Santet, Musik dan Narasi Kultural (dimuat di Jawapos edisi 27 Maret 2013)



Santet, Musik dan Narasi Kultural




Santet, diksi dan kata sederhana yang sudah akrab bagi telinga masyarakat Indonesia. Santet secara sederhana merupakan sebuah usaha untuk mempengaruhi psikologis dan fisik atau memasukkan benda-benda tertentu pada tubuh seseorang. Santet subur bertebaran di Nusantara. Bahkan keberadaannya sudah kekal sebelum negeri ini merdeka. Santet tak semata sebuah aktivitas magis, namun darinya banyak menarasikan simbol-simbol kultural. Uniknya, isu tentang santet beberapa waktu belakangan ini menyeruak kepermukaan. Indonesia darurat santet. Begitu pentingnya pembahasan tentang Rancangan Undang-Undang Santet, sampai-sampai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus melakukan studi banding ke Eropa. Namun, pada konteks ini penulis tak hendak berusaha menjawab legal-formalnya keberadaan santet di Indonesia, terutama dari kacamata hukum. Penulis justru tertarik bagaimana santet sejatinya telah turut mewarnai, merintis dan membentuk wajah kebudayaan (musik) di Indonesia.

Medium Bunyi
Santet di Nusantara memiliki berbagai medium yang menghubungkan antara penyantet (pelaku) dengan orang yang disantetnya (korban), tak terkecuali lewat bunyi. Di daerah Taeh Barueh Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, aktivitas dalam “mempengaruhi” seseorang bukanlah menggunakan senjata tajam atau sejenisnya, namun dengan Saluang Sirompak, alat musik tiup dari bambu dengan lima lubang. Kala cinta ditolak, sirompak bertindak. Nil Ikhwan lewat tulisannya Proses Magis Sirompak (2003) menjelaskan bahwa alat musik ini menjadi medium bagi seorang laki-laki yang dipermalukan oleh wanita karena cintanya ditolak. Dengan membawa syarat-syarat tertentu, laki-laki yang sakit hati itu kemudian mendatangi peniup Saluang Sirompak. Alat musik itupun dibunyikan. Tak lama berselang, si gadis akan tergila-gila pada laki-laki yang awalnya ditolak. Bahkan tak jarang, si gadis menjadi gila dalam arti sesungguhnya, tergantung dari kadar sakit hati yang diderita pihak laki-laki. Aktivitas ritus inipun semakin jarang dilakukan, terutama sejak Islam menjadi agama mayoritas masyarakat Sumatera Barat (Roni Febriandi, 2009).
Pada suku Dayak di Kalimantan juga begitu lekat dengan garantung (sejenis instrumen gong). Instrumen musik yang tak semata menjadi selebrasi profan, namun kental dengan aroma mistisnya. Alat musik berpencu itu menjadi medium yang menghantarkan manusia di bumi untuk menjalin hubungan dengan arwah-arwah leluhur. Garantung senantiasa menemai para Balian (dukun adat atau pemimpin upacara) dalam setiap ritus sakral. Lewat instrumen itu, para arwah leluhur akan melindungi anak keturunannya dari segala marabahaya, termasuk santet. Garantung ada dalam setiap prosesi penyembuhan bahkan bagi kematian seseorang. Garantung menjadi benda berharga sekaligus mistis. Tak semua orang berhak memiliki dan membunyikan. Hanya orang-orang terpilih dan dianggap mempunyai kemampuan kasat mata yang berhak.
Begitupun di Sulawesi, tepatnya masyarakat Kaili di Kabupaten Donggala dan Poso. Mereka menganal Lalove, instrumen tiup yang digunakan oleh para pemimpin upacara untuk memanggil arwah atau roh tertentu. Dengan mendengarkannya, tak jarang seseorang akan kesurupan, marah-marah bahkan hilang kesadaran. Instrumen ini memiliki arti penting dalam menarasikan arti sakral dan magis. Lalove juga menjadi medium yang menyembuhkan seseorang dari pengaruh-pengaruh ilmu negatif. Sebelum Islam masuk di Poso pada abad ke-17, aktivitas ritus lalove masih begitu lekat dengan kehidupan masyarakat Kaili. Walaupun saat ini, instrumen tersebut telah dianggap sebagai alat musik semata, namun darinya mampu mengguratkan kisah-kisah kebudayaan dan sejarah peradaban masyarakatnya.
Di Jawa barangkali lebih banyak lagi. Banyak instrumen musik yang dianggap sakral. Gong Sekaten misalnya, dianggap membawa petuah dan menghindarkan seorang pembawa saji dari rentetan marabahaya. Oleh karenanya, nama gong pun tak main-main, disebut “kyai” atau “nyai” (pemberi berkah). Berbagai warna dupa, kemenyan dan sesaji senantiasa menyertai keberadaannya. Selain itu, ada juga yang disebut sebagai Gending Gadhung Melati, gending sakral yang konon diciptakan oleh Nyi Roro Kidul. Barang siapa membunyikannya tanpa berpuasa atau memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, niscaya akan mengalami nasib sial, sakit bahkan kematian. Kepercayaan ini masih dipelihara hingga kini, terutama bagi masyarakat Jawa yang erat bersentuhan dengan dunia keraton.

Narasi Kultural
Santet banyak berbicara akan denyut kebudayaan bangsa Indonesia. Medium yang digunakan kadang tak semata silet, paku dan jarum atau benda-benda tajam yang selama ini kita kenal. Santet justru dengan lantang mengukuhkan jati diri yang mampu menjawab pertanyaan “siapa kita sebenarnya”. Aktivitas mistis ini mampu melukiskan keberadaan musik tradisional, bahasa tradisional, pakaian tradisional, bahkan senjata-senjata tradisonal. Bahasa santet adalah bahasa ibu yang hanya dimengerti oleh penganut kepercayaan di daerahnya. Bunyinyapun adalah instrumen musik tradisional (seperti penjelasan di atas), sebagai katalisator yang menghubungkan pelaku dengan ruang imajinasi mistis yang dipujanya. Sementara pakaian dan senjata tradisional adalah dua unsur yang kadang lekat dan tak mampu dipisahkan. Keris, rencong, pedang, tombak justru dapat dengan lentur kita lihat dalam budaya santet di Indonesia, di mana benda-benda itu kini sedikit demi sedikit telah lenyap dari peredaran.
Membicarakan santet berarti mendedah kebudayaan dan peradaban bangsa. Namun, melogikan sesuatu yang tak logis bukanlah pekerjaan mudah, butuh intensitas perumusan yang panjang. Pertanyaannya kemudian, sudahkah ahli-ahli santet Nusantara diundang untuk turut serta merumuskan rancangan undang-undang persantetan itu. Siapa ahli santet itu? Dukun? Pemain musik sakral? Atau pembawa keris dengan kemenyan? Penaruh dupa di Gong? Terminologi santet dan pelaku saja masih belum jelas, bagaimana kemudian hendak membakukannya. Di atas adalah salah satu gambaran singkat, bagaimana aktivitas yang disebut santet itu tak semata melibatkan unsur atau pihak yang salah dan benar, namun lebih dari itu, santet telah besentuhan mesra dengan kebudayaan tradisi di Indonesia, terutama musik.
Sayang, pikiran-pikiran jernih dalam memandang santet dalam sisi yang berbeda belum sepenuhnya muncul. Kita masih melihat santet dalam kisaran untung rugi, belum menelisik lebih jauh sebagai sebuah peristiwa budaya yang pada ruang-ruang tertentu kehadirannya masih sangat dibutuhkan. Kajian tentang santet memang masih jarang dilakukan, tak lain karena aktivitas itu bersentuhan dengan sesuatu yang di luar nalar. Namun melihat medium, alat dan syarat yang digunakan adalah simbol-simbol penting kebudayaan yang saat ini sayup-sayup semakin tak mampu lagi dijumpai. Santet adalah peristiwa budaya yang harusnya dapat dikaji dan dianalisis dengan mendudukkan pelaku sebagai subjek kajian. Lucunya, para pejabat Senayan justru harus belajar mengenal santet di Nusantara dengan berkunjung ke dunia penuh logika (Eropa).
Saran Saya, berkunjunglah para pejabat DPR ke daerah-daerah basis ritus itu diberlangsungkan. Maka terminologi santet yang selama ini menghantui kita mungkin akan sedikit memudar. Karena niscaya di balik sisi negatif yang menyeruak, kita akan menemukan Indonesia di dalamnya. Dan harusnya tak usah repot-repot membuat undang-undang, karena urusan santet adalah urusan rasa bukan logika. Menikmati santet, saya justru tertarik dengan kelindan bunyi-bunyian sakral itu, senjata tradisional itu dan tentu saja bahasa tradisionalnya. Menarik kiranya jika simbol-simbol itu kita kaji dan dituangkan dalam analisis akademik yang lebih intelektual. Hal ini tentu akan lebih bermanfaat dari pada mencari sesuatu yang tak bisa digapai.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta 

Krumpyung Banyumas Pamit (dimuat di Suara Merdeka edisi 11 Maret 2013)


Krumpyung Banyumas Pamit 




Selama ini orang lebih mengenal angklung. Istrumen bambu itu telah diakui UNESCO sebagaiRepresentative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity (Daftar Representatif Budaya Tak Benda Warisan Manusia). Angklung adalah alat musik dari Jawa Barat. Dengan diakuinya angklung secara tak langsung mengangkat denyut kesenian Jawa Barat semakin berdetak kencang. Lihatlah Saung Angklung Udjo yang saat ini begitu terkenal, menjadi transit para pelancong dalam agenda bisnis pariwisata daerah. Sementara itu, di balik ramainya musik bambu di Bandung tak berbanding manis dengan musik bambu di Banyumas Jawa Tengah.  
Saat mendampingi mahasiswa Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta (12/02/2013) melakukan perekaman musik-musik tradisi nusantara Banyumas sebagai bahan ajar, begitu miris hati ini kala menyaksikan pertunjukan musik bambu Krumpyung. Bentuknya hampir sama dengan instrumen angklung, hanya saja larasnya pentatonis (selendro) bukannya diatonis. Sebelumnya, musik itu tak pernah lagi dibunyikan selama lebih dari 25 tahun. Saat membunyikannya, beberapa pemain menyemai senyum, air mata dan ratapan bahagia. Banyak pelaku yang merasa sulit memainkan karena lupa, mencoba merekonstruksi kembali ingatan musikalnya. Mereka seolah disadarkan kembali akan memori indah masa silam, kala kejayaan instrumen bambu itu berkumandang di negeri para Ngapak.

Bambu
Kuwat dalam tulisannya berjudul Bongkel: Cikal Bakal Musik Bambu Banyumas (2003) memandang bahwa Krumpyung adalah instrumen khas Banyumas dan sekitarnya selain Calung dan Bongkel. Krumpyung mengguratkan kreativitas kebudayaan lokal. Bambu tak semata kayu, dibakar untuk mananak nasi, dipahat untuk mendirikan rumah. Bambu juga mampu berhubungan dengan nada dan harmoni. Masyarakat Banyumas menafsir bambu layaknya masyarakat Solo menafsir logam untuk gamelan. Bahkan, banyak yang beranggapan, usia musik bambu di Banyumas lebih tua daripada gamelan yang ada di Jawa (Kunts, 1973).
Musik Krumpyung adalah wujud perayaan syukur terhadap kehidupan, terutama dalam budaya agraris. Musik ini dipersembahkan untuk Dewi Sri, dewi padi yang senantiasa memberi anugerah panen berlimpah. Krumpyung tak sekedar alat musik. Darinya juga berisi timbunan mitos, kisah dan imajinasi budaya Panginyongan. Membicarakan Banyumas berarti membicarakan bambu. Bambu adalah karakter dan indentitas. Ahmad Tohari lewat novelnya Ronggeng Dukuh Paruk (1982) tak semata berkisah tentang realitas ronggeng dan kehidupannya, namun juga musik. Ronggeng tak bisa dilepaskan dengan musik, dan musik itu adalah bambu. Kisah bambu adalah cerita tentang perjuangan dan eksistensi kebudayaan musik nusantara. Gempuran budaya baru dalam memperkenalkan teknologi dan varian instrumen musik yang dianggap lebih “moderen”, secara langsung menguji daya tahan musik bambu Banyumas termasuk Krumpyung.
Beberapa di antaranya telah kalah. Dan Krumpyung adalah salah satunya. Musik itu kini sayup-sayup tak lagi mengalun merdu, tak mampu bercengkrama mesra dengan kehidupan para petani di sawah. Musik itu perlahan tapi pasti pamit untuk mati. Krumpyung kemudian oleh para etnomusikolog dan peneliti musik telah digolongkan sebagai musik langka, purbawi yang kehidupannya memprihatinkan, kalau tak boleh dibilang segera punah. Hampir semua para pemainnya berusia lanjut, tak ada regenerasi penerus, apalagi anak-anak muda. Musik ini mengalami kebangkrutan eksistensi. Tak semua orang mampu memainkannya karena membutuhkan daya virtuositas yang tinggi. Jika para pemain dengan usia yang senja itu telah tiada, maka akan putus juga denyut kehidupan musik ini.
Tak hanya musik Krumpyung, hal senada juga terjadi pada musik bambu lain seperti Gondoliyo Banyumas. Sama-sama sedang menghadapi masalah serupa, kematian. Di sisi lain, perhatian pemerintah tak begitu nampak. Banyak anak muda yang tak lagi mampu mengenali musik-musik bambu daerahnya. Krumpyung menjadi suara dari benturan bunyi yang kalah. Persoalannya kemudian, jika Bandung mampu mengangkat musik angklung, kenapa Banyumas kesulitan mengangkat musik serupa dengan ciri khas yang lebih unik dan tipikal.
Kenapa saya sebut demikian? Jika musik angklung di Bandung lebih kental dengan nuansa pengaruh musik Barat karena menggunakan tangga nada diatonis (do, re, mi), maka di Banyumas justru menggunakan tangga nada pentatonis (ro, lu, ma dan seterusnya). Tangga nada yang asli milik Banyumas dan Jawa pada umumnya. Sayangnya, penetapan angklung sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO tak disambut positif oleh pemerintah Banyumas. Sebuah momen yang terlewatkan. Bisa saja dengan diakuinya Angklung maka dengan segera pemerintah Banyumas mengaklamasikan dirinya sebagai “Kota Bambu”. Mencoba mengangkat kembali kesenian-kesenian musik bambu agar lebih mampu menampakkan jatidirinya secara lebih terbuka. Apalagi banyak forum-forum dan agenda internasional mengangkat bambu sebagai tema utama, seperti festival musik bambu, hari bambu dan lain sebagainya.

Kebersamaan
Bermain Krumpyung membutuhkan imajinasi untuk saling menghargai antar satu pemain dengan pemain lainnya. Ibarat bermain gamelan, kebersamaan menjadi sangat penting. Konsep mad sinamadan(menghargai secara musikal) diterapkan. Tak ada permainan instrumen yang lebih menonjol dibandingkan dengan yang lain. Kerjasama dalam membentuk jalinan melodi adalah tak semata tanggung jawab satu pemain, namun semuanya. Konsep ini pula yang tertuang dalam konstruksi budaya Banyumasan sebagai budaya kerakyatan. Kesetaraan antara satu dengan yang lain adalah mutlak, sehingga tak ada unsur untuk merendahkan-meninggikan apalagi menindas.
Krumpyung dan juga musik bambu lainnya, dengan demikian adalah representasi dari kehidupan kultur masyarakat Banyumas. Dengan matinya musik bambu berarti pertanda mati pula sikap yang khas itu. bagaimanapun juga tongkat estafet dalam pelestarian musik bambu harus terus bergulir. Tak cukup dengan hanya melihat dan kemudian meratapi kematiannya. Apa yang dilakukan oleh Institusi Pendidikan Tinggi Seni semacam ISI hanyalah secuil dari sumbangan besar yang dapat kita berikan untuk kesenian ini. Perekaman musik langka itu dilakukan sebagai dokumentasi dan bukti penting bahwa musik tersebut pernah tumbuh dan berkembang. Setidaknya mengingatkan kita bagaimana kebudayaan Banyumas begitu kaya akan kreativitas olahan bambunya.
Krumpyung mengajak kita untuk kembali berkontemplasi akan nasib kebudayaan musik nusantara yang selama ini kita bangun dengan titian doa dan ritus sakral. Akankan budaya yang agung itu harus hilang tak berbekas, tak ada tangis dan sesal. Waktu belum sepenuhnya terlambat, curahan perhatian dan konservasi serta pengembangan masih sangat memungkinkan untuk dilakukan. Pertanyaannya kemudian, maukah kita sekilas saja memikirkan dan melakukan hal itu?

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Matinya Para Perempuan Penembang (dimuat di Koran Joglosemar, 8 Maret 2013)


Matinya Para Perempuan Penembang



Kala malam tiba, anak-anak menangis karena gelap. Takut jika bayangan hantu-hantu yang menakutkan itu muncul menemuinya. Perempuan itu, yang juga seorang ibu berulang kali dipanggil. Sesaat kemudian ia mengusir hantu-hantu itu dengan lantunan tembangnya, mengalun merdu. Membuat sang anak lebih nyaman dan tak berselang lama tertidur lelap. Kisah-kisah para perempuan penembang itu yang saat ini hanya menjadi mitos. Kelindan lagu-lagu yang dibawakannya kini tak tampak lagi. Semakin lama semakin sayup tergantikan dengan digit-digit handphone, laptop, tablet, blackberry, playstation, televisi dan lain sebagainya. Padahal, tembang-tembang malam banyak mengguratkan narasi kultural, tentang identitas, gender dan eksotisme kebudayaan lokal.

Perempuan Penembang
Perempuan dianggap sebagai makhluk asing di dunia ini. Apapun tentangnya seolah harus selalu diwacanakan kepada publik, tentang emansipasi, kesetaraan gender, profesi, lingkungan, sosial, status dan lain sebagainya. Tak mengherankan kemudian banyak media cetak maupun elektronik mencantumkan kolom dan edisi  khusus perempuan. Pada konteks ini perempuan menjadi manusia yang tiada habis diulas, dibahas dan dijelaskan. Bahkan duniapun membuat hari khusus perempuan yang dirayakan setiap tanggal delapan maret. Yang paling menonjol, sejak emansipasi digulirkan oleh Kartini, adalah wacana dalam mengangkat harkat dan martabatnya. Perempuan tangguh di masa kini adalah mereka yang memegang dominasi penting dalam kehidupan. Perempuan dianggap hebat jika perannya mampu melampaui, menggusur eksistensi dan prestasi yang selama ini dipegang oleh laki-laki. Dari seorang dokter, pengusaha sukses, pejabat hingga politikus. Emansipasi masa kini kemudian meniadakan kehadiran perempuan sebagai seorang ibu.
Ibu sebagai kodrat alami perempuan mulai tertepikan oleh berbagai godaan profesi. Perempuan butuh eksisensi dan pengakuan status. Ia ingin dikenang bukan atas keberhasilannya menjadi seorang ibu yang baik, namun keberhasilannya dalam pencapaian berbagai prestasi sosial dan politik yang disandangnya. Anak-anak masa kini kemudian kehilangan sentuhan suara dan belaiannya. Dendang-dendang malam seorang ibu dalam menghantarkan sang anak menuju peraduan tidurnya sudah tak mampu lagi terdengar lantang. Ibu di abad dua satu malu untuk menembang.
Hal yang paling hakiki menyangkut dialek budaya terjadi dalam sebuah kamar penuh imajinasi. Kala sang anak banyak mengandaikan arti dari kalimat ibu yang keluar lewat tembang-tembang sakralnya. Darinya tertuang simbol-simbol yang hanya mampu dimengerti antara ibu dan sang anak. Cerita tembang tak melulu harus berhubungan dengan gamelan dalam balutan nada-nada pentatonik (selendro dan pelog). Tembang malam bisa saja di luar kontrol nada yang selama ini kita kenal. Beberapa di antaranya bahkan terasa sumbang dan falsh, namun toh mampu membuat sang anak menyemai mimpi. Secara tak langsung, dentum dekonstruksi makna musik telah digelar. Musik bukan semata urusan nada dan harmoni, musik adalah bahasa.
Bahasa tembang adalah bahasa imajinasi. Beban-beban kultural yang selama ini berganyut lewat bunyi dan plot cerita tembang kemudian harus dibebesakan. Lewat tembang itu, sang ibu berusaha membuat musiknya sendiri. Terlihat sederhana memang. Namun apa yang dilakukannya lewat tembang adalah alam imajiner yang akan senantiasa dikenang oleh anak hingga dirinya dewasa. Tema kadang berisi tentang narasi-narasi kultural. Tentang budi, pendidikan, kedewasaan, kejujuran dan kesantunan hidup. Oleh sang perempuan penambang, dendang itu tak berdiri sendiri, adakalanya bergandeng mesra dengan dongeng-dongeng. Ibu menjadi perempuan musisi dan sekaligus sastrawan dengan penggemar yang senantiasa menanti setiap malam (Faisal Komandobat, 2007).
Kini peran perempuan penembang dianggap sebagai profesi yang mengkebiri peran wanita. Laku kerja itu dianggap erat bersentuhan dengan bingkai dapur dan kamar. Menempatkan sosok perempuan hanya sebatas pelayan. Padahal kodrat yang diemban sebagai sosok penembang kadang lebih berat dari berbagai macam profesi yang ada di dunia. Perempuan penembang adalah profesi paling hakiki dalam membentuk, mencipta dan mengkonstruksi nalar berfikir manusia di dunia.
Lewat perempuan penembang, jejak-jejak nyanyian itu tergambar di setiap daerah. Bahkan di antaranya memiliki keunikan tersendiri, baik bahasa, pelaguan maupun cara menyanyikannya. Usaha membumikan bahasa daerah yang selama ini hanya didengung-dengungkan lewat tembok-tembok sekolah, justru dapat dengan lentur menampakkan jati dirinya lewat tembang-tembang malam pengantar tidur. Perempuan penembang adalah katalisator yang tak semata mempertautkan pertalian antara ibu dan anak, namun juga menyuarakan identitas kultural.

Bahasa Perempuan
Bahasa ibu beberapa waktu lalu dirayakan secara internasional (21 Februari). Berusaha mengembalikan bahasa-bahasa daerah kepangkuan kodratnya, tak terkecuali juga bahasa nasional. Pemaknaan yang diberikan hanya sebatas kepentingan diksi dalam imaji ketakutan agar bahasa itu tak punah. Bahasa ibu adakalanya juga menjadi penting untuk diartikan secara literal, yakni bahasa yang dibentuk dan dikonstruksi oleh sosok ibu –perempuan-. Lewat bahasa yang keluar dari ibu, adalah medan tempat bergumulnya berbagai macam kisah positif, dan tembang menjadi salah satu bagian pentingnya.
Lewat tembang-tembang yang dibangun itu, suasana seolah menjadi cair dan  nyaman. Memecahkan kebuntuan dalam membangun hubungan emosi personal. Bait-bait dendang nada yang keluar menjadi tiran bagi sang anak untuk memetik nilai-nilai positif. Pada titik ini, tembang merubah diri laksana alas atau pijakan yang membawa anak untuk memapah diri dan pikiran. Tembang-tembang bermunculan bagai kunang-kunang yang menyinari gelap malam. Kerinduan terbesar bagi anak kala dirinya tumbuh dewasa adalah lantunan nada yang sederhana itu. Simbol kasih tiada batas.
Namun sayang, tembang-tembang malam itu kini telah tergantikan dengan visualisasi benda mati. Peran perempuan sebagai ibu tergantingan dengan kuasa teknologi. Anak-anak tak lagi mampu mengenal ibunya dengan lebih dekat. Ibu hanya menjadi simbol atas legalitas status bagi perempuan masa kini, sementara peran dan fungsinya telah mengalami kebangkrutan eksistensi. Selebrasi hari perempuan dan bahasa ibu internasional kemudian menjadi satir atas peran perempuan di kamar imajiner sang anak.
Anak-anak masa kini lebih mengenal penembang dengan ujudnya yang lain, berupa artis-artis yang muncul lewat layar kaca dan sejenisnya. Ibu tak mampu menjadi artis perempuan dan penyanyi idaman bagi anaknya. Beberapa waktu di Solo menggelar lomba tembang pengantar tidur bagi anak. Kebanyakan peserta bukanlah seorang ibu, namun penyanyi dengan keahlian suaranya yang tak diragukan lagi. Perempuan-perempuan masa kini merasa malu untuk menjadi ibu penembang, namun dengan lantang mengukuhkan dan menyuarakan identitas profesi perstisius yang dijabatnya.
Hari perempuan dan bahasa ibu internasional yang beberapa waktu lalu berlangsung sudah selayaknya digunakan sebagai momentum untuk kontemplasi, menghidupkan detak dan denyut suara perempuan sebagai ibu lewat titian tembang-tembang merdunya. Kembalikan suara itu lewat tangan dan sentuhan kreatif seorang perempuan.


Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta 

Akademis Tanpa Budaya Menulis (dimuat di Koran Solopos 7 Maret 2013)


Akademis Tanpa Budaya Menulis



Beberapa waktu yang lalu, Gigih Wiyono lewat tulisannya “Kritik Alumnus Untuk ISI Solo” di harian ini (27/02) mengkritik dengan keras pengajar di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Menurutnya, kualitas karya para dosen yang dipamerkan tak jauh beda dengan karya mahasiswa semester awal. Gigih membuncahkan kritik atas dasar pengamatannya pada pameran seni rupa ISI Surakarta di Taman Budaya Surakarta (TBS) beberapa hari sebelumnya. Berangkat dari peristiwa itulah gigih dapat dengan leluasa masuk pada persoalan lain, walaupun agak keluar konteks, seperti manajemen kampus, Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) dan lain sebagainya. Namun apapun itu, menjadi catatan penting dan sekaligus koreksi berharga bagi ISI Solo dalam menata dan memperbaiki diri.
Tak hanya tulisan Gigih saja yang menjadi satu-satunya ulasan kritik bagi kampus seni negeri di Jawa Tengah itu. Beberapa bulan sebulumnya, muncul keluhan oleh masyarakat di media ini bahwa banyak pengajar di Pascasarjana yang tidak kompeten. Para dosen pengajarnya sudah terlalu tua, sementara banyak dosen muda kompeten tidak dilibatkan. Semua menjadi cambuk, sekaligus tauladan berharga bagaimana publik telah menunjukkan sikapnya pada institusi ini. Namun demikian, pertanyaan yang cukup mengganjal, sejauh mana ISI Solo menghadapi berbagai kritik itu? Sudahkan ISI Solo berbenah dan membuat klarifikasi serta menggunakan hak jawab atas kritik-kritik yang bermunculan?

Anti Kritik
ISI Solo agaknya belum terbiasa dalam menghadapi kritik. Bahkan konon, pendidikan tinggi seni ini dikenal dengan sebutan “bebal kritik” alias muka besi. Bukan diksi atau julukan yang asal muncul memang. Alasannya, sejak banyak kritik yang muncul di media, belum sekalipun ISI Solo (yang diwakili oleh pihak atau pejabat berwenang) mengklarifikasi dan menanggapi atas segala persoalan itu. Terkesan mendiamkan. Sampai pada titik ini, masyarakat berkesimpulan bahwa kritik yang dilontarkan kemudian menjadi satu-satunya kebenaran tunggal. Seolah-olah memang demikianlah keadaannya. Walaupun dari hasil penelusuran investigasi yang dilakukan penulis, tidak semua kritik yang terlontar itu seratus persen benar. Ada beberapa di antaranya yang bermaksud untuk menghakimi.
Namun demikian pada konteks ini saya tidak akan mengklarifikasi atau berusaha memberi sanggahan dan tanggapan atas kritik-kritik yang sebelumnya bermunculan dan bayak termuat di media. Saya di tulisan ini hanya akan menyoroti bagaimana budaya mengklarifikasi, menjawab, dan memberikan pandangan lain adalah sebuah keniscayaan penting bagi institusi pendidikan yang berada dalam arus pusaran kritik atas dirinya. Kritik memang tak harus ditanggapi. Namun masyarakat memerlukan informasi sejauh mana ISI Solo telah berproses dan melakukan pembenahan diri atas umpan kritik itu. Apalagi, jika kritik-kritik yang ada sudah tak lagi sehat dan jernih. Mengandung maksud tertentu untuk menjatuhkan, menghujat, mengolok-olok serta merendahkan. Di titik ini lembaga terkait hukumnya wajib untuk memberikan alternatif jalan tengah, agar kritik yang ada tidak lagi timpang.
Sebuah lembaga atau institusi tidak boleh anti kritik. Apalagi dengan memusuhi dan menghakimi kritikus. Justru sebaliknya, institusi apapun itu akan menjadi besar ketika mampu mengakomodasi medan kritik dengan bijak dan memberikan jawaban komprehensif atas wacana yang sedang berkembang dan diperdebatkan. Anti pati terhadap kritik akan membunuh diri sendiri secara pelan-pelan. Keseimbangan memang harus dibutuhkan, sebuah lembaga besar harus disertai dengan kontrol yang baik (kritikus). Keduanya ibarat dua kutub medan magnet, berlawanan namun bersenyawa.
Sayangnya, keterbukaan infomasi dan budaya bertarung lewat kritik (terutama di ruang media) belum menjadi sebuah budaya di ISI Solo. Akibatnya dari berbagai kritik yang ada, institusi ini justru terkesan mengamini. Sementara untuk menanggapi ulasan kritik di media berarti harus mengenal lebih dekat media massa. Ironisnys, banyak kaum intelektual berpandangan, menulis di media massa adalah kerja tak berpamrih di balik ingar-bingar berbagai proyek (penelitian, pengajaran, pengabdian) yang ada. Karenanya, tak banyak civitas kampus ISI yang dengan tekun menyumbangkan gagasan dan pemikirannya lewat media. Kalupun ada, jumlahnya sangat terbatas, dan sosoknya hanya itu-itu saja. Hal ini yang melatar belakangi kenapa segala kritik yang ada seolah dibiarkan dan didiamkan, hingga akhirnya menjadi kebenaran tunggal. Hubungan dengan media masih dianggap tabu.

Menulis di Media
Ada kisah menarik. Beberapa mahasiswa fakultas seni pertunjukan ISI Solo menjalin kerja sama dengan salah satu media lokal setempat. Artikel mahasiswa akan diterbitkan secara berkala setiap dua minggu sekali. Hal ini disambut positif oleh mahasiswa yang terlibat, walaupun dari aktifitas menulis itu mereka tak pernah mendapatkan upah, hanya jejak artikelnya terkomunikasikan pada publik. Pada suatu waktu, dua orang peneliti media dari Solo dan Semarang menggunakan mereka sebagai subjek penelitian, kaitannya dengan aktivitas menulis di media massa. Saat tiba pada satu pertanyaan, apa penghargaan yang diberikan kampus ISI Solo atas aktivitas anda ini? Mahasiswa menjadi binggung, karena sejauh yang mereka mengerti, kampus tak pernah memberikan apapun pada mereka.
Kemudian, berceritalah peneliti itu, bahwa dikampus lain, setiap mahasiswa yang mampu dengan baik menulis di media massa dan menyertakan nama institusi, maka kampus akan memberikan penghargaan. Tak penting seberapa besar dan tingginya penghargaan itu. Namun, setidaknya kampus telah memberikan perhatian lebih pada mahasiswa yang turut “mengiklankan” dan sekaligus “mengharumkan” nama kampus pada publik. Sampai di sini, mahasiswa penulis dari ISI menanyakan pada pejabat yang bersangkutan. Namun sayang, jawaban yang didapat tidaklah memuaskan. Intinya, kampus lebih memberikan perhatian pada ruang-ruang kreatif dalam bentuk praktik (menari, bermusik, mendalang, berteater) dibandingkan dengan menulis di media.
Aktifitas menulis di media dikebiri. Tidak dianggap sebagai laku kerja yang positif. ISI Solo dalam rentang sejarahnya memang dibangun dari kuatnya aktivitas laku otot dan tubuh dibanding laku otak dan pena. Seniman-seniman handal bermunculan, terkenal dan mendunia. Namun sayang, miskin penulis (media), apalagi melahirkan kritikus seni. Tolok ukurnya, sejak pertama kali media ini (Solopos) membuka kolom opini mahasiswa –Mimbar Mahasiswa-,  hanya Purnawan Andra (mahasiswa Jurusan tari kala itu) yang tercatat sebagai satu-satunya mahasiswa ISI Solo yang pernah menulis di media massa. Ironis memang, namun demikianlah keadaannya. Oleh karena itu, jangan heran kemudian jika kritik di media massa hanya akan menjadi angin lalu, karena memang kebutuhan atas fungsi media belum atau bahkan tidak dianggap penting.
Padahal media massa memiliki peran positif dalam mengkomunikaksikan dan mendekatkan ISI Solo dengan publik. Sudah selayaknya budaya menulis (media) ditumbuhkan dan menjadi aktivitas penting dalam denyut berkesenian. Bertarung gagasan lewat ruang media adalah juga kerja intelektual, bukan sesuatu yang tanpa hasil. Publiklah yang akan menilai, mana yang benar dan salah, atas dasar apologi dan bukti-bukti yang diketengahkan. Tak cukup dengan hanya ngrasani atau nggrundel apalagi nggondhok di belakang. Menyikapi kritik di media adalah dengan menulis di media, tidak di luar itu. Karenanya, tanggap terhadap persoalan di media adalah dengan membangun aktivitas yang erat bersentuhan dengan media, termasuk kritik. Semoga saja ISI Solo tidak bebal kritik. Amiin..


Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Solo

Pengikut