Robohnya Kampung Kita
Judul buku :
Kampung (Kota) Kita
Penyunting :
Akhmad Ramdhon
Penerbit : Elmatera
Yogyakarta
Cetakan :
April 2013
Tebal :
viii + 152 halaman
ISBN :
978-978-185-415-3
Pagar kini menghiasi rumah-rumah
di kampung. Pagar tak semata menjadi pembatas antara pemilik rumah dengan orang
lain. Namun, pagar telah menarasikan simbol kekayaan, kepemilikian, keangkuhan,
kesendirian dan keamanan. Kampung beranjak menyulap dirinya menjadi lebih
eksklusif. Mengakomodasi budaya kota yang konon disangka lebih maju dan modern.
Pagar itu kemudian meniadakan komunikasi, tegur sapa, silaturahmi atau sekedar
bincang-bincang gosip dengan tetangga sebelah rumah.
Buku berjudul Kampung (Kota) Kita yang disunting oleh Akhmad Ramdhon seolah
menjadi satir bagi kehidupan manusia Indonesia di abad ini, terutama bagi
mereka yang menyebut dirinya tinggal di kampung. Ruang-ruang sebagai medan interaksi
yang luas itu kini semakin sepi karena anak-anak telah larut dalam impian yang muluk
terhadap budaya kota. Kampung menjadi sunyi dari deru nyanyian anak-anak yang
bermain di malam hari. Tak ada lagi tembang-tembang malam pengantar tidur
dengan senandung Macapat, Sinom, ataupun
Dandanggula. Masyarakat kampung
menjadi penggemar setia teknologi, memelototi televisi, bersorak ria dengan playstation, bediam sendiri di kamar
dengan blackberry. Mereka menemukan
ruang ekstase dengan hanya duduk berjam-jam di hadapan alat canggih itu.
Waktu kemudian menjadi semakin
sempit. Masyarakat kampung memulai hidupnya dengan jadwal yang ketat. Skala
waktu menjadi daya ukur untuk melakoni hidup sehingga semua terasa
terburu-buru. Mendesak untuk segera melakukan apa yang harus dilakukan. Walaupun
mungkin hanya sekedar up date status facebook dan twitter, nonton
sinetron, gosip atau acara musik semata (hal. 7). Pagar pembatas rumah dan
aktivitas yang terhimpit waktu itu seolah menghadirkan diri sebagai sebuah
pribadi yang tunggal, tidak lagi jamak. Hal itu membentuk masyarakat kampung
menjadi individualis, tak ada lagi momen kebersamaan. Akibatnya, konflik yang
bertebaran tak bisa diselesaikan dengan musyawarah atau dialog mufakat karena
tak lagi saling mengenal satu dengan yang lain. Kekerasan menjadi solusi yang
paling ideal. Masyarakat senantiasa terancam kehidupannya. Pagar-pagar rumah
semakin dipertebal dan ditinggikan, cctv
dipasang disegala sudut, menyisakan ruang konflik yang penuh dengan semangat
duel dan tak memberi kesempatan orang lain untuk menengahi.
Buku yang diabadikan dari hasil
kuliah kerja lapangan mahasiswa Sosiologi Perkotaan Universitas Sebelas Maret
Surakarta (UNS) ini memberikan semangat baru bagi kaum muda masa kini. Lewat
kata pengantar, disebutkan bahwa agenda menulis dan mendokumentasikan kampung
oleh anak-anak muda menjadi penting guna meraba-raba kembali identitas mereka
secara mental, psikis maupun ruang (hal.iv). Harapannya bisa mengobati amnesia
dan keterasingan anak-anak muda masa kini dari asal-usulnya (kampung). Hal itu
menjadi penting untuk membawa kembali memori dan imajinasi mereka akan
kehidupan yang berbasis kampung yang sesungguhnya.
Telisik Kampung
Buku ini terdiri dari delapan
bab. Hampir ke semua bab memetakan dengan detail kampung-kampung yang ada di
Surakarta, di antaranya Jetis, Gremet, Jogopanjaran, Kratonan, Nayu Jenglik, Sangkrah
dan Suromulyo. Setiap unsur kampung mencoba didokumentasikan. Mulai dari asal-usul
nama, arsitektur, karangtaruna, ritus, yayasan, kegiatan warga hingga pelbagai
mitos yang menyelimuti. Dokumentasi itu dilakukan sebagai bagian dari upaya
menyelamatkan sejarah kampung. Tak dipungkiri memang, saat ini tak banyak yang
bisa kita lakukan untuk menelisik terbentuknya sebuah kampung. Serbuan budaya
populer merubah wajah kampung masa kini untuk menuruti impian akan imajinasi
budaya kota.
Sementara di satu sisi, nama
kampung diperjuangkan tiada habis. Pertikaian atas nama kampung banyak digelar.
Merasa kampung yang didiaminya lebih baik dan kuat daripada kampung lainnya.
Tapi di sisi lain, manusia kampung masa kini tak menyadari bahwa kampung yang
dibela dengan bertaruh nyawa itu kini sejatinya tak lagi bisa disebut kampung.
Memori kampung hanya terhenti dalam takaran nama. Sementara dalam takaran fisik
dan pemaknaannya telah mengalami kebangkrutan. Karenanya, sulit dibedakan
dengan jelas, mana yang kampung dan mana yang kota. Semua manjadi samar, karena
dibangun dari impian dan imajinasi yang hampir sama.
Uniknya, dalam buku setebal 152
halaman ini juga memuat berbagai harapan mahasiswa untuk disematkan pada
kampung-kampung yang menjadi sasaran penelitian mereka. Di Kampung Kratonan
misalnya, ada kontradiksi yang terjadi. Pada zaman dahulu warganya hidup dengan
damai, gotong royong dan kebersamaan menjadi hal yang tak pernah ditinggalkan.
Namun untuk saat ini, hal itu sudah jarang sekali dijumpai. Di ending
pembahasan, mahasiswa menyelipkan secuil harapan agar masyarakat Kampung
Kratonan tetap menjaga sikap kekeluargaan di tengah-tengah perkembangan zaman
yang menjadikan manusia lebih individualis (hal. 88). Menghindari konflik
internal antar penghuni kampung dengan menumbuhkan sikap saling mengenal dan
menghargai.
Satu kampung diulas secara
mendalam oleh tujuh sampai delapan mahasiswa. Dengan mengetahui harapan-harapan
mereka, seolah mengguratkan pesan kepedulian dan kecintaan segelintir generasi
muda masa kini terhadap kampung. Hal ini sekaligus mendekonstruksi anggapan bahwa
generasi muda kita telah abai pada habitus tradisi dan budaya. Kampung
bagaimanapun juga telah mampu mencerminkan siapa kita sejatinya. Dari kampung
manusia dibentuk. Kampung adalah jagat kecil yang mampu mempresentasikan jagat
besar (makro).
Imajinasi tentang kampung tak
hanya hidup dalam ruang kebendaannya secara fisik, namun juga pemaknaan.
Memaknai kampung tentu tak melulu harus berupa rumah pedesaan yang berjejer
rapi, ada gunung nampak dari kejauhan, di sekelilingnya mengalir air sungai
yang jernih, ada kerbau di sawah yang sedang digembala oleh seorang anak. Namun,
kampung juga menjadi pola pikir. Terkait dengan azas kekeluargaan, kebersamaan,
saling menghargai, kerjabakti, tegur sapa, dan gotong royong dalam memecahkan
suatu masalah. Sayangnya, kampung sebagai pola pikir semakin tak dapat dijumpai
lagi. Akibatnya, kampung hanya menjadi bahan olok-olok, lelucon dan sindiran
dengan memelintirnya menjadi “kampungan”, yang menarasikan kekunoan, kolot,
katrok dan basi.
Buku Kampung (Kota) Kita kemudian menjadi cermin bagi manusia masa kini
dalam melihat, mengukur, merawat dan memperlakukan kampung yang dimilikinya. Ke
depan, buku ini dapat menjadi pijakan awal dalam menuliskan sejarah dan
jejak-jejak kampung lain di Indonesia untuk dapat diceritakan pada anak dan
cucu kelak. Dengan demikian, tulislah kampung anda segera, agar tak hilang
tertelan waktu!
Aris
Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar