Kontroversi Idris Sardi (dimuat di Koran Tempo 29 April 2014)

Kontroversi Idris Sardi


Dunia musik Indonesia berduka. Seorang maestro biola, komponis ulung, dan pakar ilustrasi musik film telah pergi untuk selamanya pada 28 April 2014. Segala hidupnya telah diziarahkan untuk musik. Ia adalah musikus yang kontroversial. Idris Sardi tak sepenuhnya berpegang pada musik klasik Barat (romantik) saja. Ia melintas batas kala bermain musik bercita rasa jazz, keroncong, hingga musik film. Kemampuannya yang dapat dengan lentur menyeberang ke haluan musik lain itu membuatnya dicibir, namun kemudian dipuja. Idris Sardi merupakan musikus multi-talenta.
Sejak belia, ia dianggap sebagai "anak ajaib". Ia mampu melenggak-lenggokkan jemari tangannya dengan piawai di atas dawai-dawai biola menuruti alur melodi musik klasik Barat. Idris yang masih ingusan telah banyak dibebani tanggung jawab berat. Pagi hari pukul 04.30 ia harus bangun, kemudian berangkat ke kantor Radio Republik Indonesia Yogyakarta untuk membuka siaran pertama radio bersama pamannya, Martono (pendidik musik), dengan memainkan lagu Humorisque karya Antonin Dvorak (Hardjana, 2004). Bahkan, pada usianya yang ke-12 tahun, ia mendapat kesempatan untuk menjadi "mahasiswa luar biasa" di Sekolah Musik Indonesia Yogyakarta. Ia tak dapat bersentuhan dengan dunia anak-anak yang sewajarnya. Saat anak-anak seusianya bermain petak-umpet, ia dengan tekun dan keras melatih kreativitas bermusiknya. Kemampuan bermusik biola Idris Sardi semakin mumpuni kala ia mendapat bimbingan dari guru-guru musik profesional seperti Hendriek Tordasi, George Setet, Nicolai Varfolomijeff, Henk te Strake, Renata Vanos, Hans Botmmer, dan Gerald Kenny.
Idris Sardi mendapat caci dan hujatan kala nekat mengubah haluan dan arah musiknya. Pada dekade 1960-an, masyarakat musik Indonesia dibuat terhenyak oleh kemampuannya memainkan biola dengan gaya musik klasik Jascha Heifetz ke gaya komersial Helmuth Zackarias. Dikisahkan oleh Suka Harjana lewat Catatan Perjalanan Seorang Seniman, Idris Sardi juga nekat saat berafiliasi dengan musik keroncong (kelompok Orkes Keroncong Tetap Segar). Ia dimaki oleh banyak musikus klasik Barat. Ia dianggap tak memiliki pakem musikal yang jelas, tak berfokus pada satu genre musik. Pro dan kontra yang ditujukan kepadanya menunjukkan bahwa sejatinya Idris Sardi adalah seniman yang diperhitungkan. Segala gerak-gerik olah kreatifnya memantik perdebatan dalam dunia musik kala itu. Semakin ia dihujat, seolah semakin nekat.
Titik kulminasinya terjadi kala Idris Sardi menggarap serius musik film. Kala produksi film-film Indonesia mengalami kemerosotan dan kritik tajam, Idris Sardi justru mampu mendapat pengakuan dan penghargaan. Tak kurang dari 189 ilustrasi musik film digarapnya. Tak sembarang film dibuatkan ilustrasi musik. Ia memilih film-film yang dianggapnya bermutu dan membawa pesan perubahan. Musik-musiknya mampu memberi penguatan terhadap karakter dan dramatika film; menjadi lebih hidup dan bermakna. Ia merupakan legenda ilustrator musik film di Indonesia. Idris Sardi merengkuh penghargaan sebagai penata musik terbaik untuk film Pengantin Remaja (1971), Perkawinan (1973), Cinta Pertama (1974), dan Doea Tanda Mata (1985). Hingga detik ini, belum ada yang mampu menyamai prestasinya itu. Kini ia telah tiada, meninggalkan kisah manis dalam jagat musik di Indonesia. Ia bukan lagi seorang maestro semata, tapi juga bapak musik kita. Selamat jalan, Idris Sardi! 

Aris Setiawan
Etnomusikolog

Solo 24 Jam Menari, Memberi Arti (Dimuat di Jawa Pos, 27 April 2014)


Solo 24 Jam Menari, Memberi Arti



Tak terasa, gelaran Solo 24 Jam Menari telah menginjak tahun ke-8 pada 29 April 2014. Setiap tahunnya, gelaran yang diperuntukkan bagi perayaan Hari Tari Dunia tersebut banyak menyedot animo seniman tari dan koreografer di Indonesia bahkan dunia. Tak kurang 2000 peserta datang membanjiri kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta sebagai penyelenggara. Akibatnya, tempat pementasan tidak mencukupi, sehingga ruang-ruang publik di Kota Solopun dengan seketika disulap menjadi panggung pertunjukan. Seperti biasanya, acara ini mengharuskan beberapa koreografer terpilih untuk menari selama 24 jam tanpa henti. Beberapa maestro tari yang pernah melakukannya adalah Wahyu Santoso Prabowo, Suprapto Suryodarmo, S. Pamardi. Hal yang paling unik, gelaran ini sama sekali tak berbayar alias gratis. Semua peserta datang tanpa diupah, iklas atas kerelaan pribadi. Sebuah forum seni yang cukup langka, di kala orientasi dan tujuan seni pertunjukan dewasa ini yang tak dapat dipisahkan dari hitung-hitungan untung rugi (pamrih dan bisnis).

Mahakarya
Seperti tahun lalu, di hari itu Kota Solo banjir seniman tari. Hotel-hotel telah penuh. Jalanan menjadi ramai penari dan bising bunyi musik. Mall dan Bandara Adi Sumarmo tiba-tiba menjadi panggung pementasan. Ribuan mata turut terlibat menyaksikan gelaran tari. Semua pertunjukan gerak dilangsungkan secara serentak. Masyarakat dapat dengan leluasa dan bebas memilih tempat (venue) ideal untuk menonton. Acara yang telah berlangsung secara reguler tiap tahun tersebut dirasa semakin besar. Indikasinya, jumlah peserta yang mendaftar dan datang tak terbendung. Bahkan tak jarang panitia harus menolak tambahan peserta karena tempat pementasan (baik di panggung pertunjukan maupun ruang publik) tidak mencukupi, alias habis. Para peserta –penari- rela mengunggu giliran untuk tampil pukul satu pagi atau subuh. Bagi mereka, yang paling penting adalah semangat kebersamaan untuk turut terlibat merasakan pesta dan perayaan hari tari dunia.
Solo dipandang sebagai lokus yang mampu mencerminkan hubungan kuat antara tradisi tari dengan sejarah hidup masyarakatnya. Lekatnya tradisi keraton memberi nafas bagi gerak tari Solo menjadi lebih tipikial, halus, lembut hingga mencapai derajadnya yang adi luhung. Kita tak dapat mengesampingkan pengaruh besar keraton-keraton di nusantara dalam memberi sumbangan berharga bagi kehidupan seni tari. Di ruang itu bergumul para maestro, penari unggulan yang karyanya telah melegenda. Tari kemudian tidak semata persoalan gerak. Namun juga ritus mengasah akal, budi dan rasa. Setiap orang dapat bergerak, tapi tak setiap orang dapat menari. Menari membutuhkan kepekaan, kekuatan dan lebih penting lagi “rujukan”. Karena itu, Solo 24 Jam Manari berusaha menelisik kembali persentuhan tari dengan istana dengan menghadirkan mahakarya dari Keraton Kasunanan Surakarta, Pura Mangkunegaran Surakarta, Keraton Kasultanan Yogyakarta, Pura Paku Alaman Yogyakarta, Keraton Kacirebonan Jawa Barat, dan lain sebagainya. Karya-karya agung itu disuguhkan kembali untuk mengingatkan kita tentang indahnya akar tradisi tari di Nusantara. Sekaligus juga ruang “dektoksifikasi” terhadap racun-racun gerak –tari- baru yang selama ini menjangkiti generasi muda kita. Di panggung tersebut kita sedikit melenakan diri dari tontonan goyang yang setiap saat dijumpai di layar televisi dengan mengusung tema pokoke njoget!
Acara Solo 24 Jam Menari diikuti dengan pelbagai seminar tentang kesenian, serta orasi kebudayaan yang dibawakan oleh Sal Murgiyanto (budayawan dan kritikus tari). Forum tersebut berulang kali dilirik untuk mendapatkan rekor menari terlama dari Museum Rekor Indonesia (Muri). Namun penyelenggara tidak berkenan dan menolaknya. Menari selama 24 jam bukanlah hendak mengejar pamrih kalkulatif dalam hitungan waktu yang matematis. Tapi lebih dari itu, menari adalah ujud penyerahan raga bagi alam dan tuhan. Menari selama itu (24 jam) berarti berjudi dengan tubuh. Berusaha mengembalikan kodrat tubuh sebagai sebuah diri yang sakral. Sehingga setiap gerak yang dihasilkan memiliki makna dan pesan bagi sesama. Waktu (24 jam) tak lebih dari sekadar pesan kultural alias pengingat bahwa perayaan dan pesta ada batas dan akhirnya.
Menjadi seorang penari berarti membawa konsekuensi untuk tak sekadar menjadikan tubuh mempribadi. Menari tak dapat dipisahkan dari faktor-faktor lain yang sama pentingnya, seperti musik. Menghadirkan tubuh penari dalam balutan tradisi, berarti menelisik pula persinggungan antara bunyi dan gerak. Musik-musik dihadirkan untuk memberi penguatan estetika dalam tari. Karena itu, Solo 24 Jam Menari tak hanya menjadi pesta dan perayaan oleh para penari dan koreografer. Tapi juga seniman lintas batas. Semua bertemu dan berkolaborasi. Dengan demikian, di forum itu kita akan banyak melihat ekspresi kesenian. Musik-musik tradisi yang selama ini kurang dapat menampakkan ujudnya secara lebih terbuka di hadapan publik, dapat dinikmati dengan bebas. Gending-gending gamelan mengalun merdu memberi “roh” bagi para penari keraton untuk melenggang dan bergerak. Busana tradisi bertebaran di mana-mana. Solo kemudian kuyup oleh tradisi tari.



Tak Kapitalis
Panggung pertunjukan seolah menjadi ajang pertarungan bagi para seniman untuk memamerkan hasil karya kreatifnya. Tak hanya berbau tradisi. Tari-tari baru di Solo 24 Jam Menari juga banyak tercipta oleh koreografer muda. Saling ujuk kemampuan. Pada akhirnya, tidak ada yang kalah dan menang, karena forum tersebut bukanlah ajang kontestasi. Panggung Solo 24 Jam Menari selama ini tak ubahnya pusat laboratorium berkesenian yang kreatif dan bebas. Maklum saja, selama ini banyak seniman dan budayawan mengeluhkan semakin hilangnya forum kesenian yang “netral tanpa pamrih”. Banyak forum kesenian digelar namun semata hanya berisi kalkulasi untung-rugi. Panggung-panggung pertunjukan kemudian menjadi sarana bisnis oleh para cukong. Harga tiket melambung. Gedung pertunjukan kelas satu dihadirkan. Iklan tiada henti disuluh lewat media massa. Artis-artis ibu kota yang kadang hanya berbekal wajah dan tubuh molek dihadirkan demi menambah pundi-pundi keuntungan. Muncul anggapan, pertunjukan bermutu kemudian hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang, kaum borjuis. Sementara banyak seniman telah terpasung dan terkikis sisi kreatifnya. Kemampuannya diperas, semata untuk menuruti pesanan para cukong seni yang kapitalis.
Banyak forum kesenian bertebaran di Indonesia dengan mengusung semangat anti kapitalisasi seni. Mengembalikan kodrat seni untuk masyarakat dengan bebas tanpa pamrih, namun tak banyak dari forum itu yang mampu bertahan. Uniknya, Solo justru mampu menjadi barometer kebertahanan forum-forum kesenian seperti itu. Setidaknya ada beberapa yang hingga kini masih bertahan selama lebih dari lima tahun, semakin besar dan eksis. Seperti Bukan Musik Biasa (BMB) warisan komponis I Wayan Sadra, Tidak Sekadar Tari (TST) yang keduanya dilangsungkan setiap dua bulan sekali di Wisma Seni Taman Budaya Surakarta. Nemlikuran (pementasan tari) sebulan sekali di SMKN 8 Surakarta, klenengan Selasa Legen (karya musik karawitan) sebulam sekali di Balai Soedjatmoko Surakarta dan terakhir yang cukup besar Solo 24 Jam Manari (per tahun). Semua forum tersebut memiliki kesamaaan visi, dibiayai dari hasil swadaya para seniman, yang tampil murni karena ingin ujuk kemampuan pada publik. Seniman tentu saja tak mendapat upah, namun kepuasan batin. Bahkan tak jarang mereka diharuskan menghidupi dirinya sendiri, dari akomodasi hingga konsumsi. Namun semua dilakukan dengan iklas dan semangat yang sama untuk berbagi karya kreatif dan terlebih penting, “bersilaturahmi antar seniman”. Oleh karena itu, gelaran Solo 24 Jam Menari bisa menjadi inspirasi bagi hal seurpa di masa yang akan datang.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Solo

Kontroversi "Doktor Seniman" (dimuat di Solopos, 20 April 2014)

Kontroversi “Doktor Seniman”



Bagi seorang seniman, proses mencipta karya seni adalah perjalanan kreatif yang sangat subjektif. Antar seniman bisa sangat berbeda. Para empu dan pujangga dulu ada yang mengawalinya dengan bertapa atau semedi, berpuasa dan bahkan menyiksa diri. Mereka mengharap turunnya wahyu keilahian atau dalam kata lain “ide” untuk mencipta karya seni menumental. Hal-hal sakral yang transenden kemudian tak dapat dielakkan dari proses kreatif itu. Proses penciptaan satu karya membutuhkan rengtang waktu relatif lama, bahkan hingga puluhan tahun. Mereka tak ada tanggungjawab untuk menjelaskan serta mendeskripsikan latar belakang dan ide penciptaan karya kepada publik. Bisa jadi, mereka tak memiliki bekal kemampuan bicara dan menulis. Hubungan seniman dengan karyanya menjadi ruang gelap yang wingit dan sakral.
Setelah institusi pendidikan muncul, seniman masuk dalam kategori profesi intelektual. Muncullah kemudian sebutan “seniman sekolahan” atau “seniman akademis”. Mereka dituntut untuk mempertanggungjawabkan hasil karyanya di depan para dewan penguji. Tak hanya sebatas ide yang masih di awang-awang, alur proses penciptaan juga harus dapat ditulis dengan detail dan runtut. Dalam berkarya, seniman sekolahan itu disertai pendamping –dosen, profesor-, yang memantau, mengkritik, memberi saran dan membenahi karya anak bimbingannya itu. Polemik kemudian muncul saat lembaga pendidikan seni semacam Institut Seni Indonesia (ISI) Solo dan Yogyakarta membuka program penciptaan seni untuk jenjang S3 atau doktor. Pertanyaannya, di mana letak perbedaan karya dengan kualifikasi dotor dan yang bukan? Siapa itu doktor penciptaan seni?

Akademis
Rahayu Supanggah, komposer sekaligus guru besar ilmu karawitan itu mencermati kerancuan yang selama ini terjadi dalam pengembangan model disiplin penciptaan seni pada program studi S3 di ISI Surakarta (Yogyakarta?). Hal ini ia sampaikan dalam seminar nasional “Pengembangan Model Disiplin Seni” beberapa waktu lalu di Teater Besar ISI Surakarta bersama Sardowo W Kusumo, St. Sunardi, Timbul Raharjo, Bambang Sugiharto, Bambang Sunarto dan Sri Hastanto. Supanggah menilai, masih terdapat permasalahan terkait kualifikasi mahasiswa yang diperkenankan untuk menempuh jenjang “doktor seniman” itu. Lulusan doktor penciptaan seni idealnya setaraf dengan empu bahkan maestro di bidang seni.
Namun, banyak mahasiswa yang masuk pada program itu adalah dosen dan pengajar yang semata hanya ingin melengkapi gelar karier mereka. Jikalau ada yang murni seniman, adalah mereka yang ‘berpendidikan’ dan telah memiliki nama besar seperti I Wayan Sadra (alm), Wahyu Santosa Prabawa, Dedy Lutan, Oto Sidarta dan lain sebagainya. Kepakaran mahasiswa dalam bidang seni adakalanya justru jauh lebih besar dibandingkan para dosen yang mengajarnya. Di sisi lain, siapakah yang berhak mengajar calon doktor seniman itu? Sementara banyak dosen atau profesor yang tidak memiliki kualifikasi sebagai seniman, tidak pernah berkarya, namun mengajar metodologi penciptaan seni misalnya. Idealnya para pengajar adalah maestro atau empu seni di bidangnya. Namun sayang, mereka tak memiliki jenjang pendidikan tinggi, tak bergelar akademik apalagi profesor sebagaimana syarat untuk mengajar di program doktor.
Hal yang lebih penting adalah merumuskan pilar keilmuan bidang doktor seniman yang selama ini masih abu-abu. Pendidikan di tingkat itu mengharuskan segalanya dapat terjelaskan dengan detail, akademis, ilmiah dan tentu saja teoritis. Hal ini menjadikan seniman harus berfikir runtut dan kompleks mengikuti tahapan dan kaidah yang diperlakukan. Mulai dari proses pencarian ide hingga lahirnya sebuah karya. Akibatnya, hal-hal yang dianggap transenden, dunia imajinatif yang abstrak itu tak dapat diterima, karena tak sesuai logika akal sehat. Otomatis, cara kerja yang seperti itu tidak dianjurkan atau dihindari. Calon doktor seniman diwajibkan mencari ide dan berproses sesuai dengan buku panduan.
Bahkan konon durasi karya juga ditentukan. Karya seorang doktor seniman paling tidak berdurasi satu jam atau lebih dan berpengaruh langsung secara sosial bagi masyarakat. Durasi itu berimplikasi pada cara kerja, mengharuskan seniman mengais-ngais materi yang kadang tidak relevan namun dicocok-cocokkan. Kita bisa bayangkan, di lembaga itu kemungkinan besar tidak akan lahir karya-karya nakal seperti John Cage dengan musik silencenya (1952). Atau karya I Wayan Sadra dengan Otot Kawat Balung Wesinya (1995). Keliaran imajinasi seorang seniman menjadi terkurung dan tereliminasi. Lebih dari itu, para profesor pembimbing karya berhak dan turut merubah karya agar konon terlihat lebih indah dan diterima masyarakat. Karya itu kemudian menjadi tak seteril lagi, telah dipermak dan ditambalsulam. Usai seniman melakukan gelaran, ia harus mempresentasikan dan diuji layaknya sidang disertasi. Dicecar dengan pelbagai pertanyaan oleh para dewan penguji. Jika tak mampu menjelaskan dengan baik dan ilmiah, maka siap-siap mendapatkan nilai minus.

Polemik
Bagai buah simalakama. Di satu sisi, seniman membutuhkan kebebasan dalam berkarya sebagai wujud orisinalitas. Sementara di sisi lain ia harus dihadapkan dengan alur kerja kreatif yang “dibakukan”. Hal ini sebenarnya tak hanya terjadi di program doktor, tapi juga master dan sarjana. Akibatnya, dengan melalui proses kerja yang sama, karya yang dihasilkan kemudian nampak serupa dan seragam. Semata hanya memenuhi standart kualitas kampus yang dibangun dari satu visi. Dengan demikian, kampus seolah hanya menjadi “pabrik” pencipta karya seni massal laksana mi instan. Di program doktor, syarat yang ditempuh lebih ketat. Mahasiswa yang nyeniman itu diharuskan membuat kertas pertanggungjawaban, tebalnya mengalahkan disertasi. Ditulis dengan kaidah ilmiah dan mengandung satu teori tertentu. Bahkan, kertas itu yang menjadi acuan utama bagi para penguji untuk memberikan nilai daripada menelaah karya seni yang dipresentasikan. Di kertas itu, semua yang abstrak menjadi nampak gamblang dan jelas, dibanding melihat karya seni yang njlimet dan multitafsir itu. Proses berkarya seni terpetieskan alias “beku”.
Setali tiga uang, polemik juga terjadi pada Program Studi Kajian Seni. Hasil disertasi dan tesis kadang tak jauh beda dengan produk serupa di universitas non-kesenian yang memiliki program studi ilmu budaya semacam Universitas Gajah Mada (UGM) serta Universitas Indonesia (UI) dan lain sebagainya. Seni dalam konteks ini hanya menjadi subjek yang dibedah dengan menggunakan banyak teori, mulai dari sejarah, sosiologi, filsafat, antropologi dan komunikasi. Seni tidak mampu menjadi subjek kajian. Semata hanya pelengkap dalam banyak kajian ilmu itu. Akibatnya, ilmu tentang seni tak begitu berkembang baik. Hingga detik ini, konsep dan teori seni dapat dihitung dengan jari, dan itupun kebanyakan dilahirkan oleh para peneliti asing (lihat, pathet, garap dan rasa dalam seni pertunjukan). Padahal, institusi pendidikan seni semacam ISI, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) dan Institut Kesenian (IK) harusnya mampu mempelopori untuk lahirnya banyak varian teori seni untuk seni. Sekali lagi, seni sebagai subjek, bukan objek.
Persoalan di institusi pendidikan seni sudah selayaknya mendapat perhatian khusus.  Proses kekaryaan dan kajian harusnya dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup kesenian terkait. Serta dikembalikan kepada publik, untuk dapat memberi sumbangan berharga, tak semata hanya sebagai pelengkap jenjang studi untuk mencapai gelar. Kitapun patut menanyakan, berapa banyak seniman besar dan bermutu yang dilahirkan dari rahim institusi pendidikan seni kita di Indonesia? Jangan-jangan hanya segelintir, atau bahkan tidak ada. Lalu, apakah doktor seniman adalah seorang seniman? Atau jangan-jangan hanya ilmuwan yang mengambil jalur kesenimanan sebagai bidang kajiannya. Setelah lulus, mereka tak lagi berkarya, alias mandul. Sibuk dengan urusan pangkat dan birokratif. 
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Saat Kirun Bicara Ludruk (dimuat di Jawa Pos Radar Surabaya, 6 April 2014)

Saat Kirun Bicara Ludruk



Saya datang pukul 7.30 pagi (16/3/14). Rumahnya besar dengan pendoponya yang luas serta gedung pertunjukan Ludruk dan Ketoprak yang juga megah. Di bagian depan pendopo terdapat koleksi sepeda motor kuno, gamelan tua, serta benda-benda antik lain. Anehnya, pendopo itu tak dilengkapi dengan pagar. Setiap orang dapat keluar masuk seenaknya, bahkan mungkin jika hendak mengambil barang-barang antik tersebut. Namun, Kirun, pelawak kenamaan Jawa Timur yang juga pemilik rumah besar di Madiun itu tak khawatir jika barang berharganya hilang. Memagar rumahnya berarti menghianati kebudayaan Jawa. Memberi batas tentang siapa aku dan kamu serta luar dan dalam. Pagar baginya mengikis sikap untuk bertegur sapa, bersilaturahmi dan mengenal sesama. Empat jam kemudian, saya baru bisa menemuinya. Selama empat jam itu pula saya menunggu ia terbangun dari tidurnya. Maklum, profesi pelawak mengharuskannya berkerja hingga larut malam bahkan pagi. Waktu tidurnya berantakan. Obrolan panjang, mimik mukanya serius, sesekali berdiri mencontohkan lakon-lakon ludruk. Saya datang bersama Bagus Bagaskoro, musisi karawitan, untuk menyampaikan maksud bahwa mahasiswa yang berasal dari Jawa Timur di Surakarta telah membentuk kelompok studi kebudayaan Jawatimuran bernama ”Arjasura” (Arek Jawa Timur di Surakarta).  Ia senang bukan kepalang, maklum saja, semala ini pelawak berpostur tambun itu mengharapkan ada komunitas atau lembaga yang memusatkan kekaryaan dan penelitian tentang kebudayaan dan kesenian (pertunjukan) Jawatimuran. Ia merasa kecewa karena di Jawa Timur komunitas semacam itu belum –atau tidak- ada.

Berbicara
Kirun mengkritik pertunjukan Ludruk di Jawa Timur saat ini yang menurutnya telah kehilangan nyawa dan aura. Ia bernostalgia kala ludruk meraih zaman keemasannya. Digarap dengan sungguh-sungguh dari tata bahasa hingga kostum dan tata panggung. Sekarang, pemain ludruk tak lagi memiliki semangat untuk berproses. Tak ada ruang latihan dengan intens kecuali ditanggap di kota besar oleh pejabat, seperti di Surabaya. Ludrukpun menjadi tontonan yang marginal di negeri asalnya, Jawa Timur. Kirun seringkali mengeluh bahkan menangis melihat banyak kelom bpok ludruk yang harus gulung tikar alias mati. Baginya, ludruk telah banyak mengajarkan tentang arti kehidupan. Lakon-lakon yang dibawakan tak semata terhenti di atas panggung pertunjukan, namun juga menginspirasi di kehidupan nyata. Ia mampu memerankan pelbagai tokoh ludruk dengan baik didasari atas kepekaan, penelitian, dan pengamatannya terhadap sosok yang hendak diperankannya. Ludruk adalah kesenian multidimensi. Ia mengajarkan tentang cara menjadi aktor atau aktris lewat kemampuan berakting, menjadi seorang penyanyi lewat senandung gending-gending gamelan, serta menjadi sastrawan lewat karya kidungan (parikan, pantun) yang dibawakannya.
Bahkan sebelum format stand-up komedi laris manis di layar kaca, pelawak ludruk terlebih dahulu telah mengawali. Pelawak ludruk yang juga seorang pengidung jula-juli, menjadi seorang pengepur, berdiri sendiri di atas panggung, membuat banyolan-banyolan yang menghidur penonton. Pelawak ludruk yang demikian mampu bertahan hingga setengah jam dan tak membosankan. Tema-tema banyolan yang dikisahkan adalah seputar kehidupan sehari-hari. Seorang pelawak wajib datang beberapa jam sebelum pertunjukan dimulai. Hal itu dilakukan untuk “wawancara” dengan masayarakat, guna mengetahui tema-tema aktual yang sedang hangat diperbincangkan di kampung tempat pementasakan. Hasilnya, pelawak ludruk dapat mengocok perut penonton hingga terpingkal-pingkal. Stand-up komedi adalah tiruan pelawak ludruk yang dikemas menjadi lebih baru dan modern. Kirun kemudian juga meratapi maraknya acara komedi di layar kaca yang tak menghargai nilai penciptaan tradisi. Baju Gatot Kaca dapat diinjak-injak oleh Sule, blangkon yang ditendang, atau kala Olga memerankan tokoh ludruk Sakerah yang dikenal jantan dan maskulin itu menjadi kebanci-bancian. Harusnya, mereka diberi tauladan budaya kata Kirun. Setidaknya, buatlah yang baru, jangan merusak apa yang sudah ada. Hargailah peninggalan tradisi sebagaimana menghargai bangsa ini.
Kirun sangat marah kala Sakerah yang selama ini dalam memori dan imajinasinya adalah pahlawan –ludruk- Jawa Timur atau Madura tiba-tiba menjadi lembeng atau feminin. Sebagai orang Jawa Timur ia perlu meluruskan kesalahan tersebut. Di pelbagai kesempatan, terutama di panggung pertunjukan lawak, ia berulangkali berujar tentang masalah ini. Ia tak bosan dan capek. Lihatlah lawakan Kirun yang meraih masa jaya bersama Bagio dan Kolek dulu lewat acara Depot Jamu Kirun di TVRI (era 90-an). Lawakannya cerdas dan berbobot. Tak ada unsur sara, kekerasan apalagi melecehkan lawan main. Progam itu menjadi kampiun, ditunggu dan dipuja masyarakat. Tak hanya ludruk, Kirun juga menekuni Ketoprak. Ia adalah pemain lintas batas. Ia dengan sukarela melatih ludruk bagi generasi muda tanpa harus dibayar. Bahkan kala salah satu pejabat di Jawa Timur menyuruhnya membina kelompok ludruk yang ada di Jawa Timur dengan tegas ia menolaknya. Bagi kirun, lebih baik melatih anak-anak di SD, SMP dan SMA bermain ludruk dari pada melatih dan membina pemain ludruk yang telah senja. Kirun memandang, anak-anak muda itu masih laksana “kertas putih”, sehingga lebih mudah untuk digores. Sementara pemain ludruk yang berusia tua kini hanya membutuhkan makan dan bertahan hidup, bukan proses yang panjang dan melelahkan.

Iklas
Kirun merasa menjadi “penjahat budaya” di pertunjukan wayang kulit. Saat ini hampir sulit dijumpai pertunjukan wayang kulit (baik gaya Surakarta maupun Jawatimuran) tanpa hadirnya seorang pelawak. Kirun merasa bahwa dialah pelopor pertama masuknya lawak dalam pertunjukan wayang kulit. Ia banyak digunakan oleh dalang-dalang besar seperti Ki Anom Suroto, Ki Purbo Asmoro, Ki Manteb Soedarsono, Ki Enthus Susmono untuk menyajikan banyolan pada sesi gara-gara dan limbukan. Kini porsi lawakan kadang lebih lama dibanding gelaran wayang kulitnya. Akibatnya, banyak adegan dalam pertunjukan wayang yang hilang seperti kedatonan, pertapan, sintren dan pocapan kereta. Kirun merasa sangat berdosa, karena telah “mengorupsi” waktu pertunjukan wayang kulit untuk lawakannya. Ia percaya dengan adanya “karma budaya”. Kini ia mulai menolak ajakan untuk melawak di pertunjukan wayang kulit, kecuali dengan kesekuensi yang berdasar atas kesepakatan tertentu terlebih dahulu. Ia sadar, tentu saja penghasilannya akan berkurang. Tapi baginya, uang bisa dicari, tapi tidak dengan ketentraman jiwa.
Saya baru pertama kali bertemu kirun. Dia tak hanya seorang pelawak yang memproduksi banyolan. Namun ia juga seorang budayawan yang memproduksi pemikiran budaya terutama tentang kesenian di Jawa Timur. Ia mengiklaskan diri untuk menjadi pelatih ludruk tak berbayar bagi kelompok ludruk mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Bahkan diakhir pembicaraan, ia menyumbang uang sebanyak 10 juta untuk berproses. Ia pun berniat menanggung semua biaya akomodasi pementasan di luar kota, menggratiskan gamelan, panggung, lampu, soundsistem dan kostum miliknya. Padahal hubungan silaturahmi kami barusaja dimulai dalam hitungan jam. Bagi Kirun, tak ada kata miskin dan bangkrut untuk seni ludruk. Ia berniat menghidupi ludruk hingga detik terakhir dalam hidupnya. Ia bercita-cita, di bawah panggung pertunjukan miliknya –di samping pendopo- tergelar museum ludruk yang diisi dengan pelbagai pernak-pernik tentang ludruk. Iapun berniat menuliskan lakon-lakon ludruk yang menjadi icon Jawa Timur, mulai dari Sarip Tambak Yoso, Untung Suropati, Sakerah, Joko Kendil hingga Branjang Kawat. Kirun sadar bahwa ludruk kini telah terkulai sakit. Iapun rela mendarmabahktikan hidup dan matinya demi keberlangsungan ludruk di masa yang akan datang. Ia berkehendak membuat ludruk yang tak muluk apalagi bombastis. Ia hanya menuntut proses dan kerja serius dalam berludruk. Hidupnya semata hanya menziarahi ludruk.
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta 

Hujan Bising (dimuat di Solopos, 3 April 2014)

Hujan Bising



Suara knalpot sepeda motor begitu memekakkan telinga. Musim kampanye menjadi musim untuk merubah tatanan kendaraan beroda dua itu menjadi lebih garang dan seram. Para simpatisan partai berbondong-bondong, beramai-ramai mendatangi lokasi kampanye dengan menggeber knalpot sekeras-kerasnya. Masyarakat pengguna jalan lain segera menepi, memberi akses bagi sang “penguasa bunyi” untuk lewat. Sudah dapat diprediksi, pemilu tak hanya sekadar membawa konsekuensi berujud pesta demokrasi, namun juga pesta bising. Masyarakat di Indonesia masih meyakini bahwa bunyi mampu mempresentasikan legitimasi, kekuatan dan eksistensi, tentang siapa aku dan kamu. Dengan bergerombol dan memproduksi suara bising, mereka hendak memberi simbol tentang kekuatan yang besar. Semakin rame dan gaduh maka semakin kuat, tak terkalahkan. Para simpatisan partai menguasai jalanan. Polisi hanya diam termangu, karena kalah jumlah. Masyarakat kemudian mencoba memaklumi peristiwa pemilu sebagai peristiwa “budaya bunyi”. Indonesia negeri seribu bunyi, dari indahnya denting gamelan hingga bisingnya knalpot jalanan. Semua bersanding dan mendapat tempatnya tersendiri.

Bising
Peristiwa bisingnya knalpot sepeda motor para simpatisan partai di jalan raya mengingatkan kita tentang soundscape lingkungan di Nusantara dan terutama Jawa. Kita seolah tak pernah merasa terganggu dengan suara gaduh kala menyaksikan pertunjukan Ngarot dan pasar malam sekatenan. Kitapun menjadi maklum kala satu kampung berdiri lima masjid (bahkan lebih) yang saat kumandang azan tiba, suara saling tumpang tindih dan tak membentuk harmoni. Kita merubah kebisingan menjadi gejala yang biasa. Bahkan masyarakat kita menyadari bahwa bunyi merupakan salah satu jalan membuat eksistensi. Hajatan di Jawa menggunakan perangkat soundsystem atau pengeras suara dengan kapasitas besar. Membuat kaca rumah bergetar, jantung serasa hendak copot. Namun, bagi orang yang mendengarnya, pesta tersebut diindikasikan berlangsung secara megah. Semakin ramai dianggap semakin besar dan agung. Semakin jauh rambatan bunyinya dianggap semakin baik. Menjangkau orang dalam radius terjauh untuk terlibat menikmati hajad yang digelar, walaupun sejatinya hanya lewat bunyi.
Rivaldi (2013) meneliti tentang budaya bising pada knalpot suporter –sepakbola- Pasoepati di Solo. Menurutnya, dentuman knalpot mampu membentuk jalinan musik yang ritmikal. Terdapat pola-pola tertentu untuk menghasilkan kualitas bunyi yang “indah”. Misalnya dengan memadukan jalinan pola antar pengendara sepeda motor para suporter. Satu suporter memiliki pola utama (pokok) dan saling bersahutan dengan pola baru dari suporter yang lain. Sehingga membentuk ornamentasi musikal yang imbal atau bergantian. Jika diamati lebih dalam, hampir setiap pola memiliki kesulitan tersendiri. Terutama bagaimana menggeber knalpot pada pola tertentu namun laju kendaraan tetap dalam posisi stabil, tidak berubah menjadi cepat atau lambat. Hal ini membutuhkkan latihan dan keterampilan. Oleh karena itu, kegiatan semacam ini harus didukung dengan kapasitas sepeda yang digunakan. Tidak semua sepeda dapat dipakai untuk keperluan ini. Sepeda matic menjadi haram hukumnya untuk dihadirkan. Paling ideal adalah sepeda dua tak, karena bunyi yang ditimbulkan cenderung keras dan melengking serta mampu menghasilkan kepulan asap yang pekat. Lebih indah jika knalpot juga mampu memunculkan letupan api.
Begitupun dengan simpatisan partai kala kampanye. Mereka memakai kendaraan yang sebelumnya telah dimodifikasi, terutama pada knalpot dan mesin. Adapun perbedaanya, jika suporter sepakbola telah terorganisir, sehingga mampu membuat jalinan ritmikal bunyi knalpot yang terstruktur, tidak demikian halnya dengan simpatisan partai. Simpatisan partai cenderung acak dan tak terpola, atau asal-asalan. Bagi mereka yang paling penting adalah bunyi bising, bukan citra estetik layaknya dalam musik. Mereka menikmati kekacauan (chaos) yang ditimbulkan dari bunyi. Semakin chaos semakin baik. Bunyi yang diproduksi memberikan makna dan tafsir baru bagi pendengarnya, terutama publik. Saat suara gaduh knalpot itu berhasil diperdengarkan di hadapan publik, maka bunyi itu telah menjadi pesan berupa“teror” yang berkelindan dalam otak. Bahkan bagi sebagian banyak orang dianggap ancaman yang meresahkan. Karenanya masyarakat menjadi malas atau takut keluar rumah apalagi berpergian, pintu rumah ditutup rapat-rapat dan sebisa mungkin menjauhi jalan raya.

Membangun Kuasa Citra
Kampanye baru dimulai siang hari, namun sedari pagi suara knalpot itu tiada henti digeber. Bagi Agustinus Herwanto (2005), mereka sejatinya sedang membangun kuasa pencitraan diri. “Pertunjukan” telah dimulai sebelum waktunya. Hal ini membawa dampak psikologis bahwa hajad atau kampanye yang hendak digelar berlangsung bombastis dan megah. Telah dimulai sebelum benar-benar dimulai. Mampu “meneror” sepanjang waktu. Para simpatisan itu tak butuh untuk dilihat, karena sejatinya yang hendak disampaikan adalah bunyi, bukan pemandangan visual. Akibatnya, lihatlah sepeda motor mereka yang kadang bentuknya tak karuan dan tak terurus. Telinga mampu terjaga sepanjang waktu, sementara tidak demikian dengan mata. Jika capek, mata akan terpejam lalu tidur. Sementara telinga akan tetap bekerja menangkap objek berupa suara. Akibatnya, walupun kita tidur, apa yang kita dengarkan saat itu juga kadang terbawa hingga mimpi. Membangunkan tidurpun kebanyakan lewat suara, lalu diolah oleh telinga menjadi stimulan yang mempengaruhi kinerja otak. Merusak alam imajisai (mimpi) dan sadar lalu terbangun.
Bunyi menjadi sarana paling efektif dalam menyampaikan identitas sosial. Bahasa suara lebih mampu dimengerti daripada bahasa visual. Karena itu, kesan pertama yang hendak ditimbulkan dari knalpot simpatisan partai adalah keinginan menunjukkan eksistensi mereka. Mencoba meraih pengakuan publik bahwa mereka ada dan nyata. Karena itu, semakin tidak ada keluh dan kritik penolakan dari masyarakat, berarti apa yang mereka lakukan telah dianggap sah, legal dan berhasil. Begitupun kala kampanye usai digelar, selama perjalanan pulang itu mereka tetap menggeber knalpotnya dengan kencang. Sekali lagi, mereka hendak membangun kuasa pencitraan atas peristiwa yang dianggap besar dan megah. Efeknya masih berasa sebelum dan sesudah hajad digelar. Apa yang dilakukan kemudian berkehendak untuk dikenang dan diabadikan dalam memori masyarakat. Sehingga, di hari berikutnya kala kampanye datang lagi, masyarakat sudah dianggap siap menyambut pesta bising tersebut. Buktinya, peristiwa ini sudah berlangsung dari bertahun-tahun lalu dan selalu sama. Seolah menjadi ritual yang wajib digelar dalam bentuk seremonial bunyi.
Dalam kacamata etnomusikologis, bunyi yang dihasilkan dari knalpot para simpatisan partai juga mampu berbicara tentang adab budaya yang selama ini mereka miliki. Kekacauan dalam bentuk suara menandaskan bahwa kebudayaan di Indonesia dibangun dari fondasi kekerasan. Tak lagi melihat sesama sebagai sebuah makhluk yang membutuhkan kenyamanan dan kedamaian untuk hidup. Kebudayaan yang dibangun atas dasar rasa dan arogansi untuk menguasai yang lain. Tidak lagi mempertimbangan azas kehidupan bersama, kesadaran untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi perbedaan. Kitapun dipaksa untuk mengonsumsi bunyi bising setiap saat. Tanpa diberi pilihan. Musim kampanye adalah era polusi suara. Lingkungan seolah terlihat tidak ramah. Kitapun kemudian berharap agar bunyi knalpot segera tergantikan dengan dentum bunyi musik yang indah dan menggoda. Yang mampu dinikmati dengan memejamkan mata dan sesekali mengangguk-anggukkan kepala. Tanpa rasa takut, tertekan, stress dan panik layaknya teror bunyi di jalanan itu. Hujan bising telah datang, siapkan “payung” dengan menutup erat-erat telinga anda.
 Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Pengikut