Perempuan, Harta dan Kuasa (dimuat di Solopos 28 Mei 2013)

Perempuan, Harta dan Kuasa




Seks adalah pengubah sejarah paling tua dalam peradaban manusia. Begitulah kata Michael Foucault (1926-1984), filsuf Prancis, yang memandang bahwa fenomena kekuasaan dan perempuan akan senantiasa saling mengintervensi, tak dapat dipisahkan.
Seksualitas perempuan menjelma sebagai simbol legitimasi atas keperkasaan seorang lelaki. Serapat apa pun selambu seksualitas itu ditutup, kehadirannya selalu akan dirayakan secara terbuka. Sejarah kekuasaan berarti sejarah seksualitas dan perempuan.
Ahmad Fathanah, misalnya, yang dalam beberapa hari ini menjadi perbincangan di berbagai media, adalah satu dari sekian banyak lelaki berharta dan berkuasa yang tak bisa lepas dari pengaruh perempuan. Telisik lain akan hal tersebut dapat dilakukan dengan mengamati sejarah legitimasi para penguasa dan raja-raja di Nusantara, terutama Jawa.
Kenyataan yang tak bisa ditiadakan bahwa dengan berkuasanya seorang laki-laki maka senantiasa diikuti dengan laku seksualitas yang meningkat. Terkait hal itu, Foucault lewat tulisannya yang berjudul The History of Sexuality (1976) telah meneliti secara terinci dengan menelaah arsip-arsip kuno.
Foucault menemukan bagaimana kuasa dan perempuan yang dalam tradisi Victorian abad XVIII di Inggris begitu direpresi dan dikontrol pemerintah dengan amat ketat, justru mampu berbicara dengan fasih, bahwa semakin ia ditekan dan direpresi dalam bilik-bilik pengantin serta aturan yang ketat, namun kehausan lelaki akan perempuan-perempuan lain semakin memperlihatkan kuasanya.
Kecenderungan ini hingga saat ini masih dapat kita lihat dalam jejak kaum politisi (berharta-bertakhta) mutakhir. Apa yang ditemukan Foucault melahirkan kesimpulan yang ”alogika”, bertentangan dengan cita-cita kenyataan hidup. Dikisahkan, demi impian hidup yang ideal, jejak langkah laki-laki dalam memiliki banyak perempuan diatur dan dipersempit ruang geraknya.
Undang-undang dibuat, aturan diterapkan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, seksualitas semakin dirayakan, berkeliaran, menyebar dalam berbagai siasat rupa dan bentuk. Perbincangan tentang ”kepemilikan” perempuan lain seolah menyesaki dan menemukan pembebasannya di wilayah dan ruang publik.
Lebih jauh lagi, sebenarnya telisik tema-tema yang mempertontonkan erotika perempuan untuk dapat dinikmati banyak kaum Adam telah mengakar dan menjadi warna cukup pekat dalam bingkai khazanah seni tradisi kita. Di Bali terdapat joget bumbung, di Jawa Barat terdapat jaipong, di Banyumas terdapat ronggeng, di Jawa Timur terdapat tayuban atau candoleng-doleng di Makassar. Semua mencoba mengekspresikan lekuk seksualitas ketubuhan perempuan untuk dinikmati oleh mata-mata nakal lelaki.
Bahkan di momen yang lebih lampau, pengumbaran seksualitas perempuan telah terekam jelas lewat ritus-ritus candi. Lihat Candi Sukuh di Jawa Tengah dan Datonta di Bali. Hasrat memiliki banyak perempuan mencoba dirayakan namun di momen tertentu juga dirumahkan. Perlahan tapi pasti, manusia membuat aturan berupa norma-norma yang menarasikan bahwa semakin banyak menguasai perempuan berarti semakin dekat dengan keruntuhan kuasa moral.
Nafsu dan moralitas adalah dua kutub magnet berlawanan, selalu hadir untuk saling mengontrol dan dikontrol. Kitab Kamasutra yang awalnya dibredel atas nama moralitas, kemudian menjadi buku terbajak paling laris di dunia atas nama nafsu. Laki-laki penguasa seolah malu tapi mau mengakui bahwa seksualitas perempuan adalah hidangan menggiurkan berupa ekstase kenikmatan duniawi.
Kisah raja-raja di Jawa, misalnya, tak semata bernarasikan sejarah perang, namun juga perempuan. Tak ada dentum cerita yang tak melukiskan raja sebagai sosok pria perkasa, beristri lebih dari satu. Penguasa memiliki dua kelengkapan penting untuk menarik hati perempuan, berupa harta dan kuasa.
Perempuan dengan makna seksualitas yang dimilikinya adalah simbol kejantanan bagi laki-laki. Semakin banyak perempuan di sampingnya, semakin agung derajat kekuasaannya. Jejak cerita dengan jelas dilukiskan kitab Mahabarata, kala Arjuna menjadi simbol laki-laki ”sejati-perkasa” dalam jagad pewayangan.
Namun, Arjuna tak berbadan kekar seperti Bima. Arjuna justru bertubuh langsing, gerak-geriknya cenderung feminin menyerupai perempuan, kalau tak boleh dibilang banci. Tapi, itu adalah muara dari apa yang disebut ”jantan dan maskulin”. Dengan demikian, superioritas laki-laki tak dilihat dalam laku otot dan ketubuhan, namun jumlah atas ”kepemilikan” perempuan.

Kausal
Perempuan di satu sisi menjadi legitimasi dalam superioritas kekuasaan kelelakian, namun di sisi lain juga teror bagi kehidupan penguasa. Kepemilikan banyak perempuan tak dapat dirayakan dengan bebas seperti kisah raja dan penguasa dulu kala. Erotika perempuan masa kini kemudian melenakan, menjatuhkan kekuasaan.
Sebelum kisah Ahmah Fathanah, lihatlah Bupati Garut Aceng Fikri dan Fani Oktora, atau saat anggota DPR menonton film porno yang terekam kamera wartawan beberapa saat lalu. Atau simak pula kasus video porno anggota DPR Yahya Zaini dan penyanyi dangdut Maria Eva yang tersebar ke publik.
Jalan penguasaan pada kaum Hawa kini berbanding terbalik dengan kisah sejarah seksualitas para penguasa. Jika sebelumnya perempuan adalah simbol kebesaran kekuasaan, hari ini hasrat memiliki banyak perempuan adalah musuh besar kekuasaan.
Masyarakat sebagai juru pengadil kemudian mencoba melogikakan derajat ruang gerak perempuan dan kekuasaan, yang dengan jelas tak mampu bersanding lagi. Perempuan dan kekuasaan senantiasa bergandengan akan tetapi sebenarnya justru saling menafikan. Bagi Muhammad Ilham (2009), logika kekuasaan adalah logika discipline and punish; mengekang dan mengontrol.
Sebaliknya, logika ”memiliki” perempuan adalah logika pemenuhan hasrat, mengumbar, melepas, membebaskan dan membuncahkan. Mendamba banyak perempuan justru menjadi ruang pembebasan dari beban dan tanggung jawab berat kerja penguasa. Ekstase kebutuhan penguasa yang sebenarnya tak lagi menjadi rahasia privat.
Di abad XXI kini, selambu tebal menutupi jejak perjalanan seksualitas para penguasa. Seksualitas menjadi ironi dan masalah krusial. Para penguasa dapat saja berkilah dan mencoba melawan serta menolak pengisahan perempuan sebagai objek seksualitas. Namun, dengan terbongkarnya satu demi satu peristiwa yang menarasikan hal itu, seolah menandaskan bahwa penguasa juga memiliki keinginan, nafsu dan hasrat untuk memiliki dan menguasai.
Pada titik ini, seksualitas mampu meruntuhkan tatanan logika, membongkar nafsu politik dan menjungkirbalikkan norma kehidupan. Dari fenomena beberapa kasus penguasa di Indonesia, terjelaskan bahwa ambisi memiliki perempuan seberapa pun ketatnya untuk dirumahkan, namun pada kesempatan-kesempatan tertentu juga dirayakan.
Bagi penguasa mutakhir, kepemilikan banyak perempuan adalah tolok ukur objektif dalam melihat hasrat dan nafsu berahi untuk memiliki, melanggar norma dan mempermainkan etika kehidupan. Dengan demikian seksualitas sejatinya tak semata hanya fenomena ketubuhan perempuan namun juga imaji kekuasaan.
Ibarat dua keping mata uang, tak mampu bertemu secara logika, namun dipersatukan karena rasa. Rasa untuk menjadi penguasa seutuhnya layakya kisah-kisah para raja. Penguasa yang keagungannya tak sekadar dinilai dari elektabilitas, namun juga hasrat memiliki “tubuh”  perempuan. Harta, takhta dan perempuan.



Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
 
<photo id="1" />

Konsep Budaya Calon Pemimpin Jawa Tengah (dimuat di Koran Joglosemar 22 Mei 2013)


Konsep Budaya Calon Pemimpin Jawa Tengah


Jalan-jalan desa dan kota di Jawa Tengah dihiasi dengan poster bergambar foto para calon gubernur. Di poster itu pelbagai konsep, visi-misi para calon dituliskan. Masyarakat menjadi pembaca yang setia, qatam akan janji politik dan mungkin juga kelak akan pengingkarannya. Jawa Tengah memang sedang berpesta politik, Pemilukada di depan mata. Namun sudah dapat ditebak, konsep kampanye para calon hanya berisi tentang tamsil puitik politik dan ekonomi. Selebihnya, tak dijumpai goresan visi yang berbasis budaya.

Merubah
Kilas Balik, dalam kampanyenya kala itu, Gubernur Jakarta saat ini, Joko Widodo berjanji akan merubah wajah Jakarta menjadi lebih bercitra Betawi. Beberapa kebijakan akan di buat, semisal memunculkan icon Betawi di rumah, mall dan pasar serta perkantoran. Pegawai Negeri Sipil (PNS) diwajibkan berseragam Betawi pada hari-hari tertentu. Dan hal itu ia buktikan kala terpilih. Jokowi memiliki visi budaya yang jelas dalam memoles wajah Jakarta untuk kembali ke habitus akar tradisinya. Pertanyaannya kemudian sejauh mana visi budaya yang ditorehkan para calon pemimpin tertinggi di Jawa Tengah?
Ingar-bingar pesta demokrasi hanya diisi dengan ritus politik semata, mengabaikan selebrasi kebudayaan. Janji-janji manis diucapkan seolah pertanda keberpihakan pada rakyat. Tak korupsi dan memajukan perekonomian adalah tema yang senantiasa didengung-dengungkan. Masyarakat tentu sudah mafhum tentang kata-kata yang puitis itu. Namun, tak ada tolok ukur sejauh mana janji itu akan ditepati. Sementara di sisi lain, pelbagai pengingkaran seringkali dilakukan. Tak sedikit pemimpin daerah yang terlibat korupsi dengan pelbagai kasus yang menjeratnya. Oleh karena itu, janji-janji manis yang terpajang di jalan raya itu kadang hanya menjadi teman pembacaan di kala jenuh melakukan perjalanan.
Ironisnya, banyak dijumpai pemimpin masa kini yang gegar budaya. Tak mengerti peta kondisi kultural rakyatnya. Otomatis, dalam menyelesaikan persoalan senantiasa menggunakan tolok ukur politik bahkan hitung-hitungan ekonomi. Kasus Ambon, Sampang, Mesuji misalnya, diselesaikan dengan perlawanan kekerasan, perebutan aset terkait untung rugi. Sementara pemimpin jarang berfikir untuk menyelesaikan persoalan yang bergejolak dengan pendekatan budaya, dengan dialog atau silaturahmi kultural dan pranata sosial misal.
Akibatnya, budaya kekerasan sering kali muncul dalam beberapa waktu terakhir. Terkait hal itu, Jokowi pernah mengingatkan pentingnya visi kultural pemimpin. Kala ia menjabat Wali Kota Solo, penggusuran pedagang pasar ia lakukan dengan konsep pawai budaya, bukan dengan senjata. Para pedagang merasa tersanjung, dibanggakan dan dihargai. Penggusuran berlangsung damai bahkan menjadi hiburan bagi masyarakat sekitar. Konsep kultural menjadi keniscayaan yang harus dimiliki setiap pemimpin.
Kebudayaan menjadi dasar terbentuknya manusia yang bermoral. Karenanya, dengan mengetahui kebudayaan masyarakat tertentu maka kita akan mampu mengenali lebih dekat tentang karakter dan stereotip yang dilekatkan. Kebudayaan menjadi falsafah penting dalam cara memimpin. Ingatan kita masih hangat kala Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu) menjadi motor penggerak politik Indonesia kala itu. Para pemimpin bangsa menyadari arti penting kebudayaan. Pendekatan budaya mampu membujuk hati rakyat dalam ruang keberpihakan. Kesenian termasuk salah satu hasil olah budaya yang sangat dimanfaatkan kehadirannya. Ludruk, Ketoprak, Wayang Wong, Wayang, Sastra, Musik dan lain sebagainya mencoba untuk direvitalisasi, dan diperpanjang denyut dan nafas hidupnya.
Seniman-seniman membuat karya unggulan dalam “mengampayekan” calon penguasa. Kesenian menjadi medium efektif guna menarik simpatisan. Bahkan Soeharto pernah menggagas lahirnya lakon-lakon wayang kulit yang mempresentasikan keagungan kekuasannya, lihatlah semisal Semar Mbabar Jati Diri. Kebudayaan menjadi ajang yang diperebutkan. Tak banyak janji manis yang digembar-gemborkan. Yang ada kemudian adalah kesungguhan dan bukti kapada publik, baik sebelum pesta demokrasi diberlangsungkan maupun sesudahnya. Sayang, para calon pemimpin masa kini cenderung instan dalam meraih hati simpatisan. Tak ada lagi proses dalam menyulut api budaya dengan menggerakkan motor-motor kesenian berbasis budaya. Yang terjadi kemudian panggung dangdut bertebaran. Selebrasi pesta politik diisi dengan goyangan, pamer paha dan dada.
Masyarakat berduyun-duyun datang. Bukan untuk menyaksikan wajah para calon pemimpin, ataupun mendengar orasi penting. Yang ada kemudian pemanjaan mata dan tubuh. Setelah pemilu usai dilangsungkan, tak ada lagi musik dan goyang. Kebudayaan dalam konteks ini hanya menjadi katalisator semata. Habis manis sepah tak lagi dikunyah. Kesenian haram untuk dijamah, tak lagi dibutuhkan. Lemahnya dalam memahami konsep kebudayaan menjadikan penguasa sebagai “pemimpin cepat saji”. Menyelesaikan segala persoalan dengan instan tanpa berfikir panjang untuk segala resiko dan kemungkinan dampak yang terjadi.

Kebudayaan
Masyarakat Jawa Tengah masih kuat dalam memegang habitus akar kebudayannya. Di sana-sini masih dijumpai ritus-ritus tradisi yang menghidupi ideologi si masyarakat pemilik. Oleh karena itu, memehami kebudayaan adalah tolok ukur objektif dalam melihat determinasi peradaban manusianya. Masyarakat tak melulu harus disuguhi dengan tontonan drama politik, namun juga hasil pengolahan kebudayaan yang baik. Menjaga antara satu etnis, agama dan golongan untuk hidup berdampingan secara harmonis. Pemimpin yang bijak adalah yang menghargai akan perbedaan itu. Bukan menjelek-jelekkan atau memihak salah satunya. Tentu kita masih ingat kala penguasa dengan gampangnya berujar bahwa Jaran Kepang adalah kesenian terjelek di dunia. Apapun alasannya, pernyataan itu tak dapat dibenarkan. Hal ini menunjukkan keroposnya konsep dalam memahami kebudayaan.
Citra pemimpin masa kini tak hanya dibangun dari penampilan namun juga pemikiran berbasis budaya. Lihatlah kala Soekarno melarang kebudayaan Barat masuk Indonesia. Atau Soeharto yang menggunakan wayang sebagai pencitraan atas sosoknya. Bahkan Gus Dur yang membebaskan kebudayaan Cina untuk menampakkan ujudnya kembali di nusantara secara bebas dan terbuka. Terlepas dari sisi negatif yang menyelimuti kebijakan para pemimpin besar itu. Namun satu hal yang dapat kita petik, bagaimana mereka memandang penting kekuatan budaya. Bagi mereka, kebudayaan bisa mengangkat derajad diri namun juga bisa menjatuhkan kekuasannya. Oleh karena itu, pemimpin terdahulu mahfum dalam menjaga dan mengendalikannya.
Pesta demokrasi Jawa Tengah sudah didepan mata. Masyarakat berhak memilih namun juga bernah menaruh sangkal dan curiga atas segala janji. Sejauh mana kita mengenal para calon itu, adalah sajuh mereka mencintai kebudayaan rakyat yang akan dipimpinnya. Tak ada hasil olah budaya yang jelak dan lebih baik. Semua setara, karena dibentuk dari karakter dan iklim yang berbeda sehingga mempresentasikan kekuatan dari masyarakat pemiliknya. Dengan mengetahui kesetaraan itu, tentu pemimpin akan bersikap bijak dan sama dalam memperlakukan rakyatnya. Selamat berpesta politik dan selamat menimbang, memilih dan akhirnya menentukan nasib.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Robohnya Kampung Kita (dimuat di Jawapos 19 Mei 2013)

Robohnya Kampung Kita


Judul buku                 : Kampung (Kota) Kita
Penyunting                 : Akhmad Ramdhon
Penerbit                       : Elmatera Yogyakarta
Cetakan                        : April 2013
Tebal                              : viii + 152 halaman
ISBN                               : 978-978-185-415-3

Pagar kini menghiasi rumah-rumah di kampung. Pagar tak semata menjadi pembatas antara pemilik rumah dengan orang lain. Namun, pagar telah menarasikan simbol kekayaan, kepemilikian, keangkuhan, kesendirian dan keamanan. Kampung beranjak menyulap dirinya menjadi lebih eksklusif. Mengakomodasi budaya kota yang konon disangka lebih maju dan modern. Pagar itu kemudian meniadakan komunikasi, tegur sapa, silaturahmi atau sekedar bincang-bincang gosip dengan tetangga sebelah rumah.
Buku berjudul Kampung (Kota) Kita  yang disunting oleh Akhmad Ramdhon seolah menjadi satir bagi kehidupan manusia Indonesia di abad ini, terutama bagi mereka yang menyebut dirinya tinggal di kampung. Ruang-ruang sebagai medan interaksi yang luas itu kini semakin sepi karena anak-anak telah larut dalam impian yang muluk terhadap budaya kota. Kampung menjadi sunyi dari deru nyanyian anak-anak yang bermain di malam hari. Tak ada lagi tembang-tembang malam pengantar tidur dengan senandung Macapat, Sinom, ataupun Dandanggula. Masyarakat kampung menjadi penggemar setia teknologi, memelototi televisi, bersorak ria dengan playstation, bediam sendiri di kamar dengan blackberry. Mereka menemukan ruang ekstase dengan hanya duduk berjam-jam di hadapan alat canggih itu.
Waktu kemudian menjadi semakin sempit. Masyarakat kampung memulai hidupnya dengan jadwal yang ketat. Skala waktu menjadi daya ukur untuk melakoni hidup sehingga semua terasa terburu-buru. Mendesak untuk segera melakukan apa yang harus dilakukan. Walaupun mungkin hanya sekedar up date status facebook dan twitter, nonton sinetron, gosip atau acara musik semata (hal. 7). Pagar pembatas rumah dan aktivitas yang terhimpit waktu itu seolah menghadirkan diri sebagai sebuah pribadi yang tunggal, tidak lagi jamak. Hal itu membentuk masyarakat kampung menjadi individualis, tak ada lagi momen kebersamaan. Akibatnya, konflik yang bertebaran tak bisa diselesaikan dengan musyawarah atau dialog mufakat karena tak lagi saling mengenal satu dengan yang lain. Kekerasan menjadi solusi yang paling ideal. Masyarakat senantiasa terancam kehidupannya. Pagar-pagar rumah semakin dipertebal dan ditinggikan, cctv dipasang disegala sudut, menyisakan ruang konflik yang penuh dengan semangat duel dan tak memberi kesempatan orang lain untuk menengahi.
Buku yang diabadikan dari hasil kuliah kerja lapangan mahasiswa Sosiologi Perkotaan Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) ini memberikan semangat baru bagi kaum muda masa kini. Lewat kata pengantar, disebutkan bahwa agenda menulis dan mendokumentasikan kampung oleh anak-anak muda menjadi penting guna meraba-raba kembali identitas mereka secara mental, psikis maupun ruang (hal.iv). Harapannya bisa mengobati amnesia dan keterasingan anak-anak muda masa kini dari asal-usulnya (kampung). Hal itu menjadi penting untuk membawa kembali memori dan imajinasi mereka akan kehidupan yang berbasis kampung yang sesungguhnya.

Telisik Kampung
Buku ini terdiri dari delapan bab. Hampir ke semua bab memetakan dengan detail kampung-kampung yang ada di Surakarta, di antaranya Jetis, Gremet, Jogopanjaran, Kratonan, Nayu Jenglik, Sangkrah dan Suromulyo. Setiap unsur kampung mencoba didokumentasikan. Mulai dari asal-usul nama, arsitektur, karangtaruna, ritus, yayasan, kegiatan warga hingga pelbagai mitos yang menyelimuti. Dokumentasi itu dilakukan sebagai bagian dari upaya menyelamatkan sejarah kampung. Tak dipungkiri memang, saat ini tak banyak yang bisa kita lakukan untuk menelisik terbentuknya sebuah kampung. Serbuan budaya populer merubah wajah kampung masa kini untuk menuruti impian akan imajinasi budaya kota.
Sementara di satu sisi, nama kampung diperjuangkan tiada habis. Pertikaian atas nama kampung banyak digelar. Merasa kampung yang didiaminya lebih baik dan kuat daripada kampung lainnya. Tapi di sisi lain, manusia kampung masa kini tak menyadari bahwa kampung yang dibela dengan bertaruh nyawa itu kini sejatinya tak lagi bisa disebut kampung. Memori kampung hanya terhenti dalam takaran nama. Sementara dalam takaran fisik dan pemaknaannya telah mengalami kebangkrutan. Karenanya, sulit dibedakan dengan jelas, mana yang kampung dan mana yang kota. Semua manjadi samar, karena dibangun dari impian dan imajinasi yang hampir sama.
Uniknya, dalam buku setebal 152 halaman ini juga memuat berbagai harapan mahasiswa untuk disematkan pada kampung-kampung yang menjadi sasaran penelitian mereka. Di Kampung Kratonan misalnya, ada kontradiksi yang terjadi. Pada zaman dahulu warganya hidup dengan damai, gotong royong dan kebersamaan menjadi hal yang tak pernah ditinggalkan. Namun untuk saat ini, hal itu sudah jarang sekali dijumpai. Di ending pembahasan, mahasiswa menyelipkan secuil harapan agar masyarakat Kampung Kratonan tetap menjaga sikap kekeluargaan di tengah-tengah perkembangan zaman yang menjadikan manusia lebih individualis (hal. 88). Menghindari konflik internal antar penghuni kampung dengan menumbuhkan sikap saling mengenal dan menghargai.
Satu kampung diulas secara mendalam oleh tujuh sampai delapan mahasiswa. Dengan mengetahui harapan-harapan mereka, seolah mengguratkan pesan kepedulian dan kecintaan segelintir generasi muda masa kini terhadap kampung. Hal ini sekaligus mendekonstruksi anggapan bahwa generasi muda kita telah abai pada habitus tradisi dan budaya. Kampung bagaimanapun juga telah mampu mencerminkan siapa kita sejatinya. Dari kampung manusia dibentuk. Kampung adalah jagat kecil yang mampu mempresentasikan jagat besar (makro).
Imajinasi tentang kampung tak hanya hidup dalam ruang kebendaannya secara fisik, namun juga pemaknaan. Memaknai kampung tentu tak melulu harus berupa rumah pedesaan yang berjejer rapi, ada gunung nampak dari kejauhan, di sekelilingnya mengalir air sungai yang jernih, ada kerbau di sawah yang sedang digembala oleh seorang anak. Namun, kampung juga menjadi pola pikir. Terkait dengan azas kekeluargaan, kebersamaan, saling menghargai, kerjabakti, tegur sapa, dan gotong royong dalam memecahkan suatu masalah. Sayangnya, kampung sebagai pola pikir semakin tak dapat dijumpai lagi. Akibatnya, kampung hanya menjadi bahan olok-olok, lelucon dan sindiran dengan memelintirnya menjadi “kampungan”, yang menarasikan kekunoan, kolot, katrok dan basi.
Buku Kampung (Kota) Kita kemudian menjadi cermin bagi manusia masa kini dalam melihat, mengukur, merawat dan memperlakukan kampung yang dimilikinya. Ke depan, buku ini dapat menjadi pijakan awal dalam menuliskan sejarah dan jejak-jejak kampung lain di Indonesia untuk dapat diceritakan pada anak dan cucu kelak. Dengan demikian, tulislah kampung anda segera, agar tak hilang tertelan waktu!

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Telisik Dewantara di Seni Tradisi (dimuat di Koran Joglosemar 11 Mei 2013)


Telisik Dewantara di Seni Tradisi



Momen Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei lalu merupakan sebuah ritus yang tak semata berbau seremoni dan selebrasi upacara. Namun lebih pada sebuah ruang kontemplasi, untuk kembali lagi menelisik jejak perjuangan Ki Hadjar Dewantara, bapak pendidikan yang tersohor itu. Namun sayang, seperti dikutip dari Koran Jakarta (4/5/2013), pendidikan di Indonesia saat ini jauh dari ajaran Ki Hadjar Dewantara. Kisah-kisah perjuangannya tak lagi banyak menjadi inspirasi dan ilham untuk munculnya ide serta gagasan baru bagi generasi sesudahnya. Kendati demikian, di bulan kelahirannya ini, pelbagai hal dapat digunakan sebagai medium dalam mengenangnya, tak terkecuali menelisik perjuangan yang disulutnya lewat kebudayaan, dan seni tradisi menjadi bagian terpentingnya.

Mesra Gamelan
Ia terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat pada 2 Mei 1889. Anak bangsawan di lingkungan Keraton Yogyakarta. Hidup dalam kepungan tembok istana menjadikan Soewardi erat bersentuhan dengan dunia kesenian, terutama Keraton. Kepekaannya tentang denting nada-nada gamelan setiap hari disuluh dalam pelbagai ritus dan keagungan upacara tradisi. Walaupun hidup dalam aliran darah biru, tak menjadikan Soerwardi besar kepala, apalagi mengeksklusifkan diri. Ia justru lebih tertarik bergaul dengan rakyat jelata daripada teman-teman bangsawan sebayanya. Titik pembuktian akan hal itu terjadi kala usianya menyentuh angka 40 tahun. Ia dengan sadar diri mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Perubahan nama yang tak mengandung harapan muluk, sekedar ingin merubah citra agar ia dipandang setara oleh kaum akar rumput di Indonesia.
Dewantara dianggap sebagai pribadi yang memiliki bekal intelektualitas mumpuni. Lahir dari keluarga terpandang mengharuskannya bersentuhan dengan dunia pendidikan. Hal yang sangat jarang dijumpai bagi kebanyakan manusia Indonesia kala itu. Ia kemudian tumbuh sebagai pemikir Indonesia. Pandangan-pandangannya digoreskan lewat pena di media cetak. Ia pernah menjadi wartawan di beberapa koran seperti Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia,  Kaoem Moeda,  Tjahaja Timoer dan  Poesara. Kecintaannya terhadap budaya tradisi mencetuskan gagasan-gagasan orisinil tentang bagaimana orang pribumi harus melihat, menempatkan serta memperlakukan kebudayaan yang dimilikinya. Wisnu Mintargo (2010) memandang bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah kaum intelektual yang memperjuangkan nasib hidup kebudayaan di Indonesia. Gagasan yang cukup membuatnya tersohor kala berujar dalam Kongres Kebudayaan di Bandung tahun 1951, bahwa kebudayaan nasional dibangun dari puncak-puncak kebudadayaan daerah.
Dewantara mengaklamasikan revitalisasi kesenian tradisi di nusantara, dan Jawa dengan gamelannya terimbas akibat pernyataan Dewantara itu. Gamelan dianggap sebagai musik penting yang tak sekadar mampu mengakomodasi letupan musikal, namun juga olah emosi, rasa serta kejiwaan. Dewantara memandang bahwa gamelam layak untuk dapat diangkat sebagai bunyi yang mampu mengakomodasi gejolak nasionalisme. Perdebatan sengit terjadi di tahun sesudah pernyataan Dewantara itu. Ia dan beberapa kalangan memandang bahwa lagu Indonesia Raya tak selayaknya dibawakan dalam dominasi nada-nada diatonis Musik Barat. Dewantara dan kaum intelektual pribumi melihat bahwa musik tradisi (gamelan) bisa menjadi ruang yang sepadan dengan Musik Barat. Otomatis, ia menghimbau pada para empu gamelan untuk mentransformasikan nada-nada diatonis Indonesia Raya menjadi pentatonis dalam gamelan.
Banyak intelektual dan seniman musik yang tak sependapat dengannya, menganggap Musik Barat lebih mampu menampung gejolak musikal dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dikotomi antara Barat dan Timur menemukan titik kulminasinya ketika pandangan yang berbenturan itu diwujudkan dalam misi pendidikan. Atas instruksi Ki Hajar Dewantara, di Surakarta yang menjadi basis gamelan di dirikan Konservatori Karawitan Indonesia (KOKARI) pada tahun 1952. Sementara setahun sesudahnya, Amir Pasaribu, J.A. Dungga dan Soedjasmin selaku tokoh-tokoh Musik Barat di Indonesia mendirikan sekolah tandingan yakni Akademi Musik Indonesia (AMI).
Atas dasar konsep Dewantara, di tahun 50-an itu perubahan bersar-besaran terhadap musik gamelan dilakukan. Para musisi gamelan tak lagi diharuskan memakai beskap, blangkon dan jarik. Mereka disulap seolah menjadi lebih “intelek” dengan memakai jas berdasi, sepatu kulit dan celana resmi. Cara memainkan gamelanpun dirubah, tidak lagi duduk bersila namun memakai kursi layaknya musisi Musik Klasik Barat. Uniknya lagi, para pengrawit gamelan tidak harus menghafalkan notasi seperti yang selama ini kita lihat, namun sudah disediakan music stands, tempat partitur atau notasi gamelan. Perlakuan berbeda terhadap gamelan itu mengakibatkan keanehan tersendiri. Semua dilakukan demi gengsi dan harga diri, mendudukkan kesenian Indonesia setara dengan kesenian Barat (Eropa) yang konon indah itu. Predikat “adi luhung” pun dilekatkan di gamelan dan seni-seni tradisi berbasis keraton lainnya demi semata mengangkat harkat dan martabat bangsa.
Pada akhirnya, Musik Barat tetap digunakan dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya. Karena basis penciptaan lagu itu oleh W.R. Supratman didasarkan pada musik diatonis, sehingga mengalami kesulitan kala diubah menjadi pentatonis. Ki Hadjar Dewantara memaklumi akan hal itu. Ia pun semakin tersadarkan bahwa kesenian tradisi (termasuk gamelan) tak harus menjadi ke barat-baratan, karena ia memiliki ruang dan lingkup perkembangan yang berbeda. Sejak saat itulah posisi dalam memainkan gamelan kembali ke sedia kala. Namun tonggak berdirinya KOKAR di Surakarta menjadi ilham bagi daerah lain untuk mendirikan sekolah berbasis seni tradisi. Yogyakarta, Denpasar, Banyumas, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Bandung dan Surabaya mengikuti jejek Ki Hajar Dewantara dalam mendirikan KOKAR. Berkat Sumbangan besarnya dalam memembangun lembaga pendidikan seni tradisi itulah, kita masih dapat menikmati bunyi gamelan, calung, kacaping, jaipong, talempong hingga saat ini.

Manusia Pilihan
Ki Hadjar Dewantara adalah manusia pilihan. Orang yang diberkati untuk menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Kecintaan dan perjuangannya dalam menjaga denyut hidup tradisi patut untuk menjadi tauladan berharga di abad XXI. Melihat Dewantara berarti menelisik jejak-jejak kesenian di Nusantara. Membicarakan sosoknya tak melulu harus dalam wacana pemikiran politis, hukum dan ekonomi namun juga kebudayaan. Hal itu menjadi penting karena di era mutakhir, kesenian dan kebudayaan tradisi semakin sayup-sayup tak terdengar detak hidupnya.
Hari Pendidikan Nasional menjadi ikhtiar yang mempertautkan kita untuk lebih mengenali kebudayaan dan kesenian tradisi yang ada. Bagi Ki Hajar Dewantara, tradisi memberi pengalaman berharga dalam menjaga batin, rasa dan kejiwaan kita sebagai manusia Indonesia (Sumarsam, 2003). Perayaan dalam mengenangnya tak cukup dengan hanya melakukan selebrasi upacara, yang maknanya kini semakin meluber. Namun dengan melihat kembali detail-detail gagasan lain yang pernah ditorehkan oleh Ki Hajar Dewantara. Di Hari ini, mungkin hanya beberapa saja yang melihat perjuangannya dengan menitihkan air mata disertai semaian doa. Dewantara mungkin bersedih hati melihat anak cucunya semakin abai pada tradisi. Kisah akan semangat yang dilukiskannya kemudian hanya menjadi mitos, penuh sangkal dan penuh tanya. Jangan heran kemudian jika generasi muda masa kini tak lagi mengenal sosoknya. Dewantara tak lagi menginspirasi ruang imajinasi mereka. Oleh karena itu, Hari Pendidikan Nasional kemudian juga menjadi satir bagi manusia Indonesia masa kini.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Pengikut