Angka Bicara
Politik
Apa yang menarik dari hasil pengundian
nomor urut pencoblosan dua calon presiden Indonesia dan wakilnya beberapa waktu
lalu? Masing-masing saling membanggakan nomor urut yang didapatnya. Nomor itu
kemudian tak berhenti sebagai angka semata. Namun menjelma beraneka ragam rupa
interpretasi dan tafsir kultural, historis, religius, politik dan sosial.
Prabowo dan Hatta Rajasa begitu bangga memamerkan nomor urut satu yang
didapatnya. Dianggap sebagai yang terdepan, angka sang pemenang, tunggal dan
tak terkalahkan. Angka satu identik dengan juara pertama. Angka yang diburu dan
diperebutkan di pelbagai ajang lomba. Sementara Jokowi dan Jusuf Kalla mendapat
nomor urut dua, lebih dapat memaknai angka itu dari unsur kosmis. Angka dua
diidentikkan dengan dua unsur (pasangan,
ying-yang) yang ada di dunia untuk
saling melengkapi, seperti siang-malam, panas-dingin, hitam-putih, pria-wanita,
tua-muda dan lain sebagainya. Semua calon presiden dan wakilnya bangga
mendapatkan nomor urut yang diperoleh. Bisa jadi, jauh hari sebelumnya,
pelbagai ramalan dan tafsir nomor dan angka telah qatam dikaji oleh mereka. Hal
ini kemudian mengingatkan kita tentang jejak kultural bangsa Indonesia yang
juga dibangun dan diwarnai dari deretan angka atau nomor. Angka dirasa mampu
membawa kebahagiaan, namun juga tak jarang mengisahkan kematian.
Kisah Angka
Di Jawa, untuk melangsungkan pernikahan,
calon pengantin wajib memilih hari baik yang didasarkan atas hitung-hitungan
angka kelahiran mereka (pasaran).
Bisa jadi pula pernikahan batal dilangsungkan karena pertemuan angka sepasang
calon pengantin dianggap jelek dan membawa kesialan. Biasanya mitos angka 25
adalah yang paling buruk, biang malapetaka. Namun bagi orang Jawa, selalu punya
siasat untuk mengatasi hal itu dengan pelpagai laku sakral dan pensucian diri (ruwatan sukerta). Ruwatan dilakukan oleh
orang-orang yang faham makna dan arti filosofis nomor. Dukun bahkan dalang
wayang kulit adalah salah satunya. Bahkan konon, hari dan nasib buruk yang
didasarkan atas hitung-hitungan nomor sengaja dibuat oleh seorang dalang ruwat.
Agar si dalang laris (payu) dan
senantiasa dibutuhkan. Karena hal ini pula dalang-dalang ruwat dinggap orang
sakti yang memiliki ilmu kanuragan berlebih. Di Jawa, mitos angka telah
bertahan lama, mengakar dan menjadi rahasia umum. Angka mencoba
dihubung-hubungkan dengan fenomena kehidupan dan alam. Di Yunani, lahir pula
ramalan-ramalan bintang berdasar tanggal dan tahun lahir (zodiak). Di ramalan
itu menyebutkan bahwa setiap orang memiliki angka dan digit-digit nomor yang
membawa konsekuensi pertanggungjawaban moral, karakter diri, prilaku yang
tipikal dan sikap khas. Tentu saja tidak semua masyarakat percaya akan hal itu,
namun tak sedikit pula yang menganggapnya benar.
Jika dijabarkan, angka-angka itu menjadi
hidup dan mampu berbicara lugas tentang nasib dan kodrat manusia. Tafsir angka layaknya
primbon tak sekadar menjadi mitos, namun dipercaya dan diyakini akan kebenarannya.
Muncullah para dukun-peramal yang menjinakkan pelbagai “hitung-hitungan” angka
yang mungkin juga dengan gaya otak-atik
gathuk. Hidup manusia kemudian seolah ditentukan oleh deretan angaka-angka
dan nomor-nomor. Bahkan untuk mendapatkan tanggal lahir dan perhitungan hari
yang dianggap baik, seorang ibu hamil rela melahirkan bayinya lebih cepat (caesarean) dari yang seharusnya. Semua
demi mengejar imajinasi tentang angka. Hotel-hotel berbintang menghilangkan
beberapa angka atau nomor kamar karena takut merugi dan apes. Bahkan di Yogya,
konon ada nomor kamar khusus yang dipersembahkan pada Ratu Pantai Selatan. Pelat
nomor kendaraan dan telepon seluler juga dipesan secara khusus agar deretan
angka yang ditampilkan memiliki arti dan makna positif, serta dapat membawa
peruntungan hidup. Nomor dalam kostum sepakbola dianggap sakral. Tak jarang
hanya diperuntukkan bagi satu pemain yang menjadi legenda.
Dalam terminologi budaya Konghucu, nomor-nomor
itu dianggap mampu membawa “hoki”. Sementara jika kesialan selalu datang
melanda bisa jadi nomor dan angka adalah penyebabnya. Kisah lain menyebutkan
jika para pemburu togel rela menyepi di kuburan dan tempat wingit demi
mendapatkan nomor. Makhluk gaib yang transenden dianggap memiliki kekuatan
untuk memprediksi arus perjudian berdasarkan angka. Demi angka, logika telah
terkalahkan oleh fenomena. Bahkan peristiwa alam dan lingkungan sekitar menjadi
simbol dari angka dan nomor tertentu. Saat banjir menerjang atau seorang
terjatuh dari sepeda motor, pemburu togel melabelinya dengan nomor untuk
menjadi taruhan. Bisa jadi nomor urut calon presiden dan wakilnya telah
mengalami nasib serupa. Karenanya, nomor dan angka bagi manusia tidak datang
secara kebetulan, namun dianggap telah tergariskan oleh tuhan.
Peradaban manusia masa kini berisi
angka, mengarap angka, dan merubah angka. Di otak, hanya berisi timbunan
angka-angka. Hitung-hitungan untung rugi disimbolkan dengan angka. Angka
menerjemahkan apa yang abstrak. Uang menjadi bermakna ketika dihiasi dengan
angka. Tak sekadar menunjukkan jumlah, namun juga makna dan arti. Bisa jadi
jumlahnya hanya satu tapi maknanya bervariasi. Dengan hanya selembar kertas
kita dapat membeli mobil, atau bahkan hanya mampu membeli permen anak-anak.
Jumlah angka di kertas itu sangat menentukan. Di dunia musik, nada-nada
disimbolkan dengan angka. Membaca angka kemudian bernada. Semakin tinggi
angkanya semakin tinggi nada suaranya. Angka diperlukan dalam pelbagai hal
kehidupan manusia. Dengan angka, hidup menjadi lebih mudah atau juga
sebaliknya.
Angka Presiden
Hal terbaru, Prabowo dan Jokowi kini
dimaknai secara baru lewat nomor. Di jalan, iklan televisi, berita koran
bertebaran nomor-nomor yang mempresentasikan sosok calon presiden kita. Kita
dihantui setiap saat dengan nomor. Teror nomor selama pemilihan presiden
sengaja dibuat untuk memperngaruhi persepsi masyarakat. mampu terpikat dan
teringat selalu dengan nomor dan orang penting di balik itu. Satu adalah
Prabowo, dua adalah Jokowi. Di jejaring sosial semacam Facebook dan Twitter,
komentar dan tafsir tentang nomor itu ramai diperbincangkan dan diulas.
Masing-masing kubu memberi penafsiran nomor urut itu dalam pelbagai konteks.
Bahkan tak jarang menjurus pada hal yang transenden atau nir nalar. Hal ini
bertujuan agar publik tak lagi ragu mencoblos nomor itu. Kita kemudian lupa
melihat calon presiden berdasarkan atas kemampuan, pengalaman dan pemikirannya.
Semata karena angka yang didapatnya. Indonesia mutakhir penuh sesak dengan
tafsir nomor dan angka. Nomor itu mengisahkan ambisi politik. Masyarakat
dipertontonkan perdebatan nomor, antara sisi intelektualitas dan transenden
berbaur menjadi satu, tak jelas dan abu-abu. Masyarakat kembali diajak
menelusuri jejak-jejak angka secara kultural namun pekat beraroma politis. Sekali
lagi, menghiasi pikiran mereka dengan digit-digit. Jika percaya, pilih saja
presiden berdasarkan atas nomor undian yang didapatnya. Silahkan ditafsir,
direnungkan, dihitung, kemudian dijabarkan sisi positif dan negatifnya. Jangan
lihat presidennya, lihatlah nomor undiannya saja. Siapa tau nasib Indonesia
menjadi lebih baik di pemerintahan mendatang karena efek nomor dan angka. Atau
sebaliknya, nomor dan angka itu tak lebih dari simbol yang tak memiliki makna
berlebih. Semata hanya membantu kita untuk berhitung, menata urutan tampil,
mempermudah proses pemilu. Tak lebih dari itu.
Berapa nomor yang hendak angka pilih?
Satu atau dua? Atau seperti lagunya Gamma Band, Satu atau dua
pilih aku atau dia yang engkau suka/Satu atau dua pilih aku atau dia yang engkau cinta/Dua
atau satu pilih dia atau kamu aku tak tahu/Karena diriku bingung harus pilih
dia atau dirimu. Nah
looh..
Aris Setiawan (Esais)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar