Taman dan Simpul
Budaya
Taman Bungkul Surabaya menerima
penghargaan internasional "The 2013 Asian
Townscape Award" (ATA) untuk kategori Taman Terbaik Se-Asia dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 26 November lalu. Kehadiran taman pada
sebuah kota menjadi babak penting dalam abad XXI kala ruang-ruang terenggut dan
terhimpit oleh bagunan tinggi menjulang yang kokoh dan angkuh. Lahan luas
menjadi pemandangan langka. Gerak manusia semakin terbatasi. Taman
mengidentikkan diri dengan kota, sementara desa justru tak mengenal taman. Taman
kemudaian tak hanya sekadar dimaknai sebagai tempat penuh bunga yang teduh dan
sejuk. Namun juga penanda adab budaya, tentang interaksi sosial, berbagi sapa
dan telisik sejarah, siapa dan dari mana kita berasal.
Mitos
Laurie (1986)
mendefinisikan taman sebagai sebidang lahan berpagar yang digunakan untuk
mendapatkan kesenangan, kegembiraan dan kenyamanan. Di lahan itu biasanya
ditanam pelbagai jenis tumbuhan hijau penyumbang oksigen bagi tubuh, serta
mainan anak-anak semacam komedi putar dan ayunan. Di taman semua orang berhak
mendapatkan tawa dan kegembiraan. Menjadi hiburan dalam melepas lelah di balik
rutinitas kerja yang menjemukan. Taman menjadi oase yang menyegarkan. Kehadiran
taman semakin penting, mengingat ruang terbuka telah beralih ujud menjadi mal,
bioskop serta apartemen. Kota mutlak membutuhkan taman.
Kisah tentang taman
pernah berdiam dalam epos wayang –Ramayana- di Jawa. Syahdan, Sumantri sebagai
pemuda dan kesatria yang tampan berniat mengabdikan hidupnya pada raja Arjuna
Sosorobahu. Namun ada satu syarat yang diberikan raja pada Sumantri,
memindahkan taman Sriwedari dari kahyangan ke kerajaannya. Taman Sriwedari
adalah tamannya para dewa yang indah dan mempesona layaknya surga. Singkat
cerita, dengan bantuan adiknya, Sumantri dapat memindah Taman Sriwedari itu
dalam tempo yang cepat. Kerajaan menjadi nampak indah. Taman itu memberi kekaguman
dan tempat memadu kasih antara raja dan permaisurinya. Terilhami dari epos itu,
Paku Buwono X (1893-1939) membangun taman di Solo dengan nama yang sama,
Sriwedari. Nama itu mengandung imajinasi serupa dengan kisah negeri para dewa.
Taman Sriwedari awalnya menjadi tempat rekreasi raja dan penghuni istana, namun
kemudian dibuka untuk umum.
Setali tiga uang dengan Sriwedari yang
dibangun oleh mitos, Taman Bungkul dipercaya sebagai tempat peristirahatan Ki
Supo atau yang juga dikenal sebagai Sunan Bungkul. Ia adalah ulama dari
kerajaan Majapahit dan masih terhitung saudara ipar Raden Rahmat atau Sunan
Ampel. Nama makam itu mengisahkan pertautan antara masyarakat Surabaya dengan
Islam. Ziarah dilakukan dengan melantunkan doa di tepian makam. Bungkul tak
lagi mempribadi, yang semata hanya makam. Namun berpendar menjadi nama taman
yang kemudian menjadi tempat publik. Mitos yang wingit itupun pecah. Bungkul semakin
ramai dikunjungi orang. Taman itu ditata untuk memanjakan tubuh dan mata.
Bungkul juga laksana pasar malam dengan hadirnya pelbagai warung makan, mainan
dan hiburan yang memuaskan. Adab budaya dapat dilihat dengan lentur. Tak lagi
mengenal kasta, agama dan golongan, tak pula ada batasan. Setiap orang dapat
dengan mudah masuk ke taman tanpa terusik oleh beban-beban status sosialnya.
Hal inilah yang membedakan taman dengan mal atau tempat rekreasi paling
mutakhir. Apabila di mal, ekspresi kepura-puraan dipertontonkan. Masyarakat
mendandani tubuh dan baju seglamour mungkin untuk masuk ke mal agar tak telihat
udik dan kampungan. Sementara di taman, kita lebih terlihat natural dan menjadi
diri sendiri yang apa-adanya.
Taman menyulap dirinya sebagai “bejana
sosial”. Mengakomodasi lapis masyarakat yang tanpa malu untuk mengakui tentang
siapa dan dari mana ia berasal. Menjadi “katalisator” yang mengubungkan antara
satu individu dengan individu yang lain. Bungkul adalah wujud kerinduan
masyarakat Kota Surabaya tentang lahan dan budaya desa. Di mana pengamen
jalanan tanpa malu memetik gitarnya bahkan dengan suara sumbang, mengharap
uluran uang dari para pengunjung taman. Anak-anak bebas berlari dan bermain
tanpa canggung dan takut tertabrak ramainya kendaraan di jalan. Pemuda-pemudi
bertemu untuk berkumpul, berdiskusi bahkan memadu kasih. Di taman itu jarang
sekali terlihat ekspresi kesedihan dan air mata. Yang ada hanya senyum dan
tawa. Pedagang asongan menawarkan barang dagangannya dengan harga yang relatif
murah. Pengunjung tak malu untuk makan krupuk
opil, tahu petis dan es gronjong. Makanan dan cemilan yang selama ini
terdegradasi dari ruang publik semacam mal dan restoran.
Urgensi
Taman
Bungkul adalah ruang terbuka hijau di lahan seluas 900 meter persegi, terletak
di Jalan Raya Darmo. Taman itu dilengkapi dengan pelbagai sarana pendukung
seperti jogging track, akses
internet nirkabel, amfiteater, dan arena skateboard. Bungkul
menyulap dirinya sebagai “taman pintar” yang memberi pelayanan bagi kepuasan
publik. Pantas jika masyarakat mampu berlama-lama berdiam di tempat itu.
Surabaya mampu memberi contoh tentang adab budaya kota dewasa ini. Di kala
kota-kota lain berpacu untuk mengeruk ambisi bisnis dengan mambangun gedung
betingkat. Surabaya masih dapat ditelisik dengan jelas jejak peradaban
masyarakatnya lewat Taman Bungkul. Taman yang kemudian menjadi penanda dan alat
ukur objektif dalam melihat detak lingkaran budaya (kultureisme). Menjelaskan sejauh
mana masyarakat telah berubah dan bagaimana perubahan itu telah terjadi.
Otomatis taman bukan lagi sekadar tempat, namun juga menarasikan tentang simbol
dan makna kebudayaan.
Bungkul memberi pikat bagi taman lain
untuk melakukan hal serupa. Taman dan kota kadang juga menjalin hubungan yang
paradoksal. Di satu sisi kota mendambakan perubahan yang drastis dengan
mengusung visinya sebagai tempat paling modern, canggih dan kekinian. Kota,
tempat segala pergulatan hidup diberlangsungkan. Menjadi medan yang semata
hanya berisi tentang kisah untung dan rugi. Hidup di kota adalah perjuangan
dalam kebertahanan, eksistensi dan harga diri. Orang rela tidur di kolong
jembatan untuk mendapatkan sesuap nasi. Ia dengan lantang dapat memamerkan gaya
hidup dan lokus tempat tinggalnya kala pulang ke kampung halamannya di desa.
Kota menjadi ajang untuk pamer.
Namun di sisi lain, kota tak juga rela
kehilangan memori tentang sejarah dan asal usulnya. Kota masih bernostalgia
tentang lahan luas yang menyuplai keteduhan dan ikatan emosional budaya.
Taman-taman dimunculkan guna memberi simpul pada perubahan. Orang-orang
berbondong mendatanginya untuk menghirup udara segar dan bercengkrama dengan
sesama. Nukilan budaya yang semakin ditinggalkan namun sayup-sayup rindu untuk
dilakukan. Kehadiran taman di kota tak ubahnya setetes air di padang pasir.
Dipuja dan didamba. Tak mengherankan kemudian jika Bungkul di kala malam penuh
sesak dengan kehadiran tubuh manusia. Berdesakan dan berebut lahan untuk
mengistirahatkan tubuh. Fenomena ini mengindikasikan kerinduan dan keinginan
yang puncak tentang kehadiran ruang publik. Taman Bungkul menambah warna bagi
budaya di Kota Surabaya. Menginspirasi bahwa taman bukan hanya lahan, namun
juga sarat akan pelbagai kepentingan. Penghargaan untuk taman hanya ada di kota
bukan di desa. Padahal di desa, taman justru lebih indah dan eksotis. Hal ini
mengisahkan bahwa kota semakin darurat taman! Hingga kehadirannya menjadi
kontestasi yang harus dinilai dan diperlombakan. Taman dengan demikian
menarasikan urgensi adab budaya masyarakat kota.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar