Hujan Bising (dimuat di Solopos, 3 April 2014)

Hujan Bising



Suara knalpot sepeda motor begitu memekakkan telinga. Musim kampanye menjadi musim untuk merubah tatanan kendaraan beroda dua itu menjadi lebih garang dan seram. Para simpatisan partai berbondong-bondong, beramai-ramai mendatangi lokasi kampanye dengan menggeber knalpot sekeras-kerasnya. Masyarakat pengguna jalan lain segera menepi, memberi akses bagi sang “penguasa bunyi” untuk lewat. Sudah dapat diprediksi, pemilu tak hanya sekadar membawa konsekuensi berujud pesta demokrasi, namun juga pesta bising. Masyarakat di Indonesia masih meyakini bahwa bunyi mampu mempresentasikan legitimasi, kekuatan dan eksistensi, tentang siapa aku dan kamu. Dengan bergerombol dan memproduksi suara bising, mereka hendak memberi simbol tentang kekuatan yang besar. Semakin rame dan gaduh maka semakin kuat, tak terkalahkan. Para simpatisan partai menguasai jalanan. Polisi hanya diam termangu, karena kalah jumlah. Masyarakat kemudian mencoba memaklumi peristiwa pemilu sebagai peristiwa “budaya bunyi”. Indonesia negeri seribu bunyi, dari indahnya denting gamelan hingga bisingnya knalpot jalanan. Semua bersanding dan mendapat tempatnya tersendiri.

Bising
Peristiwa bisingnya knalpot sepeda motor para simpatisan partai di jalan raya mengingatkan kita tentang soundscape lingkungan di Nusantara dan terutama Jawa. Kita seolah tak pernah merasa terganggu dengan suara gaduh kala menyaksikan pertunjukan Ngarot dan pasar malam sekatenan. Kitapun menjadi maklum kala satu kampung berdiri lima masjid (bahkan lebih) yang saat kumandang azan tiba, suara saling tumpang tindih dan tak membentuk harmoni. Kita merubah kebisingan menjadi gejala yang biasa. Bahkan masyarakat kita menyadari bahwa bunyi merupakan salah satu jalan membuat eksistensi. Hajatan di Jawa menggunakan perangkat soundsystem atau pengeras suara dengan kapasitas besar. Membuat kaca rumah bergetar, jantung serasa hendak copot. Namun, bagi orang yang mendengarnya, pesta tersebut diindikasikan berlangsung secara megah. Semakin ramai dianggap semakin besar dan agung. Semakin jauh rambatan bunyinya dianggap semakin baik. Menjangkau orang dalam radius terjauh untuk terlibat menikmati hajad yang digelar, walaupun sejatinya hanya lewat bunyi.
Rivaldi (2013) meneliti tentang budaya bising pada knalpot suporter –sepakbola- Pasoepati di Solo. Menurutnya, dentuman knalpot mampu membentuk jalinan musik yang ritmikal. Terdapat pola-pola tertentu untuk menghasilkan kualitas bunyi yang “indah”. Misalnya dengan memadukan jalinan pola antar pengendara sepeda motor para suporter. Satu suporter memiliki pola utama (pokok) dan saling bersahutan dengan pola baru dari suporter yang lain. Sehingga membentuk ornamentasi musikal yang imbal atau bergantian. Jika diamati lebih dalam, hampir setiap pola memiliki kesulitan tersendiri. Terutama bagaimana menggeber knalpot pada pola tertentu namun laju kendaraan tetap dalam posisi stabil, tidak berubah menjadi cepat atau lambat. Hal ini membutuhkkan latihan dan keterampilan. Oleh karena itu, kegiatan semacam ini harus didukung dengan kapasitas sepeda yang digunakan. Tidak semua sepeda dapat dipakai untuk keperluan ini. Sepeda matic menjadi haram hukumnya untuk dihadirkan. Paling ideal adalah sepeda dua tak, karena bunyi yang ditimbulkan cenderung keras dan melengking serta mampu menghasilkan kepulan asap yang pekat. Lebih indah jika knalpot juga mampu memunculkan letupan api.
Begitupun dengan simpatisan partai kala kampanye. Mereka memakai kendaraan yang sebelumnya telah dimodifikasi, terutama pada knalpot dan mesin. Adapun perbedaanya, jika suporter sepakbola telah terorganisir, sehingga mampu membuat jalinan ritmikal bunyi knalpot yang terstruktur, tidak demikian halnya dengan simpatisan partai. Simpatisan partai cenderung acak dan tak terpola, atau asal-asalan. Bagi mereka yang paling penting adalah bunyi bising, bukan citra estetik layaknya dalam musik. Mereka menikmati kekacauan (chaos) yang ditimbulkan dari bunyi. Semakin chaos semakin baik. Bunyi yang diproduksi memberikan makna dan tafsir baru bagi pendengarnya, terutama publik. Saat suara gaduh knalpot itu berhasil diperdengarkan di hadapan publik, maka bunyi itu telah menjadi pesan berupa“teror” yang berkelindan dalam otak. Bahkan bagi sebagian banyak orang dianggap ancaman yang meresahkan. Karenanya masyarakat menjadi malas atau takut keluar rumah apalagi berpergian, pintu rumah ditutup rapat-rapat dan sebisa mungkin menjauhi jalan raya.

Membangun Kuasa Citra
Kampanye baru dimulai siang hari, namun sedari pagi suara knalpot itu tiada henti digeber. Bagi Agustinus Herwanto (2005), mereka sejatinya sedang membangun kuasa pencitraan diri. “Pertunjukan” telah dimulai sebelum waktunya. Hal ini membawa dampak psikologis bahwa hajad atau kampanye yang hendak digelar berlangsung bombastis dan megah. Telah dimulai sebelum benar-benar dimulai. Mampu “meneror” sepanjang waktu. Para simpatisan itu tak butuh untuk dilihat, karena sejatinya yang hendak disampaikan adalah bunyi, bukan pemandangan visual. Akibatnya, lihatlah sepeda motor mereka yang kadang bentuknya tak karuan dan tak terurus. Telinga mampu terjaga sepanjang waktu, sementara tidak demikian dengan mata. Jika capek, mata akan terpejam lalu tidur. Sementara telinga akan tetap bekerja menangkap objek berupa suara. Akibatnya, walupun kita tidur, apa yang kita dengarkan saat itu juga kadang terbawa hingga mimpi. Membangunkan tidurpun kebanyakan lewat suara, lalu diolah oleh telinga menjadi stimulan yang mempengaruhi kinerja otak. Merusak alam imajisai (mimpi) dan sadar lalu terbangun.
Bunyi menjadi sarana paling efektif dalam menyampaikan identitas sosial. Bahasa suara lebih mampu dimengerti daripada bahasa visual. Karena itu, kesan pertama yang hendak ditimbulkan dari knalpot simpatisan partai adalah keinginan menunjukkan eksistensi mereka. Mencoba meraih pengakuan publik bahwa mereka ada dan nyata. Karena itu, semakin tidak ada keluh dan kritik penolakan dari masyarakat, berarti apa yang mereka lakukan telah dianggap sah, legal dan berhasil. Begitupun kala kampanye usai digelar, selama perjalanan pulang itu mereka tetap menggeber knalpotnya dengan kencang. Sekali lagi, mereka hendak membangun kuasa pencitraan atas peristiwa yang dianggap besar dan megah. Efeknya masih berasa sebelum dan sesudah hajad digelar. Apa yang dilakukan kemudian berkehendak untuk dikenang dan diabadikan dalam memori masyarakat. Sehingga, di hari berikutnya kala kampanye datang lagi, masyarakat sudah dianggap siap menyambut pesta bising tersebut. Buktinya, peristiwa ini sudah berlangsung dari bertahun-tahun lalu dan selalu sama. Seolah menjadi ritual yang wajib digelar dalam bentuk seremonial bunyi.
Dalam kacamata etnomusikologis, bunyi yang dihasilkan dari knalpot para simpatisan partai juga mampu berbicara tentang adab budaya yang selama ini mereka miliki. Kekacauan dalam bentuk suara menandaskan bahwa kebudayaan di Indonesia dibangun dari fondasi kekerasan. Tak lagi melihat sesama sebagai sebuah makhluk yang membutuhkan kenyamanan dan kedamaian untuk hidup. Kebudayaan yang dibangun atas dasar rasa dan arogansi untuk menguasai yang lain. Tidak lagi mempertimbangan azas kehidupan bersama, kesadaran untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi perbedaan. Kitapun dipaksa untuk mengonsumsi bunyi bising setiap saat. Tanpa diberi pilihan. Musim kampanye adalah era polusi suara. Lingkungan seolah terlihat tidak ramah. Kitapun kemudian berharap agar bunyi knalpot segera tergantikan dengan dentum bunyi musik yang indah dan menggoda. Yang mampu dinikmati dengan memejamkan mata dan sesekali mengangguk-anggukkan kepala. Tanpa rasa takut, tertekan, stress dan panik layaknya teror bunyi di jalanan itu. Hujan bising telah datang, siapkan “payung” dengan menutup erat-erat telinga anda.
 Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut