Saat Kirun Bicara Ludruk (dimuat di Jawa Pos Radar Surabaya, 6 April 2014)

Saat Kirun Bicara Ludruk



Saya datang pukul 7.30 pagi (16/3/14). Rumahnya besar dengan pendoponya yang luas serta gedung pertunjukan Ludruk dan Ketoprak yang juga megah. Di bagian depan pendopo terdapat koleksi sepeda motor kuno, gamelan tua, serta benda-benda antik lain. Anehnya, pendopo itu tak dilengkapi dengan pagar. Setiap orang dapat keluar masuk seenaknya, bahkan mungkin jika hendak mengambil barang-barang antik tersebut. Namun, Kirun, pelawak kenamaan Jawa Timur yang juga pemilik rumah besar di Madiun itu tak khawatir jika barang berharganya hilang. Memagar rumahnya berarti menghianati kebudayaan Jawa. Memberi batas tentang siapa aku dan kamu serta luar dan dalam. Pagar baginya mengikis sikap untuk bertegur sapa, bersilaturahmi dan mengenal sesama. Empat jam kemudian, saya baru bisa menemuinya. Selama empat jam itu pula saya menunggu ia terbangun dari tidurnya. Maklum, profesi pelawak mengharuskannya berkerja hingga larut malam bahkan pagi. Waktu tidurnya berantakan. Obrolan panjang, mimik mukanya serius, sesekali berdiri mencontohkan lakon-lakon ludruk. Saya datang bersama Bagus Bagaskoro, musisi karawitan, untuk menyampaikan maksud bahwa mahasiswa yang berasal dari Jawa Timur di Surakarta telah membentuk kelompok studi kebudayaan Jawatimuran bernama ”Arjasura” (Arek Jawa Timur di Surakarta).  Ia senang bukan kepalang, maklum saja, semala ini pelawak berpostur tambun itu mengharapkan ada komunitas atau lembaga yang memusatkan kekaryaan dan penelitian tentang kebudayaan dan kesenian (pertunjukan) Jawatimuran. Ia merasa kecewa karena di Jawa Timur komunitas semacam itu belum –atau tidak- ada.

Berbicara
Kirun mengkritik pertunjukan Ludruk di Jawa Timur saat ini yang menurutnya telah kehilangan nyawa dan aura. Ia bernostalgia kala ludruk meraih zaman keemasannya. Digarap dengan sungguh-sungguh dari tata bahasa hingga kostum dan tata panggung. Sekarang, pemain ludruk tak lagi memiliki semangat untuk berproses. Tak ada ruang latihan dengan intens kecuali ditanggap di kota besar oleh pejabat, seperti di Surabaya. Ludrukpun menjadi tontonan yang marginal di negeri asalnya, Jawa Timur. Kirun seringkali mengeluh bahkan menangis melihat banyak kelom bpok ludruk yang harus gulung tikar alias mati. Baginya, ludruk telah banyak mengajarkan tentang arti kehidupan. Lakon-lakon yang dibawakan tak semata terhenti di atas panggung pertunjukan, namun juga menginspirasi di kehidupan nyata. Ia mampu memerankan pelbagai tokoh ludruk dengan baik didasari atas kepekaan, penelitian, dan pengamatannya terhadap sosok yang hendak diperankannya. Ludruk adalah kesenian multidimensi. Ia mengajarkan tentang cara menjadi aktor atau aktris lewat kemampuan berakting, menjadi seorang penyanyi lewat senandung gending-gending gamelan, serta menjadi sastrawan lewat karya kidungan (parikan, pantun) yang dibawakannya.
Bahkan sebelum format stand-up komedi laris manis di layar kaca, pelawak ludruk terlebih dahulu telah mengawali. Pelawak ludruk yang juga seorang pengidung jula-juli, menjadi seorang pengepur, berdiri sendiri di atas panggung, membuat banyolan-banyolan yang menghidur penonton. Pelawak ludruk yang demikian mampu bertahan hingga setengah jam dan tak membosankan. Tema-tema banyolan yang dikisahkan adalah seputar kehidupan sehari-hari. Seorang pelawak wajib datang beberapa jam sebelum pertunjukan dimulai. Hal itu dilakukan untuk “wawancara” dengan masayarakat, guna mengetahui tema-tema aktual yang sedang hangat diperbincangkan di kampung tempat pementasakan. Hasilnya, pelawak ludruk dapat mengocok perut penonton hingga terpingkal-pingkal. Stand-up komedi adalah tiruan pelawak ludruk yang dikemas menjadi lebih baru dan modern. Kirun kemudian juga meratapi maraknya acara komedi di layar kaca yang tak menghargai nilai penciptaan tradisi. Baju Gatot Kaca dapat diinjak-injak oleh Sule, blangkon yang ditendang, atau kala Olga memerankan tokoh ludruk Sakerah yang dikenal jantan dan maskulin itu menjadi kebanci-bancian. Harusnya, mereka diberi tauladan budaya kata Kirun. Setidaknya, buatlah yang baru, jangan merusak apa yang sudah ada. Hargailah peninggalan tradisi sebagaimana menghargai bangsa ini.
Kirun sangat marah kala Sakerah yang selama ini dalam memori dan imajinasinya adalah pahlawan –ludruk- Jawa Timur atau Madura tiba-tiba menjadi lembeng atau feminin. Sebagai orang Jawa Timur ia perlu meluruskan kesalahan tersebut. Di pelbagai kesempatan, terutama di panggung pertunjukan lawak, ia berulangkali berujar tentang masalah ini. Ia tak bosan dan capek. Lihatlah lawakan Kirun yang meraih masa jaya bersama Bagio dan Kolek dulu lewat acara Depot Jamu Kirun di TVRI (era 90-an). Lawakannya cerdas dan berbobot. Tak ada unsur sara, kekerasan apalagi melecehkan lawan main. Progam itu menjadi kampiun, ditunggu dan dipuja masyarakat. Tak hanya ludruk, Kirun juga menekuni Ketoprak. Ia adalah pemain lintas batas. Ia dengan sukarela melatih ludruk bagi generasi muda tanpa harus dibayar. Bahkan kala salah satu pejabat di Jawa Timur menyuruhnya membina kelompok ludruk yang ada di Jawa Timur dengan tegas ia menolaknya. Bagi kirun, lebih baik melatih anak-anak di SD, SMP dan SMA bermain ludruk dari pada melatih dan membina pemain ludruk yang telah senja. Kirun memandang, anak-anak muda itu masih laksana “kertas putih”, sehingga lebih mudah untuk digores. Sementara pemain ludruk yang berusia tua kini hanya membutuhkan makan dan bertahan hidup, bukan proses yang panjang dan melelahkan.

Iklas
Kirun merasa menjadi “penjahat budaya” di pertunjukan wayang kulit. Saat ini hampir sulit dijumpai pertunjukan wayang kulit (baik gaya Surakarta maupun Jawatimuran) tanpa hadirnya seorang pelawak. Kirun merasa bahwa dialah pelopor pertama masuknya lawak dalam pertunjukan wayang kulit. Ia banyak digunakan oleh dalang-dalang besar seperti Ki Anom Suroto, Ki Purbo Asmoro, Ki Manteb Soedarsono, Ki Enthus Susmono untuk menyajikan banyolan pada sesi gara-gara dan limbukan. Kini porsi lawakan kadang lebih lama dibanding gelaran wayang kulitnya. Akibatnya, banyak adegan dalam pertunjukan wayang yang hilang seperti kedatonan, pertapan, sintren dan pocapan kereta. Kirun merasa sangat berdosa, karena telah “mengorupsi” waktu pertunjukan wayang kulit untuk lawakannya. Ia percaya dengan adanya “karma budaya”. Kini ia mulai menolak ajakan untuk melawak di pertunjukan wayang kulit, kecuali dengan kesekuensi yang berdasar atas kesepakatan tertentu terlebih dahulu. Ia sadar, tentu saja penghasilannya akan berkurang. Tapi baginya, uang bisa dicari, tapi tidak dengan ketentraman jiwa.
Saya baru pertama kali bertemu kirun. Dia tak hanya seorang pelawak yang memproduksi banyolan. Namun ia juga seorang budayawan yang memproduksi pemikiran budaya terutama tentang kesenian di Jawa Timur. Ia mengiklaskan diri untuk menjadi pelatih ludruk tak berbayar bagi kelompok ludruk mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Bahkan diakhir pembicaraan, ia menyumbang uang sebanyak 10 juta untuk berproses. Ia pun berniat menanggung semua biaya akomodasi pementasan di luar kota, menggratiskan gamelan, panggung, lampu, soundsistem dan kostum miliknya. Padahal hubungan silaturahmi kami barusaja dimulai dalam hitungan jam. Bagi Kirun, tak ada kata miskin dan bangkrut untuk seni ludruk. Ia berniat menghidupi ludruk hingga detik terakhir dalam hidupnya. Ia bercita-cita, di bawah panggung pertunjukan miliknya –di samping pendopo- tergelar museum ludruk yang diisi dengan pelbagai pernak-pernik tentang ludruk. Iapun berniat menuliskan lakon-lakon ludruk yang menjadi icon Jawa Timur, mulai dari Sarip Tambak Yoso, Untung Suropati, Sakerah, Joko Kendil hingga Branjang Kawat. Kirun sadar bahwa ludruk kini telah terkulai sakit. Iapun rela mendarmabahktikan hidup dan matinya demi keberlangsungan ludruk di masa yang akan datang. Ia berkehendak membuat ludruk yang tak muluk apalagi bombastis. Ia hanya menuntut proses dan kerja serius dalam berludruk. Hidupnya semata hanya menziarahi ludruk.
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta 

Tidak ada komentar:

Pengikut