Visi Seni Pemimpin (dimuat di Koran Wawasan 13 Juli 2013)



Visi Seni Pemimpin




Indonesia sedang berpesta politik. Pemilihan Presiden dan clon legislatif sudah di depan mata. Sementara musim pemilihan gubernur banyak digelar di pelbagai daerah, menjadi ajang terbesar yang akan menentukan arah dan warna Provinsi di kancah nasional. Visi misi digulirkan. Kampaye tiada habis disuluh. Gambar para calon menghiasi setiap jalan, dari lorong kampung hingga keramaian kota. Namun demikian, pesta demokrasi itu mengguratkan satu catatan penting bagi publik, melihat sejauh mana visi yang diemban para calon pemimpin dalam menyemai pencitraan atas dirinya. Segala hal dapat digunakan sebagai titik ukur, dari hitung-hitungan materi, penampilan diri, kemampuan sosialisasi, komunikasi dan tak terkecuali visi budaya, terutama kesenian.

Seni Memimpin
Dari pelbagai episentrum isu bidikan kampanye, seolah hanya kesenian yang sama sekali belum tersentuh. Kebudayaan menjadi anak tiri dari timbunan wacana populis yang digaung-gaungkan oleh para calon pemegang kebijakan. Visi politik dan ekonomi menjadi isu krusial dalam setiap kampanye. Gema pemimpin yang besar adalah membebaskan dirinya dari kasus korupsi serta mampu memajukan pendapatan daerah. Tak ada satupun yang bersua lantang dalam mengemban amanat budaya, memajukan kesenian di daerahnya.
Cerita miris pernah menghantui denyut hidup kesenian Indonesia yang ironisnya digoreskan oleh para pemimpin tertinggi di daerah. Tentang denyut hidup Jaran Kepang yang dianggap sebagai kesenian terjelek di dunia, nasib kesenian rakyat yang selama ini terlantar tak tersentuh uluran, serta banyak kisah pelik yang lain. Sementara benang sejarah membuktikan, penguasa yang besar adalah pemimpin yang memiliki kecintaan tinggi terhadap kebudayaan dan seni. Masyarakat tentu masih ingat betul ketika Soekarno dengan tegas melarang budaya berbau “ngak-ngik-ngok” masuk ke tanah Indonesia. Budaya Barat dianggapnya sebagai virus yang mampu membunuh naluri estetika ketimuran. Bung Karno mencoba mengembalikan kuasa kebudayaan dan seni Nusantara sebagai kajian utama dalam visi politiknya. Nurani Soyomukti dalam bukunya berjudul Soekarno: Visi Kebudayaan dan Revolusi Indonesia (2010) mengungkapkan bahwa kebijakan-kebijakan Bung Karno dalam hal kebudayaan didasarkan pada upaya untuk membangun kebudayaan rakyat yang maju dan mandiri. Setiap kunjungan ke banyak daerah di Indonesia, Soekarno akan mencari benda seni yang unik dan menurutnya menarik. Tidak mengherankan jika di kantor dan rumahnya dihiasai dengan pelbagai karya seni bercita rasa tinggi.
Kala Orde Baru berkuasa, banjir kebudayaan Barat membasahi warna seni (populer) Indonesia. Sebaliknya, estetika berbau Tinghoa harus dikurung dalam arogansi kebijakan. Kesenian memiliki pengaruh besar, tumpuan yang mampu merubah tatanan hidup masyarakat. Walaupun kebudayaan Barat menghujani bumi Indonesia, Soeharto tak abai dengan kebudayaan pribumi. Ia adalah pecinta kebudayaan dan seni Jawa sejati. Darmoko (2009) menceritakan dengan detail bagaimana hubungan mesra antara Soeharto dengan kesenian wayang. Tepatnya tanggal 21 Januari 1955, sekumpulan dalang (Jawa,Sunda, Bali) ke Istana untuk menghadap Soeharto. Dari pertemuan itulah lahir lakon-lakon wayang yang melukiskan keagungan sang penguasa itu. Semar Mbangun Jiwa dan Semar Mbabar Jatidiri adalah di antaranya. Soeharto dilukiskan sebagai sang Semar. Dewa tertinggi yang menjelma sebagai manusia akar rumput. Berujud tambun mirip dengan Soeharto. Namun darinya yang ndeso itu menyimpan segala kesaktian yang mampu membuat gempar dunia dan merobohkan istana dewa di kahyangan. Tak ada satupun dewa yang mampu menandinginya. Kuasa Orde Baru adalah narasi sakral dalam epos wayang.
Begitupun dengan pemimpin Indonesia mutakhir, tak semata menjadi pejabat namun juga musisi dan pencipta lagu. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendekonstruksi kebekuan pemimpin abad XXI terhadap dunia seni. SBY boleh dikata menjadi satu-satunya presiden di dunia ini yang memiliki hobi bernyanyi dan mencipta lagu. Beberapa album ditorehkan, dinyanyikan oleh musisi musik kenamaan Indonesia. Tema lagunya menggugah semangat. Bahkan dalam beberapa waktu terakhir gamelan-gamelan baru dipesan untuk menghiasi wajah Istana Negara agar menjadi lebih artistik.
Terlepas dari persoalan salah dan benar, jejak sejarah para pemimpin Indonesia begitu menyadari arti penting kebudayaan terutama seni bagi pencitraan atas diri mereka. Seni adalah sebuah etos kerja dalam laku kepemimpinan. Kesenian mencerminkan kuasa keindahan, oleh karenanya, pemimpin yang cinta seni berarti mahfum akan estetika. Seni mengakomodasi gaya kepemimpinan penguasa. Soekarno, Soeharto dan SBY memiliki “seni memimpin” yang berbeda. Ada yang cenderung lantang dan keras, diam namun mematikan, serta yang hanya meraih citra semata. Hal terbaru dapat kita lihatl ewat Jokowi. Di awal masa kepemimpinannya, Gubernur Jakarta itu sudah memoles wajah Ibukota menjadi lebih beraroma Betawi. Mulai dari penggunaan pakaian tradisional hingga hiasan gedung dan rumah. Semua harus berciri “kebudayaan Benyamin”. Tiba-tiba saja di Jakarta ada pawai budaya.

Penuh Sangka
Pertanyaannya kemudian, visi seni seperti apa yang dapat kita lihat dari para calon pemimpin itu? Jawabannya sudah dapat kita tebak, kebanyakan belum –kalau tak boleh dibilang tidak ada-. Hal yang kurang begitu disadari, bahwa Indonesia masih menjadi basis kuat kesenian tradisi, baik musik, tetater, wayang hingga kesenirupaan. Terlebih legitimasi Keraton masih memberi warna kuat terhadap kesenian-kesenian yang ada. Belum lagi dengan kesenian rakyat di daerah pegunungan dan pesisir. Semua memiliki pendukung dan penggemar yang jumlahnya tak bisa dihitung dengan jari. Bahkan hampir semua wilayah memiliki icon kesenian yang mencerminkan kekuatan daerahnya. Jawa Tengah dengan Gamelan dan Wayangnya,  Sumatera dengan Musik Melayunya, Jawa Timur dengan Tayubnya, Nusa Tengga Timur dengan Sasandonya, serta Bali dengan Ritus Tradisinya dan masih banyak lagi lainnya.
Pejabat seolah abai bahwa pelaku seni adalah bagian yang menentukan nasib hidup mereka. Pemimpin tak memiliki visi seni tentu akan berakibat fatal. Menyelesaikan segala masalah tanpa pendekatan budaya, lebih pada arogansi kekuasaan. Radhar Panca Dhahana dalam diskusi “Integritas Nasional dalam Bayang-Bayang Kerapuhan Budaya Bangsa” akhir2012 lalu memandang banyak konflik-konflik sosial di daerah yang berkepanjangan akibat dari tumpulnya visi budaya para pemimpin. Lihatlah konflik Lampung, Papua bahkan Syiah di Madura yang selalu diselesaikan dengan persoalan aset, ekonomi dan politik. Tak pernah diselesaikan dengan pendekatan budaya, lewatpranata sosial misalnya.
Oleh karena itu, pemilukada, pemilu calon legislatif, pemilihan presiden adalah momen yang tepat bagimasyarakat untuk menimbang dan melihat sejauh mana visi budaya dari para calon pemimpin. Perayaan demokrasi daerah di Indonesia mampu menyulut ambisi penuh ragu dalam mempertanyakan kapasitas kecintaan budaya para calon pemimpin. Mereka bisa saja berujar manis akan janji-janji politik yang puitis itu, namun kita tentu sangat qatam dengan pengingkaran. Visi budaya menjadi satu-satunya hal yang dapat kita lihat realisasinya dibanding dengan janji politik yang tak berujung. Harapan masyarakat tentu tak muluk-muluk, mendapatkan pemimpin barudengan visi budaya yang jelas, dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Jangan sampai kita tertipu dengan bujuk rayu. Bagaimanapun kecintaan terhada pkebudayaan dan terutama kesenian adalah bukti bahwa seorang pemimpin mencintai rakyat dengan segala jenis habitus akar tradisinya.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut