Doa untuk Dalang Wayang Suket
Slamet Gundono, dalang Wayang Suket itu
kini terbaring sakit di Rumah Sakit Yarsis Sukoharjo, Jawa Tengah, sejak 31
Desember 2013 lalu. Ia didera obesitas, komplikasi penyakit ginjal, paru-paru
dan Jantung. Bahkan, dalang berpawakan tambun itu koma sejak 3 Januari 2014. Slamet
Gundono adalah simbol dari wajah seniman wayang kontemporer di masa kini. Ia
menggunakan suket (rumput) sebagai wayang. Mendobrak kelaziman. Awalnya
dihujat, tak berselang lama dipuja. Gundono bukan sekedar dalang, ia pandai
berteatrikal, suaranya melengking merdu dengan logatnya yang ngapak-ngapak khas Tegal. Lewat
pentasnya, ia seringkali membuat orang tertawa terpingkal-pingkal, namun tak
jarang juga menghadirkan banjir air mata. Baginya, mendalang tak semata berkisah
tantang Ramayana dan Mahabarata, namun juga sesak dengan kritik sosial. Gundono
dengan wayang suketnya adalah ekspresi dari suara masyarakat akar rumput.
Sederhana, penuh imajinasi namun sarat akan arti dan makna.
Suket
Suket atau rumput adalah tumbuhan yang
dianggap benalu dan parasit bagi tumbuhan –tanaman- lain. Kehadirannya harus
dipotong dan menjadi menu utama pakan ternak. Namun, suket juga menarasikan
tentang budaya desa. Tempat di mana sawah masih membentang luas, sejuk dan lahan
hijau. Tempat di mana sapi, kerbau dan kambing banyak dijumpai. Tempat di mana
anak-anak bebas bemain, berlari dan jatuh. Suket menjadi alat utama yang
menghubungkan anak dengan dunia penuh imajinasi. Suket dibentuk sedemikian rupa
hingga menyerupai sosok manusia. Mereka menyulapnya menjadi tokoh wayang hingga
superhero mutakhir. Wayang-wayang itu saling bercakap atau berkomunikasi. Merubah
dinamika suara pemainnya menjadi lebih maskulin atau fenimin. Alunan gending
akapela gamelan didendangkan. Setelahnya, suket itu dibuang karena telah layu. Namun
keesokan harinya anak-anak desa kembali, mengambil suket baru dan membentuknya dengan
imajinasi yang baru pula. Suket adalah muara kreativitas tanpa batas. Ia mampu
menjadi siapa dan apapun.
Peristiwa itulah yang mengilhami Slamet
Gundono. Ia berusaha mengisahkan masa indah anak-anak desa dengan mengambil suket
sebagai medium wayang dalam setiap pertunjukannya. Iapun kemudian dikenal
dengan sebutan “Dalang Wayang Suket”. Memiliki tempat berlatih yang juga ia
namakan “Sanggar Suket”. Suket di tangan Gundono menjadi barang berharga yang
menggusur eksotisme wayang kulit atau watang-wayang lain. Pertunjukkannya
adalah satir bagi kehidupan masa kini. Saat di kala sawah telah berubah menjadi
apartemen dan bagunan megah. Di kala sapi, kerbau dan kambing telah terusir
dari tanah hidupnya. Saat di kala anak-anak tak lagi mau menjamah suket,
berlari dan jatuh, disibukkan dengan pelbagai piranti canggih dari tablet
hingga playstation. Gundono hadir menyajikan menu baru mengobati romantisme
masyarakat agraris nusantara. Menjadi oase, mengajak manusia masa kini untuk
kembali berfikir dan berkontemplasi.
Gundono memang aneh. Sejak awal ia
piawai dalam memainkan wayang kulit Jawa. Bahkan dirinya telah dikenal
masyarakat luas. Namun di saat namanya mulai melambung sebagai dalang wayang
kulit, ia memutuskan untuk berubah haluan dengan menjadi dalang wayang suket.
Banyak yang menyayangkan, namun kemudian justru berbalik mengacungkan jempol
dan hormat. Lulusan Jurusan Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)
Surakarta tahun 1999 itu terkenal mbeling
(nakal). Ia pernah membuat geger jagat pedalangan dalam Festival Greget Dalang
di Solo tahun 1995. Dalam sanggitnya (alur cerita wayang), ia sengaja membikin
sosok lima pandawa mati. Tak heran, hal itu membuat penonton yang memadati
arena pertunjukan berteriak memprotes kelakuannya. Gundono dianggap merusak
pakem pewayangan, di mana tokoh utama (pandawa) haruslah selalu menang dan
hidup bahagia selamanya. Padahal di pementasan itu, Gundono hanya ingin
mengetahui dan mengukur sejauhmana pandawa masih menjadi sosok pahlawan
imajinatif bagi masyarakat Jawa (Niken Satyawati, 2010).
Dengan diprotes, Gundono mengetahui bahwa pandawa masih kuat mengilhami
kehidupan dan memori masyarakat Jawa.
Gundono adalah dalang yang
dibakali dengan kemampuan intelektual mumpuni, pemikir sekaligus pemerhati. Selama dua tahun ia menjadi penulis tetap Wayang Lindur di Jawa Pos minggu.
Lakon-lakon wayang yang selama ini beku oleh pakem menjadi begitu cair kala dituliskannya
ulang. Ia membuatnya nampak kekinian, lebih segar dengan menghubungkan pada
fenomena yang saat ini terjadi. Mulai dari gosip artis hingga prilaku korup
para politikus. Semua dikemasnya dengan ringan, guyonan namun sarat pesan.
Gundono menjadi dalang multitalenta. Katalisator yang menghubungkan dunia
wayang kepada publik menjadi lebih jenaka dan indah, namun tetap tak kehilangan
roh dan “rasa”. Gundono bisa bebas berekspresi memainkan wayang. Ia tidak
mempribadi, seringkali mengawinkan antar dunia seni lintas batas. Pertunjukan wayangnya
kadangkala diikuti drama teatrikal yang dibawakan oleh seniman-seniman teater. Atau
diselingi dengan gerakan-gerakan tari oleh para koreografer. Kolaborasi musik
dari para musisi. Serta pembacaan puisi dan karya sastra. Tontonan yang tak
mengekang. Wayang suket menjadi laboratorium kreatif, tempat di mana Gundono
dan para seniman meretas imajinasi dalam sebuah karya kolaboratif yang
menumental.
Doa
Slamet Gundono
lahir di Tegal, 19 Juni 1966. Sejak kecil bakat seninya telah terlihat karena
faktor genetika dari sang ayah, Ki Suwati, yang juga seorang dalang terkenal.
Gundono begitu mengidolakan Ki Narto Sabdo (alm), dalang nakal yang banyak
merubah gaya dan pakem di Jawa. Tokoh itu menginspirasi Gundono. Memandang tradisi
bukanlah sesuatu yang beku dan sakral. Tradisi adalah inspirasi untuk mencipta
karya yang lebih baru dan segar. Tradisi, jika dibiarkan lama juga akan semakin
membasi. Gundono kemudian menganggap wayang kulit kini telah “memiskinkan
imajinasi”. Baik buruk tokohnya dapat tergambar jelas lewat pencitraan
visualnya. Bima dianggap kuat karena memiliki tubuh gempal dan berotot. Raksasa
atau buto dianggap jahat karena
bertaring dan berwajah jelek. Terlebih dalam beberapa waktu terakhir muncul
wayang dengan visualisasi mirip manusia. Bagi Gundono, hal tersebut “dangkal
imajinasi”. Ia kemudian berusaha membebaskan wayang dari beragam interpretasi
dan tafsir dengan melahirkan wayang suket (1997). Sosok yang dimainkannya dapat
berperan ganda alias multi karakter, kadang menjadi Bima, Arjuna, Sinta, Anas
Urbaningrum, Akil Mochtar bahkan Angelina Sondakh. Karena kerativitasnya itu ia
mendapatkan penghargaan
Prince Claus Awards dari pemerintah Kerajaan Belanda di tahun 2005.
Namun sayang, rumput-rumput itu kini tak
lagi ada yang menjamah dan membentuknya menjadi wayang. Sang “bapak suket”
sedang terkulai tak berdaya. Bagaimanapun ia tetaplah manusia biasa yang
mengenal sakit dan luka. Segala titian doa ia harapkan untuk kesembuhan, agar
mampu kembali beraktifitas dan berkesenian suket. Megocok perut kita atau
menguras air mata dengan lakon dan kisah-kisah indahnya. Gundono menjadi
inspirasi bagi seniman wayang kontemporer. Beberapa sahabat, seniman dan
budayawan di Solo berniat menggelar aksi solidaritas berujud pengumpulan dana
untuk sang mbeling itu. Tentu Gundono
bukan hanya milik masyarakat seni (pertunjukan) semata, namun telah menjadi
bagian penting yang turut menggerakkan roda kebudayaan di Indonesia dan Jawa
pada khsususnya. Oleh karena itu, sudilah kiranya pembaca tulisan ini meluangkan
doa (atau lebih dari itu) untuknya. Slamet Gundono, semoga lekas pulih!
Aris
Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar