Ritus Mangan (dimuat di Suara Merdeka 10 November 2013)


Ritus Mangan





Idul Adha telah usai digelar. Banyak hal yang dapat kita petik setelahnya. Lewat perayaan itu kita bisa melihat pelbagai kisah, tentang perjuangan untuk menikmati daging kurban, kebahagiaan hingga tak jarang berujung pada kematian. Masyarakat rela berpanas-panas, berdesakan hanya untuk sebungkus lauk yang selama ini tergolong langka dan mahal bagi mereka. Daging yang sedikit itu kadang harus dibayar dengan derita. Idul Adha tak semata berisi tentang panggilan agama untuk berbagi, namun juga sesak dengan ambisi politik. Sapi dan kambing kemudian bernomor partai, berlogo poltikus dan berpamer foto birokrat. Masyarakat tak menggubris itu, bagi mereka “makan enak” adalah tujuannya. Hal tersebut seolah mengingatkan kita tentang pelbagai ritus manganan di Jawa. Ritual yang tak hanya menumpahkan ambisi untuk makan sepuasnya, namun juga tentang solidaritas, kebersamaan, dan interaksi sosial.



Makan dan Tragedi

Makan memang menjadi kebutuhan utama bagi manusia. Makan untuk menyambung hidup, meneruskan peradaban. Makan adalah hal primer naluriah yang dirasakan setiap makhluk. Namun, peristiwa makan di masa kini juga mengguratkan strata sosial, prestise dan harga diri. Siapa kita ditentukan oleh apa yang kita makan. Masyarakat akar rumput dikategorikan miskin hanya karena setiap hari memakan ubi dan nasi aking. Sementara orang kota melihatnya dengan penuh miris, iba dan mengelus dada. Makan menyuguhkan kontestasi. Kedai-kedai jajanan ala Barat tumbuh subur bertarung dengan warung-warung kaki lima di pinggir jalan. Manusia Indonesia menganggap dirinya beradab karena mendandani mulutnya dengan pelbagai makanan mahal, bercita rasa yang konon “medern”. Menyombongkan diri, bangga jika mampu masuk mal dan warung berpendingin ruangan. Foto-foto makanan disebar lewat jejaring sosial. Mencoba mengisahkan tentang siapa aku yang sebenarnya. Narasi itu pernah didendangkan oleh Ari Wibowo dengan lagunya yang berjudul Singkong dan Keju atau lebih dikenal dengan Anak Singkong. Singkong adalah ekspresi orang miskin sedangkan keju adalah representasi dari budaya kota yang maju.

Sementara iklan-iklan di televisi hilir mudik menyuguhkan menu makanan asing namun menggoda. Daging adalah menu utama yang banyak ditawarkan. Iklan-iklan itu secara masif mempengaruhi konstruksi kebudayaan makan di abad XXI. Media mampu mempermainkan naluri, rasa, nafsu dan imajinasi. Orang Indonesia awalnya muntah memakan pizza, hot dog dan burger, namun kemudian menjadi menu wajib keseharian. Mulut kita dipaksa untuk mengikuti selera universum media, dari benci menjadi suka. Gedung-gedung tinggi dibuat hanya untuk kenyamanan ritus makan. Manusia Indonesia mendandani tubuhnya untuk makan dan memasuki gedung itu. Tampil secantik dan setampan mungkin, membawa uang sebanyak-banyaknya. Makan membawa konsekuensi pada penampilan dan materi. Di meja makan itu pelbagai hal diobrolkan, dari gosip kacangan hingga deal-deal politik. Makan kemudian juga menjadi strategi dalam “mengambil hati”.

Perubahan dalam ritus makan membawa dampak besar bagi kebudayaan. Masyarakat rela untuk menabung demi bisa makan enak di gedung menjulang. Singkong, aking, gandum, gaplek mulai tertepikan. Dianggap sebagai makanan usang yang merendahkan martabat, memalukan. Terlebih kala Orde Baru mengukuhkan beras atau nasi sebagai santapan utama orang Indonesia. Indonesia pernah surplus beras alias swasembada pangan. Nasi menghapus kekayaan tradisi makan di nusantara. Nasi meniadakan keragaman identitas Indonesia. Nasi menjelma barang penting yang kehadirannya wajib ada setiap waktu di atas meja makan. Di kemudian hari kala sawah semakin hilang dan sulit dijumpai, nasipun semakin sulit terbeli. Beras menjadi barang langka yang mahal. Indonesia menjadi negara pengimpor beras dalam skala besar. Manusia Indonesia manapaki sejarah penderitaan baru hanya karena “makanan”. Sementara, karena harga diri, masyarakat malu untuk kembali menengok singkong, tela, gaplek, gandum dan nasi aking.

Idul Adha menjadi momentum untuk berpesta. Daging menjadi lauk yang diimpikan. Tak semua orang mampu membeli. Mendapatkannya secara gratis adalah anugerah besar. Ribuan orang datang ke masjid dan mushola bahkan beberapa hari sebelumnya, berdesakan dan berpanas di bawah terik matahari. Pingsan sudah menjadi pemandangan biasa. Bahkan kematian selalu hadir di perayaan itu setiap tahunnya. Seperti yang diberitakan Kompas (18 Oktober 2013), satu orang tewas akibat berdesakan saat mengantre daging kurban di Masjid Istiqlal. Kita tidak penah belajar dari pengalaman yang lalu. Manajemen dalam mendapatkan makan tidak pernah dikelola dengan baik, berebut dan saling sikut. Asalkan perut kenyang, hati senang. Makan akhirnya membawa tragedi kematian.



Mangan

Tradisi di nusantara mengajarkan arti penting tentang bagaimana menghargai makan sebagai sebuah peristiwa budaya. Di Jawa Tengah –Blora- terdapat ritus manganan. Sebuah ritual sedekah bumi yang dilaksanakan setelah panen raya usai. Tak jauh beda dengan Idul Adha, ritus manganan dilangsungkan sebagai ungkapan wujud syukur atas rejeki yang selama ini didapat. Uniknya, dalam perayaan ritus manganan, tak diperkenankan untuk saling berebut. Semua pasti mendapat jatah. Keiklasan dalam mendapatkan makan adalah satu pelajaran penting. Masyarakat dengan rela hati bertukar makanan, memberi dan menerima. Puncak manganan sendiri adalah makan bersama, tertawa dan bahagia. Ritus yang diskralkan, mempererat tali silaturahmi. Ajang interaksi sosial, bertegur sapa pada sesama. Berpesta makan dari penatnya rutinitas bekerja sehai-hari. Makanpun menjadi aktifitas untuk melepaskan diri dari beban-beban sosial. Tak ada pertaruhan harga diri, prestise dan ajang pamer. Semua makan bersama, duduk setara. Ritus manganan mengajarkan pada kita tentang makna makan yang sebenarnya.

Idul Adha melegalkan pesta makan atas nama agama. Emile Durkheim (1915) melihat agama sebagai sarana dalam memperkuat solidaritas. Hal itu dapat dilihat dari tujuan setiap kegiatan keagamaan yang ada. Malinowski (1939) memandang adanya hubungan agama dan kedudukannya dalam peristiwa ritual. Mereka yang terlibat dalam ritual keagamaan dapat melihat dan merasakan bahwa agama merupakan katalisator yang meningkatkan hubungan spiritual dengan tuhan. Pada konteks inilah, agama menjadi “alat” yang mengintegrasikan perbedaan dan berfungsi sebagai wahana solidaritas. Pemahan itu yang selama ini tidak sepenuhnya dimengerti. Perayaan makan di Idul Adha semata hanya dimaknai sebagai kompetisi perebutan makan. Solidaritas, kebersamaan layaknya dalam ritus manganan tidak mampu diterwacanakan dengan gamblang. Padahal jika kembali kita memaknai, makan tak lebih dari peristiwa sesaat yang akan habis tak tersisa sesudahnya. Ia hanya berusaha memanjakan mulut, namun belum tentu memanjakan tubuh dan kesehatan juga.

Dari peristiwa makan kita bisa banyak belajar tentang kehidupan, agama dan kebudayaan. Ritus tradisi serupa yang sebelumnya telah mengakar di nusantara tak semata terhenti sebagai sebuah peristiwa. Apalagi didengungkan sebagai laku sirik, menyimpang yang diharamkan. Tradisi manganan itu justru memberi tauladan berharga bagi perayaan Idul Adha di Indonesia. Ironisnya, Hari Kurban itu kini semakin bersolek, menjadi ajang dalam membaptis pelbagai kepentingan di mana masyarakat menjadi tikar dan alas. Kita bisa saja berharap perayaan dan pesta makan pada Idul Adha di tahun mendatang menjadi lebih baik. Namun jika konstruksi kebudayaan kita masih menganggap makan sebagai ajang kontestasi, harga diri, pamer dan prestise maka jangan harap kemapanan itu akan datang. Ritus manganan adalah satir berharga bagi Idul Adha di hari ini dan juga esok.


Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut