Hari (bagi)
Musik Nasional?
Tanggal 9 Maret 2014 kemarin menjadi
hari penting bagi insan musik Indonesia. di tanggal itu ditetapkan sebagai Hari
Musik Nasional (HMN). Hal ini sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 10 tahun
2013. Inti dari hari itu adalah meningkatkan apresiasi terhadap musik
Indonesia, meningkatkan kepercayaan diri dan motivasi para insan musik Indonesia,
serta untuk meningkatkan prestasi yang mampu mengangkat derajat musik Indonesia
secara nasional, regional, dan internasional. Pertanyaannya kemudian, musik
nasional seperti apakah yang dimaksud? Sebegitu besarkah sumbangan musik di
Indonesia sehingga menjadi penting untuk “di hari musik nasionalkan”? Akankah hari
itu juga mampu mengangkat derajad musik-musik lokal –tradisi- di nusantara, sebagai
bagian penting dalam menjaga denyut citra kebudayaan di Indonesia yang selama
ini seolah justru semakin tertepikan?
Selebrasi
Seperti biasa, ritus perayaan hari itu dikumandangkan
di Ibu Kota. Pelakunya adalah para pencipta lagu, anggta DPR, artis, musisi
terkenal yang selama ini banyak menghiasi layar kaca. Mereka tergabung dalam
Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI).
Dengan adanya HMN, para pelaku musik Indonesia berharap pembajakan yang selama
ini marak dapat diatasi. Pembajakan memang menjadi musuh utama dalam industri
musik tanah air dewasa ini. Sejak musik memasuki era digital, segala lagu dapat
dengan mudah diunduh secara gratis lewat internet. Hal ini yang menyebabkan
perusahaan rekam mengalami kebangkrutan besar-besaran dalam beberapa dekade
terakhir. Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) melansir, kerugian dari
pembajakan musik secara digital menimbulkan kerugian minimal dua miliar tiap
tahun. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat jika tidak ada langkah
serius dari pemerintah bersama pihak terkait untuk masalah ini.
Otomatis, HMN menjadi langkah awal dalam
memerangi pembajakan, membuncahkan seruan dan ajakan pada masyarakat di momen
dan waktu yang boleh dikata pas. Namun, berbicara HMN seolah menarasikan bunyi hanya
dalam kisaran angka-angka untung dan rugi semata. Musik kemudian urusan uang, tak
lebih dari itu. Melihat Musik Indonesia masa kini berarti menelisik pula kuasa
ambisi menggapai pamrih. Musik Indonesia semata dilihat dalam domain ekonomi,
sementara aspek lainnya semakin tak terbaca. Akibatnya, selebrasi HMN hanya diperuntukkan
bagi para pelaku musik tertentu yang –jusru- mengatasnamakan “bangsa Indonesia”.
Sarat akan kepentingan beberapa gelintir pihak, terutama para cukong seni dan
pelaku bisnis. Suka Hardjana (2004) menuturkan bahwa isu musik dalam polemik
kebudayaan sebenarnya telah dimulai sejak awal pergerakan nasional di awal adab
ke-20. Eksistensi bunyi yang mampu mewakili warna nasional memuncak untuk diperdebatkan,
pertarungan terjadi antara musik Barat dan Timur. Hatta, Yamin dan Ki Hajar
Dewantara yang kecanduan musik pada dekade tahun 50-an memerintahkan didirikannya
Sekolah Musik Indonesia di Yogyakarta serta Konservatori Karawitan di
Surakarta. Polemik itupun kemudian menjadi tak berujung, hingga semakin
sayup-sayup tak terdengar kala Orde Baru berkuasa.
Wacana rintisan “bunyi” yang mampu
mewakili Musik Nasional menjadi pelajaran berharga, bahwa sejatinya tak ada
musik yang mampu dikurung oleh sekat apapun. Musik berhak membebaskan dirinya
dari pelbagai ikatan. Orang kemudian tidak bisa mengatakan bahwa kini Dangdut
itu musik Indonesia, karya Bach atau Beethoven itu musik Eropa, Djembe itu
musik Afrika, atau musiknya Michael Jackson itu musiknya orang Amerika. Karya musik
diciptakan tanpa ada tendensi untuk “menasionalkan” musiknya. Saat karya itu
dilahirkan, setiap pendengar berhak menafsirkan menjadi apapun menuruti
kekuatan imajinasinya. Dengan demikian, kala mendengarkan musiknya Bach, orang
bisa saja membayangkan perkampungan desa di Banyuwangi yang teduh dan sejuk.
Tak ada urusan dengan Eropa, tempat di mana musik itu diciptakan. Lalu, mana yang kita sebut sebagai musik
nasional?
Nasional?
Kata “nasional” yang dilekatkan dalam perayaan
hari musik menambah panjang rentetan pertanyaan. Tanggal Sembilan Maret diambil
dari hari lahirnya Wage Rudolf Soepratman, pencipta lagu kebangsaan Indonesia
Raya. Lagu –Indonesia Raya- itu dianggap sebagai hasil olah pemikiran yang
mampu mempersatukan segala lapisan dan golongan masyarakat Indonesia.
Derajadnya kemudian dikukuhkan sebagai musik nasional dan kebangsaan kita. Tak
semata lagu Indonesia Raya, lagu-lagu yang selama ini menemani
Indonesia dalam titian perjuangan menggapai nasib merdeka ditasbihkan pula
sebagai lagu nasional. Halo-halo Bandung,
Surabaya, Pancasila, Padamu Negeri,
Satu Nusa Satu Bangsa, Indonesia Pusaka adalah salah satu contoh kecilnya.
Lagu-lagu itu dianggap berkarakter nasional karena memiliki jiwa nasionalis
dalam luapan teks musikalnya. Mengajak masyarakat Indonesia untuk kembali
berkontemplasi dalam semangat perjuangan yang telah ditorehkan. Lagu nasional
adalah jembatan yang menghubungkan ruang imajinasi pendengarnya pada sebuah
peristiwa bersejarah bagi Indonesia, tirakat diri untuk menjadi bangsa tak
terjajah.
Kemudian, akankah pesta HMN setiap
tahunnya juga berarti sebuah usaha dalam melihat kembali posisi “musik-musik
nasional itu” di antara lalu-lalang bunyi-bunyian baru. Atau justru sebaliknya,
HMN sama sekali tidak menyentuh pada genre musik yang demikian. Jika memang
benar, maka selebrasi hari musik hanya berisi legitimasi ambisi mengeruk pamrih
dan keuntungan semata. Di sisi lain, kita lebih mengenal musik-musik yang
setiap pagi menyapa dan menghiasi layar kaca, dengan tema cinta dan asmara, sebagai
musik nasional Indonesia. Selebihnya di luar itu adalah musik yang bagi
kebanyakan orang –terutama generasi muda masa kini- adalah primitif, kuno, udik
dan kampungan. Perayaan hari musik menjadi ironi bagi para musisi tradisi di
tanah air.
Oleh karenanya, geliat HMN di tahun lalu
seolah terlihat hanya menjadi seremoni tanpa arti bagi para pelaku musik –tradisi-
di tanah air. Mereka dan musik-musiknya selama ini tersudutkan, semakin tak
mampu menampakkan jati dirinya secara lebih terbuka. Indikasinya, musik-musik
yang demikian tak bisa diukur dalam kisaran angka-angka untung rugi seperti
yang didengung-dengungkan oleh penggagas HMN. Mereka menyelenggarakan dan
mengadakan bunyi tak semata demi gantungan hidup, namun juga sebuah ritus
sakral. Musik-musik tradisi di nusantara mampu memamerkan keragaman, keunikan
warna Indonesia yang selama ini tertutupi oleh jargon-jargon musik populis. Mereka
hadir untuk memperkuat akar habitus kebudayaan. Namun sayang, banyak di
antaranya yang kini hidupnya tertatih-tatih, tak mampu berdiri tegak di
negerinya sendiri. Banyak musik-musik tradisi Indonesia yang kemudian harus
gulung tikar. Namun demikian, tentu bukan berarti tak ada harapan yang layak
untuk disematkan pada perayaan HMN. Dengan ulasan di atas, semoga HMN tak
semata menjadi hari musik bagi kalangan artis-artis menor Ibu kota, anggota DPR
dan para cukong musik. Namun berusaha untuk memperkenalkan kembali musik-musik lokal
yang membentuk warna nasional. Memberi ruang tampil secara lebih terbuka dan
memberi perhatian atas nasib hidupnya. Terlebih tahun ini, di musim kampanye,
musik tentu menjadi lebih berisik dan bising. Politik dan musik memang erat
bersentuhan. Musik menjadi medium penting dalam menyebarkan dogma-dogma
politik.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar