Perayaan Waktu
Tahun telah berganti. Selebrasi dan
pesta senantiasa dihadirkan dalam menyambut datangnya tahun baru. Dari perayaan
warna lampu hingga bisingnya kembang api dan terompet. Jalan-jalan telah menjadi
lautan manusia. Waktu baru menjadi penanda untuk segala harapan, angan dan
cita-cita baru. Waktu tak hanya sebatas susunan angka dalam kalender. Namun
juga sebagai penanda hidup manusia. Waktu menentukan hasrat untuk menguasai.
Aktivitas manusia ditentukan dan dipatok oleh waktu. Deret angka dalam kalender
kemudian disesaki oleh lingkaran merah sebagai simbol bahwa di saat itu sebuah
peristiwa penting dan besar akan dilakukan. Manusia semakin merapatkan laku
hidup menjadi lebih cepat dan ringkas. Mereka kini memandang waktu sebagai
uang, membuang waktu berarti hidup merugi. Kebudayaan bergerak ditentukan oleh imajinasi
tentang waktu. Muncullah banyak interpretasi. Jawa dengan kejawaannya, Cina
dengan ramalan shionya, agama dengan kisah suci hari dan bulannya. Semua
berbeda dan memiliki keunikan tersendiri. Waktu juga menandakan identitas dan
keragaman kultur.
Penanggalan
Pergantian waktu berarti hujan ramalan. Tahun
baru menjadi masa depan yang sesak dengan mitos. Paranormal memanen hasil,
setiap saat muncul di layar kaca infotaimen. Manusia menata hidup penuh
harapan. Segala rencana dihadirkan dan ditata. Waktu memberi imajinasi tentang penandaan
pelbagai kisah. Banyak cerita digoreskan berhubungan dengan waktu. Manusia
Indonesia kemudian mengenal waktu sebagai siklus kehidupan. Bulan Suro dianggap
sebagai bulan sakral dan pamali mengadakan pesta dan hajatan. Minggu dianggap
sebagai ahad atau hari libur dari rutinitas bekerja. Malam Jumat Kliwon sebagai
malam keramat. Waktu mengisahkan hitung-hitungan angka penentu kebijakan
tentang puasa, naik pangkat, jodoh, dan bencana. Hidup manusia berhimpitan
dengan waktu. Penentuan “pukul” pada jam tangan, dinding dan layar digital di
handphone menjadi penting dalam penjadwalan rutinitas rapat, bercinta, makan
dan tidur. Manusia masa kini menjadi “manusia waktu” yang digerakkan oleh
mesin-mesin elektronik. Alarm menggantikan peran manusia untuk saling
mengingatkan dan bertegur sapa. Waktu menyublim menjadi perangkat canggih,
membuat hidup manusia lebih fleksibel dan ringkas namun menihilkan sisi
humanitas.
Manusia semata terpaku dengan rutinitas
kerja berdasarkan hitungan waktu. Hidup dihabiskan untuk memburu waktu. Sekali
lagi, waktu adalah uang, jangan lagi membuang-buang waktu. Anggapan itu senantiasa
didengungkan, menarasikan bahwa waktu hanya kisah tentang “untung-rugi”. Waktu
adalah anak kapitalisme. Semata hanya berisi ambisi penuh pamrih. Harus ada
waktu khusus yang terjadwal untuk bertegur sapa dengan tetangga atau berjumpa
keluarga. Nukilan tentang waktu kemudian hadir menjadi bentuk pemaknaam baru.
Manusia masa kini mengenal kehidupan laksana roda yang berputar, kadang di
bawah dan kadang di atas. Kadang untung dan kadang harus merugi alias apes. Siklus
hidup sama layaknya dengan perputaran jam dinding. Waktu hadir sebagai penanda
ruang untuk dikenang dan diabadikan menjadi kisah. Hari kemerdekaan diabadikan
setiap tahunnya lewat waktu. Kisah-kisah para nabi dan tokoh penting dunia ditandaskan
lewat waktu. Kita kemudian berusaha membekukan waktu dalam ujud monumen dan piagam.
Jejak tantang waktu itu terpahat dan tertulis abadi untuk mengembalikan memori
kita menapaki masa lalu. Setiap peristiwa besar dan penting “dipeti-eskan”
lewat jejak waktu. Deretan angka dalam sistem penanggalan kita penuh sesak oleh
pembekuan kisah. Bahkan di antaranya menjadi waktu (hari) nasional yang
diperingati dan dilabeli dengan warna merah. Pertanda penghormatan dan juga
peliburan segala aktifitas kerja. Indonesia bahkan menyulap dirinya sebagai
negeri “tanggal merah”. Pemerintah berlomba-lomba membuat hari penting nasional.
Kita ingin melupakan bahwa waktu
mengikis tubuh dan daya hidup manusia. Kita seolah takut tentang siklus waktu
yang menghilangkan kehadiran manusia di dunia ini. Waktu membuat hidup manusia
tidak abadi. Keabadian hanya milik waktu itu sendiri. Manusia sekuat tenaga menyangkal
dirinya akan mati. Setiap perayaan ulang tahun dihadapai dengan nyanyian suka
cita. Memanjatkan dendang lagu “panjang umur serta mulia”. Semakin panjang usia
seseorang dianggap mampu melawan waktu. Manusia takut tua, keriput dan tak bertenaga.
Waktu harus dilawan dengan pelbagai hal. Jeratan konsumerisme menjadi tumbuh
subur. Wanita mendandani wajahnya dengan pelbagai kosmetik mahal untuk
menghindarkan diri dari keriput. Operasi tubuh dilakukan. Menjadi tua berarti
menyerah pada waktu. Perlawanan terhadap waktu menjadi bisnis menggiurkan oleh
beberapa pihak kapital. Manusia ingin selalu ada dan berkuasa namun lalai bahwa
waktu akan membunuhnya. Dengan demikian, waktu di satu sisi membawa harapan dan
cita-cita. Namun di sisi lain juga membawa derita dan kematian.
Kontemplasi
Pergantian waktu dalam hitungan tahun
membuncahkan pesta. 2013 hilang menjadi kenangan. Sementara di awal 2014 datang
penuh tawa serta bising. Tak ada yang berubah dengan angka-angka dalam
kalender. Manusia justru dihadapkan pada pertarungan hidup yang semakin keras.
Segala target baru yang lebih ketat dibuat, keuntungan diharap dapat berlipat.
Berimbas pada waktu kerja yang semakin padat. Manusia masa kini kemudian
menjadi hamba waktu. Namun bercita agar dapat “melipat waktu”. Segala teknologi
dicipta untuk menyiasati waktu. Kendaraan-kendaraan cepat dihadirkan guna
memangkas jarak pertemuan agar menjadi lebih pendek. Alat-alat telekomunikasi
dijajakan dengan banyak fitur, menghubungkan satu orang dengan orang lain agar
dapat bertegur sapa tanpa harus bertemu secara langsung. Manusia dapat berdiam
diri di kamar namun sejatinya sedang bersosialisasi dengan yang lain lewat
perangkat canggih tersebut. Persentuhan tubuh tidak lagi penting dan dianggap
memboroskan waktu.
Efisiensi menjadi puncak dari segala fungsi
alat canggih itu. Anak-anak masa kini tak begitu mengenal ayah dan ibunya,
karena pertemuan harus dihambat waktu. Perjumpaan dilakukan lewat digit-digit
teknologi. Ucapan belasungkawa pada kematian sahabat cukup lewat sms dan
telepon tanpa harus datang langsung. Membeli barang cukup berdiam di depan
laptop. Membayar tiket kereta tak harus datang ke stasiun, cukup lewat online. Semakin
cepat dalam menyiasati waktu dianggap semakin berhasil. Penghamburan waktu
menjadi momok yang menakutkan bagi manusia di abad kini. Kita jarang memaknai
pergantian waktu dengan kontemplasi atau perenungan diri. Manusia terjebak
dalam kisaran ingar bingar pesta. Tak ada kaleidoskop untuk meniti jejak yang
telah dilakukan, yang ada hanya ambisi untuk meraih keuntungan di masa yang
akan datang. Tak ada “ruang sunyi” untuk mendekatkan diri pada sang pembuat
waktu. Yang ada adalah keriuhan dan ingar-bingar bising.
Kita alpa dalam memaknai waktu sebagai
jalan menuju “titik akhir”. Semata hanya ujud baru yang membuat rutinitas hidup
semakin padat. Manusia melupakan lelah dan istirahat. Waktu diisi dengan
aktifitas kerja dan kerja. Tubuh manusia abad XXI menjadi mesin, senantiasa
dituntut memproduksi. Waktu kemudian membunuh kebudayaan. Namun waktu pula yang
melahirkan kebudayaan baru bernama kapital. Manusia teraleniasi karena tak
mampu mengikuti jejak waktu. Bahkan di antaranya dianggap ketinggalan zaman
alias katrok. Waktu (kapital) menimbulkan pembabakan baru yang memonopoli hidup
manusia, dari gaya penampilan hingga laku selera makan. Oleh karena itu, sudah
siapkan kita menghadapai 2014 dengan pelbagai jebakan waktu? Tentukan pilihan,
dan jangan lupa, lingkari angka pada kalender anda.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar