Menelusuri Budaya Jakarta (dimuat di Koran Jakarta edisi 26 Juni 2013)

Menelusuri Budaya Jakarta




Bulan ini sakral bagi Jakarta. Ibu kota negara Indonesia itu berulang tahun ke-486 pada 22 Juni. Namun, tak banyak yang mengetahui sejarah usia kota yang boleh dibilang tak muda lagi ini.
Membicarakan ulang tahun Kota Jakarta berarti membuka lembaran jejak-jejak sejarah. Jakarta telah berlari begitu kencang, menjadi kota maju dan gemerlap. Segala pergulatan hidup ada, dari pejabat, pedagang, politisi, pengemis, pedagang asongan, hingga bandar narkoba. Jakarta menjadi lahan empuk dalam ambisi meraih untung dan pamrih.
Jakarta telah melalui berbagai tahap dan pergulatan panjang. Dikisahkan Rushdy Hoesein lewat bukunya, Sejarah Hari Lahirnya Kota Jakarta (2011), penjajah Belanda datang ke Jayakarta pada abad XVI yang sebelumnya menjadi bagian dari Kerajaan Pajajaran. Belanda berhasil menduduki Jayakarta yang kala itu dipimpin Pangeran Jayakarta. Setelah itu, Belanda mengganti nama Jayakarta dengan sebutan Batavia pada tahun 1905.
Singkat cerita, setelah Jepang berhasil memukul mundur Belanda, Batavia diganti menjadi Djakarta yang saat ini lebih dikenal dengan Jakarta (1942). Uniknya, sejarah berdirinya Jakarta tak dapat dipisahkan dengan keberadaan Sungai Ciliwung. Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda (Pajajaran) bernama Sunda Kelapa yang bermuara di Sungai Ciliwung. Kapal-kapal asing hilir mudik untuk melakukan perdagangan dan misi lainnya. Sunda Kelapa menjadi daerah yang maju, baik dari ekonomi maupun peradabannya.
Otomatis, membicarakan Jakarta berarti menelisik tentang Sungai Ciliwung. Setelah Indonesia merdeka, Jakarta menjadi pusat pemerintahan. Segala tentang Jakarta seolah-olah mampu mewakili denyut hidup negeri ini. Derita Jakarta menjadi ironi nasional. Banjir yang menghampiri Ibu Kota, misalnya, seolah-olah menjadi bencana nasional. Jakarta menjadi tolok ukur dalam melihat Indonesia.
Muara segala hiburan dan pusat pemerintahan ada di dalamnya. Jakarta sebagai kota metropolitan ditandai gedung-gedung pencakar langit. Jakarta menjadi etalase kebudayaan. Berbagai "pajangan" suku, etnis, dan golongan berdiam. Dia menjelma sebagai kota megah dan gemerlap. Kota pujaan yang menjanjikan tercapainya segala mimpi. Iklimnya kemudian menjadi "kota investasi". Melihat masa kini, jangan lagi membicarakan sejarah perjuangan dan kebudayaan tradisi, tapi hanya sebagai pusat rujukan dalam mengeruk pamrih, pundi-pundi materi dan keuntungan. Daerah yang sesak manusia bersaing untuk menyambung hidup dalam perebutan nasi dan kuasa ekonomi.
Datang ke Jakarta berarti menziarahi kota pelancongan, kota yang telah bertansformasi, namun tak diimbangi dengan kekuatan dan ketahanan habitus akar tradisi kebudayaannya. Adab kultural di kota metropolis sedikit demi sedikit mengalami kebangkrutan, tergilas bisingnya perdebatan wacana ekonomi, politik,dan hukum.
Simbol-simbol perjuangan yang terbangun dalam upaya menautkan masyarakat dengan konstelasi jejak sejarahnya hanya menjadi pajangan binis. Monumen Nasional (Monas), misalnya, bukan lagi sebuah ritus telisik sejarah, namun wahana pariwisata, tempat para pemuda-pemudi menjalin kasih ria di sekitarnya. Datang ke Monas tak lagi mampu menyemai deru air mata dalam mengenal jejak perjuangan masa silam, tapi tawa dan canda yang diabadikan dalam setiap jepretan lensa kamera.
Ciliwung
Sungai Ciliwung kini sesak dengan sampah. Airnya tak lagi bening, tetapi keruh dan bau. Telisik kejayaan Jakarta sebagai kota perdagangan masa lampau tak mampu dirasakan lagi lewat kali itu. Manusianya lebih suka melihat kekumuhan daripada kekuatan (sejarah) yang terkandung di aliran Ciliwung, yang kala hujan menghasilkan tradisi banjir dan penyakit. Ciliwung menjadi saksi bisu tentang kelahiran Jakarta. Masyarakat lebih suka menziarahi mal, panggung musik,ramainya bazar dan festival dibanding membuncahkan rasa keprihatinan terhadap kondisi "monumen" penting itu.
Ekspektasi Jakarta sebagai kota yang menghargai sejarah semakin tak terlihat kala kota itu kini tak mampu menghidupi kekuatan akar tradisinya. Gambang kromong tak mampu menyapa masyarakatnya dengan lebih terbuka. Mereka lebih menyambut jenis musik baru dengan ujudnya yang lebih populis. Mencari kelompok gambang kromong di Jakarta sangat sulit. Ondel-ondel juga tak lagi hangat menyapa. Hadir semata demi kebutuhan citra di layar kaca dan di berbagai festival hiburan. Kebudayaan tradisi semakin terlupakan. Sejarah Jakarta telah beralih menjadi jejak cerita tentang kekuatan ekonomi dan ritus politik.
Kebudayaan tradisi Jakarta dianggap tak lagi prospektif, apalagi menguntungkan. Wajar jika masyarakat dan pemudanya seolah-olah gegar budaya dan sejarah. Semangat hari ulang tahun semata-mata menjadi acara seremonial, hanya berpesta penuh tawa. Ulang tahun menjadi satire bagi manusia adab XXI karena hari lahir tak lagi menjadi ruang kontemplasi dan berkaca diri untuk meniti hidup dengan lebih baik. Bekal pengalaman dan sejarah terlupakan, menjadi sekadar mitos, tertimbun berbagai kepentingan yang dianggap lebih menjanjikan.
Setiap Juni, ucapan selamat berdatangan. Wajah kota dihias pernak-pernik lampu. Jalan-jalan diramaikan dengan berbagai pawai. Mal dan pusat perbelanjaan bergairah dengan menggelar berbagai festival bertajuk kelahiran. Masyarakat disibukkan dengan berbagai menu pilihan hiburan agar warga makin komsumtif.
Ulang tahun Jakarta berisi tumpukan diskon serta ajang pamer barang dagangan. Pemanjaan sejatinya telah berlangsung. Di sisi lain, banyak penduduk yang tak mampu menuruti laju kota yang demikian pesat. Mereka menjadi pribadi yang tersisihkan, berdiam di bantaran sungai yang kumuh. Kriminalitas menjadi pilihan utama dalam mencukupi kebutuhan hidup. Kekerasan adalah pemandangan yang lazim.
Jakarta menyulap dirinya sebagai medan pertempuran antar kampung, suku, ras dan golongan. Dia tiada habis diberitakan. Hampir 90 persen berita televisi dan media cetak diisi dengan kehadiran Jakarta. Dari masalah paling sepele hingga besar tak luput dari jepretan lensa kameranya. Selebihnya, kota-kota di Indonesia seolah menjadi pelengkap dalam mengukuhkan supremasi metro.
Ulang tahun adalah pesta Indonesia. Karena itu, wajar jika kemudian secuil harapan muncul agar Ibu Kota mampu menampilkan wajah Nusantara atau setidaknya kejakartaan yang selazimnya, dengan menggali kekuatan budaya dan tradisinya yang telah lama hilang, kalau tak boleh dikata telah mati. Akhirnya, semoga tak sekadar menjadi kota ajang pertaruhan bisnis, namun juga kembali menghadirkan kekuatan habitus akar sejarah dan tradisinya. 

Oleh Aris Setiawan
Penulis mengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Sejarah, Sinetron dan Visualisasinya (dimuat di Koran Joglosemar edisi 20 Juni 2013)



Sejarah, Sinetron dan Visualisasinya



Akhir-akhir ini, banyak sinetron kolosal bermunculan di layar kaca dengan mengambil tema kisah sejarah pendiri nusantara. Sebut saja misalnya Gajah Mada, Ken Arok, Rangga Lawe, Samber Nyawa (Karebet) dan lain sebagainya. Namun sayang, penggambaran ulang tersebut tak disertai dengan jelajah data yang komprehensif. Semata hanya mengejar rating, meraih ambisi penuh pamrih dari keuntungan iklan. Akibatnya, tak hanya jalannya cerita yang melenceng, tapi muncul juga tokoh-tokoh baru yang sebelumnya tidak ada dalam laku sejarah. Bagaimana kemudian mendudukkan sinetron sebagai fiksi sejarah dan realitas sejarah? Serta bagaimana kita memaknai kembali kehadiran sejarah versi baru itu dalam narasi visual yang berbeda?

(tak) Kreatif
Dikisahkan, Ken Arok sebelum menjadi raja besar pendiri Majapahit adalah seorang perampok yang kejam dan keras. Tiba-tiba saja ia naik Harley Davidson, kebut-kebutan di jalan raya. Memalak para pedagang di pasar dan terminal. Penampilan macho, memakai jeans, kacamata hitam, berjenggot namun lusuh tak terawat. Penggambaran semacam itu lazim kita jumpai di layar kaca. Cerita masa lampau yang mencoba dikontekstualisasikan dengan keadaan zaman di masa kini. Tak salah memang, karena tujuannya sederhana, membuatnya lebih segar, agar digemari oleh generasi muda yang semakin abai sejarah. Namun sayang, tampilan dan visualisasi baru justru semakin terasa naif. Diadakan bukan sebagai katalisator yang mempertautkan kisah dan benang sejarah dengan manusia masa kini, namun sebagai ajang pertaruhan bisnis.
Cerita besar yang pernah terjadi di masa silam seolah menjadi aset berupa lukisan sanggit cerita yang menggiurkan oleh seniman-seniman masa kini. Sayangnya, banyak yang tak disertai dengan eksplorasi sisi kreatif, cenderung dangkal. Akibatnya, keagungan tokoh tak mampu terwacanakan dengan baik, bahkan terkesan banal dan mengada-ada. Jangan heran kemudian jika Ken Arok naik motor gede atau Gajah Mada kecil berpakaian serba mewah dan mencolok. Wilayah abu-abu yang selama ini tak jelas dengan mudah dapat kita lihat. Kitapun seolah menjadi mafhum siapa bapak dan ibu Gajah Mada, bagaimana asesoris, siapa gurunya, bahkan siapa kekasihnya. Tokoh-tokoh baru dibuat untuk mengisi kekosongan wilayah yang tak terjamah sejarah. Tapi sayang, tak diimbangi dengan penelitian apalagi dengan mengkaji data dan sumber secara relevan.
Pada titik inilah pedebatan dapat digulirkan, terkait sinetron sebagai sebuah karya seni  ataukah sebagai karya pelukisan sejarah. Para pembuat film itu dengan mudah berapologi bahwa karya sinetron adalah karya kreatif (fiksi) yang mampu memenuhi segala hasrat dan imajinasi dari sutradaranya. Ia bisa menciptakan tokoh apapun sejauh dikehendaki dan selama masyarakat menyukai. Hal yang sama juga terjadi di dunia sastra atau novel bergenre sejarah. Imajinasi seorang sastrawan dapat dituangkan dengan bebas. Sebagai sebuah karya fiksi, batas-batas logika dan kebenaran sebagai sebuah peristiwa kadang sengaja dikaburkan. Akibatnya, tak sedikit masyarakat yang membaca ataupun melihat telah menganggapnya sebagai kebenaran tunggal.
Di satu sisi, karya-karya penelitian sejarah selama ini justru beku dalam perpustakaan. Tak mampu dengan cair menyapa masyarakat karena berbagai faktor. Kaidah penulisan ilmiah misalnya, selama ini dianggap kaku dengan gaya bahasanya yang njimet dan tak mudah difahami. Sementara masyarakat dan generasi muda membutuhkan informasi yang lebih komunikatif. Para sejarawan tak memiliki kuasa dan kemampuan dalam gaya tutur populis. Di sisi lain, orang-orang yang terlibat di dunia media justru memiliki kompentensi itu, namun tak memiliki data yang digenggam kaum sejarawan. Idealnya, sejarawan dan kaum media dapat bersinergi untuk menampilan babak kisah yang relevan, tidak menyimpang dan lebih penting lagi mencerdaskan publik.
Media memiliki peranan besar terkait misi yang terakhir itu. Bagaimana tidak, sejarah nusantara sebagai sebuah ilmu pengetahuan selama ini justru membatu dan “terpeti-es-kan” dalam ruang-ruang pendidikan. Dianggap sebagai bahan yang semata untuk dihafal dan dilupakan setelah selesai ujian. Sejarah tak mampu terjembatani dengan baik, apalagi menjadi pelajaran idola. Sejarah tak lagi bisa didongengkan. Media massa (cetak maupun elektronik) harusnya mampu mengambil kesempatan ini untuk kembali menarasikan fakta-fakta sejarah dengan lebih familer, karena prinsip media adalah kreatif dan komunikatif. Otomatis, dengan menonton sinetron yang dilengkapi kajian sejarah mendalam hasil penelitian dari sejarawan, maka akan mampu menghasilkan tontonan sekaligus tuntunan yang bermanfaat dan lebih utama lagi menghibur. Pada konteks itu, media mengisi kebuntuan sejarah di bangku-bangku pendidikan kita.

Kekuasaan
Di manapun itu, cerita sejarah seolah hanya menarasikan tentang kekuasaan, kekuasaan dan kekuasaan. Tak lebih dari itu. Kisah hanya diisi dengan penaklukan, kesaktian, kekerasan dan perang. Karenanya, efek sinetron dalam layar kaca menjadi dibesar-besarkan. Berbagai jurus ilmu dikeluarkan. Lebih penting semua pemerannya haruslah cakep, ganteng dan cantik. Tak ada telusur penelitian otentik tentang bagaimana kostum yang dipakai, musik yang berkembang kala tokoh itu hidup, dan situasi sosialnya. Semua seolah dianggap sebagai aspek pendukung yang tak penting untuk dihadirkan. Jangan kaget jika melihat sinetron Gajah Mada terdapat musik India, memakai sandal gunung dan rumahnya dari tembok berbeton.
Lihatlah kemudian film Kingdom of Heaven, 300, Troy, The Last Samuray, Cut Nyak Dien, Soe Hok Gie¸ Habibie Aniun, Iron Lady, dan yang terbaru Sang Kiai yang digarap dengan begitu detail. Kita bisa melihat bagaimana realitas kostum, musik, dan lingkungan sosial yang begitu penting untuk dipertimbangkan sesuai dengan kenyataan yang terjadi kala peristiwa itu berlangsung. Sejarah terkomunikasikan dengan sempurna. Melihatnya membuat kita banjir air mata, merinding bahkan kadang tertawa terbahak-bahak. Yang dikejar tak semata orientasi uang, namun meninggalkan kesan untuk direnungkan kembali.
Sejarah bukanlah masa lalu yang beku. Lewat media (termasuk sinteron) senantiasa dapat menjadi sesuatu yang baru. Batas-batas logika tentunya harus tetap dijaga agar tidak mengacak-acak realita. Hal itu tak dapat kita lihat dalam tontonan sinetron-sinetron yang mengambil ruang sejarah di Indonesia mutakhir. Secara tak langsung, sebenarnya pembodohan masal sedang diberlangsungkan. Dan apabila dibiarkan terus-menerus, maka tak menutup kemungkinan hal yang fiktif itu menjadi kebenaran tunggal, menutup peristiwa sejarah yang senyatanya terjadi.
Kepedulian dalam merawat sejarah harusnya menjadi tugas siapapun, tak terkecuali para pelaku dunia film dan persinetronan. Jangan hanya karena keuntungan yang tak seberapa, maka mengorbankan segalanya. Di sinilah fungsi Komisi Penyiaran Indonesia menjadi penting, yang harusnya tak hanya mensensor adegan panas, mengkaburkan gambar rokok, atau hal-hal berbau fisik semata. Namun dapat mengontrol keabsahan data bagi pertunjukan film dan sinetron yang beraroma sejarah. Tentunya, hal itu jangan dianggap sebagai pembatasan atas kreativitas. Namun sebagai upaya dalam misi pendidikan publik. Kita lihat saja, sejauh mana efek yang akan ditimbulkan dari sinetron-sinetron kolosal beraroma pengingkaran data sejarah itu? Atau sepandai apa para guru sejarah menjawab pelbagai pertanyaan dari muridnya yang semalam menonton sinetron itu?

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

ISI Mencari Pemimpin (Ber)ISI (dimuat di Koran Joglosemar 11 Juni 2013)

ISI Mencari Pemimpin (Ber)ISI



Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta akan memiliki hajad besar, melaksanakan pemilihan rektor baru. Bulan ini membawa titik penting bagi satu-satunya kampus seni negeri di Jawa Tengah itu ke depan. Banyak harapan yang disematkan, cita-cita diguratkan, membawa kampus itu untuk semakin maju dan menjadi poros rujukan dalam berkesenian juga ilmu pengetahuan. Sementara itu, enam calon telah telah dipersiapkan. Mereka adalah Prof. Dr. Sri RochanaDr. Sutarno Haryono, Dr. Guntur, Prof. Dr. Pande Made, Dr. Suyanto dan Dr. I Nyoman Murtana. Mendekati hari pemilihan (11 Juni 2013), pelbagai isu dihembuskan, dari yang berbau logika hingga yang transendental. Persoalannya kemudian, sejauh mana ISI selama ini telah berproses? Di mana letak titik kurang? Sehingga menjadi penting sebagai bahan catatan dan wahana perbaikan diri ke depan.

Detak Sejarah
Sejarah berdirinya ISI Surakarta tak dapat dilepaskan dari sosok Gendhon Humardani (1923-1983). Ia adalah ketua Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) tahun 1970 dan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta. Ia tak semata pendiri ISI namun telah menjadi “roh” kehidupan kreativitas dan keilmuan di kampus itu hingga kini. Jejak sejarah membuktikan, bahwa Gendhon adalah pemimpin yang keras namun tegas. Dikisahkan oleh Rustopo lewat bukunya Gendhon Humardani Sang Gladiator (2001), Gendhon membangun ASKI (cikal bakal ISI) dengan semangat yang berkobar. Jam empat pagi, para penari dibangunkan untuk mengikuti proses “injeksi tubuh”, mengandalkan kekuatan fisik berlari mengitari pendopo Sasonomulyo. Para pengrawit harus berlatih menabuh gamelan dari sore hingga larut malam, bahkan tak jarang hingga pagi. Ia tidak mentolelir sedikitpun kesalahan, dan akan sangat marah jika ada mahasiswa yang terlambat apalagi tidak serius dalam berlatih. Ungkapan kata-kata kasarnya sudah menjadi makanan sehari-hari.
Darinya, ASKI menjadi kampus yang disegani, pusat segala kreativitas penciptaan seni. Gendhon meninggal dunia di tahun 1983. Dengan demikian, tahun ini genap 30 tahun ia pergi. Setelahnya, silih berganti tokoh memimpin ASKI yang kemudian bermetamorfosis menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) tahun 1986 dan Institut Seni Indonesia (ISI) di tahun 2007. Dalam laku dan proses perubahan status, dapat dipetakan segala babak kekuatan yang melekat di kampus itu. STSI masih mencoba melanjutkan visi ASKI yang berupaya menjadi pusat unggulan kekaryaan seni di nusantara. Sementara ISI menambahkan babak baru terkait pengembangan intelektualitas dan keilmuannya.
Babak terakhir menjadi penting mengingat saat ini dunia seni telah berlari begitu kencang dalam proses penciptaan atau kekaryaan namun miskin dalam konteks kajian dan penelitian. Yang lebih memprihatinkan, kesenian belum mampu menjadi ruang ilmu (subjek) bagi dirinya sendiri. Kesenian hanya menjadi objek pelengkap dalam pelbagai penelitian sosial. Lihatlah kemudian mahasiswa manajeman yang mengambil seni atau kelompok seni sebagai ruang pelengkap kajian (misal, manajemen pada seni A, B dan lainnya). Mahasiswa sosiologi dan antropologi yang mengambil kesenian sebagai data penunjang keabsahan bagi teori yang dimiliki (misal, fungsi kesenian A, B atau lainnya). Selebihnya, sangat jarang mengkaji kesenian dalam perspektif kesenian itu sendiri, semisal esetika, garap, gerak dan artistika. Akibatnya, teori-teori seni tidak tumbuh dalam tubuh seni (mempribadi), namun jamak dan berserakan di mana-mana.
Dengan demikian menjadi penting kiranya jika ISI mengambil peran itu. Mampu mengkaji seni dalam kacamata seni, bukan yang lain. Otomatis, tak hanya olah praktik dan ketubuhan saja yang dianggap penting untuk menjadi seniman terampil. Namun juga mampu mencetak ilmuwan (kritikus) seni yang tangguh dalam jelajah intelejensia dan pemikiran. Walaupun jujur diakui, ISI masih tertatih-tatih dalam mengejar impian itu. Padahal segenap perubahan telah diberlangsungkan. Mulai dari memperbanyak ruang-ruang penelitian, hingga mendorong publikasi hasil pemikiran lewat jurnal-jurnal ilmiah nasional maupun internasional. Namun demikian, perkembangan yang pesat itu bukannya tanpa cacat dan kurang. Di sana-sini masih dijumpai lubang yang harus diperbaiki, di antaranya, hingga detik ini kampus seni rujukan mahasiswa asing itu belum mampu melahirkan kritikus seni yang ulung. Bahkan terkesan abai pada media dan gagap terhadap masukan atau koreksi yang muncul dari masyarakat atas dirinya.

Keseimbangan
Dalam beberapa waktu belakangan, muncul pelbagai kritik dan pandangan miring dari masyarakat (bahkan mungkin juga dari orang dalam) yang termuat di media. Mulai dari para pengajar di jurusan tertentu yang dianggap kurang begitu kompeten, hingga penciptaan karya seni baru dari para dosen yang cenderung dangkal makna. Di satu sisi, semua kritikan itu dianggap sebagai cambuk yang menjadi koreksi bagi kebaikan kampus ke depan. Namun di sisi lain, kritikan yang ada kadang tak logis, tak berdasar, bahkan terkesan menjatuhkan. Dengan demikian, lembaga yang dikritik (ISI) berhak menyampaikan hak jawab guna meluruskan dan menjernihkan ketimpangan tersebut. Sayangnya, hak itu tidak pernah digunakan. Segala kritik dianggap sebagai angin lalu, seolah hilang dan sirna dengan sendirinya. Masyarakat kemudian beranggapan bahwa ISI bebal kritik, atau mungkin tak mampu mengklarifikasi karena tak memiliki kompetensi menjawab di media.
Urusan menulis, baik gaya populer maupun ilmiah, memang penting dilakukan bagi sebuah institusi pendidikan termasuk ISI Surakarta. Terlebih media massa. Ekstase menulis di ruang itu masih sangat jarang dijumpai karena dianggap tak memberi keuntungan bagi kenaikan pangkat seorang pengajar. Kalah jauh nilainya jika dibanding dengan jurnal ilmiah. Padahal bagi kampus seni, media massa populer semacam koran sangat penting dalam mempublikasikan wacana dan terlebih pelbagai wacana kritik seni. Sementara bukan rahasia lagi, publikasi di jurnal ilmiah masih cukup terbatas pembacanya. Kesempatan itu yang selama ini kurang dapat dimanfaatkan oleh kampus ISI Surakarta.
Hal yang lebih mencengangkan, menulis di media semacam koran bagi mahasiswa juga tidaklah dianggap sebagai sebuah prestasi tersendiri. Mahasiswa Etnomusikologi misalnya sudah hampir dua tahun ini memiliki kolom sendiri (akademia) di Koran Joglosemar. Namun sayangnya, hingga detik ini tak ada tanggapan serius apalagi sekadar ucapan terimakasih oleh lembaga pada mahasiswa yang turut mempublikasikan nama kampusnya di media itu. Bandingkan dengan kampus lain, setiap mahasiswa yang menuangkan gagasannya di media dan mencantumkan nama institusi tempat belajarnya, secara langsung dapat penghargaan tersendiri, entah berupa materi ataupun lainnya. Tidak penting memang jumlah dan bentuk penghargaannya, tapi perhatian lembaga sebagai wujud memiliki dan dukungan.
Oleh karena itu, ke depan semoga pemimpin baru kampus seni itu mampu membawa perubahan ke arah yang lebih segar. Tidak muluk-muluk, setidaknya kesenjangan antara kekaryaan dan publikasi dapat diseimbangankan, setara. Tentunya hal itu dapat kita lihat dalam visi-misi yang dijelaskan para calon rektor pada diskusi publik tanggal 10 Juni di pendopo kampus. Masyarakat kampus tentu akan menilai, mencerna dan kemudian menentukan arah keberpihakannya lewat pemilihan langsung. Kini, suhu telah mulai memanas, bahkan isu sara dan keagamaan turut meramaikan. Tidak dapat dibenarkan memang, apalagi bagi kaum yang memegang teguh prinsip intelektualitas. Pemilihan rektor baru hanya menjadi sebuah proses kecil dalam meniti cita-cita besar yang lebih baik. Dan bukan sebuah ajang untuk saling menjatuhkan antara satu dengan yang lain.
Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta 

Pengikut