Topeng Monyet
dan Seni Pertunjukan Indonesia
Ramai diperbincangkan di media massa tentang
fenomena Jakarta bersih dari topeng monyet. Jakarta, kota metropolis itu sedang
bersolek menyambut tahun 2014. Topeng monyet tak lagi dikukuhkan sebagai
tontonan, namun dianggap penyiksaan terhadap binatang. Monyet dituntut untuk
tampil lucu, berlenggak-lenggok layaknya manusia dengan bersepeda mini, naik
becak, memakai topeng reog dan membawa gerobak. Membuat orang yang menonton
tertawa terpingkal-pingkal. Topeng monyet menjadi hiburan kaki lima, dinikmati
oleh anak-anak dan masyarakat akar rumput. Siapa sangka, keberadaannya sebagai
sebuah seni pertunjukan di nusantara telah berusia senja. Jejak perjalanan topeng
monyet telah menyertai lika-liku kebudayaan Indonesia. Memberi warna dan
sumbangan besar dalam membentuk jati diri bangsa.
Jejak Perjalanan
“Sarimin pergi ke pasar”, kata-kata itu
yang membekas dalam memori dan imajinasi kita kala mengisahkan topeng monyet. Hewan
itu mencoba untuk “dimanusiakan”, dinamakan layaknya orang Jawa, Sarimin. Tontonan
monyet diiringi dengan tetabuhan musik perkusif. Musik yang dimainkan berupa
kendang dan alat melodi semacam saron mini dari Jawa (tak jelas berlaras
slendro atau pelog). Satu tangan si pawang memainkan alat musik, sementara
tangan yang lain memegang rantai untuk menarik dan mengontrol tindak-tanduk si
monyet. Arena pertunjukan adalah sejauh rantai dibentangkan. Suara musik yang
gaduh itu menarik perhatian anak-anak untuk mendekat. Tidak ada patokan harga
yang harus dikeluarkan untuk menghadirkan tontonan topeng monyet. Penonton
memberikan uang ala kadarnya. Pelaku pertunjukan ini berjalan keliling kompleks
permukiman padat penduduk, dari satu rumah ke rumah lain.
Jejak perjalanan topeng monyet di
Indonesia dapat kita telusuri lewat tulisan Matthew Isaac Cohen berjudul Multiculturalism and Performance in Colonial
Cirebon (2002), pertunjukan yang menyajikan monyet merupakan miniatur dari
sirkus yang berkembang di Eropa. Di Jawa biasanya disebut sebagai Ledhek Kethek. Keberadaanya mulai
semarak pada akhir tahun 1889. Di awal kemunculannya, monyet ditemani oleh
seekor anjing. Keduanya menunjukkan atraksi lucu. Anjing diperlakukan layaknya
kuda dan sang monyet adalah koboinya. Lambat laun, anjing mulai tidak
dipergunakan. Monyet tampil secara mandiri karena dianggap lebih ringkas dan
hemat. Pertunjukan topeng monyet pernah menjadi tontonan unggulan di Jawa.
Tingkah-polahnya senantiasa mengundang decak kagum, anak-anak dan masyarakat berbondong-bondong
menyaksikan. Pengusaha topeng monyetpun meraih untung melimpah. Kehadirannya selalu
dipuja dan dinanti-nanti.
Maklum saja, kala itu topeng monyet
menjadi satu-satunya pertunjukan “sirkus” ala Indonesia. Sementara di negara
lain (Eropa), kehadiran pelpagai hewan seperti gajah, macan, singa, kuda, kuda
laut dan lumba-lumba telah terlebih dahulu menjadi atraksi hiburan. Semasa
penjajahan Belanda, topeng monyet menemani laku hidup masyarakat kolonial yang
berumah di Indonesia. Hal ini dapat ditelisik lewat foto-foto koleksi
Tropenmuseum Amsterdam, Belanda. Foto yang berangka tahun 1900-1920 itu memperlihatkan
seorang pawang dengan dua monyetnya sedang menghibur anak-anak keturunan
Belanda, berambut pirang dan berwajah bule. Topeng monyet menjadi “oase” dalam
melampiaskan kerinduan terhadap pertunjukan sirkus di kampung halaman
(Belanda). Charles Breijer, seorang juru foto asal Belanda, banyak mengisahkan
kehidupan masyarakat Indonesia termasuk tontonan topeng monyet antara tahun
1947 sampai 1953. Tak jauh berbeda dengan si monyet, sang pawang berpenampilan
lusuh, kotor dan tidak rapi. Topeng monyet menjelma sebagai kesenian jalanan,
pada akhirnya menjadi tontonan masyarakat kelas bawah.
Kehadirannya semakin tersisihkan. Kalah
oleh tontonan yang dirasa lebih menghibur, menyerbu lewat pelbagai media
elektronik. Masyarakat semakin mengacuhkan topeng monyet. Kampung-kampung tak
lagi menjadi “lahan” ideal dalam mengeruk pundi-pundi keuntungan bisnis
pantomim si monyet. Sang pawang tak kekurangan akal, ia menjadikan persimpangan
jalan di bawah ‘lampu merah’ sebagai ruang pementasan si monyet. Pawangpun
terdiri dari dua orang atau lebih. Tugas pawang yang lain menadahkan tangan,
meminta uang seiklasnya pada pengguna jalan. Banyak masyarakat yang merasa iba.
Bukan pada si pawang ataupun si monyet. Namun pada kebangkrutan eksistensi “arena
panggung pertunjukan” si topeng monyet.
Monyetpun menjadi tak terurus. Banyak
mengandung virus dan penyakit berbahaya bagi manusia. Dialy Mail lewat
ulasannya berjudul Misery of Indonesia's monkeys: Chained
macaques forced to dress up in doll costumes and ride scooters for tourists (2012) membawa berita yang tak kalah
garang, penyiksaan terhadap monyet diberlangsungkan selama menjalani masa
pelatihan sebagai topeng monyet. Banyak monyet yang mati karena tak diberi
makan. Tanggannya diikat dan dicambuk. Pemberitaan tentang hal tersebut
tiada habis di suluh lewat media massa. Anak-anak
dan masyarakat semakin menjauhi pentas topeng monyet. Ia menjadi bentuk
pertunjukan yang paling tak dikehendaki kehadirannya di masa kini. Di balik
kelucuan yang mengundang tawa, ada tragedi dan air mata.
Sumber
Bagaimanapun juga, topeng monyet adalah
bagian dari kebudayaan terutama seni pertunjukan masyarakat Indonesia. Yang
selama ini justru setia menemani perjalanan bangsa ini di pelbagai peralihan
zaman. Membicarakan topeng monyet berarti menarasikan tentang Indonesia. Sama
layaknya dengan membicarakan kesenian tradisi komedi stamboel, semacam ludruk
atau ketoprak. Manusia Indonesia dan (topeng) monyet telah menjadi satu senyawa
yang tak dapat dipisahkan. Monyet menemukan tafsir kebebasannya lewat berbagai
epos seni pertunjukan tradisi di nusantara. Monyet memberi inspirasi bagi
terciptanya banyak karya seni yang melegenda. Monyet dianggap sebagai hewan
sakral dan suci, lahirlah kemudian cerita Luthung
Kasarung di Jawa Barat atau Kethek
Ogleng di Jawa. Semua mengisahkan kegagahan dan kepandaian si monyet
melebihi manusia.
Garin Nugroho lewat pertunjukan Opera
Jawa Ledhek Kethek (2013) dengan lugas mengisahkan monyet sebagai bapak dari
manusia. Monyet disiksa, diikat, dicaci dan dihina, namun dengan segera ia mampu
bertiwikrama menjadi Hanoman yang sakti itu. Hanoman bukanlah sembarang monyet.
Tinggi tegap
berjalan dan berfikir cerdas layaknya manusia, memiliki kemampuan dan ilmu
kanuragan layaknya para dewa. Darinya adalah simbol dari bersatunya hewan
–alam-, manusia dan tuhan –dewa-.
Lewat monyet, epos Ramayana berusaha mengisahkan pesan kesetaraan dan
keselarasan hidup, manusia-alam-tuhan. Monyet kemudian menjadi hewan terpilih. Kehadirannya
dilukiskan dengan indah oleh Darwin lewat teori evolusi yang dicetuskannya.
Tidak penting apakah teori itu benar atau salah. Justru ada pesan lain yang
seolah mencoba disampaikan, bahwa sebenarnya monyet tak jauh beda dengan kita.
Kita adalah monyet dan monyet adalah kita. Atau bahkan, monyet lebih baik dari
pada kita, manusia.
Topeng monyet tak semata pertunjukan yang menyemai tawa.
Darinya juga banyak berkisah tentang keseimbangan hidup, kesetaraan, kemanusiaan,
perjuangan dan keadilan. Menghilangkan topeng monyet tak cukup kiranya jika hanya
dilihat dalam domain kesehatan dan kekerasan. Faktor kebudayaan juga menjadi
penting untuk dilibatkan. Topeng monyet mungkin telah tersisih dalam struktur
penekanan kehidupan masa kini. Namun ia akan tetap menjadi bagian penting peradaban
yang mampu menjelaskan dengan gamblang siapa dan dari mana sebenarnya kita
berasal, Indonesia.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut
Seni Indonesia Surakarta
2 komentar:
ada "bagian dari" yang buruk, ada "bagian dari" yang baik. yang buruk kita tinggalkan, yang baik kita lestarikan. bukan begitu???
benar :)
Posting Komentar