Kisah Gong Gamelan (dimuat di Suara Merdeka, 30 Maret 2014)

Kisah Gong Gamelan



Di Jawa, gong dalam perangkat gamelan ageng menjadi instrumen paling besar. Bentuknya bulat berpencu. Gaung suaranya menggema panjang. Gong menjadi penanda orkestrasi sebuah gending untuk dimulai atau diakhiri. Bahkan masyarakat Jawa meyakini, gong tak sekadar alat musik, namun sesak dengan pelbagai timbunan mitos. Dibanding dengan instrumen gamelan yang lain, cara membuat gong tergolong lebih kompleks dan rumit. Sebelum gong dibuat, para penempa (pande) harus melakukan ritual atau laku khusus seperti puasa, semedi dan tirakat. Hal itu dilakukan agar mendapatkan hidayah berupa keselamatan selama pembuatan gong. Terhindar dari bahaya semacam percikan api di besalen. Serta gong buatannya menjadi lebih “ber-aura”. Gong diyakini membawa peruntungan dan kisah tersendiri bagi masyarakat Jawa. Ia dianggap sebagai “rumah” bagi para dewa dan arwah leluhur. Karenanya, banyak sesaji dupa, kembang tujuh rupa dan kemenyan senantiasa diletakkan di dekat gong -bukan pada instrumen yang lain-. Gong menjadi benda suci yang dikeramatnya. Ia menjelma sebagai sang “Kyai” dan “Nyai”. Nama prestisius yang hanya diberikan pada makhluk pembawa berkah dan pemberi kutuk. Lihatlah Kyai Macam Putih, Kyai Surak, Kyai Kumitir, Kyai Gerah Kapat, Kyai Muncar, Nyai Sepet Madu, Kyai Kanyut Mesem.
Kala perayaan Sekaten berlangsung di Solo, ratusan orang “ngalap berkah” lewat gong Kyai Guntur Sari dan Guntur Madu. Mereka memanjatkan doa, harapan dan membuka nadhar kehidupan. Hal ini bukan berarti mereka menyembah gong. Peristiwa itu adalah wujud “negosiasi” manusia Jawa kepada tuhannnya dengan meghadirkan gong sebagai modal. Gong adalah “simbol” dunia kosmis, muara bertemunya bagi hamba dan gusti. Dalam konteks musikalitas, gong menjadi puncak bunyi yang paling ditunggu. Gending yang dibunyikan senantiasa memiliki beberapa siklus perutaran. Bunyi gong berarti menandakan telah terlewatinya satu rangkaian gending secara utuh. Gong menjadi “instrumen struktural” dalam karawitan Jawa. Kehadirannya membentuk struktur gending, sama seperti kenong, ketuk dan kempul. Bunyi gong tidak serta merta sesuai dengan ketukan (tempo dan ritme) gending. Justru sebaliknya, bunyi gong yang indah adalah yang nggandul atau terlambat dalam beberapa detik. Hal ini menjadi ciri estetik yang tipikial bagi musik Jawa atau gamelan.
Dalam konteks sosial, gong menjadi penanda bagi sebuah hajat agung untuk digelar. Lihatlah, sebelum acara besar dimulai, senantiasa ditandai dengan pemukulan gong terlebih dahulu. Pemukul (penabuh) gong bukanlah sebarang orang, namun tokoh penting yang diagungkan seperti pejabat, presiden, gubernur dan lain sebagainya. Gong mengawali harapan baru untuk kehidupan yang lebih baik. Dentum bunyi gong laksana untaian doa yang menggema. Kehadiran gong menghiasi acara-acara besar di Indonesia. Namun sayang, hal itu berbanding terbalik dengan nasib para pembuat gong. Pertaruhan nyawa dalam membuat gong tak diimbangi dengan hasil atau pamrih yang disemai. Para pande itu tetap hidup dalam kepungan kemiskinan, sementara hasil karyanya telah menggema ke penjuru dunia. Hal ini yang oleh I Wayan Sadra (komponis) dijadikan sebagai salah satu tema karyanya dengan judul Otot Kawat Balung Wesi (2007). Sadra mencoba berkisah tentang kepedihan nasib para pembuat gong.

Kerukuranan
Narasi kerukunan hidup di dunia juga dimonumen dan disimbolkan lewat “Gong Perdamaian” yang dimonumenkan di beberapa negara di antaranya Indonesia, Swiss, China dan Hungaria. Bentunya sama dengan gong yang ada di Jawa, bulat berpencu. Gong kemudian dianggap sebagai alat musik yang tak hanya mempresentasikan Jawa namun juga nusantara bahkan dunia. Kisah-kisah tentang gong telah berpendar luas. Lihatlah masyarakat Dayak di Kalimantan, gong menjadi simbol kehormatan sekaligus legitimasi atas kekuasaan seseorang. Hanya kepala suku dan istri yang diperbolehkan duduk di atas gong. Gong juga menjadi syarat bagi berlangsungnya ritual sakral seperti upacara kematian pada mayarakat Dayak Banuaq (Joko Gombloh, 2009). Di Bali, penghormatan terhadap gong diabadikan sebagai sebuah nama dari banyak perangkat gamelan, seperti Gong Kebyar, Gong Gede dan Gong Semar Pagulingan. Di Sumatra Barat gong juga dikenal dengan sebutan Talempong untuk upacara dan selebrasi pesta. Bahkan gong juga ditemukan di banyak negara Asia seperti Thailand (gong hui), Vietnam (cai thieu can), China (yun luo), Kamboja (kong thom), Filipina (gangsa), Burma (kye vaing). Konon, gong dipercaya sebagai instrumen tertua yang pernah dibuat manusia. Hal ini dapat ditelisik dalam pelbagai situs, prasasti dan relief candi. Kehadiran instrumen berpencu itu terpahat jelas di setiap pembabakan sejarah hidup manusia. Gong menjadi katalisator yang menghubungkan antar satu kebudayaan dengan yang lain.
Bagi masyarakat di Jawa, dianggap tabu jika dalam setiap pesta dan hajatan tak “nggantung gong”, yang berarti ada kewajiban untuk menghadirkan klenengan (gending-gending) gamelan. Namun sayang, kisah-kisah tentang gong itu telah mengalami kebangkrutan eksistensi. Kita lupa menelisik gong sebagai simbol perekat dan pemersatu antar etnis dan suku. Sebaran gong di Jawa dan di nusantara bahkan dunia menunjukkan bahwa kita sejatinya adalah saudara, berasal dari rumpun budaya yang tak jauh beda, tak ada yang lebih rendah dan tinggi di antaranya. Kehadiran gong menjadi satir atas maraknya kerusuhan berbau rasial yang dewasa ini sering terjadi. Kebertahanan gong hingga saat ini justru mengingatkan kita tentang persentuhan mesra antar kebudayaan. Karenanya, tak mengherankan kemudian jika gong dianggap mampu menjadi simbol perdamaian di antara kita.  
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Dangdut Menggoyang Politik (dimuat di Koran Joglosemar, 28 Maret 2014)

Dangdut Menggoyang Politik



Setelah perdebatan sengit dalam diskursus erotika dan raga pasca Inul dan Roma, apa yang dapat dilihat dari panggung pertunjukan dangdut nusantara dewasa ini? Masihkan menyisahkan wacana menarik untuk diangkat, didiskusikan dan diperdebatkan. Dangdut akhir-akhir ini menjadi bunyi musik yang paling berisik. Persentuhannya dengan dunia politik kala musim pemilu menambah warna baru bagi musik ini. Dangdut kemudian menjadi corong dalam penyampaian misi propaganda partai dan caleg. Segala pesan politis tersebut tak hanya disampaikan melalui orasi dan lagu, namun juga lewat raga atau tubuh penyanyi. Goyangan membuat mata penonton tak berketip. Semakin mengeksploitasi tubuh dianggap semakin berhasil dalam menghidupkan suasana kampanye. Dangdut mutakhir kemudian mengguratkan dentum makna yang lebih luas terkait interaksi yang terjadi antara tubuh penyanyi dengan penonton dan partai. Dangdut dengan demikian menjadi medan yang mempertemukan berbagai lapisan.

Tak Padam
Dangdut masa kini berusaha memanjakan mata lelaki. Perayaan goyangan dangdut hampir dapat kita amati di setiap panggung hiburan musim kampanye. Ratusan bahkan ribuan penonton bersorak kencang saat penyanyi melakukan atraksi goyang kayang sambil tetap konsisten menyanyikan lagunya. Sesekali berganti goyangan ngebor, patah-patah, itik, ngecor, gergaji dipertontonkan. Suasana tentu semakin mencengkram riuh. Bahkan tak jarang, penyanyi menawarkan jasanya dalam bergoyang, “mau digoyang apa mas?” Ternyata, detak perdebatan erotika tubuh dalam musik dangdut belum sepenuhnya padam. Inul hanya sebuah masa yang justru mengawali gerak eksploitasi tubuh itu untuk semakin tumbuh subur dengan pelbagai nama, jenis dan bentuknya.
Apa yang unik dari panggung-panggung dangdut kerakyatan, seperti di musim kampanye misalnya? Di area panggung itu ekspresi kenaturalan dapat lentur dipertontontan. Tanpa ada usaha dalam memoles muka dangdut seperti yang sering kita lihat di layar televisi. Dangdut di televisi kita cenderung permisif, santun dan kadang justru kelihatan menipu. Namun, dangdut dalam layar kaca juga seolah menjadi musik yang termarjinalkan. Kalah bersaing dengan musik-musik pop. Ruang-ruang tampilnya pun hanya dibatasi pada jam-jam yang tidak menguntungkan untuk dilihat mata. Tergilas dengan sajian musik yang lebih populis. Kalupaun ada kontestasi untuk menyanyi dangdut, tentunya hanya berambisi meraih pamrih lewat iklan dan sms berbayar tanpa disertai dengan kualitas dan penciptaan varian judul dan tema yang lebih menggoda. Akibatnya, lagu-lagu dangdut terkesan mengulang-ulang lagu yang telah ada. Di acara itu, menyanyi bukanlah hal yang utama. Paling penting adalah guyonan atau lawakan antara pembawa acara dan para juri. Tak jarang kemudian jika banyak pengamat musik yang menyatakan dangdut dengan segera akan menemui titik nadir kematiannya. Benarkan demikian?
Anggapan tersebut salah besar. Arus perkembangan musik dangdut berbeda dengan musik lain. Jika perkembangan musik-musik lain seperti pop misalnya terpusat di Ibu Kota, maka dangdut justru lebih bersifat arus bawah. Artinya, musik-musik pop membutuhkan televisi nasional di Jakarta sebagai ruang publikasi agar masyarakat menyukai dan intens mendengarnya. Dangdut berbalik arah, media televisi atau produser ibukota justru terpengaruh dengan gaya dangdut yang berkembang di pelosok daerah. Lihatlah gaya musikal koplo, kemunculannya di layar kaca terhitung terlambat jika dibanding dengan beberapa daerah di Jawa Timur, Banyuwangi dan Gresik misalnya. Lihat pula jem-jem (hentakan-hentakan) musikal yang di daerah begitu ramai hingga mempengaruhi dangdut versi Ibukota. Hal yang paling terbaru adalah penciptaan lagu dangdut yang dewasa ini banyak disadur dari hasil karya cipta anak-anak daerah. Iwak Peyek, Nyanyian Pengamen, Bokong Semok, Oplosan, Seng Penting Njoget adalah lagu-lagu yang sering kita dengarkan kala naik bus kota atau di terminal yang disajikan oleh para pengamen jalanan. Namun kemudian lagu-lagu itu dianggkat ke permukan oleh para produser musik dangdut Ibukota, dirubah gaya dan penampilannya. Walhasil, masyarakat di segala pelosok negeripun mendengarkannya.
Jika jujur diakui, di Ibukota (dan layar kaca), dangdut telah mengalami kebangkrutan penciptaan lagu baru. Sebaliknya, daerah-daerah basis musik dangdut di Indonesia terutama Jawa menjadi sumber penciptaan ideal untuk disadur, dipoles dan diperdagangkan. Begitupun kala pertunjukan di panggung kampanye. Banyak muncul lagu-lagu baru yang cukup mempesona. Lirik yang baru, gaya musikal lain yang terkadang dipadukan dengan unsur musik tradisi seperti jaipongan dan kendang kempul Banyuwangian. Lagu-lagu dangdut di panggung kampanye begitu dirayakan oleh para pengikutnya, tak peduli tua dan muda. Tak canggung mereka untuk bergoyang, menunjukkan kebolehannya dalam berjoget. Tak peduli juga siapa yang menghadirkan dangdut itu, apakah partai atau caleg, yang penting bisa berdendang dan bergoyang, pokoke njoget!!!

Kerakyatan
Sesedih apapun lagu dangdut pasti dapat digoyangi. Hal inilah yang menjadikan varian musik ini begitu merakyat. Bukan persoalan prestise dan gaya hidup semata. Namun masyarakat akar rumput membutuhkan ruang luapan emosional yang mampu mengalihkan perhatian mereka dari rutinitas hidup yang semakin tak bersahabat. Dan dangdut mampu mengakomodasi gejolak itu lewat goyang dan gerak tubuh. Tak ada sekat, dari tukang becak hingga pejabat, semua hadir untuk lebur jadi satu. Mereka tak butuh dentum bunyi musik yang melankolis, apalagi mendayu-ndayu penuh lirik asmara dan cinta. Sekali lagi, yang dibutuhkan mereka adalah ekstase penumpahan berujud “goyang”. Tak jarang asupan minuman beralkohol menemani dalam setiap panggung dangdut pemilu. Fenomena itu bukanlah satu hal yang aneh. Bahkan sudah menjadi kelaziman dalam pertunjukan dangdut daerah. Musim pemilu memberi satu pemaknaan baru terkait keberadaan musik dangdut tanah air. Darinya kita bisa membaca detak keadaban masyarakat Indonesia yang menjadikan musik sebagai tumpahan peluh dan kesahnya. Di musim penuh warna partai ini, anggapan yang menganggap musik dangdut segera akan gulung tikar dan kalah bersaing dengan musik pop sudah pasti sulit untuk terbukti.
Dangdut hidup bukan di tangan kapital namun masyarakat akar rumput. Dangdut menjadi tolok ukur objektif dalam melihat determinasi kebudayaan di Indonesia. Wajar kemudian jika Philip Yampolsky merekam musik dangdut lewat Smithsonian Folksways (1991) dan menyatakan dengan jelas bahwa bangdut adalah “musik nasional” Indonesia. Dangdut menjadi bunyi yang paling efektif untuk menggalang masa. Karenanya, banyak partai yang memanfaatkan untuk menarik simpatik masyarakat luas. Terlebih, erotika tubuh penyanyi dirayakan dengan bebas. Caleg dan partai dibentuk dari goyangan sensual penyanyi. Ironisnya, setelah mereka terpilih, dengan lantang kemudian menyerukan undang-undang pornografi. Menolak segala goyangan yang dianggap erotis dalam musik dangdut. Mereka lupa kala kampanye, turut bergoyang ria dan bahkan membayar mahal sang ahli goyang yang bertubuh seksi itu. Kampanye dengan menggunakan musik dangdut dan eksploitasi erotika tubuh penyanyi menarasikan bahwa politik di Indonesia adalah politik dangdut. Penuh goyangan. Dangdut bagaimanapun juga telah menjadi bagian penting dari sejarah peradaban manusia Indonesia. Melihat dangdut masa kini berarti melihat rupa dan ujud wajah kita.

Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Hari (Bagi) Musik Nasional (dimuat di Koran Joglosemar, 11 Maret 2014)

Hari (bagi) Musik Nasional?



Tanggal 9 Maret 2014 kemarin menjadi hari penting bagi insan musik Indonesia. di tanggal itu ditetapkan sebagai Hari Musik Nasional (HMN). Hal ini sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 10 tahun 2013. Inti dari hari itu adalah meningkatkan apresiasi terhadap musik Indonesia, meningkatkan kepercayaan diri dan motivasi para insan musik Indonesia, serta untuk meningkatkan prestasi yang mampu mengangkat derajat musik Indonesia secara nasional, regional, dan internasional. Pertanyaannya kemudian, musik nasional seperti apakah yang dimaksud? Sebegitu besarkah sumbangan musik di Indonesia sehingga menjadi penting untuk “di hari musik nasionalkan”? Akankah hari itu juga mampu mengangkat derajad musik-musik lokal –tradisi- di nusantara, sebagai bagian penting dalam menjaga denyut citra kebudayaan di Indonesia yang selama ini seolah justru semakin tertepikan?

Selebrasi
Seperti biasa, ritus perayaan hari itu dikumandangkan di Ibu Kota. Pelakunya adalah para pencipta lagu, anggta DPR, artis, musisi terkenal yang selama ini banyak menghiasi layar kaca. Mereka tergabung dalam Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI). Dengan adanya HMN, para pelaku musik Indonesia berharap pembajakan yang selama ini marak dapat diatasi. Pembajakan memang menjadi musuh utama dalam industri musik tanah air dewasa ini. Sejak musik memasuki era digital, segala lagu dapat dengan mudah diunduh secara gratis lewat internet. Hal ini yang menyebabkan perusahaan rekam mengalami kebangkrutan besar-besaran dalam beberapa dekade terakhir. Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) melansir, kerugian dari pembajakan musik secara digital menimbulkan kerugian minimal dua miliar tiap tahun. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat jika tidak ada langkah serius dari pemerintah bersama pihak terkait untuk masalah ini.
Otomatis, HMN menjadi langkah awal dalam memerangi pembajakan, membuncahkan seruan dan ajakan pada masyarakat di momen dan waktu yang boleh dikata pas. Namun, berbicara HMN seolah menarasikan bunyi hanya dalam kisaran angka-angka untung dan rugi semata. Musik kemudian urusan uang, tak lebih dari itu. Melihat Musik Indonesia masa kini berarti menelisik pula kuasa ambisi menggapai pamrih. Musik Indonesia semata dilihat dalam domain ekonomi, sementara aspek lainnya semakin tak terbaca. Akibatnya, selebrasi HMN hanya diperuntukkan bagi para pelaku musik tertentu yang –jusru- mengatasnamakan “bangsa Indonesia”. Sarat akan kepentingan beberapa gelintir pihak, terutama para cukong seni dan pelaku bisnis. Suka Hardjana (2004) menuturkan bahwa isu musik dalam polemik kebudayaan sebenarnya telah dimulai sejak awal pergerakan nasional di awal adab ke-20. Eksistensi bunyi yang mampu mewakili warna nasional memuncak untuk diperdebatkan, pertarungan terjadi antara musik Barat dan Timur. Hatta, Yamin dan Ki Hajar Dewantara yang kecanduan musik pada dekade tahun 50-an memerintahkan didirikannya Sekolah Musik Indonesia di Yogyakarta serta Konservatori Karawitan di Surakarta. Polemik itupun kemudian menjadi tak berujung, hingga semakin sayup-sayup tak terdengar kala Orde Baru berkuasa.
Wacana rintisan “bunyi” yang mampu mewakili Musik Nasional menjadi pelajaran berharga, bahwa sejatinya tak ada musik yang mampu dikurung oleh sekat apapun. Musik berhak membebaskan dirinya dari pelbagai ikatan. Orang kemudian tidak bisa mengatakan bahwa kini Dangdut itu musik Indonesia, karya Bach atau Beethoven itu musik Eropa, Djembe itu musik Afrika, atau musiknya Michael Jackson itu musiknya orang Amerika. Karya musik diciptakan tanpa ada tendensi untuk “menasionalkan” musiknya. Saat karya itu dilahirkan, setiap pendengar berhak menafsirkan menjadi apapun menuruti kekuatan imajinasinya. Dengan demikian, kala mendengarkan musiknya Bach, orang bisa saja membayangkan perkampungan desa di Banyuwangi yang teduh dan sejuk. Tak ada urusan dengan Eropa, tempat di mana musik itu diciptakan.  Lalu, mana yang kita sebut sebagai musik nasional?

Nasional?
Kata “nasional” yang dilekatkan dalam perayaan hari musik menambah panjang rentetan pertanyaan. Tanggal Sembilan Maret diambil dari hari lahirnya Wage Rudolf Soepratman, pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya. Lagu –Indonesia Raya- itu dianggap sebagai hasil olah pemikiran yang mampu mempersatukan segala lapisan dan golongan masyarakat Indonesia. Derajadnya kemudian dikukuhkan sebagai musik nasional dan kebangsaan kita. Tak semata lagu Indonesia Raya, lagu-lagu yang selama ini menemani Indonesia dalam titian perjuangan menggapai nasib merdeka ditasbihkan pula sebagai lagu nasional. Halo-halo Bandung, Surabaya, Pancasila, Padamu Negeri, Satu Nusa Satu Bangsa, Indonesia Pusaka adalah salah satu contoh kecilnya. Lagu-lagu itu dianggap berkarakter nasional karena memiliki jiwa nasionalis dalam luapan teks musikalnya. Mengajak masyarakat Indonesia untuk kembali berkontemplasi dalam semangat perjuangan yang telah ditorehkan. Lagu nasional adalah jembatan yang menghubungkan ruang imajinasi pendengarnya pada sebuah peristiwa bersejarah bagi Indonesia, tirakat diri untuk menjadi bangsa tak terjajah.
Kemudian, akankah pesta HMN setiap tahunnya juga berarti sebuah usaha dalam melihat kembali posisi “musik-musik nasional itu” di antara lalu-lalang bunyi-bunyian baru. Atau justru sebaliknya, HMN sama sekali tidak menyentuh pada genre musik yang demikian. Jika memang benar, maka selebrasi hari musik hanya berisi legitimasi ambisi mengeruk pamrih dan keuntungan semata. Di sisi lain, kita lebih mengenal musik-musik yang setiap pagi menyapa dan menghiasi layar kaca, dengan tema cinta dan asmara, sebagai musik nasional Indonesia. Selebihnya di luar itu adalah musik yang bagi kebanyakan orang –terutama generasi muda masa kini- adalah primitif, kuno, udik dan kampungan. Perayaan hari musik menjadi ironi bagi para musisi tradisi di tanah air.
Oleh karenanya, geliat HMN di tahun lalu seolah terlihat hanya menjadi seremoni tanpa arti bagi para pelaku musik –tradisi- di tanah air. Mereka dan musik-musiknya selama ini tersudutkan, semakin tak mampu menampakkan jati dirinya secara lebih terbuka. Indikasinya, musik-musik yang demikian tak bisa diukur dalam kisaran angka-angka untung rugi seperti yang didengung-dengungkan oleh penggagas HMN. Mereka menyelenggarakan dan mengadakan bunyi tak semata demi gantungan hidup, namun juga sebuah ritus sakral. Musik-musik tradisi di nusantara mampu memamerkan keragaman, keunikan warna Indonesia yang selama ini tertutupi oleh jargon-jargon musik populis. Mereka hadir untuk memperkuat akar habitus kebudayaan. Namun sayang, banyak di antaranya yang kini hidupnya tertatih-tatih, tak mampu berdiri tegak di negerinya sendiri. Banyak musik-musik tradisi Indonesia yang kemudian harus gulung tikar. Namun demikian, tentu bukan berarti tak ada harapan yang layak untuk disematkan pada perayaan HMN. Dengan ulasan di atas, semoga HMN tak semata menjadi hari musik bagi kalangan artis-artis menor Ibu kota, anggota DPR dan para cukong musik. Namun berusaha untuk memperkenalkan kembali musik-musik lokal yang membentuk warna nasional. Memberi ruang tampil secara lebih terbuka dan memberi perhatian atas nasib hidupnya. Terlebih tahun ini, di musim kampanye, musik tentu menjadi lebih berisik dan bising. Politik dan musik memang erat bersentuhan. Musik menjadi medium penting dalam menyebarkan dogma-dogma politik.
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Meng-Imajinasi Bunyi (dimuat di Jawa Pos Edisi 9 Maret 2014)



Meng-Imajinasi Bunyi



Judul buku    : Imagi-Nation, Membuat Musik Biasa Jadi Luar Biasa
Penulis            : Prof. Vincent McDermott
Penerbit          : Art Music Today
Cetakan          : Juli 2013
Tebal               : 94 Halaman

Saat karya musik itu tercipta maka dengan sendirinya ia menjadi teks yang multi tafsir. Musisi tidak lagi memiliki kuasa mutlak atas bunyi yang dibuatnya. Sama halnya penari yang tidak lagi berhak atas tubuhnya kala ia menari. Bunyi di ruang pentas kemudian menjadi wilayah publik untuk diinterpretasikan menjadi beraneka ragam rasa dan warna. Tentu saja tidak ada tafsir yang salah, semua benar hanya berbeda. Namun demikian, bukan berarti membuat musik tak membutuhkan bekal. Sebebas apapun tafsir yang hendak dimunculkan dalam karya musik sebagai sebuah bunyi, darinya tetap memiliki pijakan berupa konsep dan yang paling penting adalah gugusan “ilmu”. Karena itulah buku ini lahir. Berniat membuat, sekaligus melihat musik yang biasa menjadi luar biasa.
Vincent McDermott, komponis musik asal Amerika, mencoba mendekonstruksi terbitan buku-buku musik di Indonesia yang selama ini dirasa mandul. Dibandingkan dengan genre seni yang lain, musik memang belum banyak terbukukuan. Suka Harjana sebelumnya pernah menulis tentang buku kritik musik tahun 2004, kemudian disusul Slamet Abdul Sjukur yang menuliskan risalah pemikirannya tentang musik tahun 2012. Kemandulan dalam meghadirkan buku musik berkualitas membuat beberapa Musikolog Indonesia seperti Erie Setiawan, Tony Maryana dan Gatot Sulistyanto mendirikan lembaga Art Music Today yang bermarkas di Yogyakarta. Lembaga –sebutlah demikian- itu mengkhususkan dirinya untuk menerbitkan buku-buku musik, baik yang diterjemahkan dari buku asal berbahasa asing ke dalam format bahasa Indonesia, atau lahir dari pemikiran yang benar-benar baru oleh para komponis dan pemerhati musik masa kini. Begitupun dengan buku Imagi-natian: Membuat Musik Biasa Menjadi Luar Biasa ini, merupakan salah satu hasil endapan akumulasi pengalaman seorang Vincent McDermott sebagai musisi dan profesor musik.
Buku ini terdiri dari empat bab. Di awal bagian, kita diajak untuk mendiskusikan musik tak hanya sebagai sebuah peristiwa bunyi atau suara. Musik dapat menjelaskan tentang pelbagai hal. Vincent mengurai bahwa lewat musik kita dapat menelisik jejak persentuhan antara estetika Barat dan Timur, musik menarasikan tentang proses kreatif, inspirasi dan ekspresi. Di ruang tertentu, memandang karya musik tak ubahnya melihat matahari. Semakin mencoba untuk dilihat, semakin kabur dan menyilaukan bahkan menyakitkan mata. Semakin detail usaha untuk menjelaskan suatu bunyi, kadang semakin abstrak dan membingungkan. Dengan demikian, musik tak serta merta dapat diuraikan. Kata-kata verbal kadang tak cukup untuk melukiskan musik secara utuh melebihi “karya musik” itu sendiri. Vincent menyadari akan persoalan tersebut, karena itu ia menghindari masuk terlalu jauh dalam membahas karya musik sebagai sebuah “kelinci percobaan”, untuk dibedah dan diuraikan lewat kata. Adakalanya, biarkan musik itu “membeku” sebagai sebuah karya, menghantui pikiran kita, membuat gelisah dan tak bisa nyenyak tidur. Hakikat musik adalah bunyi dan rasa, bukan timbunan kata.
Di sisi lain, buku ini mengajak pembaca untuk mengerti tantang bagaimana musik itu dibuat, dikonstruksi dan digelar di hadapan publik. Vincent menganggap komponis yang baik laksana seorang “penyair”. Komponis merangkai nada (dan frase) sepertihalnya penyair bermain kata dan kalimat. Karena itulah Ludwig van Beethoven, komponis Eropa terkemuka, menyebut dirinya sebagai “penyair bunyi”. Karya-karya yang dihasilkan adalah rajutan dari kisah hidup, pengalaman dan gagasan. Musik kemudian menjadi semacam “jendela” sekaligus “alat ukur” untuk melihat beban-beban psikologis dan karakter dari penciptanya. Rahayu Supanggah, Guru Besar Penciptaan Musik di Institut Seni Indonesia Surakarta, di kata pengantar buku ini, menjelaskan bahwa Indonesia memiliki banyak musik yang mampu mempresentasikan karakter kekuatan lokal yang tipikal. Kekayaan tradisi di Indonesia menjadi bahan dasar untuk dapat unjuk gigi di kancah gobal. Namun, keiklasan untuk meziarahi musik tradisi selama ini justru semakin memudar. Karena itulah, buku ini juga menjadi sarana “provokasi” untuk membangkitkan minat kita pada “rasa bangga” berindonesia.
Membuat karya musik tak semata hanya berbekal imajinasi dan kemampuan –teknis- musikal. Lebih dari itu, Vincent menganggap dimensi “perangkat musikal” (bab III) menjadi mutlak dimengerti. Seorang komponis wajib mengetahui tentang karya-karya musik yang sebelumnya telah tercipta. Bagaimana bentuk musik itu, frase yang ditata, energi yang terkandung, kontur melodi yang ditimbulkan, pertarungan harmoni antar nada, dan sebagainya. Mengetahui perangkat musikal pada karya-karya yang telah ada akan membantu seorang komponis dalam menciptakan karya baru yang tak “menjiplak” karya lama. Dengan demikian, seperti kata Rahayu Supanggah, belajar musik dari para empu dan maestro bukan hendak membuat karya seperti mereka. Namun sebaliknya, semata untuk mengerti karya besar yang telah ada, kemudian membuangnya jauh-jauh. Hal itu demi membuat karya musik menjadi lebih baru, unik, berbeda dan tipikal.

Berkelana
Vincent telah banyak berkelana keliling dunia. Ia mempelajari banyak varian musik, tak terkecuali Indonesia dan lebih khusus lagi Jawa dengan gamelannya. Ia menemukan kunikan ketika mendengar dan berlatih gamelan. Bergamelan lebih mengedepankan “rasa”, tak sekedar mood dan kreativitas layaknya dalam musik Barat. Dari penggalamannya yang menggunung itu di bab terakhir buku ini ia dengan sangat percaya diri memberikan saran bagi kurikulum musik di perguruan tinggi Indonesia. Vincent memandang, kurikulum di sekolah musik kita masih terlalu mendewakan musik Barat. Isinya masih seputar tentang sejarah musik Barat –Eropa-, tokoh penting, pengaruh dan aplikasinya. Kita seolah tak pernah mengetahui bagaimana musik-musik (klasik) Barat juga bersentuhan dan dipengaruhi oleh musik Asia, Jawa misalnya. Kita juga tak pernah mengetahui bahwa banyak komponis Asia yang telah “menjajah” dunia lewat musik. Kita gagal dalam menelisik pembabakan perkembangan musik di Asia, bahkan negara kita Indonesia. Oleh karenanya, rintisan kurikulum musik yang berbasis “Indonesia” yang lokal itu setidaknya dapat dibangun melebihi musik Klasik Barat.
Pada titik ini kita diuntungkan, karena musik kita lebih beragam dan variatif. Namun sayang, musik-musik (lokal) itu masih menjadi “hutan belantara” yang belum tersentuh, sehingga belum layak atau tak siap untuk dihidangkan dalam menu kurikulum musik. Lihatlah, bukankah hampir semua musik tradisi kita –selain Jawa dan Bali-, belum memiliki gramatika musikal berupa sistem penotasian yang mapan. Padahal untuk menganalisis karya musik, mendokumentasikan, terlebih mempelajari, kita membutuhkan notasi untuk dibaca dan dilagukan. Bagaimana jika notasi itu belum tersedia? Hal ini menjadi catatan penting di negeri ini, setidaknya untuk sekolah dan perguruan tinggi seni musik di Indonesia. Buku ini tak sekadar membawa kita untuk melihat musik dengan lebih dekat. Namun juga berusaha membuat kita untuk berkontemplasi, merenung dan kemudian memikirkan nasib hidup musik-musik kita.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Pengikut