Mengimajinasi Majapahit (dimuat di Majalah Bende, Oktober 2013)

Mengimajinasi Majapahit



Jawa Timur menghelat pertunjukan besar bertajuk Festival Majapahit Internasional (FMI) yang diselenggarakan pada 11-13 September 2013 di Amphiteater Taman Candrawilwatikta Pandaan, Jawa Timur. Festival tersebut diikuti oleh sembilan negara, di antaranya India, Kamboja, Singapura, Myanmar, Malaysia, Laos, Filipina, Thailand dan Indonesia. Hal ini menjadi osae menyegarkan bagi denyut hidup dunia seni pertunjukan Jawa Timur. Maklum saja, selama ini festival seni pertunjukan bertaraf internasional masih didominasi oleh Solo, Yogya dan Jakarta. Lihatlah Solo International Ethnic Music (SIEM), Ramayana International Festival, Festival Gamelan Internasional, Mahakarya Borobudur, Solo International Performance Arts (SIPA), Art Summit Jakarta, Indonesia Dance Festival, Matah Ati, Ariah, dan lain sebagainya. Dengan demikian FMI menjadi ajang pembuktian, sekaligus tolok ukur dalam melihat sejauh mana Jawa Timur telah berproses, bermetamorfosis menjadi “rumah baru” yang nyaman bagi seni pertunjukan Indonesia bahkan dunia. FMI menggambil Majapahit sebagai tema utama. Seolah ingin menunjukkan pada dunia bahwa Jawa Timur -dalam peta sejarah- merupakan tempat berdirinya kerajaan terbesar nusantara. Mengguratkan beribu tafsir, tesis bahkan antitesis terhadapnya. Namun demikian, sudahkan festival itu digagas cukup matang, sehingga para penyaji dengan mafhum mengetahui tema besar yang digagas oleh panitia?

Gayatri
Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya yang menjadi wakil Indonesia selain Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar menempatkan Gayatri sebagai pintu dalam meneropong kejayaan Majapahit masa silam. Gayatri adalah istri dari Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit. Ia dengan setia menemani Wijaya dalam setiap pembabakan laku hidup, dari orang terbuang di tengah hutan Maja, hingga menjadi raja besar di nusantara. Persoalan pengorbanan wanita seringkali terlupakan dalam percaturan kisah sukses para pemimpin (laki-laki) di dunia. Mereka berperan hanya di balik layar. Namanya jarang didendangkan. Namun pengaruhnya tak bisa dielakkan. Wajar kemudian jika ada pepatah “di balik laki-laki besar ada wanita besar”. Gayatri adalah salah satunya. Saat di mana Wijaya telah pergi untuk selamanya, ia lebih memilih menghabiskan hidupnya sebagai pendeta wanita. Menjadi pribadi yang setiap nafas dalam hidup hanya di isi dengan doa pada sang suami yang terlebih dahulu meninggalkannya. Cinta tak pernah putus. Terkesan klise namun begitulaha adanya.
Wanita dalam jagat seni pertunjukkan Indonesia dewasa ini agaknya sedang menjadi gagasan dan narasi besar penciptaan oleh para seniman, baik komponis maupun koreografer. Lihatlah banyak pertunjukan mutakhir yang menempatkan wanita sebagai sumber kekaryaan. Di awali dengan Matah Ati yang disutradarai oleh Atilah Soeryadjaya, berkisah tentang perempuan bernama Rubiyah yang menjadi pendamping dari Pengeran Samber Nyawa pendiri Pura Mangkunegaran di Solo. Berikutnya ada Ariah, gadis betawi yang dengan kekeh mempertahankan idealisme dan prinsipnya dalam menentang ketertindasan terhadap kaum hawa, dipentaskan di Monumen Nasional (Monas) saat ulang tahun Jakrta. Ada pula Ontosoroh, kisah perempuan berjiwa besar dalam novel Bumi Manusia karya Pramodya Ananta Toer yang beberapa hari lalu diangkat sebagai sumber karya musik oleh komposer Peni Candra Rini. Karya-karya itu lahir sebagai sintesis terhadap semakin menguatnya ambisi perempuan di negara ini dalam mewacanakan dan memperjuangkan kesetaraan jender.
Namun, Majapahit selama ini seolah telah larut dalam kisah-kisah klasik yang senantiasa hanya mengisahkan tentang perang, arogansi, maskulinitas, pemberontakan, perebutan kekuasaan, dan tragedi penghianatan. Kisah-kisah itu muncul di pelbagai ruang dan media. Di banyak buku pelajaran sekolah, film, televisi, bahkan novel. Kekerasan seolah menjadi menu wajib yang dihidangkan. Sementara di sisi lain, kita tak pernah mengetahui ada kisah pengorbanan, kesetiaan, cinta dan kedamaian. Majapahit kemudian hanya ditafsirkan secara tunggal dan mempribadi. Tak lagi jamak dengan memunculkan beribu kisah, tafsir berisi tuntunan yang kehadirannya mungkin masih relevan dan dapat kita rasakan hingga kini. Karya Gayatri dari STKW Surabaya setidaknya mencoba memberi tafsir lain atas Majapahit.
Sajian dari STKW juga berkisah tentang nasib “Karawitan Jawatimuran”. Kenapa demikian? Bukan rahasia lagi, karawitan Jawatimuran selama ini kurang dapat menampakkan ujudnya dengan lebih terbuka bagi masyarakat di Jawa Timur dan nusantara pada umumnya. Pembahasan tentang karawitan Jawatimuran hanya menjadi nukilan kecil dalam ingar bingar karawitan nusantara dengan menempatkan gaya Solo dan Yogya sebagai narasi besarnya. Tak banyak karya-karya baru karawitan Jawatimuran tercipta. Kalaupun ada, hanya dilakukan oleh segelintir pihak yang bernanung di bawah institusi pendidikan semacam STKW dan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Surabaya –sekarang SMKN 12-. Di sisi lain, kajian dan penelitian yang mengangkat Karawitan Jawatimuran juga terhitung sangat jarang –kalau bukannya tak ada-. Di kampus STKW misalnya, dalam 10 tahun terakhir tak dijumpai kegiatan penelitian dan hanya menghasilkan satu karya skripsi yang mengulas gadingan (salah satu gending dalam karawitan Jawatimuran). Selebihnya lebih disibukkan urusan “kekaryaan kontemporer” dengan mengusung musik-musik aneh, namun menihilkan peran dan basis tradisi musiknya. Para maestro, pakar, empu jumlahnya juga semakin menyusut. Diawali dengan meninggalnya Diyat Sariredjo, Silan, Madun, Widodo dan banyak lagi lainnya. Padahal gagasan, kemampuan dan pemikirannya belum sepenuhnya terserap. Dengan demikian pertunjukan FMI haruslah dimaknai sebagai satir yang berusaha mengingatkan kita betapa pentingnya menjaga, merawat dan mengembangkan kekayaan tradisi yang telah dimiliki oleh Jawa Timur.

Kritik
Bisa jadi, FMI menjadi batu loncatan dalam membuka horizon pemikiran, cakrawala diskusi dan wacana strategi politik kebudayaan di Jawa Timur ke depan. Bukan satu hal yang aneh, kesenian adalah sarana diplomasi paling efektif. Memepererat hubungan dan mengahapus sekat perbedaan. FMI adalah wajah Jawa Timur bahkan Indonesia di mata dunia. Namun sayang, FMI tak diimbangi dengan kesediaan dalam membingkai pertunjukan dalam kerangka satu alur dan tujuan yang sama. Majapahit tak sepenuhnya menjadi tema utama. Mungkin hanya STKW yang dengan teguh menziarahkan konsep kekaryaannya berdasarkan epos kerajaan terbesar itu. Selebihnya tidak demikian halnya dengan peserta lain. Maklum saja, ke delapan negara yang tampil itu sebelumnya telah menggelar pertunjukan bertajuk Festival Ramayana Internasional (FRI) di Panggung Terbuka Ramayana Candi Prambanan, Yogyakarta pada 6-9 September 2013 lalu. Mereka membawakan satu karya yang berkisah tentang Ramayana. Dan dalam waktu yang relatif mendadak mereka diminta tampil di Jawa Timur. Hasilnya tak dijumpai kisah dan narasi Majapahit, karena mereka tetap menampilkan karya serupa (Ramayana). Pada titik inilah terlihat manajemen pertunjukan yang tak disiapkan dengan matang. Ironisnya beberapa peserta tak mengetahui, bahkan tak pernah mendengar tentang apa itu Majapahit. Tema besar yang disajikan kemudian terlihat banal dan mengada-ada. Sebatas memfasilitasi para peserta untuk tampil tanpa diimbangi dengan kesamaan visi.
Dialog, seminar dan diskusi sebenarnya menjadi penting digelar dalam menunjang keberhasilan sebuah pertunjukan. Apalagi dengan predikatnya yang bertaraf “internasional”. Hasilnya, publik dapat mengetahui kertas kerja yang berisi maksud dan tujuan yang hendak dicapai dalam gelaran pertunjukan itu.  Dengan demikian, pertunjukan yang ada tak terhenti dalam domain festival semata namun juga menjadi perbincangan, wacana pemikiran, kontemplasi dan turut menghangatkan denyut hidup kesenian di Jawa Timur. Ada bekas yang dapat digali dan “diramaikan”. Hal yang jarang kita jumpai untuk forum-forum kesenian –pertunjukan- di Jawa Timur. Namun demikian, FMI bagaimanapun juga patut mendapatkan apresiasi karena dengan terselenggaranya event itu berarti Jawa Timur telah diperhitungkan dalam arus besar percaturan kesenian di Indonesia bahkan dunia.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta


Menghapus Jejak Majapahit (dimuat di Jawapos 19 Oktober 2013)



Menghapus Jejak Majapahit



Majapahit hanya menjadi mitos yang mengisahkan kerajaan besar tiada tanding. Mitos itu menyublim lewat buku-buku pelajaran sekolah yang tertata manis di rak perpustakaan. Selebihnya secara fisik, Majapahit tak lagi mampu menunjukkan eksistensi. Situs-situs peninggalannya terabaikan, lapuk dan berdebu. Bahkan, yang cukup mengherankan, di pusat peradaban situs itu -Trowulan- justru akan dijadikan lahan bisnis, mendirikan pabrik untuk mengeruk ambisi penuh pamrih. Trowulan tidak lagi tanah sakral, tempat di mana Indonesia dilahirkan dan meniti jejak peradaban. Sejarah dan kebudayaan tergadaikan, kalah oleh kepentingan kapital. Berupaya menghapus memori kita tentang kisah perjuangan para nenek moyang.

Beku
Pertengahan bulan lalu, di Pandaan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur menggelar pertunjukan besar bertajuk Festival Majapahit Internasional yang diikuti oleh kurang lebih sembilan negara di Asia. Pertunjukan kolosal itu mengundang riuh tepuk tangan dan decak kagum penonton. Menarasikan kejayaan Majapahit, berkisah tentang perang, harga diri, cinta, pengorbanan dan kekuasaan. Pertunjukan itu menjadi oase untuk berimajinasi, membayangkan kemolekan Majapahit. Penonton yang penasaran mencoba menziarahi situs yang masih tertinggal. Namun sayang, situs-situs itu kini telah beralih fungsi. Candi-candi tak lagi mampu mengisahkan jejak langkah kehiduapan Majapahit. Menjadi bisnis pelancongan dengan agenda pariwisata yang kental. Masyarakat mengabadikan pelbagai situs dengan senyum dan tawa dalam setiap jepretan kamera. Menyebar di banyak jejaring sosial. Majapahit menjadi begraound dari lenggak-lenggok pose, terbekukan dalam lensa.
Kehadiran Majapahit dalam kehidupan masa kini semakin jarang dijumpai. Anak-anak tak lagi mengenal Gajah Mada, Ken Arok ataupun Gayatri. Majapahit hilang dalam peredaran daftar dongeng malam pengantar tidur. Majapahit dihidupkan hanya dalam takaran fisik semata berupa candi, situs dan benda-benda lain. Selebihnya, bangkrut pemaknaan. Kita tak mampu melihat dengan gamblang semangat pengorbanan Gajah Mada, keangkuhan Hayam Wuruk, dan ketulusan cinta Gayatri. Ada pendidikan budi pekerti yang dapat kita petik dari Majapahit, ada teknologi muthakir, bahasa, konsep kerukunan, kehidupan harmonis, dan lain sebagainya. Banyangkan bagaimana jika pendidikan di Jawa Timur atau di Indonesia “berbasis Majapahit”? Dengan mendudukkan sosok maupun konsep pemikiran muthakir yang relevan dari kerajaan itu. Majapahit bukan lagi semata fisik, namun juga ruang memori dan imajinasi yang sesak dengan pemaknaan.
Mempelajari dan menggali sejarah Majapahit hingga tuntas dapat menjelaskan hasrat kekuasaan Indonesia mutakhir dan sebaliknya (Doddy Wismu, 2012). Gambaran begitu kompleksnya Majapahit paling tidak mampu memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi universum kajian-kajian kehidupan di masa kini. Kita kadang terlalu disibukkan dengan aktivitas kebendaan, penemuan dan penggalian. Benda-benda penemuan itu kemudian termuseumkan. Menjadi pajangan yang kehadirannya kadang tak terawat dan rawan pencurian. Banyak penelitian yang dilakukan untuk menguak sisi lain Majapahit, namun penelitian itu kadang malah terlalu formal, intelektual, ilmiah dengan bahasa yang ribet. Akibatnya tak terbaca publik dan lapuk termakan rayap di perpustakaan. Masyarakat semakin gundah dalam menelisik Majapahit.

Kapital dan Mental
Lebih ironisnya, penghapusan Majapahit dalam momori dan imajinasi sedang diberlangsungkan, kita justru dikejutkan dengan pembangunan pabrik baja di Trowulan “ibukota” Majapahit (Jawa Pos 10/10/13). Tanah sakral itu ternyata cukup menggiurkan untuk dijadikan lahan mengeruk uang. Masyarakat kemudian disuguhi drama, antara imajinasi masa lampau dan sepiring nasi demi masa depan. Kalangan budayawan, seniman, masyarakat adat menentang pembangunan itu. Di sisi lain, pemilik pabrik juga tak dapat disalahkan. Ia justru dengan gamblang mengisahkan bagaimana mudahnya mendapat perijinan dari dinas terkait. Pada konteks inilah mental para pejabat dan pemegang kekuasaan dipertanyakan. Kasus itu mengingatkan kita kala Saripetojo –bangunan cagar budaya bekas pabrik es- di Solo hendak disandingkan dengan mal, namun ditolak habis-habisan oleh Jokowi (Walikota Solo saat itu). Penolakan Jokowi mematik amarah Gubernur (Bibit Waluyo) yang dengan lantang berucap “walikota bodoh”.
Jokowi saat itu menyadari bahwa Saripetojo merupakan salah satu jatidiri pembentuk Solo. Kota yang hendak membangun diri sebagai pusat kota budaya (the spirit of Java) itu menolak agresi kapital dalam merobohkan tatanan kultural. Mal di Solo dan Pabrik baja di Trowulan berusaha mempertarungkan antara tradisi dan bisnis. Tradisi diwakili oleh situs dan tanah, sementara bisnis adalah mal dan pabrik -urusan uang-. Mentalitas kaum birokrat belum sepenuhnya menyadari pentingnya memelihara dan membangun kebudayaan sebagai tatanan prilaku hidup. Kebudayaan masih dianggap sebagai anak tiri yang tak mampu menghasilkan keuntungan. Malah tergolong menghambur-hamburkan anggaran. Kebudayaan belum menjadi fokus utama dalam arus roda kepemimpinan negeri ini. Struktur pemaknaan utama masih berpusat pada ruang ekonomi alias hitung-hitungan untung-rugi, sehingga universum kebudayaan terabaikan. Akibatnya, institusi-institusi kebudayaan didekte oleh kepentingan kapitalisme.
Dengan kata lain, tekanan kapital membuat kaum birokrat, pejabat -selaku pengambil kebijakan- mengubah semua institusinya sebagai “pabrik” penarik modal sebanyak-banyaknya (Haryatmoko, 2009). Di satu sisi, selama ini kantung-kantung kebudayaan dirasa tak memberi sumbangan yang signifikan dan tak selaras dengan misi kapital tersebut. Di sisi lain, merekapun dikelola dengan asal dan terkesan seenaknya. Siapapun seolah dapat ditunjuk sebagai kepala dinas, tanpa memiliki basis visi budaya yang jelas. Bahkan muncul pameo, menjadi pimpinan di suatu kantung kebudayaan seolah membajak ladang gersang yang tak memberi keuntungan, alias nasib lagi apes! Mutasi ke kantung kebudayaan menjadi momok yang menakutkan.
Trowulan bagaimanapun juga tak semata dimaknai sebagai sebuah tempat. Lebih dari itu, Trowulan menjadi sebuah saksi ritus kelahiran negeri ini. Ia harus dijaga. Kita bisa saja beralasan bahwa pembangunan pabrik itu tidak di pusat situs. Namun apakah dengan demikian kita dapat menjamin aktivitas pabrik tersebut tak menganggu dan merusak? Hal ini yang kemudian menjadi perdebatan tak kunjung usai hingga kini. Masyarakat pada akhirnya akan melihat sejuah mana para pejabat menghargai sejarah dan kebudayaan. Peritiwa pabrik baja di Trowulan itu menjadi catatan tersendiri mengingat beberapa waktu lalu Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) telah berlangsung di Yogyakarta dengan mengangkat artefak sebagai arus utama pembahasan.
Majapahit memang telah memudar dalam angan, memori dan imajinasi. Namun membangkitkan dan merevitalisasinya dapat dilakukan dengan memaknai kembali kehadirannya di tengah-tengah kita. Pembangunan pabrik di daerah Situs dan benda purbakala yang hangat diperdebatkan kiranya juga tak akan membawa manfaat apapun jika kesadaran untuk merawat, menjaga, mengembangkan peninggalan itu tidak diwujudkan. Lebih indah lagi, jika situs yang ada tak hanya digunakan sebagai ajang bisnis pariwisata, namun dikembalikan pada kodratnya, katalisator yang mempertautkan masa kini dengan masa lalu dan masa depan, Majapahit. Dengan demikian, selamatkan Majapahit, hentikan pembangunan pabrik, jangan lagi mengahapus jejak dan memori sejarah dari peradaban kita.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Memitoskan Museum (dimuat di Koran Solopos 5 Oktober 2013)

Memitoskan Museum



Cukup mengejutkan kala mendengar seruan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh (17/9), bahwa untuk meningkatkan animo masyarakat dan terutama anak-anak mendatangi museum, idealnya digunakan cerita-cerita mistis. Cerita mistis itu tak harus sesuai dengan realitas, yang penting anak-anak tertarik dan mau datang ke museum. Pertanyaannya kemudian, apa beda museum dan kuburan? Bukankah sudah banyak acara televisi yang selama ini menjadikan museum sebagai tempat “uji nyali”, lokasi menyeramkan. Mendatangi museum kemudian tak ada bedanya dengan mendatangi kamar mayat, suram dan menakutkan. Museum bukan lagi tenpat yang menyenangkan sebagai sarana penelitian, pendidikan dan rekreasi. Di sisi lain, bukankah ada cara-cara lain yang lebih realistis dibanding dengan membuat mistos atau cerita-cerita mistis tak berdasar?   

Kuburan
            Tukul Arwana lewat salah satu acara yang dipandunya seringkali mengunjungi tempat-tempat angker di Indonesia untuk ditelisik lebih jauh tentang kandungan nilai kesakralan dan keseramannya. Museum adalah salah satu tempat yang berulangkali dijadikan objek di acara itu. Lewat penerawangan salah satu bintang tamu yang juga paranormal, dikisahkan bahwa tempat-tempat tertentu dan benda-benda di museum menyimpan sejarah kelam. Berbagai mitospun digoreskan, dari yang sepele hingga transenden. Hal ini didukung dengan suasana museum yang juga terlihat menyeramkan dengan tata cahaya remang-remang, sunyi dan sepi. Mendatangi museum membuat bulu kuduk berdiri. Tak semua orang bisa dengan leluasa bercanda, tertawa, bermain di tempat itu jika tak ingin mendapat bala atau kutukan, bahkan mungkin juga kesurupan. Lewat acara itu, jangan heran jika ke esokan harinya tak mampu dijumpai anak-anak yang bermain, tertawa dan senang melihat benda-benda bersejarah. Mereka mungkin ketakutan. Jikapun datang, mereka minta didampingi oleh orangtuanya. Melihat benda-benda cagar budaya bukan lagi pada ujud atau fisiknya yang bercita rasa seni tinggi, namun lebih pada mistos dan cerita seram yang kadang juga tak berdasar alias mengada-ada.
            Ironisnya, kesan museum sebagai kuburan sudah lama kita rasakan. Museum adalah terminal pemberhentian terakhir bagi benda-benda antik. Kata museum justru berkonotasi sebagai kumpulan benda bekas yang lapuk dan kuno. Tak jarang seseorang mengucap “dimuseumkan saja” untuk menyebut benda atau manusia (teman, sahabat dan lain sebagainya) yang dirasa sudah ketinggalan zaman alias katrok. Benda-benda yang tak bermanfaat dan tak memiliki sumbangan penting mencoba untuk “dimuseumkan”. Hal tersebut sudah lazim kita jumpai dalam komunikasi sehari-hari. Oleh karena itu, citra museumpun semakin suram. Hal ini diperparah dengan penjagaan dan perawatan benda koleksi yang cenderung asal-asalan. Hal itu terbukti kala empat benda yang terbuat dari emas koleksi Museum Nasional hilang dicuri. Benda bersejarah peninggalan Kerajaan Mataram Kuno sekitar abad ke-10 hingga abad ke-11 Masehi itu diketahui hilang pada Rabu (11/9) lalu. Kasus kehilangan di Museum Nasional bukanlah yang pertama kali. Kasus terakhir sekitar tahun 1995 ketika sejumlah koleksi keramik dan lukisan milik museum tersebut hilang. Koleksi keramik tidak pernah kembali, sedangkan koleksi lukisan ditemukan saat akan dilelang di luar negeri. Kejadian itu menjadi pukulan telak di tengah berlangsungnya Festival Museum 2013 (tanggal 8 hingga 13 September) di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri Universitas Gadjah Mada (UGM) beberapa waktu lalu.
            Lebir tragisnya, benda-benda berharga itu dicuri kala pihak museum sedang menambah jumlah petugas keamanan, dari 7 petugas menjadi 15 petugas. Kamera pemantau (CCTV) pun sudah sejak lama tak berfungsi alias mati. CCTV kemudian hanya menjadi pajangan tanpa diketahui fungsi dan manfaatnya. Di titik inilah ada semacam kejenuhan dalam mengelola museum. Menjaga museum tak ubahnya menjaga kuburan yang monoton dan penuh dengan kebosanan. Benda-benda antik itu ibarat mayat-mayat yang sudah lama menjadi mumi. Akibatnya, pencuri dengan bebas keluar masuk menjarah. Padahal fungsi museum adalah tempat penelitian serta rekreasi yang menyenangkan bagi keluarga dan anak-anak. Dengan “menyeramkan” museum berarti melegalkan publik untuk lebih menziarahi mal yang dirasa lebih menyenangkan dan menghibur.

Terobosan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah salah satu kementerian yang harusnya paling menjunjung tinggi logika intelektual dan fakta dari pada sesuatu hal yang bersifat transenden, tak berdasar dan mengada-ada. Kementerian ini pula yang membawahi berbagai institusi pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Darinya senantiasa ditekankan tentang kaidah ilmu yang harus beralaskan penjelasan ilmiah dan terukur. Sesuatu yang tak mampu dibuktikan dengan fakta dan data empirik dianggap sebagai omong kosong. Oleh karena itu segala kebijakan dan seruan yang dikeluarkannya haruslah berdasar atas prinsip-prinsip itu. Sayangnya hal tersebut justru tak tersirat dari pernyataan pucuk pimpinan tertinggi kementrian itu dalam wacana menghidupkan museum. Bagi Mendikbud memitoskan  benda-benda museum dengan cerita rekaan bisa menarik minat anak-anak untuk mendatanginya. Kemudian, bukankah hal ini sama saja dengan pembohongan publik? Di mana cerita yang ada tak disertai dasar dan logika yang jelas. Sampai pada titik ini, Mohammad Nuh terkesan mengambil jalan pintas.
Menarik minat generasi masa kini untuk mendatangi museum harusnya dilakukan dengan usaha yang terukur. Jika kita lihat, jarang ada museum yang menjalin kerjasama dengan institusi pendidikan di bawah kemendikbud, sekolah-sekolah misalnya. Idealnya, ada semacam jadwal wajib yang rutin bagi kunjungan pelajar ke museum. Dengan ditemani oleh instruktur yang kompeten dan menyenangkan tentunya. Di sisi lain, museum jarang mampu mengembangkan dirinya. Semata hanya mengandalkan satu sumber dana dari pemerintah. Akibatnya, museum hanya memajang dan memamerkan barang koleksi tanpa ada upaya lain. Bisa saja, pertukaran benda cagar budaya antar museum lain dilakukan. Benda-benda yang ada tak berhenti di satu museum. Publikasi dilakukan dengan baik. Masyarakatpun tak bosan melihat museum karena ada sesuatu yang baru untuk dinikmati.
Bagaimanapun juga museum adalah sarana yang paling efektif dalam melihat sejauh mana manusia Indonesia telah berproses. Museum jarang menjadi rujukan untuk sekedar mengsisi waktu luang. Jakarta yang memiliki lebih dari 60 museum justru lebih dikenal dengan kota metropilis, kota dagang, kota modern dibanding dengan kota museum. Kehilangan benda di Museum Nasional beberapa waktu lalu mengguratkan kisah pedih yang patut kita renungi. Bagaimana tidak, Museum Nasional saja dapat dibobol maling, bagaimana dengan museum daerah yang memiliki tingkat pengamanan dan pengawasan lebih rendah. Lebih penting lagi, sudah selayaknya menghentikan usaha dalam mitosisasi museum sebagai tempat suram dan angker. Stop pembodohan pada anak-anak. Mencintai museum tak harus dengan mengenali cerita suram yang ada di balik benda itu, namun bisa saja diawali dengan memahami keindahan pada benda-benda itu sebagai sebuah karya seni.

Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Pengikut