Solo 24 Jam Menari, Memberi Arti
Tak terasa, gelaran Solo 24 Jam Menari telah menginjak tahun
ke-8 pada 29 April 2014. Setiap tahunnya, gelaran yang diperuntukkan bagi
perayaan Hari Tari Dunia tersebut banyak menyedot animo seniman tari dan
koreografer di Indonesia bahkan dunia. Tak kurang 2000 peserta datang
membanjiri kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta sebagai penyelenggara.
Akibatnya, tempat pementasan tidak mencukupi, sehingga ruang-ruang publik di Kota
Solopun dengan seketika disulap menjadi panggung pertunjukan. Seperti biasanya,
acara ini mengharuskan beberapa koreografer terpilih untuk menari selama 24 jam
tanpa henti. Beberapa maestro tari yang pernah melakukannya adalah Wahyu
Santoso Prabowo, Suprapto Suryodarmo, S. Pamardi. Hal yang paling unik, gelaran
ini sama sekali tak berbayar alias gratis. Semua peserta datang tanpa diupah,
iklas atas kerelaan pribadi. Sebuah forum seni yang cukup langka, di kala
orientasi dan tujuan seni pertunjukan dewasa ini yang tak dapat dipisahkan dari
hitung-hitungan untung rugi (pamrih dan bisnis).
Mahakarya
Seperti tahun lalu, di hari itu
Kota Solo banjir seniman tari. Hotel-hotel telah penuh. Jalanan menjadi ramai penari
dan bising bunyi musik. Mall dan Bandara Adi Sumarmo tiba-tiba menjadi panggung
pementasan. Ribuan mata turut terlibat menyaksikan gelaran tari. Semua
pertunjukan gerak dilangsungkan secara serentak. Masyarakat dapat dengan
leluasa dan bebas memilih tempat (venue)
ideal untuk menonton. Acara yang telah berlangsung secara reguler tiap tahun
tersebut dirasa semakin besar. Indikasinya, jumlah peserta yang mendaftar dan
datang tak terbendung. Bahkan tak jarang panitia harus menolak tambahan peserta
karena tempat pementasan (baik di panggung pertunjukan maupun ruang publik) tidak
mencukupi, alias habis. Para peserta –penari- rela mengunggu giliran untuk tampil
pukul satu pagi atau subuh. Bagi mereka, yang paling penting adalah semangat kebersamaan
untuk turut terlibat merasakan pesta dan perayaan hari tari dunia.
Solo dipandang sebagai lokus yang
mampu mencerminkan hubungan kuat antara tradisi tari dengan sejarah hidup
masyarakatnya. Lekatnya tradisi keraton memberi nafas bagi gerak tari Solo
menjadi lebih tipikial, halus, lembut hingga mencapai derajadnya yang adi
luhung. Kita tak dapat mengesampingkan pengaruh besar keraton-keraton di
nusantara dalam memberi sumbangan berharga bagi kehidupan seni tari. Di ruang
itu bergumul para maestro, penari unggulan yang karyanya telah melegenda. Tari
kemudian tidak semata persoalan gerak. Namun juga ritus mengasah akal, budi dan
rasa. Setiap orang dapat bergerak, tapi tak setiap orang dapat menari. Menari
membutuhkan kepekaan, kekuatan dan lebih penting lagi “rujukan”. Karena itu, Solo 24 Jam Manari berusaha menelisik
kembali persentuhan tari dengan istana dengan menghadirkan mahakarya dari
Keraton Kasunanan Surakarta, Pura Mangkunegaran Surakarta, Keraton Kasultanan
Yogyakarta, Pura Paku Alaman Yogyakarta, Keraton Kacirebonan Jawa Barat, dan
lain sebagainya. Karya-karya agung itu disuguhkan kembali untuk mengingatkan
kita tentang indahnya akar tradisi tari di Nusantara. Sekaligus juga ruang
“dektoksifikasi” terhadap racun-racun gerak –tari- baru yang selama ini
menjangkiti generasi muda kita. Di panggung tersebut kita sedikit melenakan
diri dari tontonan goyang yang setiap saat dijumpai di layar televisi dengan
mengusung tema pokoke njoget!
Acara Solo 24 Jam Menari
diikuti dengan pelbagai seminar tentang kesenian, serta orasi kebudayaan yang
dibawakan oleh Sal Murgiyanto (budayawan dan kritikus tari). Forum tersebut berulang
kali dilirik untuk mendapatkan rekor menari terlama dari Museum Rekor Indonesia
(Muri). Namun penyelenggara tidak berkenan dan menolaknya. Menari selama 24 jam
bukanlah hendak mengejar pamrih kalkulatif dalam hitungan waktu yang matematis.
Tapi lebih dari itu, menari adalah ujud penyerahan raga bagi alam dan tuhan.
Menari selama itu (24 jam) berarti berjudi dengan tubuh. Berusaha mengembalikan
kodrat tubuh sebagai sebuah diri yang sakral. Sehingga setiap gerak yang dihasilkan
memiliki makna dan pesan bagi sesama. Waktu (24 jam) tak lebih dari sekadar pesan
kultural alias pengingat bahwa perayaan dan pesta ada batas dan akhirnya.
Menjadi seorang penari berarti
membawa konsekuensi untuk tak sekadar menjadikan tubuh mempribadi. Menari tak
dapat dipisahkan dari faktor-faktor lain yang sama pentingnya, seperti musik.
Menghadirkan tubuh penari dalam balutan tradisi, berarti menelisik pula
persinggungan antara bunyi dan gerak. Musik-musik dihadirkan untuk memberi
penguatan estetika dalam tari. Karena itu, Solo
24 Jam Menari tak hanya
menjadi pesta dan perayaan oleh para penari dan koreografer. Tapi juga seniman
lintas batas. Semua bertemu dan berkolaborasi. Dengan demikian, di forum itu
kita akan banyak melihat ekspresi kesenian. Musik-musik tradisi yang selama ini
kurang dapat menampakkan ujudnya secara lebih terbuka di hadapan publik, dapat
dinikmati dengan bebas. Gending-gending gamelan mengalun merdu memberi “roh”
bagi para penari keraton untuk melenggang dan bergerak. Busana tradisi
bertebaran di mana-mana. Solo kemudian kuyup oleh tradisi tari.
Tak
Kapitalis
Panggung pertunjukan seolah
menjadi ajang pertarungan bagi para seniman untuk memamerkan hasil karya
kreatifnya. Tak hanya berbau tradisi. Tari-tari baru di Solo 24 Jam Menari juga banyak
tercipta oleh koreografer muda. Saling ujuk kemampuan. Pada akhirnya, tidak ada
yang kalah dan menang, karena forum tersebut bukanlah ajang kontestasi.
Panggung Solo 24 Jam Menari selama ini tak ubahnya pusat
laboratorium berkesenian yang kreatif dan bebas. Maklum saja, selama ini banyak
seniman dan budayawan mengeluhkan semakin hilangnya forum kesenian yang “netral
tanpa pamrih”. Banyak forum kesenian digelar namun semata hanya berisi
kalkulasi untung-rugi. Panggung-panggung pertunjukan kemudian menjadi sarana
bisnis oleh para cukong. Harga tiket melambung. Gedung pertunjukan kelas satu
dihadirkan. Iklan tiada henti disuluh lewat media massa. Artis-artis ibu kota
yang kadang hanya berbekal wajah dan tubuh molek dihadirkan demi menambah
pundi-pundi keuntungan. Muncul anggapan, pertunjukan bermutu kemudian hanya
dapat dinikmati oleh segelintir orang, kaum borjuis. Sementara banyak seniman
telah terpasung dan terkikis sisi kreatifnya. Kemampuannya diperas, semata
untuk menuruti pesanan para cukong seni yang kapitalis.
Banyak forum kesenian bertebaran
di Indonesia dengan mengusung semangat anti kapitalisasi seni. Mengembalikan
kodrat seni untuk masyarakat dengan bebas tanpa pamrih, namun tak banyak dari
forum itu yang mampu bertahan. Uniknya, Solo justru mampu menjadi barometer
kebertahanan forum-forum kesenian seperti itu. Setidaknya ada beberapa yang
hingga kini masih bertahan selama lebih dari lima tahun, semakin besar dan
eksis. Seperti Bukan Musik Biasa (BMB) warisan komponis I Wayan Sadra, Tidak
Sekadar Tari (TST) yang keduanya dilangsungkan setiap dua bulan sekali di Wisma
Seni Taman Budaya Surakarta. Nemlikuran
(pementasan tari) sebulan sekali di SMKN 8 Surakarta, klenengan Selasa Legen (karya musik karawitan) sebulam sekali di Balai Soedjatmoko
Surakarta dan terakhir yang cukup besar Solo
24 Jam Manari (per tahun). Semua forum tersebut memiliki kesamaaan visi,
dibiayai dari hasil swadaya para seniman, yang tampil murni karena ingin ujuk
kemampuan pada publik. Seniman tentu saja tak mendapat upah, namun kepuasan
batin. Bahkan tak jarang mereka diharuskan menghidupi dirinya sendiri, dari
akomodasi hingga konsumsi. Namun semua dilakukan dengan iklas dan semangat yang
sama untuk berbagi karya kreatif dan terlebih penting, “bersilaturahmi antar
seniman”. Oleh karena itu, gelaran Solo
24 Jam Menari bisa menjadi
inspirasi bagi hal seurpa di masa yang akan datang.
Aris
Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Solo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar