Persoalan Kantung Budaya
Dalam beberapa waktu terakhir, ramai
diperbincangkan di media sosial terutama oleh para seniman dan pemerhati
kebudayaan. Mereka pada dasarnya menyayangkan sikap kantung atau lembaga kebudayaan
semacam Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta (TBS) yang mengomersialisasikan
fasilitas yang dimiliki. Komersialisasi itu berujud penyewaan pendopo untuk
acara-acara hajatan semacam pernikahan, kithanan, syukuran dan pesta sejenis
lain yang berlangsung dalam waktu cukup intens. Yang agak mengejutkan, kala
prosesi pernikahan sedang berlangsung di pendopo TBS, di sebelahnya yakni gedung
pameran seni rupa sedang berlangsung pembukaan pameran. Saling silang kegaduhan
suarapun tak terelakkan. Hasilnya bisa ditebak, suasana pameran menjadi kacau,
tidak lagi khusyuk. Para undangan yang datang kadang salah masuk “kamar”,
niatnya ke pameran namun masuk ke hajatan, atau sebaliknya. Pameran tiba-tiba
disaksikan oleh banyak pengunjung yang tidak lain adalah tamu dari hajatan
pernikahan. Mereka sekadar melihat-lihat acuh, cuek dan sambil lalu. Fenomena
semacam itu tak hanya terjadi di Surakarta, namun dihampir semua lembaga
kebudayaan di Indonesia mengalami nasib serupa.
Sapi Perah
Terkait dengan persoalan di atas, Halim
HD beberapa waktu lalu melontarkan kritik lewat tulisan “Jateng dan Persoalan Kebudayaan”
yang dimuat Suara Merdeka (11/8/2013). Halim mencoba
membandingkan kala TBS dipimpin oleh sosok yang “qatam” dengan seluk beluk
kebudayaan, Murtijono, dengan pimpinan yang abal-abal. Murtijono, menurut Halim
mampu membawa perubahan besar bagi TBS. Ia menjadi sosok yang dikagumi karena ketegasan
dan pemikirannya. Di tangan Murti, TBS menjadi kantung kebudayaan yang
disegani. Banyak forum-forum pertunjukan bermutu digelar. Seniman merasa
terayomi. TBS menjadi “rumah” bagi para budayawan dan seniman dalam laku olah
kreatif. Murti tidak mata duitan apalagi mengejar untung. Tak jarang ia harus
merugi alias tombok kala
menyelenggarakan acara seni. Berulangkali namanya muncul di media massa sebagai
sosok pemimpin kantung kebudayaan anutan. Halim bernostalgia dengan mengenang
kembali lika-liku kesuksesan Murti memimpin TBS.
Setelahnya, pimpinan kantung kebudayaan
plat merah itu dihuni oleh orang-orang asing yang penunjukannya kadang tidak
didasarkan pada kualitas, namun jenjang kepangkatan kepegawaian yang memenuhi
syarat. Tak hanya TBS namun kantung kebudayaan lain di Indonesia juga serupa.
Banyak figur-figur anyar dengan basis keilmuan “non-kebudayaan” menjadi
pemimpin. Akibatnya, pelbagai kebijakan baru diambil secara sepihak. Para seniman
dan budayawan tak lagi nyaman berproses di institusi itu, tak merasa dilibatkan
dalam program, ada jarak antara keduanya. Forum-forum kesenian dibuat ala
kadarnya, yang penting memenuhi kriteria laporan ke pusat. Kantung-kantung
kebudayaan kemudian menjadi “aquarium seni”, tempat memajang kesenian untuk
ditonton dan dinikmati tanpa ada wacana kritis yang dapat dipetik setelahnya.
Terlebih kantung kebudayaan semacam Taman Budaya telah menjadi Unit Pelaksana
Teknis (UPT) di bawah Dinas Pariwisata. Orientasi kepariwisataan adalah bisnis
berupa hitung untung rugi. Otomatis, kantung kebudayaan kemudian menjadi sapi
perah yang diharuskan mampu membawa keuntungan melimpah. Dengan kata lain,
tekanan itu membuat kepala kantung kebudayaan mengubah institusinya sebagai
pabrik penarik modal sebanyak-banyaknya (Haryatmoko, 2009). Kebudayaan, terutama
kesenian tak lebih dari sekadar barang dagangan.
Untuk tampil di kantung tersebut,
kesenian-kesenian harus dipoles menjadi semenarik mungkin agar menaikkan pasaran
harga jual. Karenanya, kesenian-kesenian yang tak lagi mampu bersolek mengalami
kesulitan untuk hadir di panggung institusi kapital itu. Kalaupun mampu
menunjukkan ujudnya secara terbuka, cacian dan kritikanlah yang didapat. Tentu
kita masih ingat kala Gubernur Jawa Tengah kala itu, Bibit Waluyo, dengan
lantangnya menyebut Jaran Kepang sebagai kesenian paling jelek sedunia. Jika
dilihat lebih dalam, pangkal persoalannya terjadi hanya karena kostum yang
dipakai terkesan ndeso alias memalukan
(isin-isini). Pola pikir kapitalis mengharuskan pejabat melihat
kebudayaan, kesenian, dengan pandangan baru yang konon harus lebih glamour,
gemerlap dan modern.
Apes
Di sisi lain, kantung-kantung kebudayaan
sebagai tempat persinggahan kesenian dianggap tak memberi keuntungan melimpah jika
dibanding institusi plat merah lainnya. Bahkan muncul pameo, bekerja dan menjadi
pimpinan di suatu kantung kebudayaan seolah membajak ladang gersang yang tak
memberi keuntungan, alias nasib lagi apes! Halim HD bahkan berujar bahwa lembaga
kebudayaan hanya menjadi “tempat penampungan” bagi pegawai tua yang mendekati
masa pensiun. Guna mencukupi kebutuhan hidup, lembaga-lembaga kebudayaan itu
mengomersialisasikan fasilitas yang dimilikinya. Walaupun kadang tidak jelas
jluntrungan hasil dari komersialisasi itu, untuk apa dan bagaimana prosedurnya.
Akibatnya, demi memburu keuntungan
melimpah, banyak forum kesenian yang dikorbankan. Rutinitas berkesenian
dikalahkan oleh ambisi bisnis. Mayarakat menjadi bingung dengan posisi kantung
kebudayaan. Antara media interaksi publik, dengan wilayah privasi yang dapat
dibeli. Kasus di TBS setidaknya menyadarkan kita bagaimana institusi kebudayaan
masih rapuh dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Sebagai lembaga negeri,
harusnya pembiayaan dan operasional kerjanya telah terukur dan ditanggung
secara penuh oleh negara. Dengan demikian, komersialisasi yang dilakukan patut
untuk dicurigai sebagai pemanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan
segelintir pihak. Hal itu wajar karena publik tidak pernah menerima
pertanggungjawaban komprehensif alokasi dana yang didapatkan dari hasil
“jualan” tersebut.
Seniman dan budayawan nampak tak berdaya
ketika menghadapi tembok birokratif yang sarat dengan pelbagai kepentingan.
Pada akhirnya, kita dapat membaca keresahan mereka lewat media sosial yang
dimiliki. Pelbagai diskusi dan kritik bergulir, namun mungkin tak pernah
terbaca dan terdengar oleh pihak pemilik kebijakan. Hasilnya, kita dapat
melihat bagaimana kantung-kantung kebudayaan belum melahirkan sumbangan
prestisius bagi perkembangan peradaban di masa kini dan yang akan datang. Bisa
jadi, manajemen dan pengelolaan yang amburadul menyebabkan publik tak lagi
menaruh kepercayaan pada poros kerja yang dimilikinya. Kantung kebudayaan bukan
lagi rumah kreatif yang mampu membuncahkan karya-karya monumental. Bukanpula
medan iteraksi sosial, tempat di mana masyarakat saling bertegur sapa,
bercengkrama dengan seniman, dan tempat membangun kreativitas. Namun lapak
untuk berdagang dalam menawarkan barang dalam kisaran harga.
Kantung kebudayaan sudah saatnya
berbenah. Persoalan komersialisasi –tempat- sebenarnya bukan isu baru. Masalah
yang sama bahkan telah terjadi di institusi pendidikan seni semacam Institut
Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Pendopo kampus sering kali digunakan untuk
kepentingan di luar proses misi pendidikan dan kesenian. Kegiatan belajar
mengajar mahasiswa kadang terkalahkan. Pimpinan baru (rektor) di lembaga
pendidikan seni itu diharapkan mampu membenahi sistem dan mengembalikan kodrat
kampus sebagaimana mestinya. Pada konteks inilah semua harus menyadari tugas
pokok dan fungsinya (tupoksi). Sebenarnya, pemanfaatan fasilitas bisa dilakukan
dengan bijak, asalkan jelas, terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Lebih
penting lagi, tidak mengorbankan visi dan misi utama dari masing-masing lembaga.
Kantung kebudayaan adalah wilayah dan ruang publik. Karenanya, kontrol dari
segala lapisan terutama masyarakat menjadi penting untuk dihadirkan.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar