Visi Seni Pemimpin
Indonesia
sedang berpesta politik. Pemilihan Presiden dan clon legislatif sudah
di depan mata. Sementara musim pemilihan gubernur banyak digelar di
pelbagai daerah, menjadi ajang terbesar yang akan menentukan arah dan
warna Provinsi di kancah nasional. Visi misi digulirkan. Kampaye tiada
habis disuluh. Gambar para calon menghiasi setiap jalan, dari lorong
kampung hingga keramaian kota. Namun demikian, pesta demokrasi itu
mengguratkan satu catatan penting bagi publik, melihat sejauh mana visi
yang diemban para calon pemimpin dalam menyemai pencitraan atas dirinya.
Segala hal dapat digunakan sebagai titik ukur, dari hitung-hitungan
materi, penampilan diri, kemampuan sosialisasi, komunikasi dan tak
terkecuali visi budaya, terutama kesenian.
Seni Memimpin
Dari
pelbagai episentrum isu bidikan kampanye, seolah hanya kesenian yang
sama sekali belum tersentuh. Kebudayaan menjadi anak tiri dari timbunan
wacana populis yang digaung-gaungkan oleh para calon pemegang kebijakan.
Visi politik dan ekonomi menjadi isu krusial dalam setiap kampanye.
Gema pemimpin yang besar adalah membebaskan dirinya dari kasus korupsi
serta mampu memajukan pendapatan daerah. Tak ada satupun yang bersua
lantang dalam mengemban amanat budaya, memajukan kesenian di daerahnya.
Cerita
miris pernah menghantui denyut hidup kesenian Indonesia yang ironisnya
digoreskan oleh para pemimpin tertinggi di daerah. Tentang denyut hidup
Jaran Kepang yang dianggap sebagai kesenian terjelek di dunia, nasib
kesenian rakyat yang selama ini terlantar tak tersentuh uluran, serta
banyak kisah pelik yang lain. Sementara benang sejarah membuktikan,
penguasa yang besar adalah pemimpin yang memiliki kecintaan tinggi
terhadap kebudayaan dan seni. Masyarakat tentu masih ingat betul ketika
Soekarno dengan tegas melarang budaya berbau “ngak-ngik-ngok” masuk ke
tanah Indonesia. Budaya Barat dianggapnya sebagai virus yang mampu
membunuh naluri estetika ketimuran. Bung Karno mencoba mengembalikan
kuasa kebudayaan dan seni Nusantara sebagai kajian utama dalam visi
politiknya. Nurani Soyomukti dalam bukunya berjudul Soekarno: Visi Kebudayaan dan Revolusi Indonesia
(2010) mengungkapkan bahwa kebijakan-kebijakan Bung Karno dalam hal
kebudayaan didasarkan pada upaya untuk membangun kebudayaan rakyat yang
maju dan mandiri. Setiap kunjungan ke banyak daerah di Indonesia,
Soekarno akan mencari benda seni yang unik dan menurutnya menarik. Tidak
mengherankan jika di kantor dan rumahnya dihiasai dengan pelbagai karya
seni bercita rasa tinggi.
Kala Orde Baru berkuasa,
banjir kebudayaan Barat membasahi warna seni (populer) Indonesia.
Sebaliknya, estetika berbau Tinghoa harus dikurung dalam arogansi
kebijakan. Kesenian memiliki pengaruh besar, tumpuan yang mampu merubah
tatanan hidup masyarakat. Walaupun kebudayaan Barat menghujani bumi
Indonesia, Soeharto tak abai dengan kebudayaan pribumi. Ia adalah
pecinta kebudayaan dan seni Jawa sejati. Darmoko (2009) menceritakan
dengan detail bagaimana hubungan mesra antara Soeharto dengan kesenian
wayang. Tepatnya tanggal 21 Januari 1955, sekumpulan dalang (Jawa,Sunda,
Bali) ke Istana untuk menghadap Soeharto. Dari pertemuan itulah lahir
lakon-lakon wayang yang melukiskan keagungan sang penguasa itu. Semar Mbangun Jiwa dan Semar Mbabar Jatidiri
adalah di antaranya. Soeharto dilukiskan sebagai sang Semar. Dewa
tertinggi yang menjelma sebagai manusia akar rumput. Berujud tambun
mirip dengan Soeharto. Namun darinya yang ndeso itu menyimpan
segala kesaktian yang mampu membuat gempar dunia dan merobohkan istana
dewa di kahyangan. Tak ada satupun dewa yang mampu menandinginya. Kuasa
Orde Baru adalah narasi sakral dalam epos wayang.
Begitupun
dengan pemimpin Indonesia mutakhir, tak semata menjadi pejabat namun
juga musisi dan pencipta lagu. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
mendekonstruksi kebekuan pemimpin abad XXI terhadap dunia seni. SBY
boleh dikata menjadi satu-satunya presiden di dunia ini yang memiliki
hobi bernyanyi dan mencipta lagu. Beberapa album ditorehkan, dinyanyikan
oleh musisi musik kenamaan Indonesia. Tema lagunya menggugah semangat.
Bahkan dalam beberapa waktu terakhir gamelan-gamelan baru dipesan untuk
menghiasi wajah Istana Negara agar menjadi lebih artistik.
Terlepas
dari persoalan salah dan benar, jejak sejarah para pemimpin Indonesia
begitu menyadari arti penting kebudayaan terutama seni bagi pencitraan
atas diri mereka. Seni adalah sebuah etos kerja dalam laku kepemimpinan.
Kesenian mencerminkan kuasa keindahan, oleh karenanya, pemimpin yang
cinta seni berarti mahfum akan estetika. Seni mengakomodasi gaya
kepemimpinan penguasa. Soekarno, Soeharto dan SBY memiliki “seni
memimpin” yang berbeda. Ada yang cenderung lantang dan keras, diam namun
mematikan, serta yang hanya meraih citra semata. Hal terbaru dapat kita
lihatl ewat Jokowi. Di awal masa kepemimpinannya, Gubernur Jakarta itu
sudah memoles wajah Ibukota menjadi lebih beraroma Betawi. Mulai dari
penggunaan pakaian tradisional hingga hiasan gedung dan rumah. Semua
harus berciri “kebudayaan Benyamin”. Tiba-tiba saja di Jakarta ada pawai
budaya.
Penuh Sangka
Pertanyaannya
kemudian, visi seni seperti apa yang dapat kita lihat dari para calon
pemimpin itu? Jawabannya sudah dapat kita tebak, kebanyakan belum –kalau
tak boleh dibilang tidak ada-. Hal yang kurang begitu disadari, bahwa
Indonesia masih menjadi basis kuat kesenian tradisi, baik musik,
tetater, wayang hingga kesenirupaan. Terlebih legitimasi Keraton masih
memberi warna kuat terhadap kesenian-kesenian yang ada. Belum lagi
dengan kesenian rakyat di daerah pegunungan dan pesisir. Semua memiliki
pendukung dan penggemar yang jumlahnya tak bisa dihitung dengan jari.
Bahkan hampir semua wilayah memiliki icon kesenian yang
mencerminkan kekuatan daerahnya. Jawa Tengah dengan Gamelan dan
Wayangnya, Sumatera dengan Musik Melayunya, Jawa Timur dengan Tayubnya,
Nusa Tengga Timur dengan Sasandonya, serta Bali dengan Ritus Tradisinya
dan masih banyak lagi lainnya.
Pejabat seolah abai bahwa
pelaku seni adalah bagian yang menentukan nasib hidup mereka. Pemimpin
tak memiliki visi seni tentu akan berakibat fatal. Menyelesaikan segala
masalah tanpa pendekatan budaya, lebih pada arogansi kekuasaan. Radhar
Panca Dhahana dalam diskusi “Integritas Nasional dalam Bayang-Bayang
Kerapuhan Budaya Bangsa” akhir2012 lalu memandang banyak konflik-konflik
sosial di daerah yang berkepanjangan akibat dari tumpulnya visi budaya
para pemimpin. Lihatlah konflik Lampung, Papua bahkan Syiah di Madura
yang selalu diselesaikan dengan persoalan aset, ekonomi dan politik. Tak
pernah diselesaikan dengan pendekatan budaya, lewatpranata sosial
misalnya.
Oleh karena itu, pemilukada, pemilu calon legislatif,
pemilihan presiden adalah momen yang tepat bagimasyarakat untuk
menimbang dan melihat sejauh mana visi budaya dari para calon pemimpin.
Perayaan demokrasi daerah di Indonesia mampu menyulut ambisi penuh ragu
dalam mempertanyakan kapasitas kecintaan budaya para calon pemimpin.
Mereka bisa saja berujar manis akan janji-janji politik yang puitis itu,
namun kita tentu sangat qatam dengan pengingkaran. Visi budaya menjadi
satu-satunya hal yang dapat kita lihat realisasinya dibanding dengan
janji politik yang tak berujung. Harapan masyarakat tentu tak
muluk-muluk, mendapatkan pemimpin barudengan visi budaya yang jelas,
dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Jangan sampai kita tertipu
dengan bujuk rayu. Bagaimanapun kecintaan terhada pkebudayaan dan
terutama kesenian adalah bukti bahwa seorang pemimpin mencintai rakyat
dengan segala jenis habitus akar tradisinya.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar