Perempuan, Harta dan Kuasa
Seks adalah pengubah sejarah paling tua dalam peradaban manusia.
Begitulah kata Michael Foucault (1926-1984), filsuf Prancis, yang
memandang bahwa fenomena kekuasaan dan perempuan akan senantiasa saling
mengintervensi, tak dapat dipisahkan.
Seksualitas perempuan
menjelma sebagai simbol legitimasi atas keperkasaan seorang lelaki.
Serapat apa pun selambu seksualitas itu ditutup, kehadirannya selalu
akan dirayakan secara terbuka. Sejarah kekuasaan berarti sejarah
seksualitas dan perempuan.
Ahmad Fathanah, misalnya, yang dalam
beberapa hari ini menjadi perbincangan di berbagai media, adalah satu
dari sekian banyak lelaki berharta dan berkuasa yang tak bisa lepas dari
pengaruh perempuan. Telisik lain akan hal tersebut dapat dilakukan
dengan mengamati sejarah legitimasi para penguasa dan raja-raja di
Nusantara, terutama Jawa.
Kenyataan yang tak bisa ditiadakan bahwa
dengan berkuasanya seorang laki-laki maka senantiasa diikuti dengan
laku seksualitas yang meningkat. Terkait hal itu, Foucault lewat
tulisannya yang berjudul The History of Sexuality (1976) telah meneliti secara terinci dengan menelaah arsip-arsip kuno.
Foucault
menemukan bagaimana kuasa dan perempuan yang dalam tradisi Victorian
abad XVIII di Inggris begitu direpresi dan dikontrol pemerintah dengan
amat ketat, justru mampu berbicara dengan fasih, bahwa semakin ia
ditekan dan direpresi dalam bilik-bilik pengantin serta aturan yang
ketat, namun kehausan lelaki akan perempuan-perempuan lain semakin
memperlihatkan kuasanya.
Kecenderungan ini hingga saat ini masih
dapat kita lihat dalam jejak kaum politisi (berharta-bertakhta)
mutakhir. Apa yang ditemukan Foucault melahirkan kesimpulan yang
”alogika”, bertentangan dengan cita-cita kenyataan hidup. Dikisahkan,
demi impian hidup yang ideal, jejak langkah laki-laki dalam memiliki
banyak perempuan diatur dan dipersempit ruang geraknya.
Undang-undang
dibuat, aturan diterapkan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya,
seksualitas semakin dirayakan, berkeliaran, menyebar dalam berbagai
siasat rupa dan bentuk. Perbincangan tentang ”kepemilikan” perempuan
lain seolah menyesaki dan menemukan pembebasannya di wilayah dan ruang
publik.
Lebih jauh lagi, sebenarnya telisik tema-tema yang
mempertontonkan erotika perempuan untuk dapat dinikmati banyak kaum Adam
telah mengakar dan menjadi warna cukup pekat dalam bingkai khazanah
seni tradisi kita. Di Bali terdapat joget bumbung, di Jawa Barat
terdapat jaipong, di Banyumas terdapat ronggeng, di Jawa Timur terdapat
tayuban atau candoleng-doleng di Makassar. Semua mencoba mengekspresikan
lekuk seksualitas ketubuhan perempuan untuk dinikmati oleh mata-mata
nakal lelaki.
Bahkan di momen yang lebih lampau, pengumbaran
seksualitas perempuan telah terekam jelas lewat ritus-ritus candi. Lihat
Candi Sukuh di Jawa Tengah dan Datonta di Bali. Hasrat memiliki banyak
perempuan mencoba dirayakan namun di momen tertentu juga dirumahkan.
Perlahan tapi pasti, manusia membuat aturan berupa norma-norma yang
menarasikan bahwa semakin banyak menguasai perempuan berarti semakin
dekat dengan keruntuhan kuasa moral.
Nafsu dan moralitas adalah dua kutub magnet berlawanan, selalu hadir untuk saling mengontrol dan dikontrol. Kitab Kamasutra
yang awalnya dibredel atas nama moralitas, kemudian menjadi buku
terbajak paling laris di dunia atas nama nafsu. Laki-laki penguasa
seolah malu tapi mau mengakui bahwa seksualitas perempuan adalah
hidangan menggiurkan berupa ekstase kenikmatan duniawi.
Kisah
raja-raja di Jawa, misalnya, tak semata bernarasikan sejarah perang,
namun juga perempuan. Tak ada dentum cerita yang tak melukiskan raja
sebagai sosok pria perkasa, beristri lebih dari satu. Penguasa memiliki
dua kelengkapan penting untuk menarik hati perempuan, berupa harta dan
kuasa.
Perempuan dengan makna seksualitas yang dimilikinya adalah
simbol kejantanan bagi laki-laki. Semakin banyak perempuan di
sampingnya, semakin agung derajat kekuasaannya. Jejak cerita dengan
jelas dilukiskan kitab Mahabarata, kala Arjuna menjadi simbol laki-laki ”sejati-perkasa” dalam jagad pewayangan.
Namun,
Arjuna tak berbadan kekar seperti Bima. Arjuna justru bertubuh
langsing, gerak-geriknya cenderung feminin menyerupai perempuan, kalau
tak boleh dibilang banci. Tapi, itu adalah muara dari apa yang disebut
”jantan dan maskulin”. Dengan demikian, superioritas laki-laki tak
dilihat dalam laku otot dan ketubuhan, namun jumlah atas ”kepemilikan”
perempuan.
Kausal
Perempuan di
satu sisi menjadi legitimasi dalam superioritas kekuasaan kelelakian,
namun di sisi lain juga teror bagi kehidupan penguasa. Kepemilikan
banyak perempuan tak dapat dirayakan dengan bebas seperti kisah raja dan
penguasa dulu kala. Erotika perempuan masa kini kemudian melenakan,
menjatuhkan kekuasaan.
Sebelum kisah Ahmah Fathanah, lihatlah
Bupati Garut Aceng Fikri dan Fani Oktora, atau saat anggota DPR menonton
film porno yang terekam kamera wartawan beberapa saat lalu. Atau simak
pula kasus video porno anggota DPR Yahya Zaini dan penyanyi dangdut
Maria Eva yang tersebar ke publik.
Jalan penguasaan pada kaum Hawa
kini berbanding terbalik dengan kisah sejarah seksualitas para
penguasa. Jika sebelumnya perempuan adalah simbol kebesaran kekuasaan,
hari ini hasrat memiliki banyak perempuan adalah musuh besar kekuasaan.
Masyarakat
sebagai juru pengadil kemudian mencoba melogikakan derajat ruang gerak
perempuan dan kekuasaan, yang dengan jelas tak mampu bersanding lagi.
Perempuan dan kekuasaan senantiasa bergandengan akan tetapi sebenarnya
justru saling menafikan. Bagi Muhammad Ilham (2009), logika kekuasaan
adalah logika discipline and punish; mengekang dan mengontrol.
Sebaliknya,
logika ”memiliki” perempuan adalah logika pemenuhan hasrat, mengumbar,
melepas, membebaskan dan membuncahkan. Mendamba banyak perempuan justru
menjadi ruang pembebasan dari beban dan tanggung jawab berat kerja
penguasa. Ekstase kebutuhan penguasa yang sebenarnya tak lagi menjadi
rahasia privat.
Di abad XXI kini, selambu tebal menutupi jejak
perjalanan seksualitas para penguasa. Seksualitas menjadi ironi dan
masalah krusial. Para penguasa dapat saja berkilah dan mencoba melawan
serta menolak pengisahan perempuan sebagai objek seksualitas. Namun,
dengan terbongkarnya satu demi satu peristiwa yang menarasikan hal itu,
seolah menandaskan bahwa penguasa juga memiliki keinginan, nafsu dan
hasrat untuk memiliki dan menguasai.
Pada titik ini, seksualitas
mampu meruntuhkan tatanan logika, membongkar nafsu politik dan
menjungkirbalikkan norma kehidupan. Dari fenomena beberapa kasus
penguasa di Indonesia, terjelaskan bahwa ambisi memiliki perempuan
seberapa pun ketatnya untuk dirumahkan, namun pada kesempatan-kesempatan
tertentu juga dirayakan.
Bagi penguasa mutakhir, kepemilikan
banyak perempuan adalah tolok ukur objektif dalam melihat hasrat dan
nafsu berahi untuk memiliki, melanggar norma dan mempermainkan etika
kehidupan. Dengan demikian seksualitas sejatinya tak semata hanya
fenomena ketubuhan perempuan namun juga imaji kekuasaan.
Ibarat dua
keping mata uang, tak mampu bertemu secara logika, namun dipersatukan
karena rasa. Rasa untuk menjadi penguasa seutuhnya layakya kisah-kisah
para raja. Penguasa yang keagungannya tak sekadar dinilai dari
elektabilitas, namun juga hasrat memiliki “tubuh” perempuan. Harta,
takhta dan perempuan.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
<photo id="1" />