Anak dalam Kisah Kebudayaan
Pemerintah mendengung-dengungkan
generasi emas pemimpin Indonesia tahun 2045, tepat seratus tahun negara ini
merdeka. Namun dalam perjalanan mempersiapkan generasi unggul tersebut, justru
dinodai dengan tragedi yang memilukan bagi dunia anak-anak kita masa kini. Kasus
pelecehan seksual dan kekerasan anak menjadi hal yang tiada habis diberitakan.
Bahkan di dunia pendidikan, tak sedikit guru yang seharusnya menjadi ujung
tombak pembentukan karakter (ilmu) kemudian turut menjadi pelaku atau aktor jahat
di balik itu. Seharian penuh anak-anak berada di bangku sekolah. Setelah
selesai, kursus privat diberlangsungkan hingga malam. Semua dilakukan demi
memburu nilai dan prestasi. Anak-anak tak memiliki waktu untuk bersisoalisasi
dengan sesama. Rasa individualpun timbul. Dunia anak-anak yang idealnya penuh
dengan canda, tawa, bermain besama, bersahabat harus hilang. Yang ada kemudian
kisah persaingan antar satu anak dengan yang lain, keharusan untuk saling
mengalahkan. Perkelahian karena sesuatu hal yang sepelepun marak terjadi.
Bahkan tak jarang nyawa menjadi taruhannya. Kisah anak Indonesia dewasa ini
seolah menjadi satir dan ironi bagi dunia pendidikan dan kebudayaan kita.
Kisah
Di masa lalu, dunia anak-anak mampu dikisahkan
begitu indah. Pelbagai episentrum tradisi seperti permainan tradisional,
dongeng, tembang pengantar tidur, lagu-lagu dolanan diperkenalkan untuk
membentuk karakter kepribadian anak. Antar satu dengan yang lain dibiasakan dan
diajarkan untuk bersahabat, bekerjasama menghadapi masalah dan saling membatu. Budaya
kekerasan jarang sekali muncul. Sekolah bukanlah satu-satunya hal terpenting
bagi kehidupan anak. Sekolah hanya menjadi ruang bersosialisasi yang lebih
luas, bukan ajang untuk bertaruh dan bersaing. Supartinah lewat tulisannya Contribution of Nusantara Children Classic
Literature for Culture-Visioned Primary
Education (2013), menjelaskan bahwa kebudayaan –tradisi- kita telah mewariskan
bentuk pendidikan karakter dan budi pekerti luhur bagi anak. Pendidikan karakter
itu berbasis kekuatan lokal, dengan menggali unsur-unsur tradisi di daerahnya
masing-masing. Akibatnya, anak-anak selain belajar bersosialisasi juga memahami
perangkat kebudayaan yang dimilikinya seperti bahasa, prilaku, sikap dan
kesenian. Di Jawa misalnya, kita mengenal pelbagai permainan dan tembang
dolanan seperti cublak-cublak suweng,
gajah-gajah, jamuran, kidang talun, kupu kuwi, lir-ilir, menthok-menthok,
padhang bulan, pitik tukung, jothang alang-alang. Tetembangan itu sarat tuntunan
dan pesan moral, dimainkan secara bergerombol, bersama-sama. Kekompakan dan
kebersamaan manjadi hal terpenting.
Namun kini, permainan dan tembang
dolanan itu telah tergantikan dengan kuasa teknologi semacam playstation dan game-online. Anak-anak
lebih menyibukkan waktu luangnya untuk bermain secara virtual, berlama-lama
sendirian untuk manekur di kamar. Permainan yang berbau kekerasan membawa
dampak psikologis bagi anak, dipraktikan pada kehidupan nyata. Tak mengherankan
kemudian jika anak-anak yang duduk di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah
Peratama (SMP) seringkali terlibat tawuran. Iklim persaingan di sekolah
dilengkapi dengan iklim kekerasan di ruang permainan menyebabkan vandalisme anak-anak
merebak. Terlebih setiap hari mereka disuguhi dengan tontonan berbau asmara dan
cinta-cintaan lewat media elektronik. Kisah-kisah yang demikian kemudian
ditiru. Tak jarang anak-anak bunuh diri karena persoalan asmara. Video asusila
menyebar. Atau banyaknya yang hamil di usia yang masih belia. Di televisi pula,
mereka diperkenalkan dengan pelbagai jenis prilaku manusia, dari yang jahat,
baik bahkan yang menyimpang. Mereka mengenal kisah laki-laki yang
kebanci-bancian. Menyukai sesama jenis. Kasus-kasus fedofil kemudian tumbuh
subur di dunia anak. Mereka menjadi korban. Tekanan yang dihadapai di
lingkungan pendidikan dan pergaulan keseharian seolah mengamini pelbagai prilaku
yang demikian.
Dahulu kala, saat malam datang,
anak-anak dihantarkan oleh ibunya ke peraduan tidur dengan dongeng-dongeng
menggoda. Malin Kundang, Kancil Nyolong
Timun, Luthung Kasarung, Bandung Bandawasa dan lain sebagainya. Ibu
melukiskan kisah itu dengan pelbagai ekspresi dan mimik wajah. Kisah itu
terbawa hingga mimpi. Memberi tauladan pesan bagi anak untuk berbuat bijak
terhadap sesama. Pendidikan budi pekerti diberlangsungkan di atas tempat tidur,
kamar imajiner bagi anak untuk berimajinasi dengan bebas. Dongeng adalah
jembatan yang mengantarkan anak belajar tentang arti kedewasaan. Namun kini
waktu bertemunya ibu dan anak boleh dikata sebagai peristiwa yang langka. Ibu-ibu
masa kini disibukkan dengan urusan emansipasi, menempatkan kedudukannya sebagai
figur yang berpengaruh secara sosial. Ibu idaman adalah seorang dokter,
arsitek, pengusaha, politikus, pejabat. Ibu bukan lagi “orang tua” bagi
anaknya. Ibu hanya simbol status. Dengan segala kelebihan materi yang
dimilikinya, para ibu berusaha menyekolahkan anaknya di sekolah prestisius,
mahal dan berkelas mega-internasional, setiap jengkal ruangan penuh dengan
pengawasan ketat. Namun sekolah yang demikian tak ubahnya penjara, mengurung
anak, tak mampu bersentuhan dengan alam dan lingkungan sosial. Bahkan kejadian
pelecehan seksual terhadap anak kerap terjadi di sekolah-sekolah berjenis
demikian. Ironis!
Budaya
Kembalikan anak pada dunianya. Dunia
yang dipenuhi oleh keceriaan. Sekolah yang membentuk iklim persaingan untuk
saling mengalahkan mengikis kisah-kisah anak dalam narasi kebudayaan.
Pendidikan kemudian diberlangsungkan dengan ukuran-ukuran angka atau nilai-nilai.
Anak yang baik berarti sukses secara prestasi akademik. Sementara di lain
pihak, anak-anak dengan nilai rendah merasa bodoh dan tak berguna. Mereka
bekerja lebih keras, belajar hingga larut malam, sibuk mengikuti kelas
tambahan. Hari-harinya dihabiskan demi mengejar angka atau nilai. Dendang
tembang dolanan, dongeng, lagu pengantar tidur dan permainan tradisional
semakin bangkrut eksistensi. Anak-anak terlalu sibuk, apalagi untuk mengurusi
hal-hal yang dianggapnya tak membawa efek berarti bagi prestasi dan nilai
akademik. Para orang tua gagal dalam memberi tauladan berharga terkait
pembentukan karakter dan budi pekerti. Otak anak semata berisi rumus-rumus
pelajaran. Mereka menjadi sensitif terhadap sesama, mudah tersinggug dan marah.
Karsono lewat tulisannya Lagu Anak-anak Tradisi Nusantara: Mutiara
Kebijaksanaan yang Terlupa (2011) menganggap bahwa lagu-lagu dolanan anak
penting untuk kembali dihadirkan sebagai dektoksinasi pengaruh negatif yang
berkembang dewasa ini. Sudah selayaknya anak-anak menemukan dunianya, bermain
dan bersosialisasi. Bermain tidak memiliki target, mereka dapat berhenti
kapanpun mereka mau. Yang paling penting adalah perjumpaan dengan sesama,
saling mengenal dan membangun kisah pertemanan. Kekayaan tradisi menjadi kisah berharga
dalam membentuk mental anak. Namun pengaruh zaman dan teknologi yang semakin
berkembang mengakibatkan dunia anak dilipat. Perjumpaan dengan sesama dilakukan
lewat perangkat canggih semacam handphone
atau gadget. Dunia anak kemudian juga menjadi ajang pamer, dari merek handphone, sepatu hingga tas. Adanya
kelas-kelas khusus berlabel internasional semakin menambah rentang jarak antara
yang kaya dan miskin. Kita dibuat takjub kala terjadi pelecehan seksual di
lingkungan sekolah mahal dan elit, namun menganggap biasa perjuangan anak-anak
di daerah tertinggal. Di mana mereka bertaruh nyawa, menyebrang kali, mendaki
bukit hanya untuk bersekolah. Kitapun memandang biasa kala gedung-gedung
sekolah di pelosok daerah Indonesia telah lapuk dan reot. Kisah-kisah manis
dunia anak dalam narasi kebudayaanpun semakin sayup tak terdengar. Dunia anak tak
lagi berisi tawa, namun tangis dan luka. Mereka selalu menjadi korban, baik
oleh kebijakan maupun tuntutan zaman.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Solo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar