Persoalan Kantung Budaya (dimuat di Joglosemar 21 November 2013)

Persoalan Kantung Budaya



Dalam beberapa waktu terakhir, ramai diperbincangkan di media sosial terutama oleh para seniman dan pemerhati kebudayaan. Mereka pada dasarnya menyayangkan sikap kantung atau lembaga kebudayaan semacam Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta (TBS) yang mengomersialisasikan fasilitas yang dimiliki. Komersialisasi itu berujud penyewaan pendopo untuk acara-acara hajatan semacam pernikahan, kithanan, syukuran dan pesta sejenis lain yang berlangsung dalam waktu cukup intens. Yang agak mengejutkan, kala prosesi pernikahan sedang berlangsung di pendopo TBS, di sebelahnya yakni gedung pameran seni rupa sedang berlangsung pembukaan pameran. Saling silang kegaduhan suarapun tak terelakkan. Hasilnya bisa ditebak, suasana pameran menjadi kacau, tidak lagi khusyuk. Para undangan yang datang kadang salah masuk “kamar”, niatnya ke pameran namun masuk ke hajatan, atau sebaliknya. Pameran tiba-tiba disaksikan oleh banyak pengunjung yang tidak lain adalah tamu dari hajatan pernikahan. Mereka sekadar melihat-lihat acuh, cuek dan sambil lalu. Fenomena semacam itu tak hanya terjadi di Surakarta, namun dihampir semua lembaga kebudayaan di Indonesia mengalami nasib serupa.

Sapi Perah
Terkait dengan persoalan di atas, Halim HD beberapa waktu lalu melontarkan kritik lewat tulisan “Jateng dan Persoalan Kebudayaan” yang dimuat Suara Merdeka (11/8/2013). Halim mencoba membandingkan kala TBS dipimpin oleh sosok yang “qatam” dengan seluk beluk kebudayaan, Murtijono, dengan pimpinan yang abal-abal. Murtijono, menurut Halim mampu membawa perubahan besar bagi TBS. Ia menjadi sosok yang dikagumi karena ketegasan dan pemikirannya. Di tangan Murti, TBS menjadi kantung kebudayaan yang disegani. Banyak forum-forum pertunjukan bermutu digelar. Seniman merasa terayomi. TBS menjadi “rumah” bagi para budayawan dan seniman dalam laku olah kreatif. Murti tidak mata duitan apalagi mengejar untung. Tak jarang ia harus merugi alias tombok kala menyelenggarakan acara seni. Berulangkali namanya muncul di media massa sebagai sosok pemimpin kantung kebudayaan anutan. Halim bernostalgia dengan mengenang kembali lika-liku kesuksesan Murti memimpin TBS.
Setelahnya, pimpinan kantung kebudayaan plat merah itu dihuni oleh orang-orang asing yang penunjukannya kadang tidak didasarkan pada kualitas, namun jenjang kepangkatan kepegawaian yang memenuhi syarat. Tak hanya TBS namun kantung kebudayaan lain di Indonesia juga serupa. Banyak figur-figur anyar dengan basis keilmuan “non-kebudayaan” menjadi pemimpin. Akibatnya, pelbagai kebijakan baru diambil secara sepihak. Para seniman dan budayawan tak lagi nyaman berproses di institusi itu, tak merasa dilibatkan dalam program, ada jarak antara keduanya. Forum-forum kesenian dibuat ala kadarnya, yang penting memenuhi kriteria laporan ke pusat. Kantung-kantung kebudayaan kemudian menjadi “aquarium seni”, tempat memajang kesenian untuk ditonton dan dinikmati tanpa ada wacana kritis yang dapat dipetik setelahnya. Terlebih kantung kebudayaan semacam Taman Budaya telah menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Dinas Pariwisata. Orientasi kepariwisataan adalah bisnis berupa hitung untung rugi. Otomatis, kantung kebudayaan kemudian menjadi sapi perah yang diharuskan mampu membawa keuntungan melimpah. Dengan kata lain, tekanan itu membuat kepala kantung kebudayaan mengubah institusinya sebagai pabrik penarik modal sebanyak-banyaknya (Haryatmoko, 2009). Kebudayaan, terutama kesenian tak lebih dari sekadar barang dagangan.
Untuk tampil di kantung tersebut, kesenian-kesenian harus dipoles menjadi semenarik mungkin agar menaikkan pasaran harga jual. Karenanya, kesenian-kesenian yang tak lagi mampu bersolek mengalami kesulitan untuk hadir di panggung institusi kapital itu. Kalaupun mampu menunjukkan ujudnya secara terbuka, cacian dan kritikanlah yang didapat. Tentu kita masih ingat kala Gubernur Jawa Tengah kala itu, Bibit Waluyo, dengan lantangnya menyebut Jaran Kepang sebagai kesenian paling jelek sedunia. Jika dilihat lebih dalam, pangkal persoalannya terjadi hanya karena kostum yang dipakai terkesan ndeso alias memalukan (isin-isini). Pola pikir kapitalis mengharuskan pejabat melihat kebudayaan, kesenian, dengan pandangan baru yang konon harus lebih glamour, gemerlap dan modern.

Apes
Di sisi lain, kantung-kantung kebudayaan sebagai tempat persinggahan kesenian dianggap tak memberi keuntungan melimpah jika dibanding institusi plat merah lainnya. Bahkan muncul pameo, bekerja dan menjadi pimpinan di suatu kantung kebudayaan seolah membajak ladang gersang yang tak memberi keuntungan, alias nasib lagi apes! Halim HD bahkan berujar bahwa lembaga kebudayaan hanya menjadi “tempat penampungan” bagi pegawai tua yang mendekati masa pensiun. Guna mencukupi kebutuhan hidup, lembaga-lembaga kebudayaan itu mengomersialisasikan fasilitas yang dimilikinya. Walaupun kadang tidak jelas jluntrungan hasil dari komersialisasi itu, untuk apa dan bagaimana prosedurnya.
Akibatnya, demi memburu keuntungan melimpah, banyak forum kesenian yang dikorbankan. Rutinitas berkesenian dikalahkan oleh ambisi bisnis. Mayarakat menjadi bingung dengan posisi kantung kebudayaan. Antara media interaksi publik, dengan wilayah privasi yang dapat dibeli. Kasus di TBS setidaknya menyadarkan kita bagaimana institusi kebudayaan masih rapuh dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Sebagai lembaga negeri, harusnya pembiayaan dan operasional kerjanya telah terukur dan ditanggung secara penuh oleh negara. Dengan demikian, komersialisasi yang dilakukan patut untuk dicurigai sebagai pemanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan segelintir pihak. Hal itu wajar karena publik tidak pernah menerima pertanggungjawaban komprehensif alokasi dana yang didapatkan dari hasil “jualan” tersebut.
Seniman dan budayawan nampak tak berdaya ketika menghadapi tembok birokratif yang sarat dengan pelbagai kepentingan. Pada akhirnya, kita dapat membaca keresahan mereka lewat media sosial yang dimiliki. Pelbagai diskusi dan kritik bergulir, namun mungkin tak pernah terbaca dan terdengar oleh pihak pemilik kebijakan. Hasilnya, kita dapat melihat bagaimana kantung-kantung kebudayaan belum melahirkan sumbangan prestisius bagi perkembangan peradaban di masa kini dan yang akan datang. Bisa jadi, manajemen dan pengelolaan yang amburadul menyebabkan publik tak lagi menaruh kepercayaan pada poros kerja yang dimilikinya. Kantung kebudayaan bukan lagi rumah kreatif yang mampu membuncahkan karya-karya monumental. Bukanpula medan iteraksi sosial, tempat di mana masyarakat saling bertegur sapa, bercengkrama dengan seniman, dan tempat membangun kreativitas. Namun lapak untuk berdagang dalam menawarkan barang dalam kisaran harga.
Kantung kebudayaan sudah saatnya berbenah. Persoalan komersialisasi –tempat- sebenarnya bukan isu baru. Masalah yang sama bahkan telah terjadi di institusi pendidikan seni semacam Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Pendopo kampus sering kali digunakan untuk kepentingan di luar proses misi pendidikan dan kesenian. Kegiatan belajar mengajar mahasiswa kadang terkalahkan. Pimpinan baru (rektor) di lembaga pendidikan seni itu diharapkan mampu membenahi sistem dan mengembalikan kodrat kampus sebagaimana mestinya. Pada konteks inilah semua harus menyadari tugas pokok dan fungsinya (tupoksi). Sebenarnya, pemanfaatan fasilitas bisa dilakukan dengan bijak, asalkan jelas, terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Lebih penting lagi, tidak mengorbankan visi dan misi utama dari masing-masing lembaga. Kantung kebudayaan adalah wilayah dan ruang publik. Karenanya, kontrol dari segala lapisan terutama masyarakat menjadi penting untuk dihadirkan.  
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta 

Tidak ada komentar:

Pengikut