Diseminasi
Seni Tradisi
Seni tradisi nusantara selama ini
kurang dapat menunjukkan ujudnya secara lebih terbuka. Bukan satu hal yang
aneh, ia kalah bersaing dengan bentuk kesenian baru yang lebih gemerlap dan
konon dianggap “modern”. Usaha untuk menyuplai detak hidup seni tradisi
bukannya tak ada. Banyak kantung-kantung kebudayaan, semacam taman budaya dan
sejenisnya, namun selama ini banyak dikelola oleh sosok yang tak memiliki
kompetensi. Kehadiran kantung-kantung kebudayaan ber-pelat merah dan berada di
bawah dinas pariwisata menyebabkan ujudnya sebagai etalase seni tradisi.
Memajang dan berusaha menawarkannya sebagai barang dagangan. Untuk tampil di
kantung kebudayaan itu, seni-seni tradisi harus dipoles sedemikian rupa yang
kadang justru nampak sarkastik dan banal. Jikapun tampil apa adanya, tak jarang
cercaan dan hinaan menghampiri. Tentu kita masih ingat kala Jaran Kepang
dianggap sebagai kesenian paling jelek sedunia oleh gubernur Jawa Tengah kala
itu. Dengan demikian, wajar jika seni tradisi nusantara berada di persimpangan
zaman. Mati segan, hidupun tak mau. Dibutuhkan usaha yang kongkrit untuk
merevitalisasi dan mendudukkan kehadirannya di tengah kehidupan bermasyarakat.
Desiminasi –menyebar luaskan pemikiran positif tentang seni tradisi- dalam konteks
ini menjadi satu hal yang tak bisa dihindari.
Format
Baru
Ada satu hal menarik yang
dilakukan oleh Bondet Wrahatnala dan beberapa peneliti dari Jurusan
Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Mereka disibukkan
dengan pembuatan program audio-visual tentang kesenian Emprak di Jepara Jawa
Tengah. Uniknya, kesenian yang hampir punah itu mencoba diangkat kembali. Bukan
sebagai film layaknya yang kita lihat di layar televisi. Namun dokumentasi
untuk mendiseminasikan kesenian tersebut kepada masyarakat, generasi muda,
lembaga pendidikan –sarana belajar sekolah- di Jepara dan Nusantara pada
umumnya. Langkah itu dilakukan sebagai wujud keprihatinan karena kesenian
Emprak semakin tersudut dan langka. Padahal banyak nilai-nilai filosofis
positif yang terkandung dalam kesenian ini. Emprak masih bertahan. Hanya saja
terbata-bata, alias kembang kempis. Sementara di sisi lain, kebertahanan
kesenian Emprak menunjukkan bahwa kehadirannya masih dibutuhkan, walaupun tak
sepekat seperti dulu.
Oleh karenanya, usaha dalam
membumikan kembali kesenian semacam Emprak dapat dilakukan dengan berbagai hal,
tak terkecuali memanfaatkan perkembangan teknologi audio-visual. Tentu saja
format yang ada haruslah dibuat semenarik mungkin, agar menggugah publik untuk
turut terlibat secara emosional dalam mempertahankan dan merevitalisasi
kesenian ini. Bagaimanaun juga, kebudayaan dan dalam konteks ini kesenian
tradisi adalah tolok ukur objektif dalam melihat akar habitus peradaban
manusia. Berbagai usaha dalam upaya penyelamatan patut untuk diapresiasi
setinggi-tinggginya. Namun demikian, usaha yang ada tak cukup dengan hanya
mempertahankan atau bersifat konservatif semata. Dibutuhnya langkah kongkrit
untuk menyelaraskan kesenian-kesenian tradisi dengan zaman yang semakin berkembang.
Kolaborasi dengan berbagai
episentrum kebudayaan lain menjadi sebuah keniscayaan. Seni-seni tradisi tak
dapat menghindar atau terhindarkan dari jerat dunia teknologi. Perkembangan
teknologi tak bisa disikapi dengan apatis apalagi negatif. Kesenian-kesenian
tradisi banyak gulung tikar karena tak mampu mengakomodasi gejala kebaruan
termasuk teknologi. Padahal bisa saja keduanya luruh bersinergi untuk
menghasilkan tontonan yang memukau dan menghibur. Panggung wayang kulit
misalnya, di setiap pembabakan zaman senantiasa berusaha menggandeng teknologi
sebagai mitranya. Dari tata lampu yang gemerlap, efek suara, penggunaan
visualiasi pada layak kelirnya hingga perangkat musik elektronik. Walaupun hal
tersebut bagi beberapa orang dianggap sebagai pengingkaran terhadap pakem,
namun di sisi lain justru mampu memberi warna baru dan memperpanjang denyut
hidup wayang kulit di Nusantara.
Di sisi lain, teknologi juga bisa
dimanfaatkan sebagai sarana publikasi serta desiminasi seni tradisi. Banyak
perekaman dilakukan namun semata hanya bersifat dokumentatif, tanpa
mempertimbangkan kemungkinan lain yang bisa dilakukan. Dengan penggunaan
teknologi audio-visual misalnya, kita bisa melakukan metode dan cara
pembelajaran suatu kesenian dengan lebih fleksibel. Cara belajar yang demikian
selama ini telah dilakukan oleh banyak institusi keagaaman dalam upaya membaca
dan mengerti arti ayat dalam kitab suci (Al-Quran misalnya). Dengan memiliki
keping compact disc (cd) atau berformat digital, kita bisa melakukan pembelajaran
di rumah tanpa harus mendatangkan ustad atau guru ngaji. Metode yang sama
seharusnya juga bisa dilakukan bagi kesenian tradisi di nusantara.
Gagap
Diseminasi kesenian tradisi tentu
tak semata ajang publikasi. Namun juga harus memuat konsep-konsep pemikiran kebaruan
yang dapat ditawarkan kepada khalayak luas. Hal ini sekaligus sebagai jawaban atas
ketakutan bahwa keberadaan kesenian tradisi tak lagi dibutuhkan oleh
masyarakat. Kemasan diseminasi adalah hal terpenting. Ambillah contoh kerja
“film dokumenter” yang dilakukan Bondet dan para peneliti muda dari Solo
terhadap kesenian Emprak di Jepara. Kemasan yang ada mencoba menunjukkan
bagaimana nilai-nilai kesenian Emprak masih selaras dengan zaman. Pergulatan
hidup dan perjalanan panjang para pelakunya menjadi kisah utama yang tak jarang
akan menyemai senyum dan sekaligus air mata. Film tersebut dapat dipublikasikan
lewat ruang-ruang pendidikan, untuk ditonton dan dimaknai kembali oleh generasi
muda masa kini.
Diseminasi kesenian tradisi hanya
dapat menemukan ruang jika timbul kesadaran bersama akan arti penting
kehadirannya di tengah masyarakat. Ironisnya, kantung-kantung kebudayaan dan
instansi pemerintah berpelat merah selama ini lebih disibukkan dengan urusan
birokratif yang cenderung mendudukkan kesenian sebagai objek bukan lagi subjek.
Otomatis, kesenian tak lagi mampu menyentuh seluruh lapisan publik. Terutama
generasi muda yang lebih senang menziarahi mal dan gedung bioskop dari pada
menonton pertunjukan seni tradisi di kantung kebudayaan yang ada.
Gejala seperti di atas
menyebabkan generasi masa kini teraleniasi dari akar kebudayaannya. Sementara
di sisi lain, penghargaan justru muncul dari dunia internasional. Banyak
kesenian tradisi kita yang mampu berkiprah dengan membanggakan di kancah
internasional. Jaran Kepang misalnya yang beberapa waktu lalu tampil memukau di
acara World of Musik, Arts and
Dance (WOMAD) di New Zealand. Bahkan kabarnya, tahun ini diundang untuk yang
ketiga kalinya. Sebuah prestasi yang prestisius. Hal ini sekaligus
mendekonstruksi anggapan Gubernur Jawa Tengah kala tentang kesenian ini. Atau
masih banyak kisah lain yang menyertai denyut hidup seni tradisi di Indonesia.
Angklung dan Reog yang awalnya tak mendapat perhatian kemudian menjadi bahan
hangat perbincangan kala negara tetangga berusaha mengakui atas kepemilikannya.
Pada titik ini, kita seolah gagap dalam menjaga harta yang sebenarnya telah
lama kita miliki. Tak di rawat, namun marah ketika kehilangan.
Saya hanya menggarisbawahi,
bagaimana pentingnya menghargai kesenian tradisi yang telah kita miliki.
Diseminasi terhadapnya harus terus dilakukan agar tetap mampu bercengkrama
dengan zaman dan terwariskan secara sempurna dalam alih setiap gerenari. Jangan
sampai kesenian tradisi hanya menjadi mitos, keberadannya tak lagi mampu untuk
dilihat, apalagi dipetik nilai-nilai filosofisnya. Seperti kata Kunts (1964),
kesenian –tradisi- adalah representasi objektif dari sebuah peradaban manusia.
Melihat kesenian tradisi, berarti menelisik tentang karakter, sikap, prilaku
dan norma yang berkembang dari masyarakat pemiliknya.
Aris
Setiawan
Etnomusikolog