Menelusuri Budaya Jakarta
Bulan
ini sakral bagi Jakarta. Ibu kota negara Indonesia itu berulang tahun
ke-486 pada 22 Juni. Namun, tak banyak yang mengetahui sejarah usia kota
yang boleh dibilang tak muda lagi ini.
Membicarakan ulang tahun
Kota Jakarta berarti membuka lembaran jejak-jejak sejarah. Jakarta
telah berlari begitu kencang, menjadi kota maju dan gemerlap. Segala
pergulatan hidup ada, dari pejabat, pedagang, politisi, pengemis,
pedagang asongan, hingga bandar narkoba. Jakarta menjadi lahan empuk
dalam ambisi meraih untung dan pamrih.
Jakarta telah melalui berbagai tahap dan pergulatan panjang. Dikisahkan Rushdy Hoesein lewat bukunya, Sejarah Hari Lahirnya Kota Jakarta
(2011), penjajah Belanda datang ke Jayakarta pada abad XVI yang
sebelumnya menjadi bagian dari Kerajaan Pajajaran. Belanda berhasil
menduduki Jayakarta yang kala itu dipimpin Pangeran Jayakarta. Setelah
itu, Belanda mengganti nama Jayakarta dengan sebutan Batavia pada tahun
1905.
Singkat cerita, setelah Jepang berhasil memukul mundur
Belanda, Batavia diganti menjadi Djakarta yang saat ini lebih dikenal
dengan Jakarta (1942). Uniknya, sejarah berdirinya Jakarta tak dapat
dipisahkan dengan keberadaan Sungai Ciliwung. Jakarta pertama kali
dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda (Pajajaran) bernama
Sunda Kelapa yang bermuara di Sungai Ciliwung. Kapal-kapal asing hilir
mudik untuk melakukan perdagangan dan misi lainnya. Sunda Kelapa menjadi
daerah yang maju, baik dari ekonomi maupun peradabannya.
Otomatis,
membicarakan Jakarta berarti menelisik tentang Sungai Ciliwung. Setelah
Indonesia merdeka, Jakarta menjadi pusat pemerintahan. Segala tentang
Jakarta seolah-olah mampu mewakili denyut hidup negeri ini. Derita
Jakarta menjadi ironi nasional. Banjir yang menghampiri Ibu Kota,
misalnya, seolah-olah menjadi bencana nasional. Jakarta menjadi tolok
ukur dalam melihat Indonesia.
Muara segala hiburan dan pusat
pemerintahan ada di dalamnya. Jakarta sebagai kota metropolitan ditandai
gedung-gedung pencakar langit. Jakarta menjadi etalase kebudayaan.
Berbagai "pajangan" suku, etnis, dan golongan berdiam. Dia menjelma
sebagai kota megah dan gemerlap. Kota pujaan yang menjanjikan
tercapainya segala mimpi. Iklimnya kemudian menjadi "kota investasi".
Melihat masa kini, jangan lagi membicarakan sejarah perjuangan dan
kebudayaan tradisi, tapi hanya sebagai pusat rujukan dalam mengeruk
pamrih, pundi-pundi materi dan keuntungan. Daerah yang sesak manusia
bersaing untuk menyambung hidup dalam perebutan nasi dan kuasa ekonomi.
Datang
ke Jakarta berarti menziarahi kota pelancongan, kota yang telah
bertansformasi, namun tak diimbangi dengan kekuatan dan ketahanan
habitus akar tradisi kebudayaannya. Adab kultural di kota metropolis
sedikit demi sedikit mengalami kebangkrutan, tergilas bisingnya
perdebatan wacana ekonomi, politik,dan hukum.
Simbol-simbol
perjuangan yang terbangun dalam upaya menautkan masyarakat dengan
konstelasi jejak sejarahnya hanya menjadi pajangan binis. Monumen
Nasional (Monas), misalnya, bukan lagi sebuah ritus telisik sejarah,
namun wahana pariwisata, tempat para pemuda-pemudi menjalin kasih ria di
sekitarnya. Datang ke Monas tak lagi mampu menyemai deru air mata dalam
mengenal jejak perjuangan masa silam, tapi tawa dan canda yang
diabadikan dalam setiap jepretan lensa kamera.
Ciliwung
Sungai
Ciliwung kini sesak dengan sampah. Airnya tak lagi bening, tetapi keruh
dan bau. Telisik kejayaan Jakarta sebagai kota perdagangan masa lampau
tak mampu dirasakan lagi lewat kali itu. Manusianya lebih suka melihat
kekumuhan daripada kekuatan (sejarah) yang terkandung di aliran
Ciliwung, yang kala hujan menghasilkan tradisi banjir dan penyakit.
Ciliwung menjadi saksi bisu tentang kelahiran Jakarta. Masyarakat lebih
suka menziarahi mal, panggung musik,ramainya bazar dan festival
dibanding membuncahkan rasa keprihatinan terhadap kondisi "monumen"
penting itu.
Ekspektasi Jakarta sebagai kota yang menghargai
sejarah semakin tak terlihat kala kota itu kini tak mampu menghidupi
kekuatan akar tradisinya. Gambang kromong tak mampu menyapa
masyarakatnya dengan lebih terbuka. Mereka lebih menyambut jenis musik
baru dengan ujudnya yang lebih populis. Mencari kelompok gambang kromong
di Jakarta sangat sulit. Ondel-ondel juga tak lagi hangat menyapa.
Hadir semata demi kebutuhan citra di layar kaca dan di berbagai festival
hiburan. Kebudayaan tradisi semakin terlupakan. Sejarah Jakarta telah
beralih menjadi jejak cerita tentang kekuatan ekonomi dan ritus politik.
Kebudayaan tradisi Jakarta dianggap tak lagi prospektif,
apalagi menguntungkan. Wajar jika masyarakat dan pemudanya seolah-olah
gegar budaya dan sejarah. Semangat hari ulang tahun semata-mata menjadi
acara seremonial, hanya berpesta penuh tawa. Ulang tahun menjadi satire
bagi manusia adab XXI karena hari lahir tak lagi menjadi ruang
kontemplasi dan berkaca diri untuk meniti hidup dengan lebih baik. Bekal
pengalaman dan sejarah terlupakan, menjadi sekadar mitos, tertimbun
berbagai kepentingan yang dianggap lebih menjanjikan.
Setiap
Juni, ucapan selamat berdatangan. Wajah kota dihias pernak-pernik lampu.
Jalan-jalan diramaikan dengan berbagai pawai. Mal dan pusat
perbelanjaan bergairah dengan menggelar berbagai festival bertajuk
kelahiran. Masyarakat disibukkan dengan berbagai menu pilihan hiburan
agar warga makin komsumtif.
Ulang tahun Jakarta berisi tumpukan
diskon serta ajang pamer barang dagangan. Pemanjaan sejatinya telah
berlangsung. Di sisi lain, banyak penduduk yang tak mampu menuruti laju
kota yang demikian pesat. Mereka menjadi pribadi yang tersisihkan,
berdiam di bantaran sungai yang kumuh. Kriminalitas menjadi pilihan
utama dalam mencukupi kebutuhan hidup. Kekerasan adalah pemandangan yang
lazim.
Jakarta menyulap dirinya sebagai medan pertempuran antar
kampung, suku, ras dan golongan. Dia tiada habis diberitakan. Hampir 90
persen berita televisi dan media cetak diisi dengan kehadiran Jakarta.
Dari masalah paling sepele hingga besar tak luput dari jepretan lensa
kameranya. Selebihnya, kota-kota di Indonesia seolah menjadi pelengkap
dalam mengukuhkan supremasi metro.
Ulang tahun adalah pesta
Indonesia. Karena itu, wajar jika kemudian secuil harapan muncul agar
Ibu Kota mampu menampilkan wajah Nusantara atau setidaknya kejakartaan
yang selazimnya, dengan menggali kekuatan budaya dan tradisinya yang
telah lama hilang, kalau tak boleh dikata telah mati. Akhirnya, semoga
tak sekadar menjadi kota ajang pertaruhan bisnis, namun juga kembali
menghadirkan kekuatan habitus akar sejarah dan tradisinya.
Oleh Aris Setiawan
Penulis mengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta