Hajar Satoto ber-Gamelan Pamor (dimuat di Majalah Basis edisi Desember 2013)



Hajar Satoto ber-Gamelan Pamor



Hajar Satoto, seniman dan perupa serba bisa asal Solo telah meninggal dunia di usia ke-62 tahun pada 26 Agustus 2013 karena sakit stroke dan diabetes yang telah lama dideritanya. Membicarakan sosoknya tak senantiasa pekat bersentuhan dengan dunia kesenirupaan Indonesia, namun juga seni musik, terutama gamelan. Ia adalah tokoh yang mempelopori terciptanya gamelan pamor. Gamelan yang tak semata logam, namun berhiaskan guratan-guratan semacam akar pada muka wilayahan layaknya keris. Walaupun demikian, suara gamelan itu tak kalah dengan gamelan pada umumnya, merdu dan jernih mengalun. Sumbangan besarnya yang mungkin masih dapat kita nikmati hingga saat ini. Hajar adalah seniman yang mendedikasikan hidupnya untuk keberlangsungan seni rupa dan seni pertunjukan Indonesia. Ia juga seorang penari yang ulung. Kemampuan yang multitalenta membuatnya dijuluki sebagai seniman lintas batas. Tak hanya masyarakat seni rupa Indonesia yang berduka, namun juga jagat seni pertunjukan. Menuliskan sosoknya tak berarti nostalgia, namun mencoba mendudukkan kembali sumbangan besar dan jasanya dalam kebudayaan dan terutama kesenian Indonesia.

Multitalenta
Fadjar Sutardi lewat tulisannya Seni Rupa Solo: Ada Apa Kemarin, Hari Ini dan Esok (2012) menjelaskan bahwa Hajar Satoto mulai dikenal oleh kalangan seniman pada tahun 1960-an sebagai penari bersama Sal Murgianto, Sardono W.Kusumo, Marsudi, Reto Maruti, Rusini dan sebagainya. Tahun 1970-an ia hijrah ke Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta untuk kuliah dan mendalami seni patung serta lukis. Namanya semakin mencuat kala bersama Suprapto Suryo Darmo membuat seni mulimedia di Mendut dalam pergelaran Wayang Budha yang diciptakannya sekitar 30 tahun silam. Bagi kebanyakan seniman sebayanya, karya-karya Hajar dianggap berkarakter Jawa “priyayi”, berasa aristokrat. Ia senantiasa menempatkan tradisi sebagai pijakan dan sumber utama dalam setiap karyanya. Lihatlah wayang wanda anyar, patung musikal, rebab sungging dan gamelan pamor. Semua hasil karya itu selain bisa di “operasionalkan” atau “dimainkan” sebagaimana lazimnya, juga mampu menjadi benda koleksi yang indah.
Tak banyak seniman yang memiliki kemampuan komplit seperti dirinya. Ia mampu memunculkan kekayaan pada seni tradisi untuk kepentingan seni kontemporer masa kini. Tradisi menjembatani dirinya dengan dunia “avant garde”. Hal ini sekaligus mendekonstruksi anggapan bahwa tradisi telah membasi. Di tangannya tradisi justru nampak lentur, baru dan bergairah. Hajar Satoto menjadi magnet bagi dunia seni rupa dan seni pertunjukan Indonesia. Beberapa koleksinya ia sumbangkan ke kantung-kantung kebudayaan semacam museum Radya Pustaka dan Ranggawarsito. Ia hanya berharap karyanya dapat dirawat dan dinikmati dari satu generasi ke generasi yang lain. Mengapresiasi karyanya berarti menjelajah dunia kejawaan, yang begitu penuh nilai dan sesak simbol.
Hajar Satoto atau biasa dipanggil Totok adalah pribadi yang sahaja. Ia lahir dari seorang dalang bernama Soesiloatmodjo yang juga seniman sungging serta guru seni. Bakat itulah yang telah ia warisi. Ia membuat karyanya dengan penuh perhitungan. Tidak asal, apalagi yang penting laku. Lihatlah Wayang Budha, ukurannya cukup besar, sepuluh kali lipat dari bentuk wayang kulit biasa. Jika di gamelan dapat disetarakan dengan gamelan Sekaten. Walaupun bentuknya yang raksasa, namun detail sungging serta ornamentasinya nampak begitu jelas dan nyata. Bahkan tak kalah dengan sungging wayang diukuran lazim. Wayang Budha menjadi cikal bakal lahirnya pertunjukan Wayang Sandosa yang kala itu dikomposeri oleh Martapangrawit. Dunia kekaryaan bukannya dilalui dengan lancar. Sinisme dan cibiran sempat menyertai perjalanannya. Karya-karya baru yang berpijak tradisi sering kali dianggap sebagai pengingkaran pakem. Namun zaman membuktikan bahwa Totok mampu bertahan dan membuktikan keunggulan karyanya, yang di kemudian hari menjadi panutan dan kiblat bagi generasi sesudahnya.
Dunia wayang telah habis diolahnya, gamelan menjadi sasaran selanjutnya. Ia menciptakan gamelan berpamor. Lagi-lagi ia membuat sensasi. Gamelan itu nampak begitu indah, layaknya luk keris yang mempunyai arti dan makna mendalam. Sekilas memang tak ada beda antara gamelan pamor dengan gamelan biasa. Namun coba gosoklah muka gamelan itu, maka urat-uratnya akan kelihatan jelas. Uniknya, gamelan berpamor yang dibuatnya justru tahan lebih lama. Konon kualitas bunyinya tidak mudah goyang, sumbang atau falsch. Tidak harus sering dilaras seperti gamelan biasa. Tempaan dalam membentuk pamor mengakibatkan kepadatan logam semakin teruji. Hal inilah yang menyebabkan gamelan berpamor Hajar Satoto bisa dikata lebih unggul dibanding yang lain.
            Tak hanya dalam hal kekaryaan. Hajar juga dikenal sebagai perintis kantung kebudayaan bernama “Bentara Budaya” di Yogyakarta bersama Sindhunata, GM. Sudarta, Ardus M. Sawega, Rustam Affandi, YB Kristianto. Ia adalah salah satu kurator yang diperhitungkan. Pemikiran-pemikirannya tentang kebudayaan ditumpahkan lewat lembaga itu. Walau tak berselang lama ia keluar dan lebih memilih berkarya seni. Namun pengalaman di lembaga non plat-merah itu menunjukkan sosoknya sebagai seniman yang ngayomi, peduli terhadap nasib sesama seniman atau mayarakat pecinta seni yang kala itu membutuhkan ruang serta wadah sebagai ajang kreatif dan ekperimentatif.

Gamelan
Harian Tempo pada 2 Agustus 2006 secara eksklusif meliput karya Hajar Satoto dengan judul “Gamelan Pamor Hajar Satoto”. Dijelaskan bahwa kala itu, penonton yang menyaksikan pementasan gamelan berbondong-bondong mendekat. Bukan untuk menyalami para pemain yang telah melantunkan beberapa gending. Namun melihat “keanehan” pada muka gamelan. Penuh guratan alias pamor. Sebuah hal langka yang jarang dijumpai. Pamor itu tak semata visual, namun membuat penonton berimajinasi. Gamelan pamor tak ubahnya senjata, keris, parang maupun pedang. Tergores penuh kisah. Gamelan karya Hajar Satoto menjadi cerita manis dalam sejarah perjalanan gamelan di Nusantara.
Terlebih kini isu semakin mendunianya gamelan tak dapat dihindarkan. Banyak gamelan-gamelan baru tercipta, diekspor dan dimainkan oleh masyarakat musik di berbagai benua. Namun sedikit yang memiliki keunikan dan kelebihan. Di sililah posisi tawar Gamelan Pamor karya Hajar dibanding yang lain. Ia menyemarakkan dunia kekaryaan dalam gamelan. Sama halnya ketika AL Suwardi menciptakan Gemelan Genta dan Rahayu Supanggah dengan Gamelan Mr. Black. Ia secara tak langsung menginspirasi kreator musik kontemporer masa kini untuk berkarya meneruskan apa yang telah ia tekuni. Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta hingga saat ini juga masih menyimpan gamelan pamor karya Hajar Satoto. Terdapat Gong Kemodong, Gender Barung, Kempul, Saron dan demung yang tersimpan rapi. Gamelan itu tidak lagi dibunyikan, baik oleh mahasiswa maupun pengajar karawitan (dosen). Namun di simpan untuk dipamerkan dan dinikmati keindahan visualnya.
Terlebih kala Hajar kini telah tiada. Koleksinya akan menjadi benda peninggalan yang berharga. Jika rusak, tak ada lagi lainnya. Tak banyak memang sosok yang dengan tekun menziarahkan hidupnya bagi dunia organologi eksperimentatif (metalurgi) gamelan. Hajar termasuk salah satu dan telah mengenyam kesuksesan. Kita bisa melihat kepribadian lewat guratan karyanya. Jika kesenian adalah representasi dari karakter, sikap dan sifat dari pengkaryanya. Maka karya Hajar yang nJawani itu sejatinya adalah dirinya. Hajar menjadikan bilah-bilah gender dan gamelan itu layaknya kanvas, yang dengan indah dilukiskan sebuah cerita tantang dirinya.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Ibu men-Jawa (dimuat di Jawa Pos 22 Desember 2013)



Ibu men-Jawa


Hari Ibu menjadi menjadi hari untuk puja-puji sosok ibu. Ibu tak semata faktor ketubuhan dengan menempatkan ujudnya dalam narasi female, feminisitas, perempuan dan wanita. Lebih dari itu, kisah ibu kemudian juga berbunyi tentang pengorbanan, doa, perjuangan dan air mata. Sosoknya menjadi penting diabadikan dalam kuasa “hari nasional” untuk mengenang dan wujud penghormatan atas kodratnya. Menjadi ibu berarti bersedia mentasbihkan diri dalam pertarungan hidup dan kerelaan untuk mati. Mengandung, bertarung nyawa demi sang anak dan keluarga. Segala ucapan terimaksih berdatangan. Iklan-iklan di layar kaca silih berganti mengisahkan ibu. Namun kita justru semakin alpa dalam memaknai sosok ibu, semata hanya makhluk yang telah memiliki anak. Ibu tak lagi memiliki kuasa dalam narasi kebudayaan, terutama Jawa.

Jawa
Dalam budaya Jawa, ibu lewat kodratnya dipanggil sebagai wanita yang berarti wani nata dan wani ditata. Atau bahkan perempuan yang berasal dari kata “empu” alias orang yang telah memiliki kekuatan paripurna untuk membuat, mengolah dan melahirkan sesuatu. Nama-nama itu disandang ibu sebagai pelengkap dalam narasi sejarah hidupnya. Bagi seorang suami, ibu lewat kuasa budaya Jawa disebut sebagai garwa yang bermakna sigarane nyawa­­ atau belahan Jiwa. Ester Lianawati (2008) mendekonstruksi anggapan bahwa ibu di Jawa berada dalam ketiak kaum Adam alias suami. Stereotipe yang seolah menepikan kuasa ibu itu justru dapat dimaknai secara berbeda. Pandangan yang menempatkan ibu tak lebih dari kanca wingking dan suwarga nunut neraka katut sejatinya justru merupakan “kekuatan” terbesar seorang ibu untuk mengontrol dan mensejajarkan diri dengan kaum Adam selaku suaminya. Seperti halnya lirik lagu Titiek Puspa, “wanita dijajah pria sejak dulu, memperlihatkan dominasi lelaki yang begitu tampak kuat dan menindas. Namun tunggu dulu, jangan lewatkan lirik selanjutnya yang justru memutarbalikkan fakta, bahwa lelaki "..tekuk lutut di sudut kerling wanita." Lirik itu melukiskan kekuatan tersembunyi wanita yang mampu membikin lelaki bertekuk lutut tak berdaya.
Tentu saja “kekalahan” itu tak diperlihatkan di depan umum. Hanya pada ruang-ruang tertentu yang dianggap penting kuasa kemenangan wanita atau ibu itu begitu nampak nyata. Dalam pepatah Jawa hal itu biasa disebut sebagai nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Mengalahkan tanpa terlihat menindas dan menang tanpa terlihat menjatuhkan. Ibu di Jawa memiliki kemampuan tersebut. Kebudayaan Jawa dalam konteks ini menjadi medium untuk menghubungkan Ibu menjadi “sutradara” yang mengatur perputaran roda rumah tangga. Dari persoalan ekonomi, sosial hingga harga diri. Ia tak hanya terjuluk sebagai kanca wingking yang bertugas di dapur dan kamar, semata hanya melayani suami dan anak-anaknya. Namun justru di ruang itu ibu menunjukkan kuasa atas keberhasilan menjaga keutuhan keluarga. Ia adalah sosok di balik layar. Keputusan boleh diambil seorang suami, namun akan sangat besar dipengaruhi oleh kehadiran seorang ibu. Dengan demikian ia menjadi orang terpenting yang keberadaanya tak dapat dilihat secara verbal namun dapat dirasakan legitimasinya. Jadi secara struktur formal, mereka terlihat tidak berpengaruh. Namun secara informal, pengaruh mereka sangat besar. Bahkan lama kelamaan suami akan tergantung kepada istrinya terutama secara emosional. Pada posisi inilah, ibu di Jawa akan banyak menentukan keputusan-keputusan dunia publik melalui suaminya (Handayani dan Novianto, 2004).
Jangan heran kemudian jika ibu dalam lingkaran budaya Jawa (kultureisme) bertindak halus, lemah lembut dan sopan santun tutur katanya, namun tegas dan konsisten kala mengambil keputusan. Ia juga mengabdikan diri sepenuhnya bagi suami. Salah benar seorang suami, tetaplah ia menjadi imam untuk keluarganya. Narasi yang kemudian dalam budaya Jawa disebut sebagai suwarga nunut neraka katut atau pejah gesang tumut. Hal yang justru telah mengalami kebangkrutan eksistensi di abad mutakhir. Pribahasa itupun telah beralih menjadi “ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang”. Sehingga pribahasa “di balik suami yang sukses ada istri yang hebat” sudah tak lagi konsisten jika dihadapkan pada “di balik suami koruptor ada istri....?
Jawa memberi tauladan berharga tentang sosok ibu. Bahkan di Suluk Tembangraras yang ditulis tahun 1809 atas permintaan Paku Buwana V berdendang merdu tentang sosok ibu. Di kidung itu, sosok ibu digambarkan sebagai lima jari yang membasuh, merawat, memberi sentuhan dan belaian hangat pada keluarga, suami dan anak-anaknya. Ibu menjadi benteng terakhir kehormatan keluarga. Yuliarso (2012) mencirikan tiga kategori ibu dalam peradaban kultur di Jawa yakni wedi, gemi dan gemati. Pertama, wedi yang berarti takut untuk mempublikasikan rahasia dan aib keluarga, semata dipendamnya jauh di lupuk hati. Takut untuk berkata kasar dan tak santun kepada suami terlebih di depan umum. Kedua, gemi berarti hemat dan pandai dalam mengatur roda perekonomian keluarga. Mampu mengolah seberapapun uang yang diberikan oleh suami. Tak menunjukkan raut kekurangan apalagi mengiba dengan meminta lebih. Ketiga, gemati yang memiliki maksud penuh kasih sayang, pengertian pada suami dan anak-anaknya.


Ironi
Zaman telah banyak mendekontruksi makna ibu dalam kultur masyarakat Jawa. Ibu-ibu masa kini cenderung mendandani tubuhnya dengan pelbagai prestise perangkat sosial. Ibu dikatakan mampu menjadi tauladan kala ia berhasil mempertontonkan citra atas dirinya dalam struktur penekatan status terkini. Akbibatnya, ibu yang ideal adalah seorang dokter, arsitek, polisi dan pengusaha sukses. Kisah ibu di masa kini jarang dilihat dalam ruang persentuhannya dengan anak dan suami dalam bangunan keluarga. Ibu di Jawa tak lagi rela untuk menembang tak lelo-lelo-ledung pada anaknya kala malam mendekati peraduan tidur. Ibu juga malas untuk mengisahkan segala cerita tentang Jawa. Tak ada lagi timun mas, keong mas, kancil nyolong timun, bandung bandawasa, joko tarup dan jaka tingkir. Anak-anak kemudian lebih khusyuk untuk bertafakur lewat tablet, blackberry, dan playstation.
Ibu di Jawa semakin kehilangan kuasa atas anak, suami dan keluarga. Ia mempribadi, semata hanya memanjakan diri sendiri. Konsep-konsep ke-Jawaan yang konon adi luhung itu semakin luntur dan tak berbekas. Kita lupa untuk menelisik sejarah tentang perempuan Jawa. Kita pun tak qatam dalam mengaji kisah Kartini yang seolah hanya berisi tentang pertentangan dan pembebasan diri dari belenggu kultur ke-Jawaan yang konon feodal itu. Kita kehilangan jejak bahwa sejatinya Kartini justru seorang ibu yang sangat Jawa. Kita melewatkan adegan kala Kartini menjadi istri dan ibu, bukan semata pejuang emansipasi.
Hari ibu membeku dalam tanggal yang rutin kita peringati setiap 22 Desember. Puja-puji kita lakukan dengan menempatkan ibu sebagai pemeran utama. Semangat Hari Ibu kemudian menjadi pemberitaan yang tiada habis disuluh. Namun, kita tak lagi melihat ibu dalam konstelasi kebudayaan. Kita luput menyibak makna dan gugusan pesan yang terkandung dalam kodrat ibu dalam kultur Jawa. Semata berisi tentang ujud dan ketubuhannya sebagai wanita yang telah bersuami dan memiliki anak. Padahal, ibu bukan semata pejuang keluarga, namun juga pewaris atas adab budaya. Narasi ibu di Jawa dewasa ini semakin sayup-sayup bias definisi. Kisah hari ibu hanya berisi selebrasi sesaat. Anak-anak mencium tanggannya, berlomba berucap selamat lewat sms dan telepon lalu abai setelahnya. Ibu menjadi makhluk yang tak lebih dari faktor genetika dan urusan garis darah, bukan lagi keterikatan kultur dan jejak peradaban. Dengan demikian, sebenarnya kebudayaan Jawa telah menjadi simpul yang mengikat kencang ibu agar tak keluar dari batas-batas kodratnya.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia

Jejak (Nasib) Pengrawit Jawa (dimuat di Solopos, 15 Desember 2013)

Jejak (Nasib) Pengrawit Jawa


Tema dialog antar seniman yang dilangsungkan di Teater Arena Taman Budaya Surakarta pada akhir September lalu cukup menarik untuk diangkat kembali. Dialog yang mengambil tema “Ngrembug Uripe Seniman” itu berkisah tentang nasib seniman di Indonesia dan Jawa khususnya yang masih serba kekurangan. Seniman belum sepenuhnya dianggap sebagai sebuah profesi yang menjanjikan. Hal ini mengingatkan saya pada perdebatan menarik tentang profesi seorang pengrawit (pemain gamelan) yang beberapa ini juga ramai diperbincangkan di media sosial. Bukan rahasia lagi, bayaran para penggrawit kadang tidak sebanding dengan kualitas daya dan tenaga yang dikeluarkannya dalam bermain gamelan. Apalagi dalam dunia pertunjukan wayang kulit, pamrih yang disemai para musisi gamelan kadang tak berbanding lurus dengan upah yang diterima para dalang. Penghargaan terhadap pengrawit memang menjadi isu krusial dalam jelajah wacana dunia gamelan di nusantara dan terutama di Jawa dewasa ini. Lalu, bagaimana jejak sejarah ke-pengrawitan di Jawa?

Sampingan
Bermain gamelan dalam takaran sejarah awalnya bukanlah sebagai sebuah profesi utama. Kalaupun ada hanya pada kalangan dan ruang yang terbatas, keraton misalnya. Pada masa jayanya, keraton memiliki kuasa untuk menganggat seseorang menjadi pemain gamelan sesuai dengan bidang kemampuan yang dimilikinya (Waridi, 2005). Tak tanggung-tanggung, keraton atau raja menjamin kehidupan musisi gamelan di lingkungannya dengan berbagai penghargaan, seperti materi berupa uang dan juga jenjang kepangkatan. Para musisi gamelan keraton memiliki kedudukan yang berbeda antar satu dengan lain. Hal itu disesuaikan dengan tingkat olah musikal yang dimiliki. Pengrawit yang berada dalam barisan depan misalnya adalah orang-orang yang handal dalam memainkan instrumen garap seperti rebab, gender dan kendang. Tentu saja pengrawit dengan spesifikasi yang demikian memiliki kedudukan dan bayaran yang lebih tinggi dibanding dengan yang lain.
Fenomena tersebut kini hanya menjadi ratapan manis di masa lalu. Saat di mana raja dan keraton di Jawa masih mampu menunjukkan taring legitimasi atas kekuasannya. Namun setelah keraton mengalami kebangkrutan eksistensi dan politik, nasib para seniman karawitan menjadi tak tentu arah. Keraton tak lagi bisa digunakan sebagai payung gantungan hidup dalam mengukir masa depan dunia kepengrawitan. Setelahnya, pengarwit menentukan arah hidup sendiri, tak lagi mengaitkan detak masa depannya dengan dunia keraton. Ada yang kembali bercocok taman, berdagang dan juga banyak pekerjaan lainnya.
Berbeda dengan di keraton, kehidupan para pengrawit di luar tembok keraton juga menyisakan cerita tersendiri. Darsono lewat bukunya Pengrawit Unggulan di Luar Tembok Keraton (2002) menyatakan, kegiatan bermain gamelan tidak diperuntukkan untuk mencari nafkah atau materi. Mereka bermain gamelan hanya untuk bersuka cita, klangenan, berkumpul dan saling berinteraksi. Gamelan mempertautkan masyarakat yang dalam kesehariannya disibukkan dengan rutinitas pekerjaan, umumnya bertani. Gamelan menjadi ruang publik bagi mereka. Berkomunikasi, membicarakan masalah panen, pengairan, hama, pupuk dan lain sebagainya. Tak terbesit bahwa bermain gamelan berarti menyemai pundi-pundi pamrih. Gamelan semata hanya jembatan yang menghubungkan antar manusia satu dengan lain.
Saat bermain gamelan itulah kadang hidangan seadaanya khas kampung disajikan seperti teh hangat, kacang godok, pisang goreng, ubi-ubian dan hasil olah sawah lainnya. Dana yang digunakan untuk itu kadang berasal dari kas desa, atau dibebankan pada pihak yang kebetulan saat itu menerima arisan. Bermain gamelan hanya untuk suka cita, bagian kecil dalam meraih ingar bingar tujuan mulia. Para pemainnyapun tak harus memakai pakaian Jawa, berbeskap-blangkon dan jarik. Namun seadanya, bisa hanya sekedar memakai kaos oblong, celana buntut, atau baju keseharian mereka. Ekspresi yang natural saat itu dipertontonkan. Bukan untuk mencoba menggapai citra visual lewat penampilan, namun justru kebersamaan dan keguyuban dalam kemunitaslah yang diutamakan. Tak seperti detak gamelan dalam tembok keraton, di kampung-kampung, siapapun bebas memainkannya. Tak ada status, derajad golongan atau kepangkatan di situ. Selama kemampuan musikal dalam mengolah ricikan (istrumen) tertentu bisa dipertanggung jawabkan, maka dengan segera seseorang dapat langsung memainkannya.
Pada konteks inilah gamelan begitu membumi bagi masyarat Jawa. Penghargaan disematkan kepadanya. Berbagai guratan mitos dibuat. Maka lazim kita jumpai bahwa tabu atau saru jika melangkahkan kaki di atas gamelan tanpa menyingkirkannya terlebih dahulu. Jika hal tersebut dilanggar, dengan segera beban kutukan akan datang, semisal sakit demam, kemaluan yang membesar (kondor) dan lain sebagainya. Tentu saja itu semua hanya mitos, cerita rekaan yang mencoba digulirkan agar semata gamelan dapat benar-benar dihargai. Begitulah jejak gamelan yang mampu pekat bercengkrama dengan kehidupan kultur keadaban budaya Jawa. Cukup sulit untuk menelisik kaitan gamelan dengan dunia hitung-hitungan jasa, pamrih atau uang terutama bagi musisi yang memainkannya.



Peye
Huruf “e” dalam judul di atas dibaca layaknya membaca tempe. Masyarakat komunitas gamelan biasanya mengenal istilah itu untuk menyebut rutinitas pentas yang mereka lakoni. Peye tak semata hanya bermain gamelan di tempat orang yang memiliki hajat seperti nikahan, khitanan serta bersih desa. Ada makna lain yang mencoba diukir bahwa peye sekaligus juga sebagai sebuah laku kerja dengan konotasi untuk mendapatkan upah atau pamrih. Tak jelas sejak kapan istilah itu bergulir, tak ada satupun referensi yang menyebut dan membahasnya hingga paripurna. Bisa jadi istilah itu berasal dari diksi kata “payu” yang artinya laku. Selebihnya adapula istilah sambatan yang berarti bermain gamelan tanpa mengharap upah. Di Bali agak serupa dengan pengertian ngayah. Sambatan berasal dari kata sambat atau disambati yang artinya dimintai tolong. Biasanya hal tersebut dilakukan karena sudah terjalin hubungan yang dekat antara pengrawit dengan penyambat (yang meminta tolong), seperti sahabat, saudara, atau juga pimpinan. Oleh karena itu, kebanyakan hanya ucapan terimakasih yang dihaturkan, tak ada embel-embel lain berupa uang.
Lekatnya dunia karawitan dengan dentum kepermisifan budaya mengakibatkan tak ada patokan dan ukuran pasti sejauh mana para musisi gamelan tersebut harus dihargai. Para musisi gamelanpun cenderung malu dan ragu untuk mengungkapkan tarif mereka sekali manggung. Bagi Soenarko Setyodarmodjo dalam bukunya Menggali Filsasfat dan Budaya Jawa (2007) menganggap persoalan itu tabu dan tak relevan dengan adab budaya Jawa yang konon halus, santun dan tentu saja permisif. Intinya, pengrawit gamelan seolah hanya butuh dimengerti. Tak mampu menentukan harga atas kuasa kreativitas musikalnya. Penanggaplah (stake holders) yang berperan besar menilai dengan harga yang sebanding. Namun sayang, karena sikap ketertutupan musisi gamelan yang demikian sehingga kadang mendapat penghargaan kurang layak.
Lebih miris lagi jika melihat realitas penghargaan para pengrawit gamelan dalam pertunjukan wayang kulit di Jawa. Dalang menjadi pusat yang dengan tekun menyemai pundi-pundi keuntungan berlimpah. Jauh dari apa yang didapat para pengrawitnya. Memang tidak semua dalang demikian. Namun kebanyakan dalang yang hidup bergelimang harta harus bertirankan musisi gamelan yang serba kekurangan. Pembagian upah yang kadang dianggap terlalu timpang. Bayangkan, dari data yang penulis dapatkan, untuk ukuran dalang terkenal, sekali manggung mereka dapat puluhan juta. Sementara pengrawit hanya puluhan hingga ratusan ribu. Itupun masih harus dibagi dengan kualifikasi instrumen apa yang dimainkannya. Untuk instrumen dengan tingkat kesulitan rendah, mendapat honorarium yang rendah, begitu juga sebaliknya.
Idealnya, perkembangan zaman sudah selayaknya diimbangi dengan berbagai keterbukaan informasi. Tak ada lagi kata tabu untuk menghargai sebuah kreativitas bermusik. Seniman berhak menentukan bayaran atas kualitas musikal yang dimilikinya. Ke depan, menjadi indah saat terjadi negosiasi diberlangsungkan antara seniman atau musisi gamelan dengan pihak stake holders. Sehingga tidak ada penyesalan maupun kesalahpahaman di antara keduanya.

Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Guru Berlagu (dimuat di Jawa Pos, 27 November 2013)



Guru Berlagu



Hari guru di bulan ini (25 November) senantiasa diiringi dengan dendang Hymne Guru yang mengisahkan puja-puji guru. Dalam nyanyian itu, guru menjadi sosok terpuji, embun penyejuk dalam kehausan, pelita yang menerangi kegelapan. Namun ada satu kalimat lagu yang kemudian menjadi perdebatan. Teks musikal yang menarasikan guru sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” sudah tak lagi dianggap relevan dengan kondisi zaman di abad XXI kini. Guru telah bertabur pamrih dan jasa. Guru menapaki kehidupan yang layak, tak lagi bisa disebut miskin apalagi kekurangan. Ribuan orang berebut menjadi guru. Mengajar adalah profesi yang membanggakan. Profesi idaman dan dambaan. Teks musikal “tanpa tanda jasa” itupun beralih “pembangun insan cendekia”. Lagu guru telah berganti baju. Pertanyaannya kemudian, pentingkah perubahan teks musikal itu dilakukan? Bukankah musik tak semata berisi tentang nada, namun juga penggerak sejarah Indonesia?

Ziarah Nada
Musik telah turut menggerakkan roda sejarah Indonesia. Banyak momentum dan peristiwa bersejarah dikisahkan lewat lagu. Musik juga menjadi pahlawan yang menghantarkan manusia masa kini untuk kembali menapaki jejak perjuangan bangsa atas peristiwa besar yang pernah terjadi. Musik menyelinap di balik selebrasi peringatan hari-hari besar. Menjadi lagu wajib yang diajarkan di setiap bangku sekolahan. Dengan demikian, menyanyikan musik tak semata menziarahi nada, namun juga sebuah ritus untuk kembali menelisik tentang siapa dan dari mana kita berasal. Para komposer musik adalah sosok yang kadang terlupakan. Indonesia negeri yang kaya musik namun miskin mengukuhkan pencipta sebagai pahlawan. Kita senantiasa mengunakan musik, namun menihilkan jasa para pencipta. Sartono misalnya, pencipta lagu Hymne Guru, hingga masa purna tugasnya sebagai guru tahun 2002 lalu, masih menyandang guru honorer. Tak pernah mendapatkan gaji pensiun. Semasa mengajar sebagai guru musik ia menerima gaji Rp. 60.000 perbulan. Hal yang kontradiktif, di saat para guru lainnya sedang menikmati pesta kejayaan. Sang guru berlagu justru terabaikan.
Di hymne itu, Sartono begitu mafhum mendendangkan narasi guru di zamannya. Teks musikalnya sederhana, namun jelas, lugas dan bernas. Ia melukiskan sosok guru dari kacamata seorang guru. Hasilnya sesuai realitas, tak hiperbolis, apalagi mengada-ada. Indonesia adalah negeri yang membutuhkan nyanyian untuk mengenang dan berkisah. Hari guru kemudian bukan sekadar tanggal upacara. Namun juga hari untuk bernyanyi Hymne Guru. Lagu itu kembali menggema di antero negeri di bulan ini. Mengajak para murid melihat guru dalam balutan nada dan harmoni. Kisah guru dalam lagu juga pernah dinyanyikan oleh Iwan falsh lewat Oemar Bakrie (1981). Iwan justru lebih gamblang dan berani melukiskan Oemar Bakri sebagai seorang guru yang telah mengabdi selama 40 tahun. Banyak menjadikan muridnya profesor dan menteri. Namun sayang, gajinya seperti dikebiri. Iwan dan lagunya adalah satir dari masyarakat akar rumput -yang tak lain adalah guru-, pada pemerintah kala itu. Ia menwakili ribuan guru dalam menyuarakan ketertindasan hidup. Lagu Iwan Fals masih dinyanyikan merdu hingga kini. Walaupun dalam realitasnya, banyak guru telah menemukan ruang kemuliaan.
Lagu-lagu itu laksana monumen yang mengingatkan kita tentang sejarah dunia “per-guru-an” di Indonesia. Karenanya, dengan merubah teks lagu, bukankah akan merubah fakta sejarah yang pernah ada? Tak ada lagi “pahlawan tanpa tanda jasa”. Anak-anak masa kini mungkin tak lagi mengetahui bagaimana sejarah nasib guru di Indonesia, yang disemai dari peluh dan sulitnya perjuangan hidup. Lagu tentang guru dapat dengan mudah dirubah dan diganti. Kita lupa bahwa dalam lirik dan nada ada fakta sejarah yang tak bisa diingkari. Dalam lagu ada doa dan air mata. Hymne Guru dan kata Pahlawan Tanpa Tanda Jasa telah menjadi senyawa yang tak bisa dipisahkan. Lagu itu tercipta di tahun 1980. Memotret guru sesuai realitas di zamannya. Kini lagu itu telah berusia 32 tahun. Belum ada lagu sepadan yang menandinginya dalam melukiskan sosok guru. Lagu Hymne Guru justru dianggap telah membasi alias ketinggalan zaman. Tak mampu lagi memotret nasib guru sesuai dengan kenyataan di masa kini. Manusia Indonesia justru enggan untuk mencipta dan miskin kreativitas bermusik. Akibatnya, tak ada jalan lain, lebih baik merubah –jika tak boleh dibilang merusak- dari pada berkompetisi mencipta lagu baru.

Ironi
Karsono lewat tulisannya Hymne Guru: Kontradiksi Teks dan Konteks (2012) mengamati bagaimana perubahan sosial yang terjadi dengan nasib hidup guru dari zaman ke zaman. Pada akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa perubahan teks musikal dalam Hymne Guru menjadi penting untuk dilakukan. Institusi yang berperan besar dalam perubahan teks lagu tersebut adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNS Surakarta. Bahkan, untuk mendapatkan keabsahan perubahan teks lagu, dekan FKIP UNS, Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, secara khusus meminta ijin kepada Sartono si pencipta lagu. Diterbitkanlah surat edaran dari Persatuan Guru Republik Indonesia Nomor: 447/Um/PB/XIX/2007 tentang publikasai perubahan teks Hymne Guru pada baris terakhir, dari kalimat “tanpa tanda jasa” menjadi “pembangun insan cendikea. Empat tahun berikutnya, dalam acara penganugerahaan FKIP Awards pada 9 September 2011, Sartono untuk pertama kalinya ikut menyanyikan teks lagu versi perubahan tersebut.
Tidak ada yang salah memang. Namun ada kisah yang hilang dalam lantunan lagu versi baru itu. Dan kisah itu adalah bab terpenting dalam pembabakan sejarah pendidikan Indonesia. Tak sekadar susunan kata bernada, namun juga narasi pengorbanan, pengalaman dan perjuangan. Kalimat “tanpa tanda jasa” menunjukkan pengabdian guru yang suci. Tak menghamba pada materi. Tulus dalam menyemai insan cerdas berintelektual. Kata itu justru menjadi nyanyian yang menyadarkan guru di masa kini. Napak tilas, menjelaskan siapa dan dari mana kita berasal. Lagu Hymne Guru diperdengarkan ke publik sebagai rujukan dalam mengenang peristiwa bersejarah. Dengan hilangnya teks kalimat lagu tersebut berarti hilang pula jejak historis-kulturalnya. Kita patut bersedih karena gubahan lagu itu berlangsung sepihak. Tanpa disertai dengan diskusi dan perjalanan panjang dalam konteks kebudayaan. Tak lagi melihat fakta sejarah, semata mengganti tanpa menelisik arti.
Indonesia telah berubah, nasib guru telah terentas dari kisah pahit di masa Sartono dan Iwan Fals. Sekolah-sekolah musik tumbuh subur. Seniman dan komposer menyesaki ruang layar kaca kita. Tapi belum terbesit untuk berkompetisi melahirkan lagu yang setara dengan karya Sartono dan Iwan. Gurupun menjadi miskin lagu. Penghormatan padanya tak cukup dengan mencium tangan dan berkata santun. Menghormatinya justru abadi dengan lantunan nada yang mengandung doa. Lagu adalah ungkapan jiwa. Kita masih mempertahankan Hymne Guru namun malu untuk menyanyikan teks aslinya. Gubahan teks baru semata hanya memanjakan beberapa guru yang kini nasibnya telah mulia. Sementara di pelosok sana, banyak guru yang serba kekurangan, mengabdi puluhan tahun tanpa pamrih, menjalani hidup dengan penuh ambisi untuk melihat murid-muridnya menjadi pemimpin yang baik di negeri ini. Merekalah yang masih pantas membutuhkan Hymne dengan menyebut dirinya sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta


Pengikut