Meng-Imajinasi Bunyi (dimuat di Jawa Pos Edisi 9 Maret 2014)



Meng-Imajinasi Bunyi



Judul buku    : Imagi-Nation, Membuat Musik Biasa Jadi Luar Biasa
Penulis            : Prof. Vincent McDermott
Penerbit          : Art Music Today
Cetakan          : Juli 2013
Tebal               : 94 Halaman

Saat karya musik itu tercipta maka dengan sendirinya ia menjadi teks yang multi tafsir. Musisi tidak lagi memiliki kuasa mutlak atas bunyi yang dibuatnya. Sama halnya penari yang tidak lagi berhak atas tubuhnya kala ia menari. Bunyi di ruang pentas kemudian menjadi wilayah publik untuk diinterpretasikan menjadi beraneka ragam rasa dan warna. Tentu saja tidak ada tafsir yang salah, semua benar hanya berbeda. Namun demikian, bukan berarti membuat musik tak membutuhkan bekal. Sebebas apapun tafsir yang hendak dimunculkan dalam karya musik sebagai sebuah bunyi, darinya tetap memiliki pijakan berupa konsep dan yang paling penting adalah gugusan “ilmu”. Karena itulah buku ini lahir. Berniat membuat, sekaligus melihat musik yang biasa menjadi luar biasa.
Vincent McDermott, komponis musik asal Amerika, mencoba mendekonstruksi terbitan buku-buku musik di Indonesia yang selama ini dirasa mandul. Dibandingkan dengan genre seni yang lain, musik memang belum banyak terbukukuan. Suka Harjana sebelumnya pernah menulis tentang buku kritik musik tahun 2004, kemudian disusul Slamet Abdul Sjukur yang menuliskan risalah pemikirannya tentang musik tahun 2012. Kemandulan dalam meghadirkan buku musik berkualitas membuat beberapa Musikolog Indonesia seperti Erie Setiawan, Tony Maryana dan Gatot Sulistyanto mendirikan lembaga Art Music Today yang bermarkas di Yogyakarta. Lembaga –sebutlah demikian- itu mengkhususkan dirinya untuk menerbitkan buku-buku musik, baik yang diterjemahkan dari buku asal berbahasa asing ke dalam format bahasa Indonesia, atau lahir dari pemikiran yang benar-benar baru oleh para komponis dan pemerhati musik masa kini. Begitupun dengan buku Imagi-natian: Membuat Musik Biasa Menjadi Luar Biasa ini, merupakan salah satu hasil endapan akumulasi pengalaman seorang Vincent McDermott sebagai musisi dan profesor musik.
Buku ini terdiri dari empat bab. Di awal bagian, kita diajak untuk mendiskusikan musik tak hanya sebagai sebuah peristiwa bunyi atau suara. Musik dapat menjelaskan tentang pelbagai hal. Vincent mengurai bahwa lewat musik kita dapat menelisik jejak persentuhan antara estetika Barat dan Timur, musik menarasikan tentang proses kreatif, inspirasi dan ekspresi. Di ruang tertentu, memandang karya musik tak ubahnya melihat matahari. Semakin mencoba untuk dilihat, semakin kabur dan menyilaukan bahkan menyakitkan mata. Semakin detail usaha untuk menjelaskan suatu bunyi, kadang semakin abstrak dan membingungkan. Dengan demikian, musik tak serta merta dapat diuraikan. Kata-kata verbal kadang tak cukup untuk melukiskan musik secara utuh melebihi “karya musik” itu sendiri. Vincent menyadari akan persoalan tersebut, karena itu ia menghindari masuk terlalu jauh dalam membahas karya musik sebagai sebuah “kelinci percobaan”, untuk dibedah dan diuraikan lewat kata. Adakalanya, biarkan musik itu “membeku” sebagai sebuah karya, menghantui pikiran kita, membuat gelisah dan tak bisa nyenyak tidur. Hakikat musik adalah bunyi dan rasa, bukan timbunan kata.
Di sisi lain, buku ini mengajak pembaca untuk mengerti tantang bagaimana musik itu dibuat, dikonstruksi dan digelar di hadapan publik. Vincent menganggap komponis yang baik laksana seorang “penyair”. Komponis merangkai nada (dan frase) sepertihalnya penyair bermain kata dan kalimat. Karena itulah Ludwig van Beethoven, komponis Eropa terkemuka, menyebut dirinya sebagai “penyair bunyi”. Karya-karya yang dihasilkan adalah rajutan dari kisah hidup, pengalaman dan gagasan. Musik kemudian menjadi semacam “jendela” sekaligus “alat ukur” untuk melihat beban-beban psikologis dan karakter dari penciptanya. Rahayu Supanggah, Guru Besar Penciptaan Musik di Institut Seni Indonesia Surakarta, di kata pengantar buku ini, menjelaskan bahwa Indonesia memiliki banyak musik yang mampu mempresentasikan karakter kekuatan lokal yang tipikal. Kekayaan tradisi di Indonesia menjadi bahan dasar untuk dapat unjuk gigi di kancah gobal. Namun, keiklasan untuk meziarahi musik tradisi selama ini justru semakin memudar. Karena itulah, buku ini juga menjadi sarana “provokasi” untuk membangkitkan minat kita pada “rasa bangga” berindonesia.
Membuat karya musik tak semata hanya berbekal imajinasi dan kemampuan –teknis- musikal. Lebih dari itu, Vincent menganggap dimensi “perangkat musikal” (bab III) menjadi mutlak dimengerti. Seorang komponis wajib mengetahui tentang karya-karya musik yang sebelumnya telah tercipta. Bagaimana bentuk musik itu, frase yang ditata, energi yang terkandung, kontur melodi yang ditimbulkan, pertarungan harmoni antar nada, dan sebagainya. Mengetahui perangkat musikal pada karya-karya yang telah ada akan membantu seorang komponis dalam menciptakan karya baru yang tak “menjiplak” karya lama. Dengan demikian, seperti kata Rahayu Supanggah, belajar musik dari para empu dan maestro bukan hendak membuat karya seperti mereka. Namun sebaliknya, semata untuk mengerti karya besar yang telah ada, kemudian membuangnya jauh-jauh. Hal itu demi membuat karya musik menjadi lebih baru, unik, berbeda dan tipikal.

Berkelana
Vincent telah banyak berkelana keliling dunia. Ia mempelajari banyak varian musik, tak terkecuali Indonesia dan lebih khusus lagi Jawa dengan gamelannya. Ia menemukan kunikan ketika mendengar dan berlatih gamelan. Bergamelan lebih mengedepankan “rasa”, tak sekedar mood dan kreativitas layaknya dalam musik Barat. Dari penggalamannya yang menggunung itu di bab terakhir buku ini ia dengan sangat percaya diri memberikan saran bagi kurikulum musik di perguruan tinggi Indonesia. Vincent memandang, kurikulum di sekolah musik kita masih terlalu mendewakan musik Barat. Isinya masih seputar tentang sejarah musik Barat –Eropa-, tokoh penting, pengaruh dan aplikasinya. Kita seolah tak pernah mengetahui bagaimana musik-musik (klasik) Barat juga bersentuhan dan dipengaruhi oleh musik Asia, Jawa misalnya. Kita juga tak pernah mengetahui bahwa banyak komponis Asia yang telah “menjajah” dunia lewat musik. Kita gagal dalam menelisik pembabakan perkembangan musik di Asia, bahkan negara kita Indonesia. Oleh karenanya, rintisan kurikulum musik yang berbasis “Indonesia” yang lokal itu setidaknya dapat dibangun melebihi musik Klasik Barat.
Pada titik ini kita diuntungkan, karena musik kita lebih beragam dan variatif. Namun sayang, musik-musik (lokal) itu masih menjadi “hutan belantara” yang belum tersentuh, sehingga belum layak atau tak siap untuk dihidangkan dalam menu kurikulum musik. Lihatlah, bukankah hampir semua musik tradisi kita –selain Jawa dan Bali-, belum memiliki gramatika musikal berupa sistem penotasian yang mapan. Padahal untuk menganalisis karya musik, mendokumentasikan, terlebih mempelajari, kita membutuhkan notasi untuk dibaca dan dilagukan. Bagaimana jika notasi itu belum tersedia? Hal ini menjadi catatan penting di negeri ini, setidaknya untuk sekolah dan perguruan tinggi seni musik di Indonesia. Buku ini tak sekadar membawa kita untuk melihat musik dengan lebih dekat. Namun juga berusaha membuat kita untuk berkontemplasi, merenung dan kemudian memikirkan nasib hidup musik-musik kita.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut