Saat Kirun
Bicara Ludruk
Saya datang pukul 7.30 pagi (16/3/14).
Rumahnya besar dengan pendoponya yang luas serta gedung pertunjukan Ludruk dan
Ketoprak yang juga megah. Di bagian depan pendopo terdapat koleksi sepeda motor
kuno, gamelan tua, serta benda-benda antik lain. Anehnya, pendopo itu tak
dilengkapi dengan pagar. Setiap orang dapat keluar masuk seenaknya, bahkan
mungkin jika hendak mengambil barang-barang antik tersebut. Namun, Kirun,
pelawak kenamaan Jawa Timur yang juga pemilik rumah besar di Madiun itu tak
khawatir jika barang berharganya hilang. Memagar rumahnya berarti menghianati
kebudayaan Jawa. Memberi batas tentang siapa aku dan kamu serta luar dan dalam.
Pagar baginya mengikis sikap untuk bertegur sapa, bersilaturahmi dan mengenal
sesama. Empat jam kemudian, saya baru bisa menemuinya. Selama empat jam itu
pula saya menunggu ia terbangun dari tidurnya. Maklum, profesi pelawak mengharuskannya
berkerja hingga larut malam bahkan pagi. Waktu tidurnya berantakan. Obrolan
panjang, mimik mukanya serius, sesekali berdiri mencontohkan lakon-lakon ludruk.
Saya datang bersama Bagus Bagaskoro, musisi karawitan, untuk menyampaikan
maksud bahwa mahasiswa yang berasal dari Jawa Timur di Surakarta telah
membentuk kelompok studi kebudayaan Jawatimuran bernama ”Arjasura” (Arek Jawa
Timur di Surakarta). Ia senang bukan
kepalang, maklum saja, semala ini pelawak berpostur tambun itu mengharapkan ada
komunitas atau lembaga yang memusatkan kekaryaan dan penelitian tentang
kebudayaan dan kesenian (pertunjukan) Jawatimuran. Ia merasa kecewa karena di
Jawa Timur komunitas semacam itu belum –atau tidak- ada.
Berbicara
Kirun mengkritik pertunjukan Ludruk di
Jawa Timur saat ini yang menurutnya telah kehilangan nyawa dan aura. Ia
bernostalgia kala ludruk meraih zaman keemasannya. Digarap dengan
sungguh-sungguh dari tata bahasa hingga kostum dan tata panggung. Sekarang,
pemain ludruk tak lagi memiliki semangat untuk berproses. Tak ada ruang latihan
dengan intens kecuali ditanggap di kota besar oleh pejabat, seperti di Surabaya.
Ludrukpun menjadi tontonan yang marginal di negeri asalnya, Jawa Timur. Kirun
seringkali mengeluh bahkan menangis melihat banyak kelom bpok ludruk yang harus
gulung tikar alias mati. Baginya, ludruk telah banyak mengajarkan tentang arti
kehidupan. Lakon-lakon yang dibawakan tak semata terhenti di atas panggung
pertunjukan, namun juga menginspirasi di kehidupan nyata. Ia mampu memerankan
pelbagai tokoh ludruk dengan baik didasari atas kepekaan, penelitian, dan
pengamatannya terhadap sosok yang hendak diperankannya. Ludruk adalah kesenian
multidimensi. Ia mengajarkan tentang cara menjadi aktor atau aktris lewat
kemampuan berakting, menjadi seorang penyanyi lewat senandung gending-gending
gamelan, serta menjadi sastrawan lewat karya kidungan (parikan, pantun) yang dibawakannya.
Bahkan sebelum format stand-up komedi
laris manis di layar kaca, pelawak ludruk terlebih dahulu telah mengawali.
Pelawak ludruk yang juga seorang pengidung jula-juli, menjadi seorang pengepur, berdiri sendiri di atas
panggung, membuat banyolan-banyolan yang menghidur penonton. Pelawak ludruk
yang demikian mampu bertahan hingga setengah jam dan tak membosankan. Tema-tema
banyolan yang dikisahkan adalah seputar kehidupan sehari-hari. Seorang pelawak
wajib datang beberapa jam sebelum pertunjukan dimulai. Hal itu dilakukan untuk
“wawancara” dengan masayarakat, guna mengetahui tema-tema aktual yang sedang
hangat diperbincangkan di kampung tempat pementasakan. Hasilnya, pelawak ludruk
dapat mengocok perut penonton hingga terpingkal-pingkal. Stand-up komedi adalah
tiruan pelawak ludruk yang dikemas menjadi lebih baru dan modern. Kirun
kemudian juga meratapi maraknya acara komedi di layar kaca yang tak menghargai
nilai penciptaan tradisi. Baju Gatot Kaca dapat diinjak-injak oleh Sule,
blangkon yang ditendang, atau kala Olga memerankan tokoh ludruk Sakerah yang
dikenal jantan dan maskulin itu menjadi kebanci-bancian. Harusnya, mereka
diberi tauladan budaya kata Kirun. Setidaknya, buatlah yang baru, jangan
merusak apa yang sudah ada. Hargailah peninggalan tradisi sebagaimana
menghargai bangsa ini.
Kirun sangat marah kala Sakerah yang
selama ini dalam memori dan imajinasinya adalah pahlawan –ludruk- Jawa Timur
atau Madura tiba-tiba menjadi lembeng
atau feminin. Sebagai orang Jawa Timur ia perlu meluruskan kesalahan tersebut.
Di pelbagai kesempatan, terutama di panggung pertunjukan lawak, ia berulangkali
berujar tentang masalah ini. Ia tak bosan dan capek. Lihatlah lawakan Kirun
yang meraih masa jaya bersama Bagio dan Kolek dulu lewat acara Depot Jamu Kirun di TVRI (era 90-an).
Lawakannya cerdas dan berbobot. Tak ada unsur sara, kekerasan apalagi
melecehkan lawan main. Progam itu menjadi kampiun, ditunggu dan dipuja
masyarakat. Tak hanya ludruk, Kirun juga menekuni Ketoprak. Ia adalah pemain
lintas batas. Ia dengan sukarela melatih ludruk bagi generasi muda tanpa harus
dibayar. Bahkan kala salah satu pejabat di Jawa Timur menyuruhnya membina
kelompok ludruk yang ada di Jawa Timur dengan tegas ia menolaknya. Bagi kirun,
lebih baik melatih anak-anak di SD, SMP dan SMA bermain ludruk dari pada melatih
dan membina pemain ludruk yang telah senja. Kirun memandang, anak-anak muda itu
masih laksana “kertas putih”, sehingga lebih mudah untuk digores. Sementara
pemain ludruk yang berusia tua kini hanya membutuhkan makan dan bertahan hidup,
bukan proses yang panjang dan melelahkan.
Iklas
Kirun merasa menjadi “penjahat budaya”
di pertunjukan wayang kulit. Saat ini hampir sulit dijumpai pertunjukan wayang
kulit (baik gaya Surakarta maupun Jawatimuran) tanpa hadirnya seorang pelawak.
Kirun merasa bahwa dialah pelopor pertama masuknya lawak dalam pertunjukan
wayang kulit. Ia banyak digunakan oleh dalang-dalang besar seperti Ki Anom
Suroto, Ki Purbo Asmoro, Ki Manteb Soedarsono, Ki Enthus Susmono untuk
menyajikan banyolan pada sesi gara-gara dan limbukan. Kini porsi lawakan kadang lebih lama dibanding gelaran
wayang kulitnya. Akibatnya, banyak adegan dalam pertunjukan wayang yang hilang
seperti kedatonan, pertapan, sintren
dan pocapan kereta. Kirun merasa
sangat berdosa, karena telah “mengorupsi” waktu pertunjukan wayang kulit untuk
lawakannya. Ia percaya dengan adanya “karma budaya”. Kini ia mulai menolak
ajakan untuk melawak di pertunjukan wayang kulit, kecuali dengan kesekuensi yang
berdasar atas kesepakatan tertentu terlebih dahulu. Ia sadar, tentu saja
penghasilannya akan berkurang. Tapi baginya, uang bisa dicari, tapi tidak
dengan ketentraman jiwa.
Saya baru pertama kali bertemu kirun.
Dia tak hanya seorang pelawak yang memproduksi banyolan. Namun ia juga seorang
budayawan yang memproduksi pemikiran budaya terutama tentang kesenian di Jawa
Timur. Ia mengiklaskan diri untuk menjadi pelatih ludruk tak berbayar bagi
kelompok ludruk mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Bahkan diakhir
pembicaraan, ia menyumbang uang sebanyak 10 juta untuk berproses. Ia pun
berniat menanggung semua biaya akomodasi pementasan di luar kota, menggratiskan
gamelan, panggung, lampu, soundsistem dan kostum miliknya. Padahal hubungan
silaturahmi kami barusaja dimulai dalam hitungan jam. Bagi Kirun, tak ada kata
miskin dan bangkrut untuk seni ludruk. Ia berniat menghidupi ludruk hingga
detik terakhir dalam hidupnya. Ia bercita-cita, di bawah panggung pertunjukan
miliknya –di samping pendopo- tergelar museum ludruk yang diisi dengan pelbagai
pernak-pernik tentang ludruk. Iapun berniat menuliskan lakon-lakon ludruk yang
menjadi icon Jawa Timur, mulai dari Sarip
Tambak Yoso, Untung Suropati,
Sakerah, Joko Kendil hingga Branjang
Kawat. Kirun sadar bahwa ludruk kini telah terkulai sakit. Iapun rela
mendarmabahktikan hidup dan matinya demi keberlangsungan ludruk di masa yang
akan datang. Ia berkehendak membuat ludruk yang tak muluk apalagi bombastis. Ia
hanya menuntut proses dan kerja serius dalam berludruk. Hidupnya semata hanya
menziarahi ludruk.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar