Ritus Mangan
Idul Adha telah usai digelar. Banyak hal
yang dapat kita petik setelahnya. Lewat perayaan itu kita bisa melihat pelbagai
kisah, tentang perjuangan untuk menikmati daging kurban, kebahagiaan hingga tak
jarang berujung pada kematian. Masyarakat rela berpanas-panas, berdesakan hanya
untuk sebungkus lauk yang selama ini tergolong langka dan mahal bagi mereka.
Daging yang sedikit itu kadang harus dibayar dengan derita. Idul Adha tak
semata berisi tentang panggilan agama untuk berbagi, namun juga sesak dengan
ambisi politik. Sapi dan kambing kemudian bernomor partai, berlogo poltikus dan
berpamer foto birokrat. Masyarakat tak menggubris itu, bagi mereka “makan enak”
adalah tujuannya. Hal tersebut seolah mengingatkan kita tentang pelbagai ritus
manganan di Jawa. Ritual yang tak hanya menumpahkan ambisi untuk makan
sepuasnya, namun juga tentang solidaritas, kebersamaan, dan interaksi sosial.
Makan dan
Tragedi
Makan memang menjadi kebutuhan utama
bagi manusia. Makan untuk menyambung hidup, meneruskan peradaban. Makan adalah
hal primer naluriah yang dirasakan setiap makhluk. Namun, peristiwa makan di
masa kini juga mengguratkan strata sosial, prestise dan harga diri. Siapa kita
ditentukan oleh apa yang kita makan. Masyarakat akar rumput dikategorikan miskin
hanya karena setiap hari memakan ubi dan nasi aking. Sementara orang kota
melihatnya dengan penuh miris, iba dan mengelus dada. Makan menyuguhkan
kontestasi. Kedai-kedai jajanan ala Barat tumbuh subur bertarung dengan
warung-warung kaki lima di pinggir jalan. Manusia Indonesia menganggap dirinya
beradab karena mendandani mulutnya dengan pelbagai makanan mahal, bercita rasa
yang konon “medern”. Menyombongkan diri, bangga jika mampu masuk mal dan warung
berpendingin ruangan. Foto-foto makanan disebar lewat jejaring sosial. Mencoba
mengisahkan tentang siapa aku yang sebenarnya. Narasi itu pernah didendangkan
oleh Ari Wibowo dengan lagunya yang berjudul Singkong dan Keju atau lebih dikenal dengan Anak Singkong. Singkong adalah ekspresi orang miskin sedangkan keju
adalah representasi dari budaya kota yang maju.
Sementara iklan-iklan di televisi hilir
mudik menyuguhkan menu makanan asing namun menggoda. Daging adalah menu utama
yang banyak ditawarkan. Iklan-iklan itu secara masif mempengaruhi konstruksi
kebudayaan makan di abad XXI. Media mampu mempermainkan naluri, rasa, nafsu dan
imajinasi. Orang Indonesia awalnya muntah memakan pizza, hot dog dan burger,
namun kemudian menjadi menu wajib keseharian. Mulut kita dipaksa untuk mengikuti
selera universum media, dari benci menjadi suka. Gedung-gedung tinggi dibuat
hanya untuk kenyamanan ritus makan. Manusia Indonesia mendandani tubuhnya untuk
makan dan memasuki gedung itu. Tampil secantik dan setampan mungkin, membawa
uang sebanyak-banyaknya. Makan membawa konsekuensi pada penampilan dan materi. Di
meja makan itu pelbagai hal diobrolkan, dari gosip kacangan hingga deal-deal
politik. Makan kemudian juga menjadi strategi dalam “mengambil hati”.
Perubahan dalam ritus makan membawa
dampak besar bagi kebudayaan. Masyarakat rela untuk menabung demi bisa makan
enak di gedung menjulang. Singkong, aking, gandum, gaplek mulai tertepikan.
Dianggap sebagai makanan usang yang merendahkan martabat, memalukan. Terlebih
kala Orde Baru mengukuhkan beras atau nasi sebagai santapan utama orang
Indonesia. Indonesia pernah surplus beras alias swasembada pangan. Nasi
menghapus kekayaan tradisi makan di nusantara. Nasi meniadakan keragaman identitas
Indonesia. Nasi menjelma barang penting yang kehadirannya wajib ada setiap waktu
di atas meja makan. Di kemudian hari kala sawah semakin hilang dan sulit
dijumpai, nasipun semakin sulit terbeli. Beras menjadi barang langka yang mahal.
Indonesia menjadi negara pengimpor beras dalam skala besar. Manusia Indonesia
manapaki sejarah penderitaan baru hanya karena “makanan”. Sementara, karena
harga diri, masyarakat malu untuk kembali menengok singkong, tela, gaplek,
gandum dan nasi aking.
Idul Adha menjadi momentum untuk berpesta.
Daging menjadi lauk yang diimpikan. Tak semua orang mampu membeli. Mendapatkannya
secara gratis adalah anugerah besar. Ribuan orang datang ke masjid dan mushola
bahkan beberapa hari sebelumnya, berdesakan dan berpanas di bawah terik
matahari. Pingsan sudah menjadi pemandangan biasa. Bahkan kematian selalu hadir
di perayaan itu setiap tahunnya. Seperti yang diberitakan Kompas (18 Oktober
2013), satu orang tewas akibat berdesakan saat mengantre daging kurban di Masjid
Istiqlal. Kita tidak penah belajar dari pengalaman yang lalu. Manajemen dalam
mendapatkan makan tidak pernah dikelola dengan baik, berebut dan saling sikut. Asalkan
perut kenyang, hati senang. Makan akhirnya membawa tragedi kematian.
Mangan
Tradisi di nusantara mengajarkan arti
penting tentang bagaimana menghargai makan sebagai sebuah peristiwa budaya. Di
Jawa Tengah –Blora- terdapat ritus manganan. Sebuah ritual sedekah bumi yang
dilaksanakan setelah panen raya usai. Tak jauh beda dengan Idul Adha, ritus
manganan dilangsungkan sebagai ungkapan wujud syukur atas rejeki yang selama
ini didapat. Uniknya, dalam perayaan ritus manganan, tak diperkenankan untuk
saling berebut. Semua pasti mendapat jatah. Keiklasan dalam mendapatkan makan
adalah satu pelajaran penting. Masyarakat dengan rela hati bertukar makanan,
memberi dan menerima. Puncak manganan sendiri adalah makan bersama, tertawa dan
bahagia. Ritus yang diskralkan, mempererat tali silaturahmi. Ajang interaksi
sosial, bertegur sapa pada sesama. Berpesta makan dari penatnya rutinitas
bekerja sehai-hari. Makanpun menjadi aktifitas untuk melepaskan diri dari
beban-beban sosial. Tak ada pertaruhan harga diri, prestise dan ajang pamer.
Semua makan bersama, duduk setara. Ritus manganan mengajarkan pada kita tentang
makna makan yang sebenarnya.
Idul Adha melegalkan pesta makan atas
nama agama. Emile Durkheim (1915) melihat agama sebagai sarana dalam memperkuat
solidaritas. Hal itu dapat dilihat dari tujuan setiap kegiatan keagamaan yang
ada. Malinowski (1939) memandang adanya hubungan agama dan kedudukannya dalam peristiwa
ritual. Mereka yang terlibat dalam ritual keagamaan dapat melihat dan merasakan
bahwa agama merupakan katalisator yang meningkatkan hubungan spiritual dengan
tuhan. Pada konteks inilah, agama menjadi “alat” yang mengintegrasikan
perbedaan dan berfungsi sebagai wahana solidaritas. Pemahan itu yang selama ini
tidak sepenuhnya dimengerti. Perayaan makan di Idul Adha semata hanya dimaknai
sebagai kompetisi perebutan makan. Solidaritas, kebersamaan layaknya dalam
ritus manganan tidak mampu diterwacanakan dengan gamblang. Padahal jika kembali
kita memaknai, makan tak lebih dari peristiwa sesaat yang akan habis tak
tersisa sesudahnya. Ia hanya berusaha memanjakan mulut, namun belum tentu
memanjakan tubuh dan kesehatan juga.
Dari peristiwa makan kita bisa banyak
belajar tentang kehidupan, agama dan kebudayaan. Ritus tradisi serupa yang
sebelumnya telah mengakar di nusantara tak semata terhenti sebagai sebuah
peristiwa. Apalagi didengungkan sebagai laku sirik, menyimpang yang diharamkan.
Tradisi manganan itu justru memberi tauladan berharga bagi perayaan Idul Adha
di Indonesia. Ironisnya, Hari Kurban itu kini semakin bersolek, menjadi ajang
dalam membaptis pelbagai kepentingan di mana masyarakat menjadi tikar dan alas.
Kita bisa saja berharap perayaan dan pesta makan pada Idul Adha di tahun
mendatang menjadi lebih baik. Namun jika konstruksi kebudayaan kita masih
menganggap makan sebagai ajang kontestasi, harga diri, pamer dan prestise maka
jangan harap kemapanan itu akan datang. Ritus manganan adalah satir berharga
bagi Idul Adha di hari ini dan juga esok.
Aris
Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar