Diseminasi Seni Tradisi (dimuat di Koran Joglosemar 27 Agustus 2013)



Diseminasi Seni Tradisi

Seni tradisi nusantara selama ini kurang dapat menunjukkan ujudnya secara lebih terbuka. Bukan satu hal yang aneh, ia kalah bersaing dengan bentuk kesenian baru yang lebih gemerlap dan konon dianggap “modern”. Usaha untuk menyuplai detak hidup seni tradisi bukannya tak ada. Banyak kantung-kantung kebudayaan, semacam taman budaya dan sejenisnya, namun selama ini banyak dikelola oleh sosok yang tak memiliki kompetensi. Kehadiran kantung-kantung kebudayaan ber-pelat merah dan berada di bawah dinas pariwisata menyebabkan ujudnya sebagai etalase seni tradisi. Memajang dan berusaha menawarkannya sebagai barang dagangan. Untuk tampil di kantung kebudayaan itu, seni-seni tradisi harus dipoles sedemikian rupa yang kadang justru nampak sarkastik dan banal. Jikapun tampil apa adanya, tak jarang cercaan dan hinaan menghampiri. Tentu kita masih ingat kala Jaran Kepang dianggap sebagai kesenian paling jelek sedunia oleh gubernur Jawa Tengah kala itu. Dengan demikian, wajar jika seni tradisi nusantara berada di persimpangan zaman. Mati segan, hidupun tak mau. Dibutuhkan usaha yang kongkrit untuk merevitalisasi dan mendudukkan kehadirannya di tengah kehidupan bermasyarakat. Desiminasi –menyebar luaskan pemikiran positif tentang seni tradisi- dalam konteks ini menjadi satu hal yang tak bisa dihindari.

Format Baru
Ada satu hal menarik yang dilakukan oleh Bondet Wrahatnala dan beberapa peneliti dari Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Mereka disibukkan dengan pembuatan program audio-visual tentang kesenian Emprak di Jepara Jawa Tengah. Uniknya, kesenian yang hampir punah itu mencoba diangkat kembali. Bukan sebagai film layaknya yang kita lihat di layar televisi. Namun dokumentasi untuk mendiseminasikan kesenian tersebut kepada masyarakat, generasi muda, lembaga pendidikan –sarana belajar sekolah- di Jepara dan Nusantara pada umumnya. Langkah itu dilakukan sebagai wujud keprihatinan karena kesenian Emprak semakin tersudut dan langka. Padahal banyak nilai-nilai filosofis positif yang terkandung dalam kesenian ini. Emprak masih bertahan. Hanya saja terbata-bata, alias kembang kempis. Sementara di sisi lain, kebertahanan kesenian Emprak menunjukkan bahwa kehadirannya masih dibutuhkan, walaupun tak sepekat seperti dulu.
Oleh karenanya, usaha dalam membumikan kembali kesenian semacam Emprak dapat dilakukan dengan berbagai hal, tak terkecuali memanfaatkan perkembangan teknologi audio-visual. Tentu saja format yang ada haruslah dibuat semenarik mungkin, agar menggugah publik untuk turut terlibat secara emosional dalam mempertahankan dan merevitalisasi kesenian ini. Bagaimanaun juga, kebudayaan dan dalam konteks ini kesenian tradisi adalah tolok ukur objektif dalam melihat akar habitus peradaban manusia. Berbagai usaha dalam upaya penyelamatan patut untuk diapresiasi setinggi-tinggginya. Namun demikian, usaha yang ada tak cukup dengan hanya mempertahankan atau bersifat konservatif semata. Dibutuhnya langkah kongkrit untuk menyelaraskan kesenian-kesenian tradisi dengan zaman yang semakin berkembang.
Kolaborasi dengan berbagai episentrum kebudayaan lain menjadi sebuah keniscayaan. Seni-seni tradisi tak dapat menghindar atau terhindarkan dari jerat dunia teknologi. Perkembangan teknologi tak bisa disikapi dengan apatis apalagi negatif. Kesenian-kesenian tradisi banyak gulung tikar karena tak mampu mengakomodasi gejala kebaruan termasuk teknologi. Padahal bisa saja keduanya luruh bersinergi untuk menghasilkan tontonan yang memukau dan menghibur. Panggung wayang kulit misalnya, di setiap pembabakan zaman senantiasa berusaha menggandeng teknologi sebagai mitranya. Dari tata lampu yang gemerlap, efek suara, penggunaan visualiasi pada layak kelirnya hingga perangkat musik elektronik. Walaupun hal tersebut bagi beberapa orang dianggap sebagai pengingkaran terhadap pakem, namun di sisi lain justru mampu memberi warna baru dan memperpanjang denyut hidup wayang kulit di Nusantara.
Di sisi lain, teknologi juga bisa dimanfaatkan sebagai sarana publikasi serta desiminasi seni tradisi. Banyak perekaman dilakukan namun semata hanya bersifat dokumentatif, tanpa mempertimbangkan kemungkinan lain yang bisa dilakukan. Dengan penggunaan teknologi audio-visual misalnya, kita bisa melakukan metode dan cara pembelajaran suatu kesenian dengan lebih fleksibel. Cara belajar yang demikian selama ini telah dilakukan oleh banyak institusi keagaaman dalam upaya membaca dan mengerti arti ayat dalam kitab suci (Al-Quran misalnya). Dengan memiliki keping compact disc (cd) atau berformat digital, kita bisa melakukan pembelajaran di rumah tanpa harus mendatangkan ustad atau guru ngaji. Metode yang sama seharusnya juga bisa dilakukan bagi kesenian tradisi di nusantara.

Gagap
Diseminasi kesenian tradisi tentu tak semata ajang publikasi. Namun juga harus memuat konsep-konsep pemikiran kebaruan yang dapat ditawarkan kepada khalayak luas. Hal ini sekaligus sebagai jawaban atas ketakutan bahwa keberadaan kesenian tradisi tak lagi dibutuhkan oleh masyarakat. Kemasan diseminasi adalah hal terpenting. Ambillah contoh kerja “film dokumenter” yang dilakukan Bondet dan para peneliti muda dari Solo terhadap kesenian Emprak di Jepara. Kemasan yang ada mencoba menunjukkan bagaimana nilai-nilai kesenian Emprak masih selaras dengan zaman. Pergulatan hidup dan perjalanan panjang para pelakunya menjadi kisah utama yang tak jarang akan menyemai senyum dan sekaligus air mata. Film tersebut dapat dipublikasikan lewat ruang-ruang pendidikan, untuk ditonton dan dimaknai kembali oleh generasi muda masa kini.
Diseminasi kesenian tradisi hanya dapat menemukan ruang jika timbul kesadaran bersama akan arti penting kehadirannya di tengah masyarakat. Ironisnya, kantung-kantung kebudayaan dan instansi pemerintah berpelat merah selama ini lebih disibukkan dengan urusan birokratif yang cenderung mendudukkan kesenian sebagai objek bukan lagi subjek. Otomatis, kesenian tak lagi mampu menyentuh seluruh lapisan publik. Terutama generasi muda yang lebih senang menziarahi mal dan gedung bioskop dari pada menonton pertunjukan seni tradisi di kantung kebudayaan yang ada.
Gejala seperti di atas menyebabkan generasi masa kini teraleniasi dari akar kebudayaannya. Sementara di sisi lain, penghargaan justru muncul dari dunia internasional. Banyak kesenian tradisi kita yang mampu berkiprah dengan membanggakan di kancah internasional. Jaran Kepang misalnya yang beberapa waktu lalu tampil memukau di acara World of Musik, Arts and Dance (WOMAD) di New Zealand. Bahkan kabarnya, tahun ini diundang untuk yang ketiga kalinya. Sebuah prestasi yang prestisius. Hal ini sekaligus mendekonstruksi anggapan Gubernur Jawa Tengah kala tentang kesenian ini. Atau masih banyak kisah lain yang menyertai denyut hidup seni tradisi di Indonesia. Angklung dan Reog yang awalnya tak mendapat perhatian kemudian menjadi bahan hangat perbincangan kala negara tetangga berusaha mengakui atas kepemilikannya. Pada titik ini, kita seolah gagap dalam menjaga harta yang sebenarnya telah lama kita miliki. Tak di rawat, namun marah ketika kehilangan.
Saya hanya menggarisbawahi, bagaimana pentingnya menghargai kesenian tradisi yang telah kita miliki. Diseminasi terhadapnya harus terus dilakukan agar tetap mampu bercengkrama dengan zaman dan terwariskan secara sempurna dalam alih setiap gerenari. Jangan sampai kesenian tradisi hanya menjadi mitos, keberadannya tak lagi mampu untuk dilihat, apalagi dipetik nilai-nilai filosofisnya. Seperti kata Kunts (1964), kesenian –tradisi- adalah representasi objektif dari sebuah peradaban manusia. Melihat kesenian tradisi, berarti menelisik tentang karakter, sikap, prilaku dan norma yang berkembang dari masyarakat pemiliknya.
Aris Setiawan
Etnomusikolog

Maestro Tari Malang Berpulang (dimuat di Majalah BENDE edisi Agustus 2013)


Maestro Tari Malang Berpulang

 


Saat Mbah Karimun sang maestro tari topeng dari Malang itu berpulang untuk selamanya, hatinya sangat terpukul. Maklum saja, ia telah mengenal sosok gurunya itu dengan cukup lama. Karimun adalah tokoh yang paling dikaguminya. Tak mengherankan kemudian jika segala gerak dan olah tubuhnya terinspirasi dari Karimun. Dialah Chattam Amat Redjo, pria kelahiran 13 Oktober 1943 itu telah mampu mewarisi anugerah gerak tari topeng Malangan dengan cukup terampil. Chattam adalah sang maestro, sosok pengganti setelah Karimun. Namun, kini ia telah pergi untuk selamanya pada 2 Juni 2013. Mengguratkan jejak kenangan manis dalam mewarnai sejarah dunia tari di Jawa Timur. Menuliskan sosoknya, tak semata mengenang, namun mencoba memaknai dan mengkontemplasikan kembali kehadiran dan sumbangsih atas segala jasanya.

Multi Talenta
Chattam mengawali profesinya sebagai seorang seniman sejak tahun 1958. Ia terlibat aktif dalam pertunjukan Ludruk Sopo Nyono di Malang. Tak hanya pandai menari, pria berkacamata itu juga pandai dalam bermain gamelan, apalagi ngidung (melantunkan vokal). Kelebihan itulah yang menjadikan gerakannya hidup, menyatu dan luruh dengan musik. Hal yang langka ditemui pada para penari masa kini. Kebanyakan penari muda di abad kini hanya mengenal gerak semata. Mereka tak mau mengerti urusan musik apalagi vokal. Tak jarang banyak yang falsh ketika bersenandung menyesuaikan laras gamelan. Akibatnya, tari yang dibawakan telah mempribadi, tunggal, tak mampu menjadi senyawa dengan musik atau sentrum yang lain.
Kemampuan Chattam mulai diperhitungkan kala terpilih sebagai duta seni Indonesia di Jepang dan Singapura pada tahun 1989. Ia membawakan tari topeng Malangan. Banyak orang merinding kala menyaksikannya menari. Topeng itu seolah bernyawa dibuatnya, kokoh dan berwibawa. Sejak saat itu namanya mulai menjadi perbincangan hangat di kalangan seniman dan budayawan Jawa Timur. Hingga suatu saat, kabar kemaestroannya terdengar pula oleh Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya. Satu-satunya perguruan tinggi seni kesenimanan di Jawa Timur itu kemudian memintanya untuk mengajar di Jurusan tari (1985-1989). Bagi kalangan mahasiswanya, Chattam adalah pribadi yang cukup bersahaja, santun namun tegas.
Chattam menjadi rujukan peneliti tari dan musik Jawatimuran, khususnya malang. Ia tak segan-segan mencontohkan langsung gerak maupun pola musikal tari topeng agar membuat orang mafhum dan lebih dekat tentunya. Pria yang dalam beberapa waktu terakhir juga mengajar di Program Studi Pendidikan Seni Tari Universitas Negeri Malang (UM) itu sangat bahagia apabila ada genarasi muda yang serius belajar Tari Topeng Malangan. Chattampun memiliki Sanggar Swastika yang telah dirawatnya sejak 1979, tempat untuk berlatih dan mengenal kebudayaan tari. Ia tidak banyak menuntut, apalagi mematok biaya tinggi bagi murid sanggarnya. Bahkan tak jarang ia harus merugi untuk mengidupi sanggarnya itu. Namun semua adalah bagian dari tirakat budaya. Panggilan hati guna menjaga detak habitus topeng Malangan.
Berulang kali penari ulung itu mendapatkan penghargaan bergengsi. Trofi Festival Panji di Yogyakarta pada 1978, trofi Sri Paduka Paku Alam VIII Yogyakarta, penyaji terbaik lomba penata tari pada 1978, serta piagam penghargaan Australian Government 2004 telah direngkuhnya. Terakhir, lewat Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), Chattam mendapatkan penghargaan dari Gubernur Jatim Soekarwo atas pengabdiannya di bidang seni dan budaya pada tahun 2009. Chattam tak lantas berbesar diri atas semua penghargaan itu, ia tetaplah sederhana, apa adanya. Sosok yang bukan siapa-siapa, tapi menemukan hidup dan keagungannya di atas panggung. Wajar kemudian jika di acara Maestro! Maestro! #7, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta (2012) ia menjadi bintang yang paling ditunggu-tunggu penampilannya.
Atas nama seni tari, Chattam membawa harum nama Jawa Timur, khususnya Malang. Walaupun tak dipungkiri, perhatian Pemerintah Daerah di tempatnya tinggal cukup minim. Maestro hanyalah sekedar nama yang dilekatkan dengan derajadnya yang agung, namun di balik itu Chattam harus hidup dengan penuh kekurangan materi. Tapi resiko itu bukannya tak dipertimbangkan. Ia sadar, menjadi seniman berarti siap untuk hidup melarat. Menari kemudian bukan semata menjadi profesi, namun ibadah dan ritus hidup. Tari telah menyatu dengan darah dan nafasnya. Kepergiannya kini menarasikan kepedihan yang dalam bagi pecinta kebudayaan dan seni tradisi Jawa Timur. Penjaga gawang tradisi itu telah gugur. Menyisakan segumpal tanya, siapa pewaris sesudahnya?

Mengais Tradisi
Chattam bukanlah semata penari. Ia juga mampu memberi warna lain dalam gerak yang dibawakannya. Ia membuat tari Remo, Topeng Patih, Kebar, Kembang Genjet, Grebeg Sabrang, Klono, Sembran, Gelang Alit, Baskalan selalu nampak baru dibawakannya. Ia tak terhenti dalam gerakan-gerakan yang selama ini dianggap pakem. Namun mampu memunculkan improvisasi gerak yang menggoda. Improvisasi yang masih berada dalam batas-batas logika estetika tari. Penari yang baik adalah penari yang mampu mencairkan tradisi kebekuan gerak agar nampak baru. Cara Chattam menari kemudian membawa derajadnya sebagai satu gaya tersendiri. Ujud geraknya tak semata dikenal sebagai Tari Topeng Malangan, namun Tari Topeng gaya Chattam. Namanya melegenda, menjadi gaya personal mengalahkan gaya kedaerahan. Ia memberi satu pelajaran berharga, bahwa tradisi tidaklah beku apalagi membatu. Tradisi adalah bahan, pijakan dan sumber inspirasi baru.
Jawa Timur dalam beberapa waktu terakhir memang telah banyak kehilangan maestro seni pertunjukan. Sebelum Chattam, di dunia tari, Karimun telah terlebih dahulu berpulang (2010), di dunia pedalangan ada Soelaiman yang tutup usia di tahun 2011. Sementara di dunia karawitan, Jawa Timur telah kehilangan Diyat Sariredjo (2008) dan Silan (2012). Kisah Maestro-maestro itu hanya menjadi kenangan manis pelipur lara di balik semakin abainya generasi muda masa kini pada seni tradisi. Jangan heran kemudian jika ke depan Jawa Timur krisis sosok empu. Sementara di sisi lain, banyak institusi pendidikan seni semacam Universitas Negeri Malang, Universitas Negeri Surabaya dengan Jurusan Pendidikan Seni Tari Drama dan Musiknya, serta STKW Surabaya dengan Jurusan Kesenimanan Tarinya belum mampu melahirkan Chattam-Chattam baru.
Para sarjana seni (pertunjukan) mutakhir lebih disibukkan dengan urusan seni eksperimentatif. Tak lagi genting dalam mengais tradisi sebagai sumber. Gaya kontemporer yang sedang ramai di pasar menjadi rujukan utama. Dengan pola gerak yang kadang tak teratur alias acak-acakan, musik dari bunyi noise gergaji atau batu, dan kostum yang hanya memakai celana dalam adalah citra seni yang konon dianggap lebih menjanjikan untuk hidup. Jangan kaget kemudian jika penyajian tugas akhir di kampus-kampus pendidikan seni tersebut tak lagi dapat dijumpai Tari Remo, Topeng Malangan, Muang Sangkal maupun Baskalan dan Bapang.
Dengan demikian, kepergian Chattam Amat Redjo kemudian juga menjadi satir bagi pelaku seni tradisi dan pemangku kebijakan pendidikan seni di Jawa Timur. Jika proses regenerasi tak dilakukan dengan baik, maka dalam beberapa waktu ke depan, tak hanya krisis empu, tapi kesenian tradisi (pertunjukan) juga akan menjadi mitos pelengkap dalam ingar-bingar cerita kebudayaan populer. Selamat jalan Cak Chattam Amat Redjo, menarilah di alam sana, hiburlah Tuhan dengan kehadiran gerakmu.

Aris Setiawan
Etnomusikolog Asal Surabaya, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Museum(kan) Musik Indonesia (dimuat di Kompas, 11 Agustus 2013)

Museum(kan) Musik Indonesia


Pelaksana tugas Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kacung Marijan berencana mendirikan Museum Musik Indonesia di Lokananta, Solo. Lokananta merupakan perusahaan rekam yang menjadi saksi penting pembabakan sejarah musik Tanah Air.
Ironisnya, wacana ”memuseumkan” Lokananta tak berangkat dari urgensi persoalan yang menghantui denyut hidup musik Tanah Air, tetapi semata karena kondisi perusahaan rekam itu yang kian memprihatinkan. Ketakutan akan rusaknya koleksi berharga Lokananta menyebabkan kebijakan itu diambil. Persoalannya kemudian, bagaimana wujud dan format museum musik itu? Perlukah musik untuk dimuseumkan? Musik-musik seperti apakah yang layak untuk menghuni museum?
Museum
Museum adalah kata yang masih cenderung diartikan secara salah kaprah. Kebanyakan masyarakat kita memandang museum sebagai kumpulan benda-benda purbawi, kuno, berdebu, tak terpakai alias bekas. International Council of Museum mendefinisikan museum sebagai institusi permanen dan nirlaba yang melayani kebutuhan publik dengan sifat terbuka, dengan cara melakukan usaha pengoleksian, mengonservasi, meriset, menginformasikan, dan memamerkan benda materi kepada masyarakat untuk kebutuhan studi penelitian, pendidikan, dan kesenangan (Al-Mujabudda’wat, 2011). Poin terakhir, kesenangan, agaknya yang selama ini belum sepenuhnya terpenuhi. Masyarakat lebih suka menghabiskan waktu liburnya untuk berlama-lama di mal daripada ke museum.
Di sisi lain, museum di Indonesia cenderung ”pasif” dengan hanya mengandalkan satu sumber pembiayaan dari pemerintah yang jumlahnya tidak banyak. Tentu kita masih ingat polemik Museum Pusat Dokumentasi Sastra Hans Bague Jassin (HB Jassin) yang kekurangan dana operasional. Museum yang memiliki 50.000 lebih koleksi karya sastra itu hanya disokong dengan dana Rp 50 juta per tahun. Akibatnya, museum-museum di Indonesia kembang kempis, hanya mampu menjaga dan memamerkan benda koleksinya tanpa berupaya untuk mengembangkan. Di Jakarta sendiri bahkan terdapat 60 lebih museum dan menjadi provinsi dengan jumlah museum terbanyak. Namun, sayang, tak banyak yang mengetahuinya, Jakarta justru lebih dikenal sebagai kota fashion, metropolis, industri, megapolitan, daripada kota museum atau sejarah.
Oleh karena itu, mau tak mau wacana untuk mendirikan museum musik Indonesia (MMI) tak bisa dilepaskan dari persoalan yang selama ini menghantui museum di Indonesia. Terlebih dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Pasal 18 yang menyebutkan museum sebagai lembaga penyimpan benda-benda dengan kategori ”cagar budaya”. Hal ini memunculkan kesan benda koleksi yang cenderung tua, monoton, membosankan, dan tak menyenangkan. Mendatangi museum tak jauh beda dengan menziarahi makam. Wajar kemudian jika banyak tontonan di televisi yang menjadikan museum sebagai tempat syuting acara mistis atau horor. Kesan suram dan menakutkan muncul kala mendatangi museum.
Di sisi lain, pertanyaan yang cukup menggelitik, perlukah musik dengan kodratnya sebagai sebuah bunyi atau suara dimuseumkan? Bukankah selama ini musik telah ”termuseumkan” dengan sendirinya lewat internet. Berbagai macam bunyi dapat kita jumpai di situ. MMI mungkin hanya mampu mempertontonkan alat-alat rekam, piringan hitam, dan kaset analog. Selebihnya untuk materi musik dapat dengan mudah kita dengar kapan pun dan di manapun. Otomatis, tak harus mengunjungi MMI untuk menemukan lagu-lagu karya Gesang. Cukup ketik nama judul lagunya di situs pencari Google, maka dengan sendirinya kita dapat memilikinya setiap saat.
Sejarah mencatat, era teknologi dunia digital pula yang sejatinya menghentikan denyut hidup Lokananta. Perusahaan yang berdiri tahun 1956 itu tak mampu bercengkerama dengan perubahan zaman. Pembajakan musik terjadi di mana-mana. Hari ini musik direkam, besok sudah dapat diunduh secara gratis dan bebas lewat internet. Tak hanya Lokananta, tetapi juga banyak perusahaan musik yang mengalami nasib serupa alias bangkrut karena masalah tersebut. Biaya produksi merekam dam memublikasikan musik tak mampu tertutupi dengan hasil penjualan kaset yang terus menurun. Setiawan (2012) menuturkan, akibat dari pembajakan besar-besaran, negara dirugikan lebih dari Rp 600 miliar per tahun. Tercatat tak kurang dari 117 label rekaman lokal dan nasional telah gulung tikar.
Lokananta
Tak banyak yang mengetahui sumbangan besar Lokananta bagi kehidupan musik Indonesia. Lokananta adalah gerbang utama yang memelopori bangkitnya lagu-lagu bercita rasa Indonesia untuk lebih dikenal masyarakat luas termasuk dunia. Keberadaan Lokananta dirasakan dampak besarnya bagi seniman tradisi. Karawitan dan wayang, misalnya, di kala perusahaan rekam lain menaruh cemas akan kebangkrutan karena merekam gamelan—dianggap tak disukai masyarakat—Lokananta dengan gagah mendekonstruksi anggapan itu. Gending-gending gamelan dengan berbagai versi direkam, dipublikasikan, dan secara otomatis membantu denyut hidup gamelan dikenal masyarakat dunia.
Heri Priyatmoko (2008) menjelaskan bahwa di Lokananta banyak tersimpan rekaman awal dari penyanyi-penyanyi terkenal, seperti Gesang, Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, dan Sam Saimun. Bahkan, pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1945 serta acara KTT Nonblok di Bandung tahun 1955 juga ada. Jejak sejarah yang dimilikinya menjadikan Lokananta ”barang antik” yang langka, tetapi tak lagi terurus. Ide menjadikannya MMI di satu sisi memang harus disambut baik dalam upaya menyelamatkan Lokananta dari kematian. Namun, di sisi lain, juga harus disadari bahwa persoalan karut-marut permuseuman di Indonesia yang terjadi selama ini tentu akan berimbas pula pada Lokananta kala menjadi MMI.
Musik-musik seperti apa yang layak dimuseumkan juga menjadi catatan penting tersendiri. Hal yang tentu dapat kita tebak, musik-musik tradisi Nusantara pastilah menjadi penghuni utama. Alasannya klasik, musik-musik tradisi dianggap sebagai bagian dari peninggalan masa lalu, atau sebut saja sebagai benda antik cagar budaya. Sementara musik-musik yang konon dianggap ”modern” tak layak untuk menghuni museum musik. Dikotomi antara yang termuseumkan dan yang tak termuseumkan justru akan semakin memperuncing pandangan masyarakat dalam menilai musik tradisi sebagai sesuatu yang kuno, kolot, dan tertinggal. Generasi masa kini pun semakin malu untuk menjamahnya.
Perlu diketahui, sebelum Kacung Marijan mewacanakan isu MMI, sebenarnya MMI telah terbentuk di Kota Malang, Jawa Timur, tahun 2012 yang dikelola oleh teman-teman dari komunitas Gallery Malang Bernyanyi. MMI versi mereka telah menyimpan lebih dari 7.000 kaset dan berbagai benda yang pernah bersentuhan dengan sejarah dunia musik di Indonesia dan dunia. Bahkan, Lokananta telah menjadi salah satu mitra kerja dari museum musik itu. Uniknya, MMI nonpelat merah itu dihidupi oleh masyarakat dan komunitas pencinta musik Tanah Air dan dunia. Mereka dengan rela hati memberikan koleksinya untuk dipajang di museum. Pengunjung dapat mendengarkan ribuan koleksi musik dari berbagai zaman dengan gratis. Suasana dibuat semenyenangkan mungkin, birokrasi yang tak ribet dan berbelit. Lebih penting lagi tidak angker dan wingit. Tidak ada batas antara musik tradisi dan baru, semua didudukkan dalam satu ruang yang sama.

Dengan demikian, isu untuk mendirikan MMI sebenarnya bukan barang baru. Alangkah baiknya jika pejabat terkait mengerti dengan peta dan ruang lingkup persoalan yang terjadi wilayah di akar rumput agar tak gagap dalam mengambil serta mewacanakan suatu keputusan. Semangat dalam mendirikan MMI oleh pemerintah seolah mengingatkan kita pada upaya membakukan Hari Musik Nasional beberapa waktu lalu yang tak jelas ujud serta tujuannya. Dibutuhkan dialog dalam menampung pemikiran serta saran dan kritik agar MMI tak semata menyelamatkan hidup Lokananta, tetapi juga musik Indonesia seutuhnya. Semoga saja Lokananta tak sekadar digunakan sebagai ajang proyek yang akan menghamburkan banyak anggaran

Pengikut