Sekaten Kehilangan Keagungan (dimuat di Suara Merdeka 5 Januari 2014)


Sekaten Kehilangan Keagungan





Gamelan sekaten di Solo  ditabuh bertalu-talu pada 7-14 Januari 2014. Sekaten tak semata timbunan bunyi gamelan, namun selebrasi besar-besaran tentang pesta dan keramaian pasar. Jejak-jejak kuasa Islam (Maulid Nabi) semakin tipis tak terbaca, tertutup dengan ambisi mengejar pundi-pundi keuntungan materi penuh pamrih lewat ramainya pasar malam yang dihelat sebulan penuh. Sejarah dan kedudukan sekaten seolah tak lagi genting untuk ditelisik. Hanya menjadi mitos yang berakhir untuk dilupakan. Membicarakan sekaten kemudian tak lagi mampu bertatut dengan Islam dan kebudayaan Jawa, namun ajang bisnis dan ambisi mengeruk pamrih.



Jejak

Menelisik sekaten berarti melihat gamelan itu tak semata bunyi, namun ambisi perjuangan Jawa menjadi Islam. Sekaten lahir sebagai upaya dalam mempertemukan Jawa dengan Islam. Ia muncul ke hadapan publik untuk terlibat dalam upaya syiar, dakwah, peradaban, perdamaian, kemanusiaan dengan menghadirkan gamelan sebagai modal. Sekaten merupakan salah satu gamelan yang memiliki ukuran besar (raksasa) dibanding dengan jenis gamelan lainnya (gamelan ageng). Ukuran menandakan kebesaran, keagungan dan legitimasi atas bunyi yang dimilikinya.

Di Jawa, berbagai ragam kesenian (tradisi) bertalian erat dengan ritus religi dan kemanusiaan. Misionaris Islam termasuk para wali kemudian memanfaatkannya untuk penyebaran agama Islam. Sunan Kalijaga, adalah satu-satunya wali yang dianggap penting dalam penyebaran Islam-Jawa dengan caranya yang unik, kalau tak boleh dikata eksentrik. Ia membuat gamelan yang aneh, semua berwujud pencu (semacam gong) dengan ukuran super jumbo. Setelah Jadi, gamelan itu ditabuh bertalu-talu. Terdengar hingga radius yang jauh. Memekakkan telinga, namun orkestrasinya indah. Membuat masyarakat sekitar penasaran untuk mencari muara sumber bunyi. Ternyata gamelan itu berada di samping masjid agung keraton kasunanan. Jumlahnya dua, bernama Kiyai Guntur Madu dan Guntur Sari.

Masyarakat tak bisa langsung menikmati gamelan itu dari dekat, apalagi melihat dan menyentuhnya. Sunan Kalijaga sengaja membuat aturan bagi siapa saja yang hendak melihat gamelan itu. Setiap orang yang datang diharuskan untuk mambasuh dirinya dengan air dan membaca dua kalimat syahadat “Asyhadu an-laa ilaaha illallaah Wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah”. Sebuah kalimat sakral agama Islam yang dengan membacanya berarti mengakui Allah sebagai satu-satunya tuhan dan Muhammad adalah utusannya (rasul). Kundharu Saddhono lewat tulisannya berjudul Tradisi Sekaten di Keraton Surakarta (2008) menjalaskan bahwa “syahadat” menjadi inspirasi untuk menamakan gamelan baru itu dengan “sekaten”, yang berasal dari kata syahadatain (kalimat syahadat). Waktu pembunyiannyapun disesuaikan dengan kelahiran Nabi Muhammad pada 12 Maulud atau 12 Rabiul Awal.

Dua gemelan sekaten itu masih diberi gelar “kiyai”. Kata itu dalam tradisi budaya Jawa tak semata mencerminkan tokoh ulama Islam. Namun sebuah simbol keagungan terhadap sesuatu (benda) yang disakralkan, dijunjung, disanjung, disembah, diagungkan dan dipuja. Gamelan Sekaten tak lagi memiliki kodratnya sebagai alat musik semata, namun menjadi pusat dari ritus pengharapan dan cita-cita. Sekaten kemudian tak melulu Islam. Berbagai pernah-pernik sesaji Jawa dihadirkan. Dari pekatnya bau dupa, harum bunga tujuh rupa hingga mengepulnya asap kemenyan, menghiasi warna bunyi gamelan yang hadir selama  seminggu dalam perayaan Maulid Nabi.

A.M. Susilo Pradoko dalam tulisannya Fungsi dan Makna Simbolik Gamelan Sekaten (1995) menarasikan bagaimana fungsi gamelan sekaten selain sebagai upaya dalam penyebaran agama Islam juga menjadi simbol legitimasi kebesaran Raja dan keraton Jawa. Dengan membanjirnya masyarakat yang datang untuk menyaksikan gamelan sekaten di area keraton, menandaskan bahwa raja dan keratonnya masih menjadi pusat dan gantungan hidup kebudayaan di Jawa. Terlebih kehadiran sekaten diikuti dengan perayaan lain seperti jamasan pusaka (penyucian pusaka), grebeg gunungan yang semua dikontrol oleh kekuasaan keraton.

Lambat laun, sekaten telah berubah menjadi lebih glamor, gemerlap dan ramai. Keberadaan sekaten diikuti dengan perayaan pesta rakyat berupa hiburan pasar malam. Lautan manusia membanjirinya. Kelindan bunyi sekaten semakin tertutupi oleh soundscape musik dangdut, lalu-lalang mainan anak-anak dan gemuruh bunyi pedagang menawarkan barang dagangannya. Sekaten menjadi bunyi dari benturan suara yang kalah. Gamelan sekaten berubah ironi bagi kebudayaan mutakhir di Jawa. Mendatangi ritus gamelan sekaten menjadi bagian dari tradisi yang dianggap mulai membasi, sementara berlama-lama di pasar malam adalah cermin gaya hidup manusia Jawa masa kini. Islam dan sekaten semakin tak menemukan ruang perjumpaannya, terhimpit oleh ribuan kepentingan dengan semata mengejar pamrih, bisnis, untung dan materi.





Sekat

Gamelan sekaten masa kini menjadi barang antik, kalau tak boleh dibilang usang. Kehadirannya semata hanya sebagai pelengkap ingar-bingar sebuah pesta –pasar- yang besar. Goresan sejarah sekaten oleh para tokoh kebudayaan Jawa-Islam semakin tak mampu terwacanakan ke publik. Ruang-ruang penampakannya hanya dalam kelas-kelas pelajaran sejarah yang cenderung beku dan eksklusif. Anak-anak Jawa masa kini kemudian gegar sejarah budaya, termasuk sekaten. Dimanjakan dengan berbagai ragam menu hiburan, mainan, bunyi dan makanan. Sementara alpa untuk menelisik kembali posisi sentral dan sumbangsih perayaan (gamelan) sekaten dalam detak kebudayaan Jawa.

Saat pesta usai, yang tertinggal bukan lagi ikhtiar untuk kembali mengkusyukkan diri, mempertebal ruang religi masing-masing personal. Apalagi menghadirkan dan mengenang kembali guratan sejarah yang pernah terjadi. Yang ada kemudian hanya tumpukan sampah menggunung, hitung-hitungan untung-rugi dagang, pesta dompet oleh para pencopet. Berbicara sekaten berarti membicarakan bisnis. Perayaan sekaten menjadi sekat yang menarasikan antara dua manusia, yang tradisi dan masa kini. Keduanya berjumpa namun dengan tujuan yang berbeda. Satu sisi lebih pada telisik sejarah dan ibadah ritus religius, sisi lain adalah tamasya kenikmatan duniawi.

Bagaimanapun juga sekaten melukiskan memori dan imajinasi akan perjuangan dan kebesaran Islam-Jawa. Darinya banyak manfaat yang dapat kita petik, laku sejarah, nilai moral dan kemanusiaan. Sekaten hadir sebagai spirit dialogis antar manusia, mempertautkan keberagaman budaya (Jawa) dalam satu ruang persenyawaan, Islam. Wajah baru sekaten kemudian justru menjadi satir budaya masa kini. Seolah berusaha menyadarkan kita bahwa laku konsumerisme, moderenitas, liberalisme, kapitalis telah merasuk ke berbagai ruang-ruang kehidupan masa kini, bahkan pada apa yang kita sangka paling privat sekalipun.

Ziarah sekaten harusnya merapal akan doa-doa, unjuk permohonan dan kontemplasi diri. Alunan gending gamelan (rambu-rangkung) melukiskan sebuah kisah tentang sejarah kebesaran kebudayaan Jawa. Bercerita tentang penghargaan, kepemilikian dan bersatunya antara Jawa-Islam di Nusantara. Sekaten seolah bersua bahwa yang Jawa adalah Islam, dan yang Islam tak lain adalah Jawa. Masyarakat boleh saja terlena dengan suguhan bising pasar malam dan glamournya barang dagangan. Namun setidaknya, selama bunyi gamelan sekaten masih menggaung -walau sayup-sayup kalah gaduh-, masih menandakan bahwa detak kebudayaan Islam-Jawa masih berdenyut. Dan bagi masyarakat pengikutnya, bulan ini kuyup dengan ritus doa dan telisik sejarah.

Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta 

Tidak ada komentar:

Pengikut