Perayaan Waktu (dimuat di Koran Joglosemar edisi 2 Januari 2014)



Perayaan Waktu



Tahun telah berganti. Selebrasi dan pesta senantiasa dihadirkan dalam menyambut datangnya tahun baru. Dari perayaan warna lampu hingga bisingnya kembang api dan terompet. Jalan-jalan telah menjadi lautan manusia. Waktu baru menjadi penanda untuk segala harapan, angan dan cita-cita baru. Waktu tak hanya sebatas susunan angka dalam kalender. Namun juga sebagai penanda hidup manusia. Waktu menentukan hasrat untuk menguasai. Aktivitas manusia ditentukan dan dipatok oleh waktu. Deret angka dalam kalender kemudian disesaki oleh lingkaran merah sebagai simbol bahwa di saat itu sebuah peristiwa penting dan besar akan dilakukan. Manusia semakin merapatkan laku hidup menjadi lebih cepat dan ringkas. Mereka kini memandang waktu sebagai uang, membuang waktu berarti hidup merugi. Kebudayaan bergerak ditentukan oleh imajinasi tentang waktu. Muncullah banyak interpretasi. Jawa dengan kejawaannya, Cina dengan ramalan shionya, agama dengan kisah suci hari dan bulannya. Semua berbeda dan memiliki keunikan tersendiri. Waktu juga menandakan identitas dan keragaman kultur.

Penanggalan
Pergantian waktu berarti hujan ramalan. Tahun baru menjadi masa depan yang sesak dengan mitos. Paranormal memanen hasil, setiap saat muncul di layar kaca infotaimen. Manusia menata hidup penuh harapan. Segala rencana dihadirkan dan ditata. Waktu memberi imajinasi tentang penandaan pelbagai kisah. Banyak cerita digoreskan berhubungan dengan waktu. Manusia Indonesia kemudian mengenal waktu sebagai siklus kehidupan. Bulan Suro dianggap sebagai bulan sakral dan pamali mengadakan pesta dan hajatan. Minggu dianggap sebagai ahad atau hari libur dari rutinitas bekerja. Malam Jumat Kliwon sebagai malam keramat. Waktu mengisahkan hitung-hitungan angka penentu kebijakan tentang puasa, naik pangkat, jodoh, dan bencana. Hidup manusia berhimpitan dengan waktu. Penentuan “pukul” pada jam tangan, dinding dan layar digital di handphone menjadi penting dalam penjadwalan rutinitas rapat, bercinta, makan dan tidur. Manusia masa kini menjadi “manusia waktu” yang digerakkan oleh mesin-mesin elektronik. Alarm menggantikan peran manusia untuk saling mengingatkan dan bertegur sapa. Waktu menyublim menjadi perangkat canggih, membuat hidup manusia lebih fleksibel dan ringkas namun menihilkan sisi humanitas.
Manusia semata terpaku dengan rutinitas kerja berdasarkan hitungan waktu. Hidup dihabiskan untuk memburu waktu. Sekali lagi, waktu adalah uang, jangan lagi membuang-buang waktu. Anggapan itu senantiasa didengungkan, menarasikan bahwa waktu hanya kisah tentang “untung-rugi”. Waktu adalah anak kapitalisme. Semata hanya berisi ambisi penuh pamrih. Harus ada waktu khusus yang terjadwal untuk bertegur sapa dengan tetangga atau berjumpa keluarga. Nukilan tentang waktu kemudian hadir menjadi bentuk pemaknaam baru. Manusia masa kini mengenal kehidupan laksana roda yang berputar, kadang di bawah dan kadang di atas. Kadang untung dan kadang harus merugi alias apes. Siklus hidup sama layaknya dengan perputaran jam dinding. Waktu hadir sebagai penanda ruang untuk dikenang dan diabadikan menjadi kisah. Hari kemerdekaan diabadikan setiap tahunnya lewat waktu. Kisah-kisah para nabi dan tokoh penting dunia ditandaskan lewat waktu. Kita kemudian berusaha membekukan waktu dalam ujud monumen dan piagam. Jejak tantang waktu itu terpahat dan tertulis abadi untuk mengembalikan memori kita menapaki masa lalu. Setiap peristiwa besar dan penting “dipeti-eskan” lewat jejak waktu. Deretan angka dalam sistem penanggalan kita penuh sesak oleh pembekuan kisah. Bahkan di antaranya menjadi waktu (hari) nasional yang diperingati dan dilabeli dengan warna merah. Pertanda penghormatan dan juga peliburan segala aktifitas kerja. Indonesia bahkan menyulap dirinya sebagai negeri “tanggal merah”. Pemerintah berlomba-lomba membuat hari penting nasional.
Kita ingin melupakan bahwa waktu mengikis tubuh dan daya hidup manusia. Kita seolah takut tentang siklus waktu yang menghilangkan kehadiran manusia di dunia ini. Waktu membuat hidup manusia tidak abadi. Keabadian hanya milik waktu itu sendiri. Manusia sekuat tenaga menyangkal dirinya akan mati. Setiap perayaan ulang tahun dihadapai dengan nyanyian suka cita. Memanjatkan dendang lagu “panjang umur serta mulia”. Semakin panjang usia seseorang dianggap mampu melawan waktu. Manusia takut tua, keriput dan tak bertenaga. Waktu harus dilawan dengan pelbagai hal. Jeratan konsumerisme menjadi tumbuh subur. Wanita mendandani wajahnya dengan pelbagai kosmetik mahal untuk menghindarkan diri dari keriput. Operasi tubuh dilakukan. Menjadi tua berarti menyerah pada waktu. Perlawanan terhadap waktu menjadi bisnis menggiurkan oleh beberapa pihak kapital. Manusia ingin selalu ada dan berkuasa namun lalai bahwa waktu akan membunuhnya. Dengan demikian, waktu di satu sisi membawa harapan dan cita-cita. Namun di sisi lain juga membawa derita dan kematian.



Kontemplasi
Pergantian waktu dalam hitungan tahun membuncahkan pesta. 2013 hilang menjadi kenangan. Sementara di awal 2014 datang penuh tawa serta bising. Tak ada yang berubah dengan angka-angka dalam kalender. Manusia justru dihadapkan pada pertarungan hidup yang semakin keras. Segala target baru yang lebih ketat dibuat, keuntungan diharap dapat berlipat. Berimbas pada waktu kerja yang semakin padat. Manusia masa kini kemudian menjadi hamba waktu. Namun bercita agar dapat “melipat waktu”. Segala teknologi dicipta untuk menyiasati waktu. Kendaraan-kendaraan cepat dihadirkan guna memangkas jarak pertemuan agar menjadi lebih pendek. Alat-alat telekomunikasi dijajakan dengan banyak fitur, menghubungkan satu orang dengan orang lain agar dapat bertegur sapa tanpa harus bertemu secara langsung. Manusia dapat berdiam diri di kamar namun sejatinya sedang bersosialisasi dengan yang lain lewat perangkat canggih tersebut. Persentuhan tubuh tidak lagi penting dan dianggap memboroskan waktu.
Efisiensi menjadi puncak dari segala fungsi alat canggih itu. Anak-anak masa kini tak begitu mengenal ayah dan ibunya, karena pertemuan harus dihambat waktu. Perjumpaan dilakukan lewat digit-digit teknologi. Ucapan belasungkawa pada kematian sahabat cukup lewat sms dan telepon tanpa harus datang langsung. Membeli barang cukup berdiam di depan laptop. Membayar tiket kereta tak harus datang ke stasiun, cukup lewat online. Semakin cepat dalam menyiasati waktu dianggap semakin berhasil. Penghamburan waktu menjadi momok yang menakutkan bagi manusia di abad kini. Kita jarang memaknai pergantian waktu dengan kontemplasi atau perenungan diri. Manusia terjebak dalam kisaran ingar bingar pesta. Tak ada kaleidoskop untuk meniti jejak yang telah dilakukan, yang ada hanya ambisi untuk meraih keuntungan di masa yang akan datang. Tak ada “ruang sunyi” untuk mendekatkan diri pada sang pembuat waktu. Yang ada adalah keriuhan dan ingar-bingar bising.
Kita alpa dalam memaknai waktu sebagai jalan menuju “titik akhir”. Semata hanya ujud baru yang membuat rutinitas hidup semakin padat. Manusia melupakan lelah dan istirahat. Waktu diisi dengan aktifitas kerja dan kerja. Tubuh manusia abad XXI menjadi mesin, senantiasa dituntut memproduksi. Waktu kemudian membunuh kebudayaan. Namun waktu pula yang melahirkan kebudayaan baru bernama kapital. Manusia teraleniasi karena tak mampu mengikuti jejak waktu. Bahkan di antaranya dianggap ketinggalan zaman alias katrok. Waktu (kapital) menimbulkan pembabakan baru yang memonopoli hidup manusia, dari gaya penampilan hingga laku selera makan. Oleh karena itu, sudah siapkan kita menghadapai 2014 dengan pelbagai jebakan waktu? Tentukan pilihan, dan jangan lupa, lingkari angka pada kalender anda.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut