Meng-Imajinasi
Bunyi
Judul buku : Imagi-Nation, Membuat Musik Biasa Jadi
Luar Biasa
Penulis : Prof. Vincent McDermott
Penerbit : Art Music Today
Cetakan : Juli 2013
Tebal : 94 Halaman
Saat karya musik itu tercipta maka
dengan sendirinya ia menjadi teks yang multi tafsir. Musisi tidak lagi memiliki
kuasa mutlak atas bunyi yang dibuatnya. Sama halnya penari yang tidak lagi
berhak atas tubuhnya kala ia menari. Bunyi di ruang pentas kemudian menjadi
wilayah publik untuk diinterpretasikan menjadi beraneka ragam rasa dan warna.
Tentu saja tidak ada tafsir yang salah, semua benar hanya berbeda. Namun
demikian, bukan berarti membuat musik tak membutuhkan bekal. Sebebas apapun
tafsir yang hendak dimunculkan dalam karya musik sebagai sebuah bunyi, darinya
tetap memiliki pijakan berupa konsep dan yang paling penting adalah gugusan “ilmu”.
Karena itulah buku ini lahir. Berniat membuat, sekaligus melihat musik yang biasa
menjadi luar biasa.
Vincent McDermott, komponis musik asal
Amerika, mencoba mendekonstruksi terbitan buku-buku musik di Indonesia yang
selama ini dirasa mandul. Dibandingkan dengan genre seni yang lain, musik
memang belum banyak terbukukuan. Suka Harjana sebelumnya pernah menulis tentang
buku kritik musik tahun 2004, kemudian disusul Slamet Abdul Sjukur yang
menuliskan risalah pemikirannya tentang musik tahun 2012. Kemandulan dalam
meghadirkan buku musik berkualitas membuat beberapa Musikolog Indonesia seperti
Erie Setiawan, Tony Maryana dan Gatot Sulistyanto mendirikan lembaga Art Music Today yang bermarkas di
Yogyakarta. Lembaga –sebutlah demikian- itu mengkhususkan dirinya untuk
menerbitkan buku-buku musik, baik yang diterjemahkan dari buku asal berbahasa
asing ke dalam format bahasa Indonesia, atau lahir dari pemikiran yang
benar-benar baru oleh para komponis dan pemerhati musik masa kini. Begitupun
dengan buku Imagi-natian: Membuat Musik Biasa Menjadi Luar Biasa
ini, merupakan salah satu hasil endapan akumulasi pengalaman seorang Vincent
McDermott sebagai musisi dan profesor musik.
Buku ini terdiri dari empat bab. Di awal
bagian, kita diajak untuk mendiskusikan musik tak hanya sebagai sebuah peristiwa
bunyi atau suara. Musik dapat menjelaskan tentang pelbagai hal. Vincent
mengurai bahwa lewat musik kita dapat menelisik jejak persentuhan antara estetika
Barat dan Timur, musik menarasikan tentang proses kreatif, inspirasi dan
ekspresi. Di ruang tertentu, memandang karya musik tak ubahnya melihat
matahari. Semakin mencoba untuk dilihat, semakin kabur dan menyilaukan bahkan
menyakitkan mata. Semakin detail usaha untuk menjelaskan suatu bunyi, kadang
semakin abstrak dan membingungkan. Dengan demikian, musik tak serta merta dapat
diuraikan. Kata-kata verbal kadang tak cukup untuk melukiskan musik secara utuh
melebihi “karya musik” itu sendiri. Vincent menyadari akan persoalan tersebut,
karena itu ia menghindari masuk terlalu jauh dalam membahas karya musik sebagai
sebuah “kelinci percobaan”, untuk dibedah dan diuraikan lewat kata. Adakalanya,
biarkan musik itu “membeku” sebagai sebuah karya, menghantui pikiran kita,
membuat gelisah dan tak bisa nyenyak tidur. Hakikat musik adalah bunyi dan rasa,
bukan timbunan kata.
Di sisi lain, buku ini mengajak pembaca
untuk mengerti tantang bagaimana musik itu dibuat, dikonstruksi dan digelar di
hadapan publik. Vincent menganggap komponis yang baik laksana seorang
“penyair”. Komponis merangkai nada (dan frase) sepertihalnya penyair bermain
kata dan kalimat. Karena itulah Ludwig van Beethoven, komponis Eropa terkemuka,
menyebut dirinya sebagai “penyair bunyi”. Karya-karya yang dihasilkan adalah
rajutan dari kisah hidup, pengalaman dan gagasan. Musik kemudian menjadi
semacam “jendela” sekaligus “alat ukur” untuk melihat beban-beban psikologis
dan karakter dari penciptanya. Rahayu Supanggah, Guru Besar Penciptaan Musik di
Institut Seni Indonesia Surakarta, di kata pengantar buku ini, menjelaskan
bahwa Indonesia memiliki banyak musik yang mampu mempresentasikan karakter
kekuatan lokal yang tipikal. Kekayaan tradisi di Indonesia menjadi bahan dasar
untuk dapat unjuk gigi di kancah gobal. Namun, keiklasan untuk meziarahi musik tradisi
selama ini justru semakin memudar. Karena itulah, buku ini juga menjadi sarana
“provokasi” untuk membangkitkan minat kita pada “rasa bangga” berindonesia.
Membuat karya musik tak semata hanya
berbekal imajinasi dan kemampuan –teknis- musikal. Lebih dari itu, Vincent
menganggap dimensi “perangkat musikal” (bab III) menjadi mutlak dimengerti.
Seorang komponis wajib mengetahui tentang karya-karya musik yang sebelumnya
telah tercipta. Bagaimana bentuk musik itu, frase yang ditata, energi yang
terkandung, kontur melodi yang ditimbulkan, pertarungan harmoni antar nada, dan
sebagainya. Mengetahui perangkat musikal pada karya-karya yang telah ada akan
membantu seorang komponis dalam menciptakan karya baru yang tak “menjiplak”
karya lama. Dengan demikian, seperti kata Rahayu Supanggah, belajar musik dari
para empu dan maestro bukan hendak membuat karya seperti mereka. Namun sebaliknya,
semata untuk mengerti karya besar yang telah ada, kemudian membuangnya jauh-jauh.
Hal itu demi membuat karya musik menjadi lebih baru, unik, berbeda dan tipikal.
Berkelana
Vincent telah banyak berkelana keliling
dunia. Ia mempelajari banyak varian musik, tak terkecuali Indonesia dan lebih
khusus lagi Jawa dengan gamelannya. Ia menemukan kunikan ketika mendengar dan
berlatih gamelan. Bergamelan lebih mengedepankan “rasa”, tak sekedar mood dan kreativitas layaknya dalam musik Barat.
Dari penggalamannya yang menggunung itu di bab terakhir buku ini ia dengan
sangat percaya diri memberikan saran bagi kurikulum musik di perguruan tinggi
Indonesia. Vincent memandang, kurikulum di sekolah musik kita masih terlalu
mendewakan musik Barat. Isinya masih seputar tentang sejarah musik Barat
–Eropa-, tokoh penting, pengaruh dan aplikasinya. Kita seolah tak pernah
mengetahui bagaimana musik-musik (klasik) Barat juga bersentuhan dan dipengaruhi
oleh musik Asia, Jawa misalnya. Kita juga tak pernah mengetahui bahwa banyak
komponis Asia yang telah “menjajah” dunia lewat musik. Kita gagal dalam menelisik
pembabakan perkembangan musik di Asia, bahkan negara kita Indonesia. Oleh
karenanya, rintisan kurikulum musik yang berbasis “Indonesia” yang lokal itu
setidaknya dapat dibangun melebihi musik Klasik Barat.
Pada titik ini kita diuntungkan, karena
musik kita lebih beragam dan variatif. Namun sayang, musik-musik (lokal) itu
masih menjadi “hutan belantara” yang belum tersentuh, sehingga belum layak atau
tak siap untuk dihidangkan dalam menu kurikulum musik. Lihatlah, bukankah
hampir semua musik tradisi kita –selain Jawa dan Bali-, belum memiliki gramatika
musikal berupa sistem penotasian yang mapan. Padahal untuk menganalisis karya
musik, mendokumentasikan, terlebih mempelajari, kita membutuhkan notasi untuk
dibaca dan dilagukan. Bagaimana jika notasi itu belum tersedia? Hal ini menjadi
catatan penting di negeri ini, setidaknya untuk sekolah dan perguruan tinggi
seni musik di Indonesia. Buku ini tak sekadar membawa kita untuk melihat musik
dengan lebih dekat. Namun juga berusaha membuat kita untuk berkontemplasi,
merenung dan kemudian memikirkan nasib hidup musik-musik kita.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar