RITUS AIR
Beberapa waktu belakangan ini, air telah
menjadi perbincangan yang menghebohkan. Timbunan air menyambangi Ibu Kota dan beberapa
daerah lain di Indonesia. Pesta hujan menyebabkan tanah tak lagi mampu
menampung. Banjir kemudian menjadi teman setia yang menemani tiap saat. Bahkan Jakarta
yang selama ini ditasbihkan sebagai kota modern paling eksklusif pun menjelma
menjadi kota usang paling primitif. Air mampu merubah segalanya. Di balik itu,
banyak kisah yang menarasikan keganasan dan kemanfaatan air di Nusantara dan
dunia. Cerita-cerita yang seolah menjadi satir, bagaimana air seharusnya
diperlakukan. Slamet Gundono beberapa waktu lalu membuat Festival Hujan di
Solo. Tak semata hanya sekedar pesta kesenian, namun sebuah ritus menghargai
hujan, pengharapan dan sekaligus permohonan pada sang pembuat air agar sudi memberi
dalam ujud, takaran dan manfaat yang cukup. Namun sayang, ritus semacam itu tak
banyak lagi dijumpai. Manusia menafikan diri dari usaha ritus memohon dan
meminta. Gempuran air kemudian menjadi ironi dan malapetaka kultural.
Kisah Air
Syahdan, Bima mendapat perintah dari
sang guru Durna untuk mencari tirtapawitra, air kehidupan. Air suci yang mampu memberikan
hidup abadi, membersihkan segala kotoran diri. Namun sayang, mencari air itu tidaklah
mudah. Bima harus masuk ke dalam hutan yang angker, dihadapkan dengan dua
raksasa buruk rupa Rukmuka dan Rukmakala. Setelah dua raksasa itu berhasil
dibunuh, barulah diketahui bahwa keduanya adalah jelmaan dari dewa Indra
(penguasa hujan dan petir) dan Bayu (penguasa angin). Pencarian dilanjutkan ke
tengah samudra, Bima harus berhadapan dengan naga yang sangat sakti. Naga
itupun berhasil dimusnahkan. Sesaat kemudian barulah apa yang disebut air suci
itu didapatnya. Bukan berujud air seperti kebanyakan, namun berupa dewa bajang
(dewa ruci). Dari dewa inilah Bima mendapat banyak manfaat berupa nasihat, doa,
pelajaran keagamaan dalam menjaga harmonisasi kehidupan.
Air menjadi simbol. Tak semata benda
berbentuk cair. Darinya tersimpan berjuta kisah tentang kehidupan. Dari
pertemuan air, manusia bisa tercipta. Air wajib ada dalam setiap prosesi ritus
upacara tradisi. Air bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Air adalah sarana
penghubung antara manusia dengan sang pemberi sembuh. Simaklah bagaimana air
dalam prosesi bekas jamasan (penyucian) pusaka di Keraton Solo yang dianggap
bertuah oleh masyarakat. Air yang bercampur dengan karat logam keramat itu
kemudian harus diminum dan dibasuhkan ke wajah. Atau bagaimana batu Ponari,
dukun cilik asal Jombang, yang menjadi mujarab karena medium air.
Dari kisah-kisah tradisi, air
diperlakukan layaknya benda antik. Keberadaannya harus dirayakan, sekaligus juga
dihargai, diyakini dan dijaga. Falsafah hidup yang sebenarnya telah tertuang
dalam tonggak sejarah berdirinya bangsa ini. Kalimat “cintailah tanah air”, tak
semata melukiskan ibu pertiwi dan kesatuan Indonesia. Diksi air menorehkan
cerita dan sekaligus kisah perjuangan bangsa. Air adalah cermin ketangguhan dan
simbol kepemilikan atas hak sebuah bangsa, tak semata tanah. Falsafah air
banyak mengajarkan akan arti kesungguhan dan kesabaran. Batu yang setebal dan
sekuat apapun kemudian harus luluh dan berlubang hanya karena tetesan air yang
intens. Konsistensi, walaupun kecil dan sederhana ternyata mampu menimbulkan
akibat yang besar. Itu hanya dari tetesan air, bagaimana jika tetes demi tetes
itu bersatu dan membentuk gumpalan sekaligus gelombang yang besar. Bisa
dibanyangkan akibatnya.
Karenanya menjadi penting untuk kembali membuncahkan
perilaku bijak dalam memperlakukan air. Yang tak semata harus membuat wadah dan
mengalirkannya ke hilir. Namun sebuah sikap menempatkan air dalam pusaran sumber
kehidupan dengan kembali menggelar ritus, memanjatkan doa-doa, pengharapan,
permintaan dan mungkin pengampunan atas salah yang telah kita lakukan. Tradisi
mengajarkan kita akan ritus ini. Pemanjatan doa atas Dewi Sri misalnya, tak
semata hanya meminta hasil panen padi yang melimpah, namun juga ketercukupan
air. Cukup dalam artian tidak banyak dan tidak kurang, pas sesuai takaran. Sehingga
apa salahnya jika musim hujan datang, kita kembali mengkontemplasikan diri
sebagai ritus memohon dan meminta pada sang sumber air.
Ombak
Air mengisyaratkan pelajaran berharga.
Bagaimana kita memperlakukan lingkungan, tumbuhan, sampah serta tanah akan tertukur
dan terlihat saat musim air –hujan- tiba.
Hasilnya dapat ditebak, banjir melanda dan meruntuhkan segala ambisi
keduniawian. Ekonomi lumpuh, macet tak terelakkan, rumah roboh, penyakit
bermunculan, airmata menetes, pesta kumpulan sampah mulai nampak. Di manapun
yang terlihat hanya air. Orang yang paling berkuasa kemudian terlihat tak jauh
beda dengan para petani desa ketika menggarap sawahnya. Sama-sama
menyingsingkan celana. Menjadi makhluk yang tak berdaya. Air tak melihat status
sosial.
Tsunami dalam beberapa tahun lalu,
mengingatkan kita akan ombak. Meluluhlantakkan kota. Beribu manusia harus
meregang nyawa. Pengertian air yang selama ini kita sangka hanya sekedar tetes,
kemudian menjadi gulungan ombak dan deru gelombang. Yang kita sangka kecil
ternyata mampu membunuh dan melumpuhkan. Kuasa air adalah kuasa tuhan. Namun
jejak tradisi telah ditinggal, tak banyak perayaan doa dan ritus meminta
dilangsungkan. Yang ada kemudian arogansi diri untuk menantang. Lahirlah
berbagai program penangkal banjir. Dari kuasa teknologi, beton dan mesin-mesin
dikerahkan.
Apa yang dilakukan Gundono beberapa
waktu lalu barangkali hanya menjadi satu dari sekian banyak umat manusia
Indonesia yang menghadapi banjir dengan selebrasi ritus. Dengan bunyi-bunyian,
alunan doa, dan kisah koreksi diri. Hasilnya memang tak dapat diukur. Karena
kuasa atas doa hanya tuhan yang tau. Setidaknya, Gundono tidak menantang. Hanya
melukiskan air dalam tradisi memohon dan meminta ampunan. Narasi yang sama
kemudian mengingatkan kita akan kisah para nabi dan air, kala keinginan untuk
terus hidup digersangnya padang pasir terkabul berkat ‘titian doa. Muhammad,
Musa, Ibrahim dan Ismail adalah beberapa di antaranya.
Kisah suram air pernah dilukiskan oleh
Nuh dan bahtera kapalnya. Awal cerita itu dimulai saat Tuhan mengamati perilaku jahat manusia dan
memutuskan untuk mengirimkan banjir ke bumi dan menghancurkan seluruh kehidupan.
Namun Nuh yang dianggap sebagai manusia utama, khusyuk dengan doa-doanya
terselamatkan. Tentu saja Gundono bukanlah Nuh atau sebaliknya. Namun kisah itu
pengajarkan pada kita untuk kembali melihat air dalam konteksnya yang lain.
Air menjadi
banjir. Dan banjir menjadi tradisi. Sementara di sisi lain, kita tidak pernah
belajar dan mengkritisi diri. Kita masih saja menyampahi air, menebang pohon, menjulangkan
gedung berbeton. Ironi negeri air. Kala musim datang menyumbang banjir dan kala
gersang menyumbang api. Manajemen air masih nampak sebagai sebuah barang mahal.
Di sini air diperlakukan secara dilematis, bersinergi dengan sampah dan
kotoran. Padahal di sisi dunia yang lain, air menjadi barang mahal, banyak
manusia mati karena tak mampu berjumpa dengannya. Karenanya, wajar jika timbul
pertanyaan, kapan kita mampu hidup bijak bersanding dengan air? Air tak semata
benda, air adalah ‘makhluk’ yang perlu di rawat dan dijaga.
Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan
Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta