Solo 24 Jam Menari, Memberi Arti (Dimuat di Jawa Pos, 27 April 2014)


Solo 24 Jam Menari, Memberi Arti



Tak terasa, gelaran Solo 24 Jam Menari telah menginjak tahun ke-8 pada 29 April 2014. Setiap tahunnya, gelaran yang diperuntukkan bagi perayaan Hari Tari Dunia tersebut banyak menyedot animo seniman tari dan koreografer di Indonesia bahkan dunia. Tak kurang 2000 peserta datang membanjiri kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta sebagai penyelenggara. Akibatnya, tempat pementasan tidak mencukupi, sehingga ruang-ruang publik di Kota Solopun dengan seketika disulap menjadi panggung pertunjukan. Seperti biasanya, acara ini mengharuskan beberapa koreografer terpilih untuk menari selama 24 jam tanpa henti. Beberapa maestro tari yang pernah melakukannya adalah Wahyu Santoso Prabowo, Suprapto Suryodarmo, S. Pamardi. Hal yang paling unik, gelaran ini sama sekali tak berbayar alias gratis. Semua peserta datang tanpa diupah, iklas atas kerelaan pribadi. Sebuah forum seni yang cukup langka, di kala orientasi dan tujuan seni pertunjukan dewasa ini yang tak dapat dipisahkan dari hitung-hitungan untung rugi (pamrih dan bisnis).

Mahakarya
Seperti tahun lalu, di hari itu Kota Solo banjir seniman tari. Hotel-hotel telah penuh. Jalanan menjadi ramai penari dan bising bunyi musik. Mall dan Bandara Adi Sumarmo tiba-tiba menjadi panggung pementasan. Ribuan mata turut terlibat menyaksikan gelaran tari. Semua pertunjukan gerak dilangsungkan secara serentak. Masyarakat dapat dengan leluasa dan bebas memilih tempat (venue) ideal untuk menonton. Acara yang telah berlangsung secara reguler tiap tahun tersebut dirasa semakin besar. Indikasinya, jumlah peserta yang mendaftar dan datang tak terbendung. Bahkan tak jarang panitia harus menolak tambahan peserta karena tempat pementasan (baik di panggung pertunjukan maupun ruang publik) tidak mencukupi, alias habis. Para peserta –penari- rela mengunggu giliran untuk tampil pukul satu pagi atau subuh. Bagi mereka, yang paling penting adalah semangat kebersamaan untuk turut terlibat merasakan pesta dan perayaan hari tari dunia.
Solo dipandang sebagai lokus yang mampu mencerminkan hubungan kuat antara tradisi tari dengan sejarah hidup masyarakatnya. Lekatnya tradisi keraton memberi nafas bagi gerak tari Solo menjadi lebih tipikial, halus, lembut hingga mencapai derajadnya yang adi luhung. Kita tak dapat mengesampingkan pengaruh besar keraton-keraton di nusantara dalam memberi sumbangan berharga bagi kehidupan seni tari. Di ruang itu bergumul para maestro, penari unggulan yang karyanya telah melegenda. Tari kemudian tidak semata persoalan gerak. Namun juga ritus mengasah akal, budi dan rasa. Setiap orang dapat bergerak, tapi tak setiap orang dapat menari. Menari membutuhkan kepekaan, kekuatan dan lebih penting lagi “rujukan”. Karena itu, Solo 24 Jam Manari berusaha menelisik kembali persentuhan tari dengan istana dengan menghadirkan mahakarya dari Keraton Kasunanan Surakarta, Pura Mangkunegaran Surakarta, Keraton Kasultanan Yogyakarta, Pura Paku Alaman Yogyakarta, Keraton Kacirebonan Jawa Barat, dan lain sebagainya. Karya-karya agung itu disuguhkan kembali untuk mengingatkan kita tentang indahnya akar tradisi tari di Nusantara. Sekaligus juga ruang “dektoksifikasi” terhadap racun-racun gerak –tari- baru yang selama ini menjangkiti generasi muda kita. Di panggung tersebut kita sedikit melenakan diri dari tontonan goyang yang setiap saat dijumpai di layar televisi dengan mengusung tema pokoke njoget!
Acara Solo 24 Jam Menari diikuti dengan pelbagai seminar tentang kesenian, serta orasi kebudayaan yang dibawakan oleh Sal Murgiyanto (budayawan dan kritikus tari). Forum tersebut berulang kali dilirik untuk mendapatkan rekor menari terlama dari Museum Rekor Indonesia (Muri). Namun penyelenggara tidak berkenan dan menolaknya. Menari selama 24 jam bukanlah hendak mengejar pamrih kalkulatif dalam hitungan waktu yang matematis. Tapi lebih dari itu, menari adalah ujud penyerahan raga bagi alam dan tuhan. Menari selama itu (24 jam) berarti berjudi dengan tubuh. Berusaha mengembalikan kodrat tubuh sebagai sebuah diri yang sakral. Sehingga setiap gerak yang dihasilkan memiliki makna dan pesan bagi sesama. Waktu (24 jam) tak lebih dari sekadar pesan kultural alias pengingat bahwa perayaan dan pesta ada batas dan akhirnya.
Menjadi seorang penari berarti membawa konsekuensi untuk tak sekadar menjadikan tubuh mempribadi. Menari tak dapat dipisahkan dari faktor-faktor lain yang sama pentingnya, seperti musik. Menghadirkan tubuh penari dalam balutan tradisi, berarti menelisik pula persinggungan antara bunyi dan gerak. Musik-musik dihadirkan untuk memberi penguatan estetika dalam tari. Karena itu, Solo 24 Jam Menari tak hanya menjadi pesta dan perayaan oleh para penari dan koreografer. Tapi juga seniman lintas batas. Semua bertemu dan berkolaborasi. Dengan demikian, di forum itu kita akan banyak melihat ekspresi kesenian. Musik-musik tradisi yang selama ini kurang dapat menampakkan ujudnya secara lebih terbuka di hadapan publik, dapat dinikmati dengan bebas. Gending-gending gamelan mengalun merdu memberi “roh” bagi para penari keraton untuk melenggang dan bergerak. Busana tradisi bertebaran di mana-mana. Solo kemudian kuyup oleh tradisi tari.



Tak Kapitalis
Panggung pertunjukan seolah menjadi ajang pertarungan bagi para seniman untuk memamerkan hasil karya kreatifnya. Tak hanya berbau tradisi. Tari-tari baru di Solo 24 Jam Menari juga banyak tercipta oleh koreografer muda. Saling ujuk kemampuan. Pada akhirnya, tidak ada yang kalah dan menang, karena forum tersebut bukanlah ajang kontestasi. Panggung Solo 24 Jam Menari selama ini tak ubahnya pusat laboratorium berkesenian yang kreatif dan bebas. Maklum saja, selama ini banyak seniman dan budayawan mengeluhkan semakin hilangnya forum kesenian yang “netral tanpa pamrih”. Banyak forum kesenian digelar namun semata hanya berisi kalkulasi untung-rugi. Panggung-panggung pertunjukan kemudian menjadi sarana bisnis oleh para cukong. Harga tiket melambung. Gedung pertunjukan kelas satu dihadirkan. Iklan tiada henti disuluh lewat media massa. Artis-artis ibu kota yang kadang hanya berbekal wajah dan tubuh molek dihadirkan demi menambah pundi-pundi keuntungan. Muncul anggapan, pertunjukan bermutu kemudian hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang, kaum borjuis. Sementara banyak seniman telah terpasung dan terkikis sisi kreatifnya. Kemampuannya diperas, semata untuk menuruti pesanan para cukong seni yang kapitalis.
Banyak forum kesenian bertebaran di Indonesia dengan mengusung semangat anti kapitalisasi seni. Mengembalikan kodrat seni untuk masyarakat dengan bebas tanpa pamrih, namun tak banyak dari forum itu yang mampu bertahan. Uniknya, Solo justru mampu menjadi barometer kebertahanan forum-forum kesenian seperti itu. Setidaknya ada beberapa yang hingga kini masih bertahan selama lebih dari lima tahun, semakin besar dan eksis. Seperti Bukan Musik Biasa (BMB) warisan komponis I Wayan Sadra, Tidak Sekadar Tari (TST) yang keduanya dilangsungkan setiap dua bulan sekali di Wisma Seni Taman Budaya Surakarta. Nemlikuran (pementasan tari) sebulan sekali di SMKN 8 Surakarta, klenengan Selasa Legen (karya musik karawitan) sebulam sekali di Balai Soedjatmoko Surakarta dan terakhir yang cukup besar Solo 24 Jam Manari (per tahun). Semua forum tersebut memiliki kesamaaan visi, dibiayai dari hasil swadaya para seniman, yang tampil murni karena ingin ujuk kemampuan pada publik. Seniman tentu saja tak mendapat upah, namun kepuasan batin. Bahkan tak jarang mereka diharuskan menghidupi dirinya sendiri, dari akomodasi hingga konsumsi. Namun semua dilakukan dengan iklas dan semangat yang sama untuk berbagi karya kreatif dan terlebih penting, “bersilaturahmi antar seniman”. Oleh karena itu, gelaran Solo 24 Jam Menari bisa menjadi inspirasi bagi hal seurpa di masa yang akan datang.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Solo

Tidak ada komentar:

Pengikut