Guru Berlagu (dimuat di Jawa Pos, 27 November 2013)



Guru Berlagu



Hari guru di bulan ini (25 November) senantiasa diiringi dengan dendang Hymne Guru yang mengisahkan puja-puji guru. Dalam nyanyian itu, guru menjadi sosok terpuji, embun penyejuk dalam kehausan, pelita yang menerangi kegelapan. Namun ada satu kalimat lagu yang kemudian menjadi perdebatan. Teks musikal yang menarasikan guru sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” sudah tak lagi dianggap relevan dengan kondisi zaman di abad XXI kini. Guru telah bertabur pamrih dan jasa. Guru menapaki kehidupan yang layak, tak lagi bisa disebut miskin apalagi kekurangan. Ribuan orang berebut menjadi guru. Mengajar adalah profesi yang membanggakan. Profesi idaman dan dambaan. Teks musikal “tanpa tanda jasa” itupun beralih “pembangun insan cendekia”. Lagu guru telah berganti baju. Pertanyaannya kemudian, pentingkah perubahan teks musikal itu dilakukan? Bukankah musik tak semata berisi tentang nada, namun juga penggerak sejarah Indonesia?

Ziarah Nada
Musik telah turut menggerakkan roda sejarah Indonesia. Banyak momentum dan peristiwa bersejarah dikisahkan lewat lagu. Musik juga menjadi pahlawan yang menghantarkan manusia masa kini untuk kembali menapaki jejak perjuangan bangsa atas peristiwa besar yang pernah terjadi. Musik menyelinap di balik selebrasi peringatan hari-hari besar. Menjadi lagu wajib yang diajarkan di setiap bangku sekolahan. Dengan demikian, menyanyikan musik tak semata menziarahi nada, namun juga sebuah ritus untuk kembali menelisik tentang siapa dan dari mana kita berasal. Para komposer musik adalah sosok yang kadang terlupakan. Indonesia negeri yang kaya musik namun miskin mengukuhkan pencipta sebagai pahlawan. Kita senantiasa mengunakan musik, namun menihilkan jasa para pencipta. Sartono misalnya, pencipta lagu Hymne Guru, hingga masa purna tugasnya sebagai guru tahun 2002 lalu, masih menyandang guru honorer. Tak pernah mendapatkan gaji pensiun. Semasa mengajar sebagai guru musik ia menerima gaji Rp. 60.000 perbulan. Hal yang kontradiktif, di saat para guru lainnya sedang menikmati pesta kejayaan. Sang guru berlagu justru terabaikan.
Di hymne itu, Sartono begitu mafhum mendendangkan narasi guru di zamannya. Teks musikalnya sederhana, namun jelas, lugas dan bernas. Ia melukiskan sosok guru dari kacamata seorang guru. Hasilnya sesuai realitas, tak hiperbolis, apalagi mengada-ada. Indonesia adalah negeri yang membutuhkan nyanyian untuk mengenang dan berkisah. Hari guru kemudian bukan sekadar tanggal upacara. Namun juga hari untuk bernyanyi Hymne Guru. Lagu itu kembali menggema di antero negeri di bulan ini. Mengajak para murid melihat guru dalam balutan nada dan harmoni. Kisah guru dalam lagu juga pernah dinyanyikan oleh Iwan falsh lewat Oemar Bakrie (1981). Iwan justru lebih gamblang dan berani melukiskan Oemar Bakri sebagai seorang guru yang telah mengabdi selama 40 tahun. Banyak menjadikan muridnya profesor dan menteri. Namun sayang, gajinya seperti dikebiri. Iwan dan lagunya adalah satir dari masyarakat akar rumput -yang tak lain adalah guru-, pada pemerintah kala itu. Ia menwakili ribuan guru dalam menyuarakan ketertindasan hidup. Lagu Iwan Fals masih dinyanyikan merdu hingga kini. Walaupun dalam realitasnya, banyak guru telah menemukan ruang kemuliaan.
Lagu-lagu itu laksana monumen yang mengingatkan kita tentang sejarah dunia “per-guru-an” di Indonesia. Karenanya, dengan merubah teks lagu, bukankah akan merubah fakta sejarah yang pernah ada? Tak ada lagi “pahlawan tanpa tanda jasa”. Anak-anak masa kini mungkin tak lagi mengetahui bagaimana sejarah nasib guru di Indonesia, yang disemai dari peluh dan sulitnya perjuangan hidup. Lagu tentang guru dapat dengan mudah dirubah dan diganti. Kita lupa bahwa dalam lirik dan nada ada fakta sejarah yang tak bisa diingkari. Dalam lagu ada doa dan air mata. Hymne Guru dan kata Pahlawan Tanpa Tanda Jasa telah menjadi senyawa yang tak bisa dipisahkan. Lagu itu tercipta di tahun 1980. Memotret guru sesuai realitas di zamannya. Kini lagu itu telah berusia 32 tahun. Belum ada lagu sepadan yang menandinginya dalam melukiskan sosok guru. Lagu Hymne Guru justru dianggap telah membasi alias ketinggalan zaman. Tak mampu lagi memotret nasib guru sesuai dengan kenyataan di masa kini. Manusia Indonesia justru enggan untuk mencipta dan miskin kreativitas bermusik. Akibatnya, tak ada jalan lain, lebih baik merubah –jika tak boleh dibilang merusak- dari pada berkompetisi mencipta lagu baru.

Ironi
Karsono lewat tulisannya Hymne Guru: Kontradiksi Teks dan Konteks (2012) mengamati bagaimana perubahan sosial yang terjadi dengan nasib hidup guru dari zaman ke zaman. Pada akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa perubahan teks musikal dalam Hymne Guru menjadi penting untuk dilakukan. Institusi yang berperan besar dalam perubahan teks lagu tersebut adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNS Surakarta. Bahkan, untuk mendapatkan keabsahan perubahan teks lagu, dekan FKIP UNS, Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, secara khusus meminta ijin kepada Sartono si pencipta lagu. Diterbitkanlah surat edaran dari Persatuan Guru Republik Indonesia Nomor: 447/Um/PB/XIX/2007 tentang publikasai perubahan teks Hymne Guru pada baris terakhir, dari kalimat “tanpa tanda jasa” menjadi “pembangun insan cendikea. Empat tahun berikutnya, dalam acara penganugerahaan FKIP Awards pada 9 September 2011, Sartono untuk pertama kalinya ikut menyanyikan teks lagu versi perubahan tersebut.
Tidak ada yang salah memang. Namun ada kisah yang hilang dalam lantunan lagu versi baru itu. Dan kisah itu adalah bab terpenting dalam pembabakan sejarah pendidikan Indonesia. Tak sekadar susunan kata bernada, namun juga narasi pengorbanan, pengalaman dan perjuangan. Kalimat “tanpa tanda jasa” menunjukkan pengabdian guru yang suci. Tak menghamba pada materi. Tulus dalam menyemai insan cerdas berintelektual. Kata itu justru menjadi nyanyian yang menyadarkan guru di masa kini. Napak tilas, menjelaskan siapa dan dari mana kita berasal. Lagu Hymne Guru diperdengarkan ke publik sebagai rujukan dalam mengenang peristiwa bersejarah. Dengan hilangnya teks kalimat lagu tersebut berarti hilang pula jejak historis-kulturalnya. Kita patut bersedih karena gubahan lagu itu berlangsung sepihak. Tanpa disertai dengan diskusi dan perjalanan panjang dalam konteks kebudayaan. Tak lagi melihat fakta sejarah, semata mengganti tanpa menelisik arti.
Indonesia telah berubah, nasib guru telah terentas dari kisah pahit di masa Sartono dan Iwan Fals. Sekolah-sekolah musik tumbuh subur. Seniman dan komposer menyesaki ruang layar kaca kita. Tapi belum terbesit untuk berkompetisi melahirkan lagu yang setara dengan karya Sartono dan Iwan. Gurupun menjadi miskin lagu. Penghormatan padanya tak cukup dengan mencium tangan dan berkata santun. Menghormatinya justru abadi dengan lantunan nada yang mengandung doa. Lagu adalah ungkapan jiwa. Kita masih mempertahankan Hymne Guru namun malu untuk menyanyikan teks aslinya. Gubahan teks baru semata hanya memanjakan beberapa guru yang kini nasibnya telah mulia. Sementara di pelosok sana, banyak guru yang serba kekurangan, mengabdi puluhan tahun tanpa pamrih, menjalani hidup dengan penuh ambisi untuk melihat murid-muridnya menjadi pemimpin yang baik di negeri ini. Merekalah yang masih pantas membutuhkan Hymne dengan menyebut dirinya sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Tanpa tanda jasa untuk Hymne era 80 an..mereka mengabdi dengan ikhlas tanpa pamrih..adanya tunjangan tetek bengek maka Hymne Guru 'tanpa tada jahasa' diganti 'Insan nan cendikia'...apapun iti hidup guru jasamu sangat berarti bagi negeri ini...

Pengikut