Kontroversi “Doktor
Seniman”
Bagi seorang seniman, proses mencipta
karya seni adalah perjalanan kreatif yang sangat subjektif. Antar seniman bisa
sangat berbeda. Para empu dan pujangga dulu ada yang mengawalinya dengan
bertapa atau semedi, berpuasa dan bahkan menyiksa diri. Mereka mengharap
turunnya wahyu keilahian atau dalam kata lain “ide” untuk mencipta karya seni menumental.
Hal-hal sakral yang transenden kemudian tak dapat dielakkan dari proses kreatif
itu. Proses penciptaan satu karya membutuhkan rengtang waktu relatif lama,
bahkan hingga puluhan tahun. Mereka tak ada tanggungjawab untuk menjelaskan
serta mendeskripsikan latar belakang dan ide penciptaan karya kepada publik.
Bisa jadi, mereka tak memiliki bekal kemampuan bicara dan menulis. Hubungan seniman
dengan karyanya menjadi ruang gelap yang wingit dan sakral.
Setelah institusi pendidikan muncul,
seniman masuk dalam kategori profesi intelektual. Muncullah kemudian sebutan
“seniman sekolahan” atau “seniman akademis”. Mereka dituntut untuk mempertanggungjawabkan
hasil karyanya di depan para dewan penguji. Tak hanya sebatas ide yang masih di
awang-awang, alur proses penciptaan juga harus dapat ditulis dengan detail dan
runtut. Dalam berkarya, seniman sekolahan itu disertai pendamping –dosen,
profesor-, yang memantau, mengkritik, memberi saran dan membenahi karya anak
bimbingannya itu. Polemik kemudian muncul saat lembaga pendidikan seni semacam
Institut Seni Indonesia (ISI) Solo dan Yogyakarta membuka program penciptaan
seni untuk jenjang S3 atau doktor. Pertanyaannya, di mana letak perbedaan karya
dengan kualifikasi dotor dan yang bukan? Siapa itu doktor penciptaan seni?
Akademis
Rahayu Supanggah, komposer sekaligus
guru besar ilmu karawitan itu mencermati kerancuan yang selama ini terjadi
dalam pengembangan model disiplin penciptaan seni pada program studi S3 di ISI
Surakarta (Yogyakarta?). Hal ini ia sampaikan dalam seminar nasional
“Pengembangan Model Disiplin Seni” beberapa waktu lalu di Teater Besar ISI
Surakarta bersama Sardowo W Kusumo, St. Sunardi, Timbul Raharjo, Bambang
Sugiharto, Bambang Sunarto dan Sri Hastanto. Supanggah menilai, masih terdapat permasalahan
terkait kualifikasi mahasiswa yang diperkenankan untuk menempuh jenjang “doktor
seniman” itu. Lulusan doktor penciptaan seni idealnya setaraf dengan empu
bahkan maestro di bidang seni.
Namun, banyak mahasiswa yang masuk pada
program itu adalah dosen dan pengajar yang semata hanya ingin melengkapi gelar
karier mereka. Jikalau ada yang murni seniman, adalah mereka yang
‘berpendidikan’ dan telah memiliki nama besar seperti I Wayan Sadra (alm),
Wahyu Santosa Prabawa, Dedy Lutan, Oto Sidarta dan lain sebagainya. Kepakaran
mahasiswa dalam bidang seni adakalanya justru jauh lebih besar dibandingkan
para dosen yang mengajarnya. Di sisi lain, siapakah yang berhak mengajar calon
doktor seniman itu? Sementara banyak dosen atau profesor yang tidak memiliki
kualifikasi sebagai seniman, tidak pernah berkarya, namun mengajar metodologi
penciptaan seni misalnya. Idealnya para pengajar adalah maestro atau empu seni
di bidangnya. Namun sayang, mereka tak memiliki jenjang pendidikan tinggi, tak bergelar
akademik apalagi profesor sebagaimana syarat untuk mengajar di program doktor.
Hal yang lebih penting adalah merumuskan
pilar keilmuan bidang doktor seniman yang selama ini masih abu-abu. Pendidikan
di tingkat itu mengharuskan segalanya dapat terjelaskan dengan detail, akademis,
ilmiah dan tentu saja teoritis. Hal ini menjadikan seniman harus berfikir
runtut dan kompleks mengikuti tahapan dan kaidah yang diperlakukan. Mulai dari
proses pencarian ide hingga lahirnya sebuah karya. Akibatnya, hal-hal yang
dianggap transenden, dunia imajinatif yang abstrak itu tak dapat diterima,
karena tak sesuai logika akal sehat. Otomatis, cara kerja yang seperti itu
tidak dianjurkan atau dihindari. Calon doktor seniman diwajibkan mencari ide
dan berproses sesuai dengan buku panduan.
Bahkan konon durasi karya juga
ditentukan. Karya seorang doktor seniman paling tidak berdurasi satu jam atau lebih
dan berpengaruh langsung secara sosial bagi masyarakat. Durasi itu berimplikasi
pada cara kerja, mengharuskan seniman mengais-ngais materi yang kadang tidak
relevan namun dicocok-cocokkan. Kita bisa bayangkan, di lembaga itu kemungkinan
besar tidak akan lahir karya-karya nakal seperti John Cage dengan musik silencenya (1952). Atau karya I Wayan
Sadra dengan Otot Kawat Balung Wesinya
(1995). Keliaran imajinasi seorang
seniman menjadi terkurung dan tereliminasi. Lebih dari itu, para profesor
pembimbing karya berhak dan turut merubah karya agar konon terlihat lebih indah
dan diterima masyarakat. Karya itu kemudian menjadi tak seteril lagi, telah
dipermak dan ditambalsulam. Usai seniman melakukan gelaran, ia harus
mempresentasikan dan diuji layaknya sidang disertasi. Dicecar dengan pelbagai
pertanyaan oleh para dewan penguji. Jika tak mampu menjelaskan dengan baik dan
ilmiah, maka siap-siap mendapatkan nilai minus.
Polemik
Bagai buah simalakama. Di satu sisi,
seniman membutuhkan kebebasan dalam berkarya sebagai wujud orisinalitas.
Sementara di sisi lain ia harus dihadapkan dengan alur kerja kreatif yang “dibakukan”.
Hal ini sebenarnya tak hanya terjadi di program doktor, tapi juga master dan
sarjana. Akibatnya, dengan melalui proses kerja yang sama, karya yang
dihasilkan kemudian nampak serupa dan seragam. Semata hanya memenuhi standart
kualitas kampus yang dibangun dari satu visi. Dengan demikian, kampus seolah hanya
menjadi “pabrik” pencipta karya seni massal laksana mi instan. Di program
doktor, syarat yang ditempuh lebih ketat. Mahasiswa yang nyeniman itu
diharuskan membuat kertas pertanggungjawaban, tebalnya mengalahkan disertasi. Ditulis
dengan kaidah ilmiah dan mengandung satu teori tertentu. Bahkan, kertas itu
yang menjadi acuan utama bagi para penguji untuk memberikan nilai daripada menelaah
karya seni yang dipresentasikan. Di kertas itu, semua yang abstrak menjadi
nampak gamblang dan jelas, dibanding melihat karya seni yang njlimet dan
multitafsir itu. Proses berkarya seni terpetieskan alias “beku”.
Setali tiga uang, polemik juga terjadi
pada Program Studi Kajian Seni. Hasil disertasi dan tesis kadang tak jauh beda
dengan produk serupa di universitas non-kesenian yang memiliki program studi
ilmu budaya semacam Universitas Gajah Mada (UGM) serta Universitas Indonesia
(UI) dan lain sebagainya. Seni dalam konteks ini hanya menjadi subjek yang
dibedah dengan menggunakan banyak teori, mulai dari sejarah, sosiologi, filsafat,
antropologi dan komunikasi. Seni tidak mampu menjadi subjek kajian. Semata
hanya pelengkap dalam banyak kajian ilmu itu. Akibatnya, ilmu tentang seni tak
begitu berkembang baik. Hingga detik ini, konsep dan teori seni dapat dihitung
dengan jari, dan itupun kebanyakan dilahirkan oleh para peneliti asing (lihat, pathet, garap dan rasa dalam seni
pertunjukan). Padahal, institusi pendidikan seni semacam ISI, Sekolah Tinggi
Seni Indonesia (STSI) dan Institut Kesenian (IK) harusnya mampu mempelopori
untuk lahirnya banyak varian teori seni untuk seni. Sekali lagi, seni sebagai
subjek, bukan objek.
Persoalan di institusi pendidikan seni
sudah selayaknya mendapat perhatian khusus. Proses kekaryaan dan kajian harusnya dapat dimanfaatkan
untuk kelangsungan hidup kesenian terkait. Serta dikembalikan kepada publik, untuk
dapat memberi sumbangan berharga, tak semata hanya sebagai pelengkap jenjang
studi untuk mencapai gelar. Kitapun patut menanyakan, berapa banyak seniman
besar dan bermutu yang dilahirkan dari rahim institusi pendidikan seni kita di
Indonesia? Jangan-jangan hanya segelintir, atau bahkan tidak ada. Lalu, apakah
doktor seniman adalah seorang seniman? Atau jangan-jangan hanya ilmuwan yang
mengambil jalur kesenimanan sebagai bidang kajiannya. Setelah lulus, mereka tak
lagi berkarya, alias mandul. Sibuk dengan urusan pangkat dan birokratif.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta