Gamelan Tak Sekedar Bunyi (dimuat di Joglosemar edisi 3 Juli 2013)

Gamelan Tak Sekedar Bunyi



Arsenal, klub sepakbola asal Inggris itu akan datang ke Indonesia dalam beberapa waktu ke depan. Sebagai ajang promosi atas kedatangannya, muncullah video unik di mana para pemain sepakbola itu membunyikan gamelan laras selendro. Gamelan tak semata alat musik, namun mampu mencerminkan jati diri bangsa. Alat musik itu kini telah mendunia, menjadi alat musik terbesar kedua setelah musik klasik Eropa. Gamelan dapat dengan mudah dijumpai di banyak kedutaan besar Indonesia di belahan dunia, dibandingkan dengan alat musik etnik atau icon Indonesia lainnya. Bermain gamelan tak sekedar penuh logika, namun juga olah rasa.

Tak Sekedar Bunyi
Belajar gamelan berarti mengenal jejak kultur masyarakat Jawa. Tak semata alat musik yang dihadirkan untuk dibunyikan, namun terikat kencang oleh seperangkat aturan dan kaidah dalam memainkannya. Sumarsam lewat tulisannya Gamelan Cultural Interaction and Musical Development in Central Java (1995) memandang karawitan sebagai ajang dalam melatih kehalusan budi. Memainkan gamelan berarti melatih diri untuk tidak mempribadi, namun mendengar dan menghargai sesama di sekelilingnya. Tak ada denting suara yang lebih menonjol dibanding suara lainnya. Semua harus setara dan seimbang. Pemain demung tak boleh terlalu keras dibanding yang lain, begitu juga sebaliknya. Semua harus saling mendengarkan, karena kode perpindahan orkestrasi musikal yang lebih kompleks tak ditentukan lewat partitur atau kode dari konduktor layaknya musik barat. Namun melalui kode-kode atau interaksi musikal dari instrumen tertentu, kendang dan rebab contohnya.
Oleh karena itu, pemain gamelan yang tak mendengarkan pesan musikal dari instrumen lain, tidak akan mampu mengimbangi dalam olah pencapaian rasa yang ingin diinginkan. Rahayu Supanggah (2002) menjelaskan dengan detail bahwa gamelan atau karawitan memiliki kelebihan dibanding musik lain di dunia. Memainkkannya membutuhkan kepekaan rasa, tak sekedar logika. Sementara jika ditelisik lebih jauh, jejak sejarah kerajaan-kerajaan besar di Jawa tak bisa lepas dari hadirnya gamelan. Alat musik perkusif itu menjadi medium yang membesarkan nama raja. Penciptaan gending-gending senantiasa dipersembahkan pada raja dan diatasnamakan pula sebagai karya raja. Karenanya, hingga detik ini, tidak diketahui dengan pasti siapa pencipta sesungguhnya gending-gending gamelan itu. Raja seolah menjadi musisi paling handal yang mampu menciptakan ribuan karya gending karawitan. Hal ini tertuang di Serat Wedo Pradonggo.
Gamelan juga menjadi alat legitimasi dalam penyebaran agama. Sunan Kali Jaga menjadikan gamelan Sekaten sebagai ajang dalam syiar agama Islam di Jawa. Gamelan Sekaten bentuknya sangat besar, unik, di luar kewajaran. Ditabuh bertalu-talu, terdengar sampai jauh dan mengundang minat masyarakat untuk mendekat. Otomatis, membicarakan gamelan berarti melihat Jawa dan nusantara. Gamelan telah bermetamorfosis menjadi alat musik yang lebih dinamis. Siapapun dapat memainkannya tanpa ada sekat dan jarak. Duniapun telah mengakui. Joss Wibisono (2011) menceritakan bahwa para komponis dunia dianggap ketinggalan zaman jika tak memasukkan unsur-unsur gamelan dalam karyanya. Gamelan telah berhasil mengangkat nama dan jatidiri bangsa di mata dunia.  
Namun sayang, kebanyakan generasi Indonesia abad XXI cenderung memandang rendah gamelan. Alat musik itu dianggap kolot, kuno dan terbelakang. Kalah bersaing dengan boys dan girs band. Ironis memang, di saat dunia sedang gencar-gencarnya meletakkan pemahaman gamelan sebagai alat musik terkini, publik Indonesia sebagai pemilik asal justru sedang membuat jarak dengannya. Singapura contohnya dalam beberapa tahun terakhir telah menjadikan gamelan sebagai mata pelajaran wajib di berbagai sekolah dasar pada hampir sebagian wilayahnya. Sebelumnya, hal serupa pun terjadi di Eropa, Amerika, bahkan Jepang. Di negara-negara maju tersebut, gamelan telah menjadi mata kuliah wajib pada universitas-universitas unggulan.  
Di Amerika, gamelan Jawa nangkring di universitas-universitas unggulan, seperti Universitas California di Berkeley (gamelan Kyai Udan Mas), San Jose University (gamelan Sekar Kembar), Lewis and Clark College (Kyai Guntur Sari), Michigan, Wiscounsin, Northern Illinois, Oberlin, Wesleyan, dan ratusan universitas terkemuka lainnya. Sementara di Jepang, gamelan sudah menjadi media ajar di berbagai universitas, seperti Tokyo University of Fine Art and Music dengan grup gamelannya yang bernama Kyai Lambang Sari, di Kuntachi College of Music (Gamelan Sekar Jepun), Dharma Budaya Osaka University, Hyogo University, Tokyo Osaka-Tohogakuen (semuanya college of music). Sementara ratusan bahkan ribuan lainnya tersebar di Benua Eropa. Di sisi lain, sekolah-sekolah di Indonesia justru malu mendatangkan gamelan sebagai menu utama pembelajarannya. Mereka lebih khusuk menghadirkan instrumen musik populis dengan cita-cita sama, mampu melahirkan ribuan kelompok band. Sementara gamelan menjadi ajang olok-olok yang katanya kampungan dan telah ketinggalan zaman, aliasa gak gaul.
Namun demikian usaha dalam memperkenalkan gamelan pada generasi muda masa kini di Indonesia bukannya tak ada. Di beberapa tempat, kantung-kantung kebudayaan misalnya, masih dengan tekun menyelenggarakan lomba karawitan dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Hal terbaru yang dapat kita lihat adalah Lomba Karawitan Nasional pada 19-21 Juni 2013 lalu di Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta. Di luar dugaan, peserta yang mengikuti jumlahnya membeludak. Tak hanya dari karisidenan Solo, beberapa daerah lainpun turut meramaikan, seperti Semarang, Jakarta, Jogjakarta dan wilayah Jawa Timur. Maklum saja, total hadiah yang disediakan panitia tergolong besar, 40 Juta. Acara tersebut setidaknya dapat menjadi tolok ukur dalam melihat detak hidup karawitan bagi semua lapisan masyarakat yang selama ini semakin tersisihkan.

Rujukan
Pemilihan RRI Surakarta sebagai tempat perlombaan mengingatkan kita akan fungsi lembaga itu sebagai penopang denyut hidup seni karawitan. Di era 60-80an, mampu pentas gamelan di RRI menjadi kebanggaan tersendiri bagi komunitas karawitan di Solo dan sekitarnya. Seseorang dan kelompok karawitan akan dianggap mumpuni dan berkualitas jika pernah pentas di RRI. Tak hanya karawitan, bahkan seni pedalanganpun demikian. Seorang dalang dianggap berkelas jika mampu menampilkan pertunjukannya di RRI. Anom Suroto dalang kondang masa kini, dalam laku sejarahnya harus mencoba hingga tiga kali untuk bisa pentas di lembaga penyiaran itu. RRI menjadi rujukukan, eksistansi sekaligus legitimasi.
Perhatian RRI juga cukup nampak dalam memberi penghargaan bagi tokoh-tokoh pelestari karawitan yang bertajuk “RRI Wira Budaya Award”. Mereka yang menerima penghargaan itu adalah para empu, maestro yang menziarahkan hidup matinya untuk kelangsungan hidup karawitan. Maklum saja, di masa kini, sosok maestro atau empu gamelan boleh dikata jarang. Keberadaannya semakin sedikit karena tongkat estafet dalam menjaga denyut gamelan tak mampu terlanjutkan ke generasi sesudahnya. Tak muluk-muluk kiranya jika di masa yang akan datang, dengan berbagai lomba dan acara yang digelar diharapkan mampu melahirkan tokoh-tokoh karawitan baru yang lebih muda dan fenomenal. Kemunculan video pemain arsenal yang sedang bermain gamelan memang cukup membanggakan, walaupun sejatinya juga telah menjadi kritik yang pedas. Di video itu seolah ingin bersuara lantang bahwa kebudayaan musik Indonesia begitu indah dan mempesona. Kitapun melihatnya sambil tertawa lucu tanpa pernah berkontemplasi untuk kembali merenungkan arti kecintaan kita pada musik tradisi, gamelan.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut