dapat digunakan sebagai medium dalam mengenangnya, tak terkecuali menelisik perjuangan yang disulutnya lewat kebudayaan, dan seni tradisi menjadi bagian terpentingnya.
Mesra Gamelan
Ia terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat pada 2 Mei 1889. Anak bangsawan di lingkungan Keraton Yogyakarta. Hidup dalam kepungan tembok istana menjadikan Soewardi erat bersentuhan dengan dunia kesenian, terutama Keraton. Kepekaannya tentang denting nada-nada gamelan setiap hari disuluh dalam pelbagai ritus dan keagungan upacara tradisi. Walaupun hidup dalam aliran darah biru, tak menjadikan Soerwardi besar kepala, apalagi mengeksklusifkan diri. Ia justru lebih tertarik bergaul dengan rakyat jelata daripada teman-teman bangsawan sebayanya. Titik pembuktian akan hal itu terjadi kala usianya menyentuh angka 40 tahun. Ia dengan sadar diri mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Perubahan nama yang tak mengandung harapan muluk, sekedar ingin merubah citra agar ia dipandang setara oleh kaum akar rumput di Indonesia.
Dewantara dianggap sebagai pribadi yang memiliki bekal intelektualitas mumpuni. Lahir dari keluarga terpandang mengharuskannya bersentuhan dengan dunia pendidikan. Hal yang sangat jarang dijumpai bagi kebanyakan manusia Indonesia kala itu. Ia kemudian tumbuh sebagai pemikir Indonesia. Pandangan-pandangannya digoreskan lewat pena di media cetak. Ia pernah menjadi wartawan di beberapa koran seperti Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Kecintaannya terhadap budaya tradisi mencetuskan gagasan-gagasan orisinil tentang bagaimana orang pribumi harus melihat, menempatkan serta memperlakukan kebudayaan yang dimilikinya. Wisnu Mintargo (2010) memandang bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah kaum intelektual yang memperjuangkan nasib hidup kebudayaan di Indonesia. Gagasan yang cukup membuatnya tersohor kala berujar dalam Kongres Kebudayaan di Bandung tahun 1951, bahwa kebudayaan nasional dibangun dari puncak-puncak kebudadayaan daerah.
Dewantara mengaklamasikan revitalisasi kesenian tradisi di nusantara, dan Jawa dengan gamelannya terimbas akibat pernyataan Dewantara itu. Gamelan dianggap sebagai musik penting yang tak sekadar mampu mengakomodasi letupan musikal, namun juga olah emosi, rasa serta kejiwaan. Dewantara memandang bahwa gamelam layak untuk dapat diangkat sebagai bunyi yang mampu mengakomodasi gejolak nasionalisme. Perdebatan sengit terjadi di tahun sesudah pernyataan Dewantara itu. Ia dan beberapa kalangan memandang bahwa lagu Indonesia Raya tak selayaknya dibawakan dalam dominasi nada-nada diatonis Musik Barat. Dewantara dan kaum intelektual pribumi melihat bahwa musik tradisi (gamelan) bisa menjadi ruang yang sepadan dengan Musik Barat. Otomatis, ia menghimbau pada para empu gamelan untuk mentransformasikan nada-nada diatonis Indonesia Raya menjadi pentatonis dalam gamelan.
Banyak intelektual dan seniman musik yang tak sependapat dengannya, menganggap Musik Barat lebih mampu menampung gejolak musikal dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dikotomi antara Barat dan Timur menemukan titik kulminasinya ketika pandangan yang berbenturan itu diwujudkan dalam misi pendidikan. Atas instruksi Ki Hajar Dewantara, di Surakarta yang menjadi basis gamelan di dirikan Konservatori Karawitan Indonesia (KOKARI) pada tahun 1952. Sementara setahun sesudahnya, Amir Pasaribu, J.A. Dungga dan Soedjasmin selaku tokoh-tokoh Musik Barat di Indonesia mendirikan sekolah tandingan yakni Akademi Musik Indonesia (AMI).
Atas dasar konsep Dewantara, di tahun 50-an itu perubahan bersar-besaran terhadap musik gamelan dilakukan. Para musisi gamelan tak lagi diharuskan memakai beskap, blangkon dan jarik. Mereka disulap seolah menjadi lebih “intelek” dengan memakai jas berdasi, sepatu kulit dan celana resmi. Cara memainkan gamelanpun dirubah, tidak lagi duduk bersila namun memakai kursi layaknya musisi Musik Klasik Barat. Uniknya lagi, para pengrawit gamelan tidak harus menghafalkan notasi seperti yang selama ini kita lihat, namun sudah disediakan music stands, tempat partitur atau notasi gamelan. Perlakuan berbeda terhadap gamelan itu mengakibatkan keanehan tersendiri. Semua dilakukan demi gengsi dan harga diri, mendudukkan kesenian Indonesia setara dengan kesenian Barat (Eropa) yang konon indah itu. Predikat “adi luhung” pun dilekatkan di gamelan dan seni-seni tradisi berbasis keraton lainnya demi semata mengangkat harkat dan martabat bangsa.
Pada akhirnya, Musik Barat tetap digunakan dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya. Karena basis penciptaan lagu itu oleh W.R. Supratman didasarkan pada musik diatonis, sehingga mengalami kesulitan kala diubah menjadi pentatonis. Ki Hadjar Dewantara memaklumi akan hal itu. Ia pun semakin tersadarkan bahwa kesenian tradisi (termasuk gamelan) tak harus menjadi ke barat-baratan, karena ia memiliki ruang dan lingkup perkembangan yang berbeda. Sejak saat itulah posisi dalam memainkan gamelan kembali ke sedia kala. Namun tonggak berdirinya KOKAR di Surakarta menjadi ilham bagi daerah lain untuk mendirikan sekolah berbasis seni tradisi. Yogyakarta, Denpasar, Banyumas, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Bandung dan Surabaya mengikuti jejek Ki Hajar Dewantara dalam mendirikan KOKAR. Berkat Sumbangan besarnya dalam memembangun lembaga pendidikan seni tradisi itulah, kita masih dapat menikmati bunyi gamelan, calung, kacaping, jaipong, talempong hingga saat ini.
Manusia Pilihan
Ki Hadjar Dewantara adalah manusia pilihan. Orang yang diberkati untuk menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Kecintaan dan perjuangannya dalam menjaga denyut hidup tradisi patut untuk menjadi tauladan berharga di abad XXI. Melihat Dewantara berarti menelisik jejak-jejak kesenian di Nusantara. Membicarakan sosoknya tak melulu harus dalam wacana pemikiran politis, hukum dan ekonomi namun juga kebudayaan. Hal itu menjadi penting karena di era mutakhir, kesenian dan kebudayaan tradisi semakin sayup-sayup tak terdengar detak hidupnya.
Hari Pendidikan Nasional menjadi ikhtiar yang mempertautkan kita untuk lebih mengenali kebudayaan dan kesenian tradisi yang ada. Bagi Ki Hajar Dewantara, tradisi memberi pengalaman berharga dalam menjaga batin, rasa dan kejiwaan kita sebagai manusia Indonesia (Sumarsam, 2003). Perayaan dalam mengenangnya tak cukup dengan hanya melakukan selebrasi upacara, yang maknanya kini semakin meluber. Namun dengan melihat kembali detail-detail gagasan lain yang pernah ditorehkan oleh Ki Hajar Dewantara. Di Hari ini, mungkin hanya beberapa saja yang melihat perjuangannya dengan menitihkan air mata disertai semaian doa. Dewantara mungkin bersedih hati melihat anak cucunya semakin abai pada tradisi. Kisah akan semangat yang dilukiskannya kemudian hanya menjadi mitos, penuh sangkal dan penuh tanya. Jangan heran kemudian jika generasi muda masa kini tak lagi mengenal sosoknya. Dewantara tak lagi menginspirasi ruang imajinasi mereka. Oleh karena itu, Hari Pendidikan Nasional kemudian juga menjadi satir bagi manusia Indonesia masa kini.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar