Sekaten Kehilangan Keagungan
Gamelan sekaten di Solo ditabuh
bertalu-talu pada 7-14 Januari 2014. Sekaten tak semata timbunan bunyi gamelan,
namun selebrasi besar-besaran tentang pesta dan keramaian pasar. Jejak-jejak
kuasa Islam (Maulid Nabi) semakin tipis tak terbaca, tertutup dengan ambisi
mengejar pundi-pundi keuntungan materi penuh pamrih lewat ramainya pasar malam
yang dihelat sebulan penuh. Sejarah dan kedudukan sekaten seolah tak lagi genting
untuk ditelisik. Hanya menjadi mitos yang berakhir untuk dilupakan.
Membicarakan sekaten kemudian tak lagi mampu bertatut dengan Islam dan
kebudayaan Jawa, namun ajang bisnis dan ambisi mengeruk pamrih.
Jejak
Menelisik sekaten berarti melihat
gamelan itu tak semata bunyi, namun ambisi perjuangan Jawa menjadi Islam. Sekaten
lahir sebagai upaya dalam mempertemukan Jawa dengan Islam. Ia muncul ke hadapan
publik untuk terlibat dalam upaya syiar, dakwah, peradaban, perdamaian,
kemanusiaan dengan menghadirkan gamelan sebagai modal. Sekaten merupakan salah
satu gamelan yang memiliki ukuran besar (raksasa) dibanding dengan jenis
gamelan lainnya (gamelan ageng). Ukuran menandakan kebesaran, keagungan dan
legitimasi atas bunyi yang dimilikinya.
Di Jawa, berbagai ragam kesenian
(tradisi) bertalian erat dengan ritus religi dan kemanusiaan. Misionaris Islam
termasuk para wali kemudian memanfaatkannya untuk penyebaran agama Islam. Sunan
Kalijaga, adalah satu-satunya wali yang dianggap penting dalam penyebaran
Islam-Jawa dengan caranya yang unik, kalau tak boleh dikata eksentrik. Ia
membuat gamelan yang aneh, semua berwujud pencu
(semacam gong) dengan ukuran super jumbo. Setelah Jadi, gamelan itu ditabuh
bertalu-talu. Terdengar hingga radius yang jauh. Memekakkan telinga, namun
orkestrasinya indah. Membuat masyarakat sekitar penasaran untuk mencari muara
sumber bunyi. Ternyata gamelan itu berada di samping masjid agung keraton
kasunanan. Jumlahnya dua, bernama Kiyai Guntur Madu dan Guntur Sari.
Masyarakat tak bisa langsung menikmati
gamelan itu dari dekat, apalagi melihat dan menyentuhnya. Sunan Kalijaga sengaja
membuat aturan bagi siapa saja yang hendak melihat gamelan itu. Setiap orang
yang datang diharuskan untuk mambasuh dirinya dengan air dan membaca dua
kalimat syahadat “Asyhadu an-laa ilaaha illallaah Wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah”. Sebuah kalimat sakral agama Islam yang dengan membacanya berarti
mengakui Allah sebagai satu-satunya tuhan dan Muhammad adalah utusannya
(rasul). Kundharu Saddhono lewat tulisannya berjudul Tradisi Sekaten di
Keraton Surakarta (2008) menjalaskan bahwa “syahadat” menjadi inspirasi
untuk menamakan gamelan baru itu dengan “sekaten”, yang berasal dari kata
syahadatain (kalimat syahadat). Waktu pembunyiannyapun disesuaikan dengan
kelahiran Nabi Muhammad pada 12 Maulud atau 12 Rabiul Awal.
Dua gemelan sekaten itu masih diberi gelar “kiyai”.
Kata itu dalam tradisi budaya Jawa tak semata mencerminkan tokoh ulama Islam.
Namun sebuah simbol keagungan terhadap sesuatu (benda) yang disakralkan, dijunjung,
disanjung, disembah, diagungkan dan dipuja. Gamelan Sekaten tak lagi memiliki
kodratnya sebagai alat musik semata, namun menjadi pusat dari
ritus pengharapan dan cita-cita. Sekaten kemudian tak melulu Islam. Berbagai
pernah-pernik sesaji Jawa dihadirkan. Dari pekatnya bau dupa, harum bunga tujuh
rupa hingga mengepulnya asap kemenyan, menghiasi warna bunyi gamelan yang hadir
selama seminggu dalam perayaan Maulid
Nabi.
A.M. Susilo Pradoko dalam tulisannya Fungsi
dan Makna Simbolik Gamelan Sekaten (1995) menarasikan bagaimana fungsi gamelan
sekaten selain sebagai upaya dalam penyebaran agama Islam juga menjadi simbol legitimasi
kebesaran Raja dan keraton Jawa. Dengan membanjirnya masyarakat yang datang
untuk menyaksikan gamelan sekaten di area keraton, menandaskan bahwa raja dan
keratonnya masih menjadi pusat dan gantungan hidup kebudayaan di Jawa. Terlebih
kehadiran sekaten diikuti dengan perayaan lain seperti jamasan pusaka
(penyucian pusaka), grebeg gunungan yang semua dikontrol oleh kekuasaan
keraton.
Lambat laun, sekaten telah berubah menjadi
lebih glamor, gemerlap dan ramai. Keberadaan sekaten diikuti dengan perayaan
pesta rakyat berupa hiburan pasar malam. Lautan manusia membanjirinya. Kelindan
bunyi sekaten semakin tertutupi oleh soundscape
musik dangdut, lalu-lalang mainan anak-anak dan gemuruh bunyi pedagang
menawarkan barang dagangannya. Sekaten menjadi bunyi dari benturan suara yang
kalah. Gamelan sekaten berubah ironi bagi kebudayaan mutakhir di Jawa. Mendatangi
ritus gamelan sekaten menjadi bagian dari tradisi yang dianggap mulai membasi,
sementara berlama-lama di pasar malam adalah cermin gaya hidup manusia Jawa masa
kini. Islam dan sekaten semakin tak menemukan ruang perjumpaannya, terhimpit
oleh ribuan kepentingan dengan semata mengejar pamrih, bisnis, untung dan materi.
Sekat
Gamelan sekaten masa kini menjadi barang
antik, kalau tak boleh dibilang usang. Kehadirannya semata hanya sebagai
pelengkap ingar-bingar sebuah pesta –pasar- yang besar. Goresan sejarah sekaten
oleh para tokoh kebudayaan Jawa-Islam semakin tak mampu terwacanakan ke publik.
Ruang-ruang penampakannya hanya dalam kelas-kelas pelajaran sejarah yang
cenderung beku dan eksklusif. Anak-anak Jawa masa kini kemudian gegar sejarah
budaya, termasuk sekaten. Dimanjakan dengan berbagai ragam menu hiburan, mainan,
bunyi dan makanan. Sementara alpa untuk menelisik kembali posisi sentral dan
sumbangsih perayaan (gamelan) sekaten dalam detak kebudayaan Jawa.
Saat pesta usai, yang tertinggal bukan lagi
ikhtiar untuk kembali mengkusyukkan diri, mempertebal ruang religi masing-masing
personal. Apalagi menghadirkan dan mengenang kembali guratan sejarah yang
pernah terjadi. Yang ada kemudian hanya tumpukan sampah menggunung, hitung-hitungan
untung-rugi dagang, pesta dompet oleh para pencopet. Berbicara sekaten berarti
membicarakan bisnis. Perayaan sekaten menjadi sekat yang menarasikan antara dua
manusia, yang tradisi dan masa kini. Keduanya berjumpa namun dengan tujuan yang
berbeda. Satu sisi lebih pada telisik sejarah dan ibadah ritus religius, sisi
lain adalah tamasya kenikmatan duniawi.
Bagaimanapun juga sekaten melukiskan
memori dan imajinasi akan perjuangan dan kebesaran Islam-Jawa. Darinya banyak
manfaat yang dapat kita petik, laku sejarah, nilai moral dan kemanusiaan.
Sekaten hadir sebagai spirit dialogis antar manusia, mempertautkan keberagaman
budaya (Jawa) dalam satu ruang persenyawaan, Islam. Wajah baru sekaten kemudian
justru menjadi satir budaya masa kini. Seolah berusaha menyadarkan kita bahwa laku
konsumerisme, moderenitas, liberalisme, kapitalis telah merasuk ke berbagai
ruang-ruang kehidupan masa kini, bahkan pada apa yang kita sangka paling privat
sekalipun.
Ziarah sekaten harusnya merapal akan
doa-doa, unjuk permohonan dan kontemplasi diri. Alunan gending gamelan (rambu-rangkung) melukiskan sebuah kisah
tentang sejarah kebesaran kebudayaan Jawa. Bercerita tentang penghargaan,
kepemilikian dan bersatunya antara Jawa-Islam di Nusantara. Sekaten seolah
bersua bahwa yang Jawa adalah Islam, dan yang Islam tak lain adalah Jawa.
Masyarakat boleh saja terlena dengan suguhan bising pasar malam dan glamournya
barang dagangan. Namun setidaknya, selama bunyi gamelan sekaten masih menggaung
-walau sayup-sayup kalah gaduh-, masih menandakan bahwa detak kebudayaan
Islam-Jawa masih berdenyut. Dan bagi masyarakat pengikutnya, bulan ini kuyup
dengan ritus doa dan telisik sejarah.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar