Doa untuk Dalang Wayang Suket (dimuat di Jawa Pos 5 Januari 2014)



Doa untuk Dalang Wayang Suket



Slamet Gundono, dalang Wayang Suket itu kini terbaring sakit di Rumah Sakit Yarsis Sukoharjo, Jawa Tengah, sejak 31 Desember 2013 lalu. Ia didera obesitas, komplikasi penyakit ginjal, paru-paru dan Jantung. Bahkan, dalang berpawakan tambun itu koma sejak 3 Januari 2014. Slamet Gundono adalah simbol dari wajah seniman wayang kontemporer di masa kini. Ia menggunakan suket (rumput) sebagai wayang. Mendobrak kelaziman. Awalnya dihujat, tak berselang lama dipuja. Gundono bukan sekedar dalang, ia pandai berteatrikal, suaranya melengking merdu dengan logatnya yang ngapak-ngapak khas Tegal. Lewat pentasnya, ia seringkali membuat orang tertawa terpingkal-pingkal, namun tak jarang juga menghadirkan banjir air mata. Baginya, mendalang tak semata berkisah tantang Ramayana dan Mahabarata, namun juga sesak dengan kritik sosial. Gundono dengan wayang suketnya adalah ekspresi dari suara masyarakat akar rumput. Sederhana, penuh imajinasi namun sarat akan arti dan makna.

Suket
Suket atau rumput adalah tumbuhan yang dianggap benalu dan parasit bagi tumbuhan –tanaman- lain. Kehadirannya harus dipotong dan menjadi menu utama pakan ternak. Namun, suket juga menarasikan tentang budaya desa. Tempat di mana sawah masih membentang luas, sejuk dan lahan hijau. Tempat di mana sapi, kerbau dan kambing banyak dijumpai. Tempat di mana anak-anak bebas bemain, berlari dan jatuh. Suket menjadi alat utama yang menghubungkan anak dengan dunia penuh imajinasi. Suket dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai sosok manusia. Mereka menyulapnya menjadi tokoh wayang hingga superhero mutakhir. Wayang-wayang itu saling bercakap atau berkomunikasi. Merubah dinamika suara pemainnya menjadi lebih maskulin atau fenimin. Alunan gending akapela gamelan didendangkan. Setelahnya, suket itu dibuang karena telah layu. Namun keesokan harinya anak-anak desa kembali, mengambil suket baru dan membentuknya dengan imajinasi yang baru pula. Suket adalah muara kreativitas tanpa batas. Ia mampu menjadi siapa dan apapun.
Peristiwa itulah yang mengilhami Slamet Gundono. Ia berusaha mengisahkan masa indah anak-anak desa dengan mengambil suket sebagai medium wayang dalam setiap pertunjukannya. Iapun kemudian dikenal dengan sebutan “Dalang Wayang Suket”. Memiliki tempat berlatih yang juga ia namakan “Sanggar Suket”. Suket di tangan Gundono menjadi barang berharga yang menggusur eksotisme wayang kulit atau watang-wayang lain. Pertunjukkannya adalah satir bagi kehidupan masa kini. Saat di kala sawah telah berubah menjadi apartemen dan bagunan megah. Di kala sapi, kerbau dan kambing telah terusir dari tanah hidupnya. Saat di kala anak-anak tak lagi mau menjamah suket, berlari dan jatuh, disibukkan dengan pelbagai piranti canggih dari tablet hingga playstation. Gundono hadir menyajikan menu baru mengobati romantisme masyarakat agraris nusantara. Menjadi oase, mengajak manusia masa kini untuk kembali berfikir dan berkontemplasi.  
Gundono memang aneh. Sejak awal ia piawai dalam memainkan wayang kulit Jawa. Bahkan dirinya telah dikenal masyarakat luas. Namun di saat namanya mulai melambung sebagai dalang wayang kulit, ia memutuskan untuk berubah haluan dengan menjadi dalang wayang suket. Banyak yang menyayangkan, namun kemudian justru berbalik mengacungkan jempol dan hormat. Lulusan Jurusan Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta tahun 1999 itu terkenal mbeling (nakal). Ia pernah membuat geger jagat pedalangan dalam Festival Greget Dalang di Solo tahun 1995. Dalam sanggitnya (alur cerita wayang), ia sengaja membikin sosok lima pandawa mati. Tak heran, hal itu membuat penonton yang memadati arena pertunjukan berteriak memprotes kelakuannya. Gundono dianggap merusak pakem pewayangan, di mana tokoh utama (pandawa) haruslah selalu menang dan hidup bahagia selamanya. Padahal di pementasan itu, Gundono hanya ingin mengetahui dan mengukur sejauhmana pandawa masih menjadi sosok pahlawan imajinatif bagi masyarakat Jawa (Niken Satyawati, 2010). Dengan diprotes, Gundono mengetahui bahwa pandawa masih kuat mengilhami kehidupan dan memori masyarakat Jawa.  
Gundono adalah dalang yang dibakali dengan kemampuan intelektual mumpuni, pemikir sekaligus pemerhati. Selama dua tahun ia menjadi penulis tetap Wayang Lindur di Jawa Pos minggu. Lakon-lakon wayang yang selama ini beku oleh pakem menjadi begitu cair kala dituliskannya ulang. Ia membuatnya nampak kekinian, lebih segar dengan menghubungkan pada fenomena yang saat ini terjadi. Mulai dari gosip artis hingga prilaku korup para politikus. Semua dikemasnya dengan ringan, guyonan namun sarat pesan. Gundono menjadi dalang multitalenta. Katalisator yang menghubungkan dunia wayang kepada publik menjadi lebih jenaka dan indah, namun tetap tak kehilangan roh dan “rasa”. Gundono bisa bebas berekspresi memainkan wayang. Ia tidak mempribadi, seringkali mengawinkan antar dunia seni lintas batas. Pertunjukan wayangnya kadangkala diikuti drama teatrikal yang dibawakan oleh seniman-seniman teater. Atau diselingi dengan gerakan-gerakan tari oleh para koreografer. Kolaborasi musik dari para musisi. Serta pembacaan puisi dan karya sastra. Tontonan yang tak mengekang. Wayang suket menjadi laboratorium kreatif, tempat di mana Gundono dan para seniman meretas imajinasi dalam sebuah karya kolaboratif yang menumental.



Doa
Slamet Gundono lahir di Tegal, 19 Juni 1966. Sejak kecil bakat seninya telah terlihat karena faktor genetika dari sang ayah, Ki Suwati, yang juga seorang dalang terkenal. Gundono begitu mengidolakan Ki Narto Sabdo (alm), dalang nakal yang banyak merubah gaya dan pakem di Jawa. Tokoh itu menginspirasi Gundono. Memandang tradisi bukanlah sesuatu yang beku dan sakral. Tradisi adalah inspirasi untuk mencipta karya yang lebih baru dan segar. Tradisi, jika dibiarkan lama juga akan semakin membasi. Gundono kemudian menganggap wayang kulit kini telah “memiskinkan imajinasi”. Baik buruk tokohnya dapat tergambar jelas lewat pencitraan visualnya. Bima dianggap kuat karena memiliki tubuh gempal dan berotot. Raksasa atau buto dianggap jahat karena bertaring dan berwajah jelek. Terlebih dalam beberapa waktu terakhir muncul wayang dengan visualisasi mirip manusia. Bagi Gundono, hal tersebut “dangkal imajinasi”. Ia kemudian berusaha membebaskan wayang dari beragam interpretasi dan tafsir dengan melahirkan wayang suket (1997). Sosok yang dimainkannya dapat berperan ganda alias multi karakter, kadang menjadi Bima, Arjuna, Sinta, Anas Urbaningrum, Akil Mochtar bahkan Angelina Sondakh. Karena kerativitasnya itu ia mendapatkan penghargaan Prince Claus Awards dari pemerintah Kerajaan Belanda di tahun 2005.
Namun sayang, rumput-rumput itu kini tak lagi ada yang menjamah dan membentuknya menjadi wayang. Sang “bapak suket” sedang terkulai tak berdaya. Bagaimanapun ia tetaplah manusia biasa yang mengenal sakit dan luka. Segala titian doa ia harapkan untuk kesembuhan, agar mampu kembali beraktifitas dan berkesenian suket. Megocok perut kita atau menguras air mata dengan lakon dan kisah-kisah indahnya. Gundono menjadi inspirasi bagi seniman wayang kontemporer. Beberapa sahabat, seniman dan budayawan di Solo berniat menggelar aksi solidaritas berujud pengumpulan dana untuk sang mbeling itu. Tentu Gundono bukan hanya milik masyarakat seni (pertunjukan) semata, namun telah menjadi bagian penting yang turut menggerakkan roda kebudayaan di Indonesia dan Jawa pada khsususnya. Oleh karena itu, sudilah kiranya pembaca tulisan ini meluangkan doa (atau lebih dari itu) untuknya. Slamet Gundono, semoga lekas pulih!
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut