Konsep Budaya
Calon Pemimpin Jawa Tengah
Jalan-jalan desa dan kota di Jawa Tengah
dihiasi dengan poster bergambar foto para calon gubernur. Di poster itu pelbagai
konsep, visi-misi para calon dituliskan. Masyarakat menjadi pembaca yang setia,
qatam akan janji politik dan mungkin juga kelak akan pengingkarannya. Jawa
Tengah memang sedang berpesta politik, Pemilukada di depan mata. Namun sudah
dapat ditebak, konsep kampanye para calon hanya berisi tentang tamsil puitik
politik dan ekonomi. Selebihnya, tak dijumpai goresan visi yang berbasis
budaya.
Merubah
Kilas Balik, dalam kampanyenya kala itu,
Gubernur Jakarta saat ini, Joko Widodo berjanji akan merubah wajah Jakarta
menjadi lebih bercitra Betawi. Beberapa kebijakan akan di buat, semisal
memunculkan icon Betawi di rumah,
mall dan pasar serta perkantoran. Pegawai Negeri Sipil (PNS) diwajibkan
berseragam Betawi pada hari-hari tertentu. Dan hal itu ia buktikan kala
terpilih. Jokowi memiliki visi budaya yang jelas dalam memoles wajah Jakarta
untuk kembali ke habitus akar tradisinya. Pertanyaannya kemudian sejauh mana
visi budaya yang ditorehkan para calon pemimpin tertinggi di Jawa Tengah?
Ingar-bingar pesta demokrasi hanya diisi
dengan ritus politik semata, mengabaikan selebrasi kebudayaan. Janji-janji
manis diucapkan seolah pertanda keberpihakan pada rakyat. Tak korupsi dan
memajukan perekonomian adalah tema yang senantiasa didengung-dengungkan.
Masyarakat tentu sudah mafhum tentang kata-kata yang puitis itu. Namun, tak ada
tolok ukur sejauh mana janji itu akan ditepati. Sementara di sisi lain, pelbagai
pengingkaran seringkali dilakukan. Tak sedikit pemimpin daerah yang terlibat
korupsi dengan pelbagai kasus yang menjeratnya. Oleh karena itu, janji-janji
manis yang terpajang di jalan raya itu kadang hanya menjadi teman pembacaan di
kala jenuh melakukan perjalanan.
Ironisnya, banyak dijumpai pemimpin masa
kini yang gegar budaya. Tak mengerti peta kondisi kultural rakyatnya. Otomatis,
dalam menyelesaikan persoalan senantiasa menggunakan tolok ukur politik bahkan hitung-hitungan
ekonomi. Kasus Ambon, Sampang, Mesuji misalnya, diselesaikan dengan perlawanan kekerasan,
perebutan aset terkait untung rugi. Sementara pemimpin jarang berfikir untuk
menyelesaikan persoalan yang bergejolak dengan pendekatan budaya, dengan dialog
atau silaturahmi kultural dan pranata sosial misal.
Akibatnya, budaya kekerasan sering kali
muncul dalam beberapa waktu terakhir. Terkait hal itu, Jokowi pernah
mengingatkan pentingnya visi kultural pemimpin. Kala ia menjabat Wali Kota
Solo, penggusuran pedagang pasar ia lakukan dengan konsep pawai budaya, bukan
dengan senjata. Para pedagang merasa tersanjung, dibanggakan dan dihargai.
Penggusuran berlangsung damai bahkan menjadi hiburan bagi masyarakat sekitar.
Konsep kultural menjadi keniscayaan yang harus dimiliki setiap pemimpin.
Kebudayaan menjadi dasar terbentuknya
manusia yang bermoral. Karenanya, dengan mengetahui kebudayaan masyarakat
tertentu maka kita akan mampu mengenali lebih dekat tentang karakter dan
stereotip yang dilekatkan. Kebudayaan menjadi falsafah penting dalam cara
memimpin. Ingatan kita masih hangat kala Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan
Manifes Kebudayaan (Manikebu) menjadi motor penggerak politik Indonesia kala
itu. Para pemimpin bangsa menyadari arti penting kebudayaan. Pendekatan budaya
mampu membujuk hati rakyat dalam ruang keberpihakan. Kesenian termasuk salah
satu hasil olah budaya yang sangat dimanfaatkan kehadirannya. Ludruk, Ketoprak,
Wayang Wong, Wayang, Sastra, Musik dan lain sebagainya mencoba untuk
direvitalisasi, dan diperpanjang denyut dan nafas hidupnya.
Seniman-seniman membuat karya unggulan
dalam “mengampayekan” calon penguasa. Kesenian menjadi medium efektif guna
menarik simpatisan. Bahkan Soeharto pernah menggagas lahirnya lakon-lakon
wayang kulit yang mempresentasikan keagungan kekuasannya, lihatlah semisal Semar Mbabar Jati Diri. Kebudayaan menjadi ajang yang
diperebutkan. Tak banyak janji manis yang digembar-gemborkan. Yang ada kemudian
adalah kesungguhan dan bukti kapada publik, baik sebelum pesta demokrasi
diberlangsungkan maupun sesudahnya. Sayang, para calon pemimpin masa kini
cenderung instan dalam meraih hati simpatisan. Tak ada lagi proses dalam
menyulut api budaya dengan menggerakkan motor-motor kesenian berbasis budaya.
Yang terjadi kemudian panggung dangdut bertebaran. Selebrasi pesta politik
diisi dengan goyangan, pamer paha dan dada.
Masyarakat berduyun-duyun datang. Bukan
untuk menyaksikan wajah para calon pemimpin, ataupun mendengar orasi penting.
Yang ada kemudian pemanjaan mata dan tubuh. Setelah pemilu usai dilangsungkan, tak
ada lagi musik dan goyang. Kebudayaan dalam konteks ini hanya menjadi
katalisator semata. Habis manis sepah tak lagi dikunyah. Kesenian haram untuk dijamah,
tak lagi dibutuhkan. Lemahnya dalam memahami konsep kebudayaan menjadikan
penguasa sebagai “pemimpin cepat saji”. Menyelesaikan segala persoalan dengan instan
tanpa berfikir panjang untuk segala resiko dan kemungkinan dampak yang terjadi.
Kebudayaan
Masyarakat Jawa Tengah masih kuat dalam
memegang habitus akar kebudayannya. Di sana-sini masih dijumpai ritus-ritus
tradisi yang menghidupi ideologi si masyarakat pemilik. Oleh karena itu,
memehami kebudayaan adalah tolok ukur objektif dalam melihat determinasi
peradaban manusianya. Masyarakat tak melulu harus disuguhi dengan tontonan
drama politik, namun juga hasil pengolahan kebudayaan yang baik. Menjaga antara
satu etnis, agama dan golongan untuk hidup berdampingan secara harmonis.
Pemimpin yang bijak adalah yang menghargai akan perbedaan itu. Bukan
menjelek-jelekkan atau memihak salah satunya. Tentu kita masih ingat kala
penguasa dengan gampangnya berujar bahwa Jaran Kepang adalah kesenian terjelek
di dunia. Apapun alasannya, pernyataan itu tak dapat dibenarkan. Hal ini
menunjukkan keroposnya konsep dalam memahami kebudayaan.
Citra pemimpin masa kini tak hanya dibangun
dari penampilan namun juga pemikiran berbasis budaya. Lihatlah kala Soekarno
melarang kebudayaan Barat masuk Indonesia. Atau Soeharto yang menggunakan
wayang sebagai pencitraan atas sosoknya. Bahkan Gus Dur yang membebaskan
kebudayaan Cina untuk menampakkan ujudnya kembali di nusantara secara bebas dan
terbuka. Terlepas dari sisi negatif yang menyelimuti kebijakan para pemimpin
besar itu. Namun satu hal yang dapat kita petik, bagaimana mereka memandang penting
kekuatan budaya. Bagi mereka, kebudayaan bisa mengangkat derajad diri namun
juga bisa menjatuhkan kekuasannya. Oleh karena itu, pemimpin terdahulu mahfum
dalam menjaga dan mengendalikannya.
Pesta demokrasi Jawa Tengah sudah
didepan mata. Masyarakat berhak memilih namun juga bernah menaruh sangkal dan
curiga atas segala janji. Sejauh mana kita mengenal para calon itu, adalah sajuh
mereka mencintai kebudayaan rakyat yang akan dipimpinnya. Tak ada hasil olah
budaya yang jelak dan lebih baik. Semua setara, karena dibentuk dari karakter
dan iklim yang berbeda sehingga mempresentasikan kekuatan dari masyarakat
pemiliknya. Dengan mengetahui kesetaraan itu, tentu pemimpin akan bersikap
bijak dan sama dalam memperlakukan rakyatnya. Selamat berpesta politik dan
selamat menimbang, memilih dan akhirnya menentukan nasib.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar