Konsep Budaya Calon Pemimpin Jawa Tengah (dimuat di Koran Joglosemar 22 Mei 2013)


Konsep Budaya Calon Pemimpin Jawa Tengah


Jalan-jalan desa dan kota di Jawa Tengah dihiasi dengan poster bergambar foto para calon gubernur. Di poster itu pelbagai konsep, visi-misi para calon dituliskan. Masyarakat menjadi pembaca yang setia, qatam akan janji politik dan mungkin juga kelak akan pengingkarannya. Jawa Tengah memang sedang berpesta politik, Pemilukada di depan mata. Namun sudah dapat ditebak, konsep kampanye para calon hanya berisi tentang tamsil puitik politik dan ekonomi. Selebihnya, tak dijumpai goresan visi yang berbasis budaya.

Merubah
Kilas Balik, dalam kampanyenya kala itu, Gubernur Jakarta saat ini, Joko Widodo berjanji akan merubah wajah Jakarta menjadi lebih bercitra Betawi. Beberapa kebijakan akan di buat, semisal memunculkan icon Betawi di rumah, mall dan pasar serta perkantoran. Pegawai Negeri Sipil (PNS) diwajibkan berseragam Betawi pada hari-hari tertentu. Dan hal itu ia buktikan kala terpilih. Jokowi memiliki visi budaya yang jelas dalam memoles wajah Jakarta untuk kembali ke habitus akar tradisinya. Pertanyaannya kemudian sejauh mana visi budaya yang ditorehkan para calon pemimpin tertinggi di Jawa Tengah?
Ingar-bingar pesta demokrasi hanya diisi dengan ritus politik semata, mengabaikan selebrasi kebudayaan. Janji-janji manis diucapkan seolah pertanda keberpihakan pada rakyat. Tak korupsi dan memajukan perekonomian adalah tema yang senantiasa didengung-dengungkan. Masyarakat tentu sudah mafhum tentang kata-kata yang puitis itu. Namun, tak ada tolok ukur sejauh mana janji itu akan ditepati. Sementara di sisi lain, pelbagai pengingkaran seringkali dilakukan. Tak sedikit pemimpin daerah yang terlibat korupsi dengan pelbagai kasus yang menjeratnya. Oleh karena itu, janji-janji manis yang terpajang di jalan raya itu kadang hanya menjadi teman pembacaan di kala jenuh melakukan perjalanan.
Ironisnya, banyak dijumpai pemimpin masa kini yang gegar budaya. Tak mengerti peta kondisi kultural rakyatnya. Otomatis, dalam menyelesaikan persoalan senantiasa menggunakan tolok ukur politik bahkan hitung-hitungan ekonomi. Kasus Ambon, Sampang, Mesuji misalnya, diselesaikan dengan perlawanan kekerasan, perebutan aset terkait untung rugi. Sementara pemimpin jarang berfikir untuk menyelesaikan persoalan yang bergejolak dengan pendekatan budaya, dengan dialog atau silaturahmi kultural dan pranata sosial misal.
Akibatnya, budaya kekerasan sering kali muncul dalam beberapa waktu terakhir. Terkait hal itu, Jokowi pernah mengingatkan pentingnya visi kultural pemimpin. Kala ia menjabat Wali Kota Solo, penggusuran pedagang pasar ia lakukan dengan konsep pawai budaya, bukan dengan senjata. Para pedagang merasa tersanjung, dibanggakan dan dihargai. Penggusuran berlangsung damai bahkan menjadi hiburan bagi masyarakat sekitar. Konsep kultural menjadi keniscayaan yang harus dimiliki setiap pemimpin.
Kebudayaan menjadi dasar terbentuknya manusia yang bermoral. Karenanya, dengan mengetahui kebudayaan masyarakat tertentu maka kita akan mampu mengenali lebih dekat tentang karakter dan stereotip yang dilekatkan. Kebudayaan menjadi falsafah penting dalam cara memimpin. Ingatan kita masih hangat kala Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu) menjadi motor penggerak politik Indonesia kala itu. Para pemimpin bangsa menyadari arti penting kebudayaan. Pendekatan budaya mampu membujuk hati rakyat dalam ruang keberpihakan. Kesenian termasuk salah satu hasil olah budaya yang sangat dimanfaatkan kehadirannya. Ludruk, Ketoprak, Wayang Wong, Wayang, Sastra, Musik dan lain sebagainya mencoba untuk direvitalisasi, dan diperpanjang denyut dan nafas hidupnya.
Seniman-seniman membuat karya unggulan dalam “mengampayekan” calon penguasa. Kesenian menjadi medium efektif guna menarik simpatisan. Bahkan Soeharto pernah menggagas lahirnya lakon-lakon wayang kulit yang mempresentasikan keagungan kekuasannya, lihatlah semisal Semar Mbabar Jati Diri. Kebudayaan menjadi ajang yang diperebutkan. Tak banyak janji manis yang digembar-gemborkan. Yang ada kemudian adalah kesungguhan dan bukti kapada publik, baik sebelum pesta demokrasi diberlangsungkan maupun sesudahnya. Sayang, para calon pemimpin masa kini cenderung instan dalam meraih hati simpatisan. Tak ada lagi proses dalam menyulut api budaya dengan menggerakkan motor-motor kesenian berbasis budaya. Yang terjadi kemudian panggung dangdut bertebaran. Selebrasi pesta politik diisi dengan goyangan, pamer paha dan dada.
Masyarakat berduyun-duyun datang. Bukan untuk menyaksikan wajah para calon pemimpin, ataupun mendengar orasi penting. Yang ada kemudian pemanjaan mata dan tubuh. Setelah pemilu usai dilangsungkan, tak ada lagi musik dan goyang. Kebudayaan dalam konteks ini hanya menjadi katalisator semata. Habis manis sepah tak lagi dikunyah. Kesenian haram untuk dijamah, tak lagi dibutuhkan. Lemahnya dalam memahami konsep kebudayaan menjadikan penguasa sebagai “pemimpin cepat saji”. Menyelesaikan segala persoalan dengan instan tanpa berfikir panjang untuk segala resiko dan kemungkinan dampak yang terjadi.

Kebudayaan
Masyarakat Jawa Tengah masih kuat dalam memegang habitus akar kebudayannya. Di sana-sini masih dijumpai ritus-ritus tradisi yang menghidupi ideologi si masyarakat pemilik. Oleh karena itu, memehami kebudayaan adalah tolok ukur objektif dalam melihat determinasi peradaban manusianya. Masyarakat tak melulu harus disuguhi dengan tontonan drama politik, namun juga hasil pengolahan kebudayaan yang baik. Menjaga antara satu etnis, agama dan golongan untuk hidup berdampingan secara harmonis. Pemimpin yang bijak adalah yang menghargai akan perbedaan itu. Bukan menjelek-jelekkan atau memihak salah satunya. Tentu kita masih ingat kala penguasa dengan gampangnya berujar bahwa Jaran Kepang adalah kesenian terjelek di dunia. Apapun alasannya, pernyataan itu tak dapat dibenarkan. Hal ini menunjukkan keroposnya konsep dalam memahami kebudayaan.
Citra pemimpin masa kini tak hanya dibangun dari penampilan namun juga pemikiran berbasis budaya. Lihatlah kala Soekarno melarang kebudayaan Barat masuk Indonesia. Atau Soeharto yang menggunakan wayang sebagai pencitraan atas sosoknya. Bahkan Gus Dur yang membebaskan kebudayaan Cina untuk menampakkan ujudnya kembali di nusantara secara bebas dan terbuka. Terlepas dari sisi negatif yang menyelimuti kebijakan para pemimpin besar itu. Namun satu hal yang dapat kita petik, bagaimana mereka memandang penting kekuatan budaya. Bagi mereka, kebudayaan bisa mengangkat derajad diri namun juga bisa menjatuhkan kekuasannya. Oleh karena itu, pemimpin terdahulu mahfum dalam menjaga dan mengendalikannya.
Pesta demokrasi Jawa Tengah sudah didepan mata. Masyarakat berhak memilih namun juga bernah menaruh sangkal dan curiga atas segala janji. Sejauh mana kita mengenal para calon itu, adalah sajuh mereka mencintai kebudayaan rakyat yang akan dipimpinnya. Tak ada hasil olah budaya yang jelak dan lebih baik. Semua setara, karena dibentuk dari karakter dan iklim yang berbeda sehingga mempresentasikan kekuatan dari masyarakat pemiliknya. Dengan mengetahui kesetaraan itu, tentu pemimpin akan bersikap bijak dan sama dalam memperlakukan rakyatnya. Selamat berpesta politik dan selamat menimbang, memilih dan akhirnya menentukan nasib.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut