Hujan Bising
Suara knalpot sepeda motor begitu
memekakkan telinga. Musim kampanye menjadi musim untuk merubah tatanan
kendaraan beroda dua itu menjadi lebih garang dan seram. Para simpatisan partai
berbondong-bondong, beramai-ramai mendatangi lokasi kampanye dengan menggeber knalpot
sekeras-kerasnya. Masyarakat pengguna jalan lain segera menepi, memberi akses
bagi sang “penguasa bunyi” untuk lewat. Sudah dapat diprediksi, pemilu tak
hanya sekadar membawa konsekuensi berujud pesta demokrasi, namun juga pesta
bising. Masyarakat di Indonesia masih meyakini bahwa bunyi mampu
mempresentasikan legitimasi, kekuatan dan eksistensi, tentang siapa aku dan
kamu. Dengan bergerombol dan memproduksi suara bising, mereka hendak memberi
simbol tentang kekuatan yang besar. Semakin rame dan gaduh maka semakin kuat,
tak terkalahkan. Para simpatisan partai menguasai jalanan. Polisi hanya diam
termangu, karena kalah jumlah. Masyarakat kemudian mencoba memaklumi peristiwa
pemilu sebagai peristiwa “budaya bunyi”. Indonesia negeri seribu bunyi, dari indahnya
denting gamelan hingga bisingnya knalpot jalanan. Semua bersanding dan mendapat
tempatnya tersendiri.
Bising
Peristiwa bisingnya knalpot sepeda motor
para simpatisan partai di jalan raya mengingatkan kita tentang soundscape lingkungan di Nusantara dan
terutama Jawa. Kita seolah tak pernah merasa terganggu dengan suara gaduh kala
menyaksikan pertunjukan Ngarot dan pasar malam sekatenan. Kitapun menjadi
maklum kala satu kampung berdiri lima masjid (bahkan lebih) yang saat kumandang
azan tiba, suara saling tumpang tindih dan tak membentuk harmoni. Kita merubah kebisingan menjadi gejala yang
biasa. Bahkan masyarakat kita menyadari bahwa bunyi merupakan salah satu jalan
membuat eksistensi. Hajatan di Jawa menggunakan perangkat soundsystem atau pengeras suara dengan kapasitas besar. Membuat
kaca rumah bergetar, jantung serasa hendak copot. Namun, bagi orang yang
mendengarnya, pesta tersebut diindikasikan berlangsung secara megah. Semakin
ramai dianggap semakin besar dan agung. Semakin jauh rambatan bunyinya dianggap
semakin baik. Menjangkau orang dalam radius terjauh untuk terlibat menikmati
hajad yang digelar, walaupun sejatinya hanya lewat bunyi.
Rivaldi (2013) meneliti tentang budaya
bising pada knalpot suporter –sepakbola- Pasoepati
di Solo. Menurutnya, dentuman knalpot mampu membentuk jalinan musik yang
ritmikal. Terdapat pola-pola tertentu untuk menghasilkan kualitas bunyi yang
“indah”. Misalnya dengan memadukan jalinan pola antar pengendara sepeda motor
para suporter. Satu suporter memiliki pola utama (pokok) dan saling bersahutan
dengan pola baru dari suporter yang lain. Sehingga membentuk ornamentasi
musikal yang imbal atau bergantian. Jika
diamati lebih dalam, hampir setiap pola memiliki kesulitan tersendiri. Terutama
bagaimana menggeber knalpot pada pola tertentu namun laju kendaraan tetap dalam
posisi stabil, tidak berubah menjadi cepat atau lambat. Hal ini membutuhkkan
latihan dan keterampilan. Oleh karena itu, kegiatan semacam ini harus didukung
dengan kapasitas sepeda yang digunakan. Tidak semua sepeda dapat dipakai untuk
keperluan ini. Sepeda matic menjadi haram hukumnya untuk dihadirkan. Paling
ideal adalah sepeda dua tak, karena bunyi yang ditimbulkan cenderung keras dan
melengking serta mampu menghasilkan kepulan asap yang pekat. Lebih indah jika
knalpot juga mampu memunculkan letupan api.
Begitupun dengan simpatisan partai kala
kampanye. Mereka memakai kendaraan yang sebelumnya telah dimodifikasi, terutama
pada knalpot dan mesin. Adapun perbedaanya, jika suporter sepakbola telah
terorganisir, sehingga mampu membuat jalinan ritmikal bunyi knalpot yang
terstruktur, tidak demikian halnya dengan simpatisan partai. Simpatisan partai cenderung
acak dan tak terpola, atau asal-asalan. Bagi mereka yang paling penting adalah
bunyi bising, bukan citra estetik layaknya dalam musik. Mereka menikmati
kekacauan (chaos) yang ditimbulkan
dari bunyi. Semakin chaos semakin
baik. Bunyi yang diproduksi memberikan makna dan tafsir baru bagi pendengarnya,
terutama publik. Saat suara gaduh knalpot itu berhasil diperdengarkan di hadapan
publik, maka bunyi itu telah menjadi pesan berupa“teror” yang berkelindan dalam
otak. Bahkan bagi sebagian banyak orang dianggap ancaman yang meresahkan.
Karenanya masyarakat menjadi malas atau takut keluar rumah apalagi berpergian,
pintu rumah ditutup rapat-rapat dan sebisa mungkin menjauhi jalan raya.
Membangun Kuasa
Citra
Kampanye baru dimulai siang hari, namun
sedari pagi suara knalpot itu tiada henti digeber. Bagi Agustinus Herwanto
(2005), mereka sejatinya sedang membangun kuasa pencitraan diri. “Pertunjukan”
telah dimulai sebelum waktunya. Hal ini membawa dampak psikologis bahwa hajad
atau kampanye yang hendak digelar berlangsung bombastis dan megah. Telah
dimulai sebelum benar-benar dimulai. Mampu “meneror” sepanjang waktu. Para
simpatisan itu tak butuh untuk dilihat, karena sejatinya yang hendak
disampaikan adalah bunyi, bukan pemandangan visual. Akibatnya, lihatlah sepeda motor
mereka yang kadang bentuknya tak karuan dan tak terurus. Telinga mampu terjaga
sepanjang waktu, sementara tidak demikian dengan mata. Jika capek, mata akan
terpejam lalu tidur. Sementara telinga akan tetap bekerja menangkap objek
berupa suara. Akibatnya, walupun kita tidur, apa yang kita dengarkan saat itu
juga kadang terbawa hingga mimpi. Membangunkan tidurpun kebanyakan lewat suara,
lalu diolah oleh telinga menjadi stimulan yang mempengaruhi kinerja otak.
Merusak alam imajisai (mimpi) dan sadar lalu terbangun.
Bunyi menjadi sarana paling efektif
dalam menyampaikan identitas sosial. Bahasa suara lebih mampu dimengerti
daripada bahasa visual. Karena itu, kesan pertama yang hendak ditimbulkan dari
knalpot simpatisan partai adalah keinginan menunjukkan eksistensi mereka.
Mencoba meraih pengakuan publik bahwa mereka ada dan nyata. Karena itu, semakin
tidak ada keluh dan kritik penolakan dari masyarakat, berarti apa yang mereka
lakukan telah dianggap sah, legal dan berhasil. Begitupun kala kampanye usai
digelar, selama perjalanan pulang itu mereka tetap menggeber knalpotnya dengan
kencang. Sekali lagi, mereka hendak membangun kuasa pencitraan atas peristiwa
yang dianggap besar dan megah. Efeknya masih berasa sebelum dan sesudah hajad
digelar. Apa yang dilakukan kemudian berkehendak untuk dikenang dan diabadikan
dalam memori masyarakat. Sehingga, di hari berikutnya kala kampanye datang
lagi, masyarakat sudah dianggap siap menyambut pesta bising tersebut. Buktinya,
peristiwa ini sudah berlangsung dari bertahun-tahun lalu dan selalu sama. Seolah
menjadi ritual yang wajib digelar dalam bentuk seremonial bunyi.
Dalam kacamata etnomusikologis, bunyi
yang dihasilkan dari knalpot para simpatisan partai juga mampu berbicara
tentang adab budaya yang selama ini mereka miliki. Kekacauan dalam bentuk suara
menandaskan bahwa kebudayaan di Indonesia dibangun dari fondasi kekerasan. Tak
lagi melihat sesama sebagai sebuah makhluk yang membutuhkan kenyamanan dan
kedamaian untuk hidup. Kebudayaan yang dibangun atas dasar rasa dan arogansi
untuk menguasai yang lain. Tidak lagi mempertimbangan azas kehidupan bersama, kesadaran
untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi perbedaan. Kitapun dipaksa untuk
mengonsumsi bunyi bising setiap saat. Tanpa diberi pilihan. Musim kampanye adalah
era polusi suara. Lingkungan seolah terlihat tidak ramah. Kitapun kemudian
berharap agar bunyi knalpot segera tergantikan dengan dentum bunyi musik yang
indah dan menggoda. Yang mampu dinikmati dengan memejamkan mata dan sesekali
mengangguk-anggukkan kepala. Tanpa rasa takut, tertekan, stress dan panik
layaknya teror bunyi di jalanan itu. Hujan bising telah datang, siapkan
“payung” dengan menutup erat-erat telinga anda.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar