Anak dalam Kisah Budaya (dimuat di Koran Joglosemar 4 Juni 2014)

Anak dalam Kisah Kebudayaan



Pemerintah mendengung-dengungkan generasi emas pemimpin Indonesia tahun 2045, tepat seratus tahun negara ini merdeka. Namun dalam perjalanan mempersiapkan generasi unggul tersebut, justru dinodai dengan tragedi yang memilukan bagi dunia anak-anak kita masa kini. Kasus pelecehan seksual dan kekerasan anak menjadi hal yang tiada habis diberitakan. Bahkan di dunia pendidikan, tak sedikit guru yang seharusnya menjadi ujung tombak pembentukan karakter (ilmu) kemudian turut menjadi pelaku atau aktor jahat di balik itu. Seharian penuh anak-anak berada di bangku sekolah. Setelah selesai, kursus privat diberlangsungkan hingga malam. Semua dilakukan demi memburu nilai dan prestasi. Anak-anak tak memiliki waktu untuk bersisoalisasi dengan sesama. Rasa individualpun timbul. Dunia anak-anak yang idealnya penuh dengan canda, tawa, bermain besama, bersahabat harus hilang. Yang ada kemudian kisah persaingan antar satu anak dengan yang lain, keharusan untuk saling mengalahkan. Perkelahian karena sesuatu hal yang sepelepun marak terjadi. Bahkan tak jarang nyawa menjadi taruhannya. Kisah anak Indonesia dewasa ini seolah menjadi satir dan ironi bagi dunia pendidikan dan kebudayaan kita.

Kisah
Di masa lalu, dunia anak-anak mampu dikisahkan begitu indah. Pelbagai episentrum tradisi seperti permainan tradisional, dongeng, tembang pengantar tidur, lagu-lagu dolanan diperkenalkan untuk membentuk karakter kepribadian anak. Antar satu dengan yang lain dibiasakan dan diajarkan untuk bersahabat, bekerjasama menghadapi masalah dan saling membatu. Budaya kekerasan jarang sekali muncul. Sekolah bukanlah satu-satunya hal terpenting bagi kehidupan anak. Sekolah hanya menjadi ruang bersosialisasi yang lebih luas, bukan ajang untuk bertaruh dan bersaing. Supartinah lewat tulisannya Contribution of Nusantara Children Classic Literature for Culture-Visioned Primary Education (2013), menjelaskan bahwa kebudayaan –tradisi- kita telah mewariskan bentuk pendidikan karakter dan budi pekerti luhur bagi anak. Pendidikan karakter itu berbasis kekuatan lokal, dengan menggali unsur-unsur tradisi di daerahnya masing-masing. Akibatnya, anak-anak selain belajar bersosialisasi juga memahami perangkat kebudayaan yang dimilikinya seperti bahasa, prilaku, sikap dan kesenian. Di Jawa misalnya, kita mengenal pelbagai permainan dan tembang dolanan seperti cublak-cublak suweng, gajah-gajah, jamuran, kidang talun, kupu kuwi, lir-ilir, menthok-menthok, padhang bulan, pitik tukung, jothang alang-alang. Tetembangan itu sarat tuntunan dan pesan moral, dimainkan secara bergerombol, bersama-sama. Kekompakan dan kebersamaan manjadi hal terpenting.
Namun kini, permainan dan tembang dolanan itu telah tergantikan dengan kuasa teknologi semacam playstation dan game-online. Anak-anak lebih menyibukkan waktu luangnya untuk bermain secara virtual, berlama-lama sendirian untuk manekur di kamar. Permainan yang berbau kekerasan membawa dampak psikologis bagi anak, dipraktikan pada kehidupan nyata. Tak mengherankan kemudian jika anak-anak yang duduk di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Peratama (SMP) seringkali terlibat tawuran. Iklim persaingan di sekolah dilengkapi dengan iklim kekerasan di ruang permainan menyebabkan vandalisme anak-anak merebak. Terlebih setiap hari mereka disuguhi dengan tontonan berbau asmara dan cinta-cintaan lewat media elektronik. Kisah-kisah yang demikian kemudian ditiru. Tak jarang anak-anak bunuh diri karena persoalan asmara. Video asusila menyebar. Atau banyaknya yang hamil di usia yang masih belia. Di televisi pula, mereka diperkenalkan dengan pelbagai jenis prilaku manusia, dari yang jahat, baik bahkan yang menyimpang. Mereka mengenal kisah laki-laki yang kebanci-bancian. Menyukai sesama jenis. Kasus-kasus fedofil kemudian tumbuh subur di dunia anak. Mereka menjadi korban. Tekanan yang dihadapai di lingkungan pendidikan dan pergaulan keseharian seolah mengamini pelbagai prilaku yang demikian.  
Dahulu kala, saat malam datang, anak-anak dihantarkan oleh ibunya ke peraduan tidur dengan dongeng-dongeng menggoda. Malin Kundang, Kancil Nyolong Timun, Luthung Kasarung, Bandung Bandawasa dan lain sebagainya. Ibu melukiskan kisah itu dengan pelbagai ekspresi dan mimik wajah. Kisah itu terbawa hingga mimpi. Memberi tauladan pesan bagi anak untuk berbuat bijak terhadap sesama. Pendidikan budi pekerti diberlangsungkan di atas tempat tidur, kamar imajiner bagi anak untuk berimajinasi dengan bebas. Dongeng adalah jembatan yang mengantarkan anak belajar tentang arti kedewasaan. Namun kini waktu bertemunya ibu dan anak boleh dikata sebagai peristiwa yang langka. Ibu-ibu masa kini disibukkan dengan urusan emansipasi, menempatkan kedudukannya sebagai figur yang berpengaruh secara sosial. Ibu idaman adalah seorang dokter, arsitek, pengusaha, politikus, pejabat. Ibu bukan lagi “orang tua” bagi anaknya. Ibu hanya simbol status. Dengan segala kelebihan materi yang dimilikinya, para ibu berusaha menyekolahkan anaknya di sekolah prestisius, mahal dan berkelas mega-internasional, setiap jengkal ruangan penuh dengan pengawasan ketat. Namun sekolah yang demikian tak ubahnya penjara, mengurung anak, tak mampu bersentuhan dengan alam dan lingkungan sosial. Bahkan kejadian pelecehan seksual terhadap anak kerap terjadi di sekolah-sekolah berjenis demikian. Ironis!

Budaya
Kembalikan anak pada dunianya. Dunia yang dipenuhi oleh keceriaan. Sekolah yang membentuk iklim persaingan untuk saling mengalahkan mengikis kisah-kisah anak dalam narasi kebudayaan. Pendidikan kemudian diberlangsungkan dengan ukuran-ukuran angka atau nilai-nilai. Anak yang baik berarti sukses secara prestasi akademik. Sementara di lain pihak, anak-anak dengan nilai rendah merasa bodoh dan tak berguna. Mereka bekerja lebih keras, belajar hingga larut malam, sibuk mengikuti kelas tambahan. Hari-harinya dihabiskan demi mengejar angka atau nilai. Dendang tembang dolanan, dongeng, lagu pengantar tidur dan permainan tradisional semakin bangkrut eksistensi. Anak-anak terlalu sibuk, apalagi untuk mengurusi hal-hal yang dianggapnya tak membawa efek berarti bagi prestasi dan nilai akademik. Para orang tua gagal dalam memberi tauladan berharga terkait pembentukan karakter dan budi pekerti. Otak anak semata berisi rumus-rumus pelajaran. Mereka menjadi sensitif terhadap sesama, mudah tersinggug dan marah.
Karsono lewat tulisannya Lagu Anak-anak Tradisi Nusantara: Mutiara Kebijaksanaan yang Terlupa (2011) menganggap bahwa lagu-lagu dolanan anak penting untuk kembali dihadirkan sebagai dektoksinasi pengaruh negatif yang berkembang dewasa ini. Sudah selayaknya anak-anak menemukan dunianya, bermain dan bersosialisasi. Bermain tidak memiliki target, mereka dapat berhenti kapanpun mereka mau. Yang paling penting adalah perjumpaan dengan sesama, saling mengenal dan membangun kisah pertemanan. Kekayaan tradisi menjadi kisah berharga dalam membentuk mental anak. Namun pengaruh zaman dan teknologi yang semakin berkembang mengakibatkan dunia anak dilipat. Perjumpaan dengan sesama dilakukan lewat perangkat canggih semacam handphone atau gadget. Dunia anak kemudian juga menjadi ajang pamer, dari merek handphone, sepatu hingga tas. Adanya kelas-kelas khusus berlabel internasional semakin menambah rentang jarak antara yang kaya dan miskin. Kita dibuat takjub kala terjadi pelecehan seksual di lingkungan sekolah mahal dan elit, namun menganggap biasa perjuangan anak-anak di daerah tertinggal. Di mana mereka bertaruh nyawa, menyebrang kali, mendaki bukit hanya untuk bersekolah. Kitapun memandang biasa kala gedung-gedung sekolah di pelosok daerah Indonesia telah lapuk dan reot. Kisah-kisah manis dunia anak dalam narasi kebudayaanpun semakin sayup tak terdengar. Dunia anak tak lagi berisi tawa, namun tangis dan luka. Mereka selalu menjadi korban, baik oleh kebijakan maupun tuntutan zaman.
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Solo 

Tidak ada komentar:

Pengikut