Menghapus Jejak
Majapahit
Majapahit hanya menjadi mitos yang
mengisahkan kerajaan besar tiada tanding. Mitos itu menyublim lewat buku-buku
pelajaran sekolah yang tertata manis di rak perpustakaan. Selebihnya secara
fisik, Majapahit tak lagi mampu menunjukkan eksistensi. Situs-situs
peninggalannya terabaikan, lapuk dan berdebu. Bahkan, yang cukup mengherankan,
di pusat peradaban situs itu -Trowulan- justru akan dijadikan lahan bisnis,
mendirikan pabrik untuk mengeruk ambisi penuh pamrih. Trowulan tidak lagi tanah
sakral, tempat di mana Indonesia dilahirkan dan meniti jejak peradaban. Sejarah
dan kebudayaan tergadaikan, kalah oleh kepentingan kapital. Berupaya menghapus
memori kita tentang kisah perjuangan para nenek moyang.
Beku
Pertengahan bulan lalu, di Pandaan,
Pemerintah Provinsi Jawa Timur menggelar pertunjukan besar bertajuk Festival Majapahit Internasional yang
diikuti oleh kurang lebih sembilan negara di Asia. Pertunjukan kolosal itu
mengundang riuh tepuk tangan dan decak kagum penonton. Menarasikan kejayaan
Majapahit, berkisah tentang perang, harga diri, cinta, pengorbanan dan
kekuasaan. Pertunjukan itu menjadi oase untuk berimajinasi, membayangkan
kemolekan Majapahit. Penonton yang penasaran mencoba menziarahi situs yang
masih tertinggal. Namun sayang, situs-situs itu kini telah beralih fungsi.
Candi-candi tak lagi mampu mengisahkan jejak langkah kehiduapan Majapahit.
Menjadi bisnis pelancongan dengan agenda pariwisata yang kental. Masyarakat
mengabadikan pelbagai situs dengan senyum dan tawa dalam setiap jepretan
kamera. Menyebar di banyak jejaring sosial. Majapahit menjadi begraound dari lenggak-lenggok pose, terbekukan
dalam lensa.
Kehadiran Majapahit dalam kehidupan masa
kini semakin jarang dijumpai. Anak-anak tak lagi mengenal Gajah Mada, Ken Arok
ataupun Gayatri. Majapahit hilang dalam peredaran daftar dongeng malam
pengantar tidur. Majapahit dihidupkan hanya dalam takaran fisik semata berupa
candi, situs dan benda-benda lain. Selebihnya, bangkrut pemaknaan. Kita tak
mampu melihat dengan gamblang semangat pengorbanan Gajah Mada, keangkuhan Hayam
Wuruk, dan ketulusan cinta Gayatri. Ada pendidikan budi pekerti yang dapat kita
petik dari Majapahit, ada teknologi muthakir, bahasa, konsep kerukunan,
kehidupan harmonis, dan lain sebagainya. Banyangkan bagaimana jika pendidikan
di Jawa Timur atau di Indonesia “berbasis Majapahit”? Dengan mendudukkan sosok
maupun konsep pemikiran muthakir yang relevan dari kerajaan itu. Majapahit
bukan lagi semata fisik, namun juga ruang memori dan imajinasi yang sesak dengan
pemaknaan.
Mempelajari dan menggali sejarah
Majapahit hingga tuntas dapat menjelaskan hasrat kekuasaan Indonesia mutakhir
dan sebaliknya (Doddy Wismu, 2012). Gambaran begitu kompleksnya Majapahit
paling tidak mampu memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi universum kajian-kajian
kehidupan di masa kini. Kita kadang terlalu disibukkan dengan aktivitas
kebendaan, penemuan dan penggalian. Benda-benda penemuan itu kemudian
termuseumkan. Menjadi pajangan yang kehadirannya kadang tak terawat dan rawan pencurian.
Banyak penelitian yang dilakukan untuk menguak sisi lain Majapahit, namun penelitian
itu kadang malah terlalu formal, intelektual, ilmiah dengan bahasa yang ribet. Akibatnya
tak terbaca publik dan lapuk termakan rayap di perpustakaan. Masyarakat semakin
gundah dalam menelisik Majapahit.
Kapital dan
Mental
Lebih ironisnya, penghapusan Majapahit
dalam momori dan imajinasi sedang diberlangsungkan, kita justru dikejutkan
dengan pembangunan pabrik baja di Trowulan “ibukota” Majapahit (Jawa Pos 10/10/13).
Tanah sakral itu ternyata cukup menggiurkan untuk dijadikan lahan mengeruk uang.
Masyarakat kemudian disuguhi drama, antara imajinasi masa lampau dan sepiring
nasi demi masa depan. Kalangan budayawan, seniman, masyarakat adat menentang
pembangunan itu. Di sisi lain, pemilik pabrik juga tak dapat disalahkan. Ia
justru dengan gamblang mengisahkan bagaimana mudahnya mendapat perijinan dari
dinas terkait. Pada konteks inilah mental para pejabat dan pemegang kekuasaan
dipertanyakan. Kasus itu mengingatkan kita kala Saripetojo –bangunan cagar
budaya bekas pabrik es- di Solo hendak disandingkan dengan mal, namun ditolak
habis-habisan oleh Jokowi (Walikota Solo saat itu). Penolakan Jokowi mematik
amarah Gubernur (Bibit Waluyo) yang dengan lantang berucap “walikota bodoh”.
Jokowi saat itu menyadari bahwa
Saripetojo merupakan salah satu jatidiri pembentuk Solo. Kota yang hendak
membangun diri sebagai pusat kota budaya (the
spirit of Java) itu menolak
agresi kapital dalam merobohkan tatanan kultural. Mal di Solo dan Pabrik baja
di Trowulan berusaha mempertarungkan antara tradisi dan bisnis. Tradisi
diwakili oleh situs dan tanah, sementara bisnis adalah mal dan pabrik -urusan uang-.
Mentalitas kaum birokrat belum sepenuhnya menyadari pentingnya memelihara dan
membangun kebudayaan sebagai tatanan prilaku hidup. Kebudayaan masih dianggap
sebagai anak tiri yang tak mampu menghasilkan keuntungan. Malah tergolong
menghambur-hamburkan anggaran. Kebudayaan belum menjadi fokus utama dalam arus
roda kepemimpinan negeri ini. Struktur pemaknaan utama masih berpusat pada
ruang ekonomi alias hitung-hitungan untung-rugi, sehingga universum kebudayaan
terabaikan. Akibatnya, institusi-institusi kebudayaan didekte oleh kepentingan
kapitalisme.
Dengan kata lain, tekanan kapital
membuat kaum birokrat, pejabat -selaku pengambil kebijakan- mengubah semua
institusinya sebagai “pabrik” penarik modal sebanyak-banyaknya (Haryatmoko,
2009). Di satu sisi, selama ini kantung-kantung kebudayaan dirasa tak memberi
sumbangan yang signifikan dan tak selaras dengan misi kapital tersebut. Di sisi
lain, merekapun dikelola dengan asal dan terkesan seenaknya. Siapapun seolah
dapat ditunjuk sebagai kepala dinas, tanpa memiliki basis visi budaya yang
jelas. Bahkan muncul pameo, menjadi pimpinan di suatu kantung kebudayaan seolah
membajak ladang gersang yang tak memberi keuntungan, alias nasib lagi apes!
Mutasi ke kantung kebudayaan menjadi momok yang menakutkan.
Trowulan bagaimanapun juga tak semata
dimaknai sebagai sebuah tempat. Lebih dari itu, Trowulan menjadi sebuah saksi ritus
kelahiran negeri ini. Ia harus dijaga. Kita bisa saja beralasan bahwa
pembangunan pabrik itu tidak di pusat situs. Namun apakah dengan demikian kita
dapat menjamin aktivitas pabrik tersebut tak menganggu dan merusak? Hal ini
yang kemudian menjadi perdebatan tak kunjung usai hingga kini. Masyarakat pada akhirnya
akan melihat sejuah mana para pejabat menghargai sejarah dan kebudayaan. Peritiwa
pabrik baja di Trowulan itu menjadi catatan tersendiri mengingat beberapa waktu
lalu Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) telah berlangsung di Yogyakarta dengan
mengangkat artefak sebagai arus utama pembahasan.
Majapahit memang telah memudar dalam
angan, memori dan imajinasi. Namun membangkitkan dan merevitalisasinya dapat
dilakukan dengan memaknai kembali kehadirannya di tengah-tengah kita.
Pembangunan pabrik di daerah Situs dan benda purbakala yang hangat
diperdebatkan kiranya juga tak akan membawa manfaat apapun jika kesadaran untuk
merawat, menjaga, mengembangkan peninggalan itu tidak diwujudkan. Lebih indah
lagi, jika situs yang ada tak hanya digunakan sebagai ajang bisnis pariwisata,
namun dikembalikan pada kodratnya, katalisator yang mempertautkan masa kini
dengan masa lalu dan masa depan, Majapahit. Dengan demikian, selamatkan Majapahit,
hentikan pembangunan pabrik, jangan lagi mengahapus jejak dan memori sejarah dari
peradaban kita.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
1 komentar:
Memaknai peradaban tanpa di dasari materi ajar yang jelas sulit untuk merevitalisasikannya lho...
Posting Komentar