RITUS AIR (dimuat di Koran Joglosemar edisi 21 Januari 2013)



RITUS AIR



Beberapa waktu belakangan ini, air telah menjadi perbincangan yang menghebohkan. Timbunan air menyambangi Ibu Kota dan beberapa daerah lain di Indonesia. Pesta hujan menyebabkan tanah tak lagi mampu menampung. Banjir kemudian menjadi teman setia yang menemani tiap saat. Bahkan Jakarta yang selama ini ditasbihkan sebagai kota modern paling eksklusif pun menjelma menjadi kota usang paling primitif. Air mampu merubah segalanya. Di balik itu, banyak kisah yang menarasikan keganasan dan kemanfaatan air di Nusantara dan dunia. Cerita-cerita yang seolah menjadi satir, bagaimana air seharusnya diperlakukan. Slamet Gundono beberapa waktu lalu membuat Festival Hujan di Solo. Tak semata hanya sekedar pesta kesenian, namun sebuah ritus menghargai hujan, pengharapan dan sekaligus permohonan pada sang pembuat air agar sudi memberi dalam ujud, takaran dan manfaat yang cukup. Namun sayang, ritus semacam itu tak banyak lagi dijumpai. Manusia menafikan diri dari usaha ritus memohon dan meminta. Gempuran air kemudian menjadi ironi dan malapetaka kultural.

Kisah Air
Syahdan, Bima mendapat perintah dari sang guru Durna untuk mencari tirtapawitra, air kehidupan. Air suci yang mampu memberikan hidup abadi, membersihkan segala kotoran diri. Namun sayang, mencari air itu tidaklah mudah. Bima harus masuk ke dalam hutan yang angker, dihadapkan dengan dua raksasa buruk rupa Rukmuka dan Rukmakala. Setelah dua raksasa itu berhasil dibunuh, barulah diketahui bahwa keduanya adalah jelmaan dari dewa Indra (penguasa hujan dan petir) dan Bayu (penguasa angin). Pencarian dilanjutkan ke tengah samudra, Bima harus berhadapan dengan naga yang sangat sakti. Naga itupun berhasil dimusnahkan. Sesaat kemudian barulah apa yang disebut air suci itu didapatnya. Bukan berujud air seperti kebanyakan, namun berupa dewa bajang (dewa ruci). Dari dewa inilah Bima mendapat banyak manfaat berupa nasihat, doa, pelajaran keagamaan dalam menjaga harmonisasi kehidupan.
Air menjadi simbol. Tak semata benda berbentuk cair. Darinya tersimpan berjuta kisah tentang kehidupan. Dari pertemuan air, manusia bisa tercipta. Air wajib ada dalam setiap prosesi ritus upacara tradisi. Air bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Air adalah sarana penghubung antara manusia dengan sang pemberi sembuh. Simaklah bagaimana air dalam prosesi bekas jamasan (penyucian) pusaka di Keraton Solo yang dianggap bertuah oleh masyarakat. Air yang bercampur dengan karat logam keramat itu kemudian harus diminum dan dibasuhkan ke wajah. Atau bagaimana batu Ponari, dukun cilik asal Jombang, yang menjadi mujarab karena medium air.
Dari kisah-kisah tradisi, air diperlakukan layaknya benda antik. Keberadaannya harus dirayakan, sekaligus juga dihargai, diyakini dan dijaga. Falsafah hidup yang sebenarnya telah tertuang dalam tonggak sejarah berdirinya bangsa ini. Kalimat “cintailah tanah air”, tak semata melukiskan ibu pertiwi dan kesatuan Indonesia. Diksi air menorehkan cerita dan sekaligus kisah perjuangan bangsa. Air adalah cermin ketangguhan dan simbol kepemilikan atas hak sebuah bangsa, tak semata tanah. Falsafah air banyak mengajarkan akan arti kesungguhan dan kesabaran. Batu yang setebal dan sekuat apapun kemudian harus luluh dan berlubang hanya karena tetesan air yang intens. Konsistensi, walaupun kecil dan sederhana ternyata mampu menimbulkan akibat yang besar. Itu hanya dari tetesan air, bagaimana jika tetes demi tetes itu bersatu dan membentuk gumpalan sekaligus gelombang yang besar. Bisa dibanyangkan akibatnya.
Karenanya menjadi penting untuk kembali membuncahkan perilaku bijak dalam memperlakukan air. Yang tak semata harus membuat wadah dan mengalirkannya ke hilir. Namun sebuah sikap menempatkan air dalam pusaran sumber kehidupan dengan kembali menggelar ritus, memanjatkan doa-doa, pengharapan, permintaan dan mungkin pengampunan atas salah yang telah kita lakukan. Tradisi mengajarkan kita akan ritus ini. Pemanjatan doa atas Dewi Sri misalnya, tak semata hanya meminta hasil panen padi yang melimpah, namun juga ketercukupan air. Cukup dalam artian tidak banyak dan tidak kurang, pas sesuai takaran. Sehingga apa salahnya jika musim hujan datang, kita kembali mengkontemplasikan diri sebagai ritus memohon dan meminta pada sang sumber air.


Ombak
Air mengisyaratkan pelajaran berharga. Bagaimana kita memperlakukan lingkungan, tumbuhan, sampah serta tanah akan tertukur dan terlihat saat musim air –hujan- tiba. Hasilnya dapat ditebak, banjir melanda dan meruntuhkan segala ambisi keduniawian. Ekonomi lumpuh, macet tak terelakkan, rumah roboh, penyakit bermunculan, airmata menetes, pesta kumpulan sampah mulai nampak. Di manapun yang terlihat hanya air. Orang yang paling berkuasa kemudian terlihat tak jauh beda dengan para petani desa ketika menggarap sawahnya. Sama-sama menyingsingkan celana. Menjadi makhluk yang tak berdaya. Air tak melihat status sosial.
Tsunami dalam beberapa tahun lalu, mengingatkan kita akan ombak. Meluluhlantakkan kota. Beribu manusia harus meregang nyawa. Pengertian air yang selama ini kita sangka hanya sekedar tetes, kemudian menjadi gulungan ombak dan deru gelombang. Yang kita sangka kecil ternyata mampu membunuh dan melumpuhkan. Kuasa air adalah kuasa tuhan. Namun jejak tradisi telah ditinggal, tak banyak perayaan doa dan ritus meminta dilangsungkan. Yang ada kemudian arogansi diri untuk menantang. Lahirlah berbagai program penangkal banjir. Dari kuasa teknologi, beton dan mesin-mesin dikerahkan.
Apa yang dilakukan Gundono beberapa waktu lalu barangkali hanya menjadi satu dari sekian banyak umat manusia Indonesia yang menghadapi banjir dengan selebrasi ritus. Dengan bunyi-bunyian, alunan doa, dan kisah koreksi diri. Hasilnya memang tak dapat diukur. Karena kuasa atas doa hanya tuhan yang tau. Setidaknya, Gundono tidak menantang. Hanya melukiskan air dalam tradisi memohon dan meminta ampunan. Narasi yang sama kemudian mengingatkan kita akan kisah para nabi dan air, kala keinginan untuk terus hidup digersangnya padang pasir terkabul berkat ‘titian doa. Muhammad, Musa, Ibrahim dan Ismail adalah beberapa di antaranya.
Kisah suram air pernah dilukiskan oleh Nuh dan bahtera kapalnya. Awal cerita itu dimulai saat Tuhan mengamati perilaku jahat manusia dan memutuskan untuk mengirimkan banjir ke bumi dan menghancurkan seluruh kehidupan. Namun Nuh yang dianggap sebagai manusia utama, khusyuk dengan doa-doanya terselamatkan. Tentu saja Gundono bukanlah Nuh atau sebaliknya. Namun kisah itu pengajarkan pada kita untuk kembali melihat air dalam konteksnya yang lain.
Air menjadi banjir. Dan banjir menjadi tradisi. Sementara di sisi lain, kita tidak pernah belajar dan mengkritisi diri. Kita masih saja menyampahi air, menebang pohon, menjulangkan gedung berbeton. Ironi negeri air. Kala musim datang menyumbang banjir dan kala gersang menyumbang api. Manajemen air masih nampak sebagai sebuah barang mahal. Di sini air diperlakukan secara dilematis, bersinergi dengan sampah dan kotoran. Padahal di sisi dunia yang lain, air menjadi barang mahal, banyak manusia mati karena tak mampu berjumpa dengannya. Karenanya, wajar jika timbul pertanyaan, kapan kita mampu hidup bijak bersanding dengan air? Air tak semata benda, air adalah ‘makhluk’ yang perlu di rawat dan dijaga.
Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta

Doa untuk Dalang Wayang Suket (dimuat di Jawa Pos 5 Januari 2014)



Doa untuk Dalang Wayang Suket



Slamet Gundono, dalang Wayang Suket itu kini terbaring sakit di Rumah Sakit Yarsis Sukoharjo, Jawa Tengah, sejak 31 Desember 2013 lalu. Ia didera obesitas, komplikasi penyakit ginjal, paru-paru dan Jantung. Bahkan, dalang berpawakan tambun itu koma sejak 3 Januari 2014. Slamet Gundono adalah simbol dari wajah seniman wayang kontemporer di masa kini. Ia menggunakan suket (rumput) sebagai wayang. Mendobrak kelaziman. Awalnya dihujat, tak berselang lama dipuja. Gundono bukan sekedar dalang, ia pandai berteatrikal, suaranya melengking merdu dengan logatnya yang ngapak-ngapak khas Tegal. Lewat pentasnya, ia seringkali membuat orang tertawa terpingkal-pingkal, namun tak jarang juga menghadirkan banjir air mata. Baginya, mendalang tak semata berkisah tantang Ramayana dan Mahabarata, namun juga sesak dengan kritik sosial. Gundono dengan wayang suketnya adalah ekspresi dari suara masyarakat akar rumput. Sederhana, penuh imajinasi namun sarat akan arti dan makna.

Suket
Suket atau rumput adalah tumbuhan yang dianggap benalu dan parasit bagi tumbuhan –tanaman- lain. Kehadirannya harus dipotong dan menjadi menu utama pakan ternak. Namun, suket juga menarasikan tentang budaya desa. Tempat di mana sawah masih membentang luas, sejuk dan lahan hijau. Tempat di mana sapi, kerbau dan kambing banyak dijumpai. Tempat di mana anak-anak bebas bemain, berlari dan jatuh. Suket menjadi alat utama yang menghubungkan anak dengan dunia penuh imajinasi. Suket dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai sosok manusia. Mereka menyulapnya menjadi tokoh wayang hingga superhero mutakhir. Wayang-wayang itu saling bercakap atau berkomunikasi. Merubah dinamika suara pemainnya menjadi lebih maskulin atau fenimin. Alunan gending akapela gamelan didendangkan. Setelahnya, suket itu dibuang karena telah layu. Namun keesokan harinya anak-anak desa kembali, mengambil suket baru dan membentuknya dengan imajinasi yang baru pula. Suket adalah muara kreativitas tanpa batas. Ia mampu menjadi siapa dan apapun.
Peristiwa itulah yang mengilhami Slamet Gundono. Ia berusaha mengisahkan masa indah anak-anak desa dengan mengambil suket sebagai medium wayang dalam setiap pertunjukannya. Iapun kemudian dikenal dengan sebutan “Dalang Wayang Suket”. Memiliki tempat berlatih yang juga ia namakan “Sanggar Suket”. Suket di tangan Gundono menjadi barang berharga yang menggusur eksotisme wayang kulit atau watang-wayang lain. Pertunjukkannya adalah satir bagi kehidupan masa kini. Saat di kala sawah telah berubah menjadi apartemen dan bagunan megah. Di kala sapi, kerbau dan kambing telah terusir dari tanah hidupnya. Saat di kala anak-anak tak lagi mau menjamah suket, berlari dan jatuh, disibukkan dengan pelbagai piranti canggih dari tablet hingga playstation. Gundono hadir menyajikan menu baru mengobati romantisme masyarakat agraris nusantara. Menjadi oase, mengajak manusia masa kini untuk kembali berfikir dan berkontemplasi.  
Gundono memang aneh. Sejak awal ia piawai dalam memainkan wayang kulit Jawa. Bahkan dirinya telah dikenal masyarakat luas. Namun di saat namanya mulai melambung sebagai dalang wayang kulit, ia memutuskan untuk berubah haluan dengan menjadi dalang wayang suket. Banyak yang menyayangkan, namun kemudian justru berbalik mengacungkan jempol dan hormat. Lulusan Jurusan Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta tahun 1999 itu terkenal mbeling (nakal). Ia pernah membuat geger jagat pedalangan dalam Festival Greget Dalang di Solo tahun 1995. Dalam sanggitnya (alur cerita wayang), ia sengaja membikin sosok lima pandawa mati. Tak heran, hal itu membuat penonton yang memadati arena pertunjukan berteriak memprotes kelakuannya. Gundono dianggap merusak pakem pewayangan, di mana tokoh utama (pandawa) haruslah selalu menang dan hidup bahagia selamanya. Padahal di pementasan itu, Gundono hanya ingin mengetahui dan mengukur sejauhmana pandawa masih menjadi sosok pahlawan imajinatif bagi masyarakat Jawa (Niken Satyawati, 2010). Dengan diprotes, Gundono mengetahui bahwa pandawa masih kuat mengilhami kehidupan dan memori masyarakat Jawa.  
Gundono adalah dalang yang dibakali dengan kemampuan intelektual mumpuni, pemikir sekaligus pemerhati. Selama dua tahun ia menjadi penulis tetap Wayang Lindur di Jawa Pos minggu. Lakon-lakon wayang yang selama ini beku oleh pakem menjadi begitu cair kala dituliskannya ulang. Ia membuatnya nampak kekinian, lebih segar dengan menghubungkan pada fenomena yang saat ini terjadi. Mulai dari gosip artis hingga prilaku korup para politikus. Semua dikemasnya dengan ringan, guyonan namun sarat pesan. Gundono menjadi dalang multitalenta. Katalisator yang menghubungkan dunia wayang kepada publik menjadi lebih jenaka dan indah, namun tetap tak kehilangan roh dan “rasa”. Gundono bisa bebas berekspresi memainkan wayang. Ia tidak mempribadi, seringkali mengawinkan antar dunia seni lintas batas. Pertunjukan wayangnya kadangkala diikuti drama teatrikal yang dibawakan oleh seniman-seniman teater. Atau diselingi dengan gerakan-gerakan tari oleh para koreografer. Kolaborasi musik dari para musisi. Serta pembacaan puisi dan karya sastra. Tontonan yang tak mengekang. Wayang suket menjadi laboratorium kreatif, tempat di mana Gundono dan para seniman meretas imajinasi dalam sebuah karya kolaboratif yang menumental.



Doa
Slamet Gundono lahir di Tegal, 19 Juni 1966. Sejak kecil bakat seninya telah terlihat karena faktor genetika dari sang ayah, Ki Suwati, yang juga seorang dalang terkenal. Gundono begitu mengidolakan Ki Narto Sabdo (alm), dalang nakal yang banyak merubah gaya dan pakem di Jawa. Tokoh itu menginspirasi Gundono. Memandang tradisi bukanlah sesuatu yang beku dan sakral. Tradisi adalah inspirasi untuk mencipta karya yang lebih baru dan segar. Tradisi, jika dibiarkan lama juga akan semakin membasi. Gundono kemudian menganggap wayang kulit kini telah “memiskinkan imajinasi”. Baik buruk tokohnya dapat tergambar jelas lewat pencitraan visualnya. Bima dianggap kuat karena memiliki tubuh gempal dan berotot. Raksasa atau buto dianggap jahat karena bertaring dan berwajah jelek. Terlebih dalam beberapa waktu terakhir muncul wayang dengan visualisasi mirip manusia. Bagi Gundono, hal tersebut “dangkal imajinasi”. Ia kemudian berusaha membebaskan wayang dari beragam interpretasi dan tafsir dengan melahirkan wayang suket (1997). Sosok yang dimainkannya dapat berperan ganda alias multi karakter, kadang menjadi Bima, Arjuna, Sinta, Anas Urbaningrum, Akil Mochtar bahkan Angelina Sondakh. Karena kerativitasnya itu ia mendapatkan penghargaan Prince Claus Awards dari pemerintah Kerajaan Belanda di tahun 2005.
Namun sayang, rumput-rumput itu kini tak lagi ada yang menjamah dan membentuknya menjadi wayang. Sang “bapak suket” sedang terkulai tak berdaya. Bagaimanapun ia tetaplah manusia biasa yang mengenal sakit dan luka. Segala titian doa ia harapkan untuk kesembuhan, agar mampu kembali beraktifitas dan berkesenian suket. Megocok perut kita atau menguras air mata dengan lakon dan kisah-kisah indahnya. Gundono menjadi inspirasi bagi seniman wayang kontemporer. Beberapa sahabat, seniman dan budayawan di Solo berniat menggelar aksi solidaritas berujud pengumpulan dana untuk sang mbeling itu. Tentu Gundono bukan hanya milik masyarakat seni (pertunjukan) semata, namun telah menjadi bagian penting yang turut menggerakkan roda kebudayaan di Indonesia dan Jawa pada khsususnya. Oleh karena itu, sudilah kiranya pembaca tulisan ini meluangkan doa (atau lebih dari itu) untuknya. Slamet Gundono, semoga lekas pulih!
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Sekaten Kehilangan Keagungan (dimuat di Suara Merdeka 5 Januari 2014)


Sekaten Kehilangan Keagungan





Gamelan sekaten di Solo  ditabuh bertalu-talu pada 7-14 Januari 2014. Sekaten tak semata timbunan bunyi gamelan, namun selebrasi besar-besaran tentang pesta dan keramaian pasar. Jejak-jejak kuasa Islam (Maulid Nabi) semakin tipis tak terbaca, tertutup dengan ambisi mengejar pundi-pundi keuntungan materi penuh pamrih lewat ramainya pasar malam yang dihelat sebulan penuh. Sejarah dan kedudukan sekaten seolah tak lagi genting untuk ditelisik. Hanya menjadi mitos yang berakhir untuk dilupakan. Membicarakan sekaten kemudian tak lagi mampu bertatut dengan Islam dan kebudayaan Jawa, namun ajang bisnis dan ambisi mengeruk pamrih.



Jejak

Menelisik sekaten berarti melihat gamelan itu tak semata bunyi, namun ambisi perjuangan Jawa menjadi Islam. Sekaten lahir sebagai upaya dalam mempertemukan Jawa dengan Islam. Ia muncul ke hadapan publik untuk terlibat dalam upaya syiar, dakwah, peradaban, perdamaian, kemanusiaan dengan menghadirkan gamelan sebagai modal. Sekaten merupakan salah satu gamelan yang memiliki ukuran besar (raksasa) dibanding dengan jenis gamelan lainnya (gamelan ageng). Ukuran menandakan kebesaran, keagungan dan legitimasi atas bunyi yang dimilikinya.

Di Jawa, berbagai ragam kesenian (tradisi) bertalian erat dengan ritus religi dan kemanusiaan. Misionaris Islam termasuk para wali kemudian memanfaatkannya untuk penyebaran agama Islam. Sunan Kalijaga, adalah satu-satunya wali yang dianggap penting dalam penyebaran Islam-Jawa dengan caranya yang unik, kalau tak boleh dikata eksentrik. Ia membuat gamelan yang aneh, semua berwujud pencu (semacam gong) dengan ukuran super jumbo. Setelah Jadi, gamelan itu ditabuh bertalu-talu. Terdengar hingga radius yang jauh. Memekakkan telinga, namun orkestrasinya indah. Membuat masyarakat sekitar penasaran untuk mencari muara sumber bunyi. Ternyata gamelan itu berada di samping masjid agung keraton kasunanan. Jumlahnya dua, bernama Kiyai Guntur Madu dan Guntur Sari.

Masyarakat tak bisa langsung menikmati gamelan itu dari dekat, apalagi melihat dan menyentuhnya. Sunan Kalijaga sengaja membuat aturan bagi siapa saja yang hendak melihat gamelan itu. Setiap orang yang datang diharuskan untuk mambasuh dirinya dengan air dan membaca dua kalimat syahadat “Asyhadu an-laa ilaaha illallaah Wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah”. Sebuah kalimat sakral agama Islam yang dengan membacanya berarti mengakui Allah sebagai satu-satunya tuhan dan Muhammad adalah utusannya (rasul). Kundharu Saddhono lewat tulisannya berjudul Tradisi Sekaten di Keraton Surakarta (2008) menjalaskan bahwa “syahadat” menjadi inspirasi untuk menamakan gamelan baru itu dengan “sekaten”, yang berasal dari kata syahadatain (kalimat syahadat). Waktu pembunyiannyapun disesuaikan dengan kelahiran Nabi Muhammad pada 12 Maulud atau 12 Rabiul Awal.

Dua gemelan sekaten itu masih diberi gelar “kiyai”. Kata itu dalam tradisi budaya Jawa tak semata mencerminkan tokoh ulama Islam. Namun sebuah simbol keagungan terhadap sesuatu (benda) yang disakralkan, dijunjung, disanjung, disembah, diagungkan dan dipuja. Gamelan Sekaten tak lagi memiliki kodratnya sebagai alat musik semata, namun menjadi pusat dari ritus pengharapan dan cita-cita. Sekaten kemudian tak melulu Islam. Berbagai pernah-pernik sesaji Jawa dihadirkan. Dari pekatnya bau dupa, harum bunga tujuh rupa hingga mengepulnya asap kemenyan, menghiasi warna bunyi gamelan yang hadir selama  seminggu dalam perayaan Maulid Nabi.

A.M. Susilo Pradoko dalam tulisannya Fungsi dan Makna Simbolik Gamelan Sekaten (1995) menarasikan bagaimana fungsi gamelan sekaten selain sebagai upaya dalam penyebaran agama Islam juga menjadi simbol legitimasi kebesaran Raja dan keraton Jawa. Dengan membanjirnya masyarakat yang datang untuk menyaksikan gamelan sekaten di area keraton, menandaskan bahwa raja dan keratonnya masih menjadi pusat dan gantungan hidup kebudayaan di Jawa. Terlebih kehadiran sekaten diikuti dengan perayaan lain seperti jamasan pusaka (penyucian pusaka), grebeg gunungan yang semua dikontrol oleh kekuasaan keraton.

Lambat laun, sekaten telah berubah menjadi lebih glamor, gemerlap dan ramai. Keberadaan sekaten diikuti dengan perayaan pesta rakyat berupa hiburan pasar malam. Lautan manusia membanjirinya. Kelindan bunyi sekaten semakin tertutupi oleh soundscape musik dangdut, lalu-lalang mainan anak-anak dan gemuruh bunyi pedagang menawarkan barang dagangannya. Sekaten menjadi bunyi dari benturan suara yang kalah. Gamelan sekaten berubah ironi bagi kebudayaan mutakhir di Jawa. Mendatangi ritus gamelan sekaten menjadi bagian dari tradisi yang dianggap mulai membasi, sementara berlama-lama di pasar malam adalah cermin gaya hidup manusia Jawa masa kini. Islam dan sekaten semakin tak menemukan ruang perjumpaannya, terhimpit oleh ribuan kepentingan dengan semata mengejar pamrih, bisnis, untung dan materi.





Sekat

Gamelan sekaten masa kini menjadi barang antik, kalau tak boleh dibilang usang. Kehadirannya semata hanya sebagai pelengkap ingar-bingar sebuah pesta –pasar- yang besar. Goresan sejarah sekaten oleh para tokoh kebudayaan Jawa-Islam semakin tak mampu terwacanakan ke publik. Ruang-ruang penampakannya hanya dalam kelas-kelas pelajaran sejarah yang cenderung beku dan eksklusif. Anak-anak Jawa masa kini kemudian gegar sejarah budaya, termasuk sekaten. Dimanjakan dengan berbagai ragam menu hiburan, mainan, bunyi dan makanan. Sementara alpa untuk menelisik kembali posisi sentral dan sumbangsih perayaan (gamelan) sekaten dalam detak kebudayaan Jawa.

Saat pesta usai, yang tertinggal bukan lagi ikhtiar untuk kembali mengkusyukkan diri, mempertebal ruang religi masing-masing personal. Apalagi menghadirkan dan mengenang kembali guratan sejarah yang pernah terjadi. Yang ada kemudian hanya tumpukan sampah menggunung, hitung-hitungan untung-rugi dagang, pesta dompet oleh para pencopet. Berbicara sekaten berarti membicarakan bisnis. Perayaan sekaten menjadi sekat yang menarasikan antara dua manusia, yang tradisi dan masa kini. Keduanya berjumpa namun dengan tujuan yang berbeda. Satu sisi lebih pada telisik sejarah dan ibadah ritus religius, sisi lain adalah tamasya kenikmatan duniawi.

Bagaimanapun juga sekaten melukiskan memori dan imajinasi akan perjuangan dan kebesaran Islam-Jawa. Darinya banyak manfaat yang dapat kita petik, laku sejarah, nilai moral dan kemanusiaan. Sekaten hadir sebagai spirit dialogis antar manusia, mempertautkan keberagaman budaya (Jawa) dalam satu ruang persenyawaan, Islam. Wajah baru sekaten kemudian justru menjadi satir budaya masa kini. Seolah berusaha menyadarkan kita bahwa laku konsumerisme, moderenitas, liberalisme, kapitalis telah merasuk ke berbagai ruang-ruang kehidupan masa kini, bahkan pada apa yang kita sangka paling privat sekalipun.

Ziarah sekaten harusnya merapal akan doa-doa, unjuk permohonan dan kontemplasi diri. Alunan gending gamelan (rambu-rangkung) melukiskan sebuah kisah tentang sejarah kebesaran kebudayaan Jawa. Bercerita tentang penghargaan, kepemilikian dan bersatunya antara Jawa-Islam di Nusantara. Sekaten seolah bersua bahwa yang Jawa adalah Islam, dan yang Islam tak lain adalah Jawa. Masyarakat boleh saja terlena dengan suguhan bising pasar malam dan glamournya barang dagangan. Namun setidaknya, selama bunyi gamelan sekaten masih menggaung -walau sayup-sayup kalah gaduh-, masih menandakan bahwa detak kebudayaan Islam-Jawa masih berdenyut. Dan bagi masyarakat pengikutnya, bulan ini kuyup dengan ritus doa dan telisik sejarah.

Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta 

Taman dan Simpul Budaya (dimuat di Jawa Pos Radar Surabaya 5 Januari 2014)



Taman dan Simpul Budaya



Taman Bungkul Surabaya menerima penghargaan internasional "The 2013 Asian Townscape Award" (ATA) untuk kategori Taman Terbaik Se-Asia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 26 November lalu. Kehadiran taman pada sebuah kota menjadi babak penting dalam abad XXI kala ruang-ruang terenggut dan terhimpit oleh bagunan tinggi menjulang yang kokoh dan angkuh. Lahan luas menjadi pemandangan langka. Gerak manusia semakin terbatasi. Taman mengidentikkan diri dengan kota, sementara desa justru tak mengenal taman. Taman kemudaian tak hanya sekadar dimaknai sebagai tempat penuh bunga yang teduh dan sejuk. Namun juga penanda adab budaya, tentang interaksi sosial, berbagi sapa dan telisik sejarah, siapa dan dari mana kita berasal.

Mitos
Laurie (1986) mendefinisikan taman sebagai sebidang lahan berpagar yang digunakan untuk mendapatkan kesenangan, kegembiraan dan kenyamanan. Di lahan itu biasanya ditanam pelbagai jenis tumbuhan hijau penyumbang oksigen bagi tubuh, serta mainan anak-anak semacam komedi putar dan ayunan. Di taman semua orang berhak mendapatkan tawa dan kegembiraan. Menjadi hiburan dalam melepas lelah di balik rutinitas kerja yang menjemukan. Taman menjadi oase yang menyegarkan. Kehadiran taman semakin penting, mengingat ruang terbuka telah beralih ujud menjadi mal, bioskop serta apartemen. Kota mutlak membutuhkan taman.
Kisah tentang taman pernah berdiam dalam epos wayang –Ramayana- di Jawa. Syahdan, Sumantri sebagai pemuda dan kesatria yang tampan berniat mengabdikan hidupnya pada raja Arjuna Sosorobahu. Namun ada satu syarat yang diberikan raja pada Sumantri, memindahkan taman Sriwedari dari kahyangan ke kerajaannya. Taman Sriwedari adalah tamannya para dewa yang indah dan mempesona layaknya surga. Singkat cerita, dengan bantuan adiknya, Sumantri dapat memindah Taman Sriwedari itu dalam tempo yang cepat. Kerajaan menjadi nampak indah. Taman itu memberi kekaguman dan tempat memadu kasih antara raja dan permaisurinya. Terilhami dari epos itu, Paku Buwono X (1893-1939) membangun taman di Solo dengan nama yang sama, Sriwedari. Nama itu mengandung imajinasi serupa dengan kisah negeri para dewa. Taman Sriwedari awalnya menjadi tempat rekreasi raja dan penghuni istana, namun kemudian dibuka untuk umum.
Setali tiga uang dengan Sriwedari yang dibangun oleh mitos, Taman Bungkul dipercaya sebagai tempat peristirahatan Ki Supo atau yang juga dikenal sebagai Sunan Bungkul. Ia adalah ulama dari kerajaan Majapahit dan masih terhitung saudara ipar Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Nama makam itu mengisahkan pertautan antara masyarakat Surabaya dengan Islam. Ziarah dilakukan dengan melantunkan doa di tepian makam. Bungkul tak lagi mempribadi, yang semata hanya makam. Namun berpendar menjadi nama taman yang kemudian menjadi tempat publik. Mitos yang wingit itupun pecah. Bungkul semakin ramai dikunjungi orang. Taman itu ditata untuk memanjakan tubuh dan mata. Bungkul juga laksana pasar malam dengan hadirnya pelbagai warung makan, mainan dan hiburan yang memuaskan. Adab budaya dapat dilihat dengan lentur. Tak lagi mengenal kasta, agama dan golongan, tak pula ada batasan. Setiap orang dapat dengan mudah masuk ke taman tanpa terusik oleh beban-beban status sosialnya. Hal inilah yang membedakan taman dengan mal atau tempat rekreasi paling mutakhir. Apabila di mal, ekspresi kepura-puraan dipertontonkan. Masyarakat mendandani tubuh dan baju seglamour mungkin untuk masuk ke mal agar tak telihat udik dan kampungan. Sementara di taman, kita lebih terlihat natural dan menjadi diri sendiri yang apa-adanya.
Taman menyulap dirinya sebagai “bejana sosial”. Mengakomodasi lapis masyarakat yang tanpa malu untuk mengakui tentang siapa dan dari mana ia berasal. Menjadi “katalisator” yang mengubungkan antara satu individu dengan individu yang lain. Bungkul adalah wujud kerinduan masyarakat Kota Surabaya tentang lahan dan budaya desa. Di mana pengamen jalanan tanpa malu memetik gitarnya bahkan dengan suara sumbang, mengharap uluran uang dari para pengunjung taman. Anak-anak bebas berlari dan bermain tanpa canggung dan takut tertabrak ramainya kendaraan di jalan. Pemuda-pemudi bertemu untuk berkumpul, berdiskusi bahkan memadu kasih. Di taman itu jarang sekali terlihat ekspresi kesedihan dan air mata. Yang ada hanya senyum dan tawa. Pedagang asongan menawarkan barang dagangannya dengan harga yang relatif murah. Pengunjung tak malu untuk makan krupuk opil, tahu petis dan es gronjong. Makanan dan cemilan yang selama ini terdegradasi dari ruang publik semacam mal dan restoran.




Urgensi
Taman Bungkul adalah ruang terbuka hijau di lahan seluas 900 meter persegi, terletak di Jalan Raya Darmo. Taman itu dilengkapi dengan pelbagai sarana pendukung seperti jogging track, akses internet nirkabel, amfiteater, dan arena skateboard. Bungkul menyulap dirinya sebagai “taman pintar” yang memberi pelayanan bagi kepuasan publik. Pantas jika masyarakat mampu berlama-lama berdiam di tempat itu. Surabaya mampu memberi contoh tentang adab budaya kota dewasa ini. Di kala kota-kota lain berpacu untuk mengeruk ambisi bisnis dengan mambangun gedung betingkat. Surabaya masih dapat ditelisik dengan jelas jejak peradaban masyarakatnya lewat Taman Bungkul. Taman yang kemudian menjadi penanda dan alat ukur objektif dalam melihat detak lingkaran budaya (kultureisme). Menjelaskan sejauh mana masyarakat telah berubah dan bagaimana perubahan itu telah terjadi. Otomatis taman bukan lagi sekadar tempat, namun juga menarasikan tentang simbol dan makna kebudayaan.
Bungkul memberi pikat bagi taman lain untuk melakukan hal serupa. Taman dan kota kadang juga menjalin hubungan yang paradoksal. Di satu sisi kota mendambakan perubahan yang drastis dengan mengusung visinya sebagai tempat paling modern, canggih dan kekinian. Kota, tempat segala pergulatan hidup diberlangsungkan. Menjadi medan yang semata hanya berisi tentang kisah untung dan rugi. Hidup di kota adalah perjuangan dalam kebertahanan, eksistensi dan harga diri. Orang rela tidur di kolong jembatan untuk mendapatkan sesuap nasi. Ia dengan lantang dapat memamerkan gaya hidup dan lokus tempat tinggalnya kala pulang ke kampung halamannya di desa. Kota menjadi ajang untuk pamer.
Namun di sisi lain, kota tak juga rela kehilangan memori tentang sejarah dan asal usulnya. Kota masih bernostalgia tentang lahan luas yang menyuplai keteduhan dan ikatan emosional budaya. Taman-taman dimunculkan guna memberi simpul pada perubahan. Orang-orang berbondong mendatanginya untuk menghirup udara segar dan bercengkrama dengan sesama. Nukilan budaya yang semakin ditinggalkan namun sayup-sayup rindu untuk dilakukan. Kehadiran taman di kota tak ubahnya setetes air di padang pasir. Dipuja dan didamba. Tak mengherankan kemudian jika Bungkul di kala malam penuh sesak dengan kehadiran tubuh manusia. Berdesakan dan berebut lahan untuk mengistirahatkan tubuh. Fenomena ini mengindikasikan kerinduan dan keinginan yang puncak tentang kehadiran ruang publik. Taman Bungkul menambah warna bagi budaya di Kota Surabaya. Menginspirasi bahwa taman bukan hanya lahan, namun juga sarat akan pelbagai kepentingan. Penghargaan untuk taman hanya ada di kota bukan di desa. Padahal di desa, taman justru lebih indah dan eksotis. Hal ini mengisahkan bahwa kota semakin darurat taman! Hingga kehadirannya menjadi kontestasi yang harus dinilai dan diperlombakan. Taman dengan demikian menarasikan urgensi adab budaya masyarakat kota.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Pengikut