Dolly (dimuat di Koran Joglosemar 18 Juni 2014)

Dolly



Dolly, tempat prostitusi di Surabaya yang akan ditutup (tenggat 18 Juni 2014). Konon lokalisasi tersebut terbesar se-Asia Tenggara. Mengalahkan Phat Pong di Thailand dan Geylang di Singapura. Dolly seolah menjadi “institusi resmi” bisnis esek-esek. Kehadiran dan eksistensinya diakui secara aklamasi, walau tak jarang dicaci dan dihujat oleh pihak-pihak tertentu atas nama moralitas. Seksualitas adalah pengubah sejarah paling tua dalam peradaban manusia, begitulah kata Michael Foucault (1926-1984). Seksualitas tabu untuk diumbar namun tiada usai diperbincangkan. Kitab Kamasutra di India, awalnya dihujat dan diharamkan, namun kemudian menjadi buku terbajak paling laris di dunia. Dolly hanya menjadi contoh bagaimana seksualitas dirayakan secara terbuka, di saat hal serupa di wilayah dan daerah lain masih abu-abu, tersembunyi, ilegal dan remang-remang. Melihat Dolly sebagai sebuah lokalisasi berarti juga menelisik tentang sejarah seksualitas dalam konteks kebudayaan di Indonesia. Saat di mana prostitusi telah mengakar sejak zaman kerajaan di Nusantara.

Telisik
Pada masa kerajaan di Jawa, seks disiarkan lewat serat yang berisi suluk dan tembang. Membacanya tak cukup dengan hanya berbekal kemampuan bahasa, namun juga musikalitas. Tak ubahnya mendendangkan musikalisasi puisi. Lihatlah serat Centhini, Nitimani, Gatholoco dan Dhamogandul. Di banyak serat tersebut kisah-kisah seksualitas diuraikan secara indah penuh citra estetik. Di ruang publik, pembicaraan tentang seksualitas direpresi dengan ketat. Namun ia justru dapat terjelaskan lewat tetembangan (Macapat, Dandhanggula, Asmaradhana, dan lain sebagainya). Antara estetika dengan erotika berbaur menjadi satu. Serat-serat tersebut segera menjadi primadona. Dilagukan tapi juga dihayati makna dan artinya. Hal ini menunjukkan bahwa informasi mengenai seks sudah ada pada tahun 1814 semasa pemerintahan Paku Buwana IV sebagai Raja Surakarta yang ditandai dengan hadirnya serat Centhini. Bahkan konon, Centhini merupakan serat paling vulgar memberitakan seksualitas. Tersusun menjadi 722 jenis tembang.
Kisah-kisah prostitusi dalam serat Centhini begitu realis, seolah menunjukkan jejak pengalaman pribadi dari si pengarang. Artinya, serat itu dituliskan setelah pengarang mengalami pelbagai kejadian seksualitas secara nyata. Ada yang mengindikasikan bahwa serat tersebut dibuat oleh raja sendiri, orang yang memiliki “kuasa” untuk melakukan hubungan seksualitas dengan banyak orang. Tak hanya wanita, sesama lelaki, bahkan prilaku menyimpang hubungan intim antara manusia dan hewan disiarkan dengan jelas lewat serat tersebut. Seksualitas kemudian dianggap sebagai sebuah ritus sakral, tak semata sebagai gejolak nafsu. Lahirlah tradisi yang mengambil seksualitas sebagai sumber. Patung linga-yoni (kelamin lelaki dan perempuan) bertebaran secara terbuka lewat relief candi (lihat candi Sukuh di Jawa Tengah). Kesenian-kesenian yang mengangkat ritus kesuburan (persentuhan lelaki-wanita) diciptakan seperti Tayub, Gandrung dan Lengger. Gending-gending gamelan yang berkisah tentang seksualitas seperti Cucur Bayuk dan Rembun dibunyikan.
Hadir pula tempat-tempat sakral yang ditujukan untuk berhubungan seks. Keraton memiliki ruang-ruang “persetubuhan” yang wingit antara raja dan ratu pantai selatan. Bahkan raja juga memiliki kuasa, hak dan tempat khusus –baca Umbul Pasiraman Taman Sari- berhubungan seks dengan siapapun wanita yang ditunjuknya. Lihat pula misalnya sejarah penari bedhaya di keraton. Otto Sukatno dalam Seks Para Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme Jawa (2002) menjelaskan, prilaku penguasa yang demikian memberi umpan bagi rakyat di bawah pemerintahannya untuk meniru dan melakukan hal serupa. Bedanya, masyarakat akar rumput melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Semakin lama, lahirlah tempat dan komunitas yang memperdagangkan tubuh dan raga wanita. Kegiatan prostitusi tersebut adakalanya berlindung di balik nama tradisi ritus kesuburan Jawa. Simak kemudian bagaimana lokalisasi yang terjadi di gunung Kemukus Jawa Tengah. Seksualitas dijalankan atas nama tradisi, demi mengharap pamrih pesugihan. Konon untuk mendapatkan kekayaan, seseorang harus melakukan pesta seks dengan wanita (bukan istri) selama tujuh kali berturut-turut dengan pasangan yang sama. Ritual ini agaknya masih berlangsung hingga sekarang.

Dolly
Wanita di zaman kerajaan banyak digunakan sebagai persembahan atau seserahan bagi penguasa dan raja. Tradisi ini mengharuskan wanita dihargai dalam jumlah nominal tertentu dan berkembang menjadi bisnis prostitusi. Pada akhirnya setiap daerah berlomba untuk memiliki “bilik” lokaliasasi sendiri, Pasar Kembang di Yogyakarya, Kramat Gantung di Jakarta, Saritem di Bandung, dan Dolly di Surabaya. Terlebih bagi kota-kota perdagangan semacam Surabaya. Para saudagar yang singgah menyempatkan diri untuk “menikmati” wanita pribumi. Lewat catatan Terence H. Hull dan Gavin W. Jones, Surabaya pada 1864, telah memiliki 18 rumah prostitusi dan pelakunya berjumlah 228 wanita. Surabaya menjadi tempat berlabuh bagi banyak kapal dari daerah lain untuk pelbagai kepentingan. Akibatnya ada semacam keharusan untuk menyediakan pelbagai layanan jasa tak terkecuali seksualitas.
Sejarah terciptanya Dolly sebagai tempat prostitusi cukup sulit untuk dilacak dengan jelas. Namun tradisi lisan menyebutkan bahwa nama Dolly sendiri didapat dari perempuan keturunan Belanda yang dikenal dengan nama Dolly van der mart. Lokalisasi Dolly laksana aquarium. Memajang wanita dengan pelbagai bentuk raga dan rupa. Transaksi seksualitas dapat diberlangsungkan secara terbuka tanpa tabu dan ragu. Tak hanya bisnis prostitusi, pelbagai mata pencaharian saling terkait antar satu dengan yang lain. Dari tukang becak, ojek, warung makan dan minuman, pemilik penginapan, pemain musik, penjual rokok dan kondom, tukang parkir dan jasa keamanan menggantungkan hidupnya di tempat itu. Oleh karenanya, membicarakan Dolly tak cukup hanya melihatnya dengan kacamata kuda sebagai sebuah tempat prostitusi. Namun jaringan sistem ekonomi makro. Keberadaannya selama ini tak lekas ditutup karena pertimbangan efek berantai atau domino. Ia seolah didiamkan, dianggap tak ada, namun dapat dirasakan kehadiran dan dampaknya.
Jika meminjam pandangan Michael Foucault lewat bukunya The History of Sexuality (1976), prostitusi sejak zaman kerajaan, semakin direpresi, ditekan dan dihilangkan, justru semakin mampu berpendar menjadi ujudnya yang lain. Begitu seterusnya. Seksualitas, semakin ia dikontrol dengan pelbagai aturan religius, dogma agama dan undang-undang, justru ia semakin bertahan, eksis dan berkembang. Lihatlah banyaknya skandal seks yang tersebar lewat video porno, anak-anak sekolahan tanpa malu berhubungan intim layaknya suami istri, bahkan kasus-kasus sodomi terhadap anak akhir-akhir ini telah menjadi pemberitaan yang tiada habis. Dengan demikian, tak cukup dengan hanya menutup Dolly, memblokir situs pornografi, namun juga dibutuhkan gebrakan untuk merubah cara berfikir holistik tentang seksualitas.
Telisik sejarah seksualitas di negeri ini memberi pemaham mendasar bahwa Dolly terbentuk tidak semata karena faktor ekonomi, namun juga budaya. Seksualitas telah mengakar dan mampu mengisahkan peradaban. Dolly menjadi monumen di mana seksualitas dirayakan namun di sisi lain juga mencoba untuk dirumahkan. Kitapun patut bertanya dan mengetahui tentang nasib Dolly dan para penghuninya ke depan. Jika Dolly hendak ditutup, hal serupa juga seharusnya dilakukan di kota lain. Namun demikian, hilangkah bisnis seksualitas? Atau, sekali lagi, mereka ditutup, tapi dengan segera mampu menjadi ujudnya yang baru, bertebaran namun lebih profesional. Nah looh...!
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut