RITUS AIR (dimuat di Koran Joglosemar edisi 21 Januari 2013)



RITUS AIR



Beberapa waktu belakangan ini, air telah menjadi perbincangan yang menghebohkan. Timbunan air menyambangi Ibu Kota dan beberapa daerah lain di Indonesia. Pesta hujan menyebabkan tanah tak lagi mampu menampung. Banjir kemudian menjadi teman setia yang menemani tiap saat. Bahkan Jakarta yang selama ini ditasbihkan sebagai kota modern paling eksklusif pun menjelma menjadi kota usang paling primitif. Air mampu merubah segalanya. Di balik itu, banyak kisah yang menarasikan keganasan dan kemanfaatan air di Nusantara dan dunia. Cerita-cerita yang seolah menjadi satir, bagaimana air seharusnya diperlakukan. Slamet Gundono beberapa waktu lalu membuat Festival Hujan di Solo. Tak semata hanya sekedar pesta kesenian, namun sebuah ritus menghargai hujan, pengharapan dan sekaligus permohonan pada sang pembuat air agar sudi memberi dalam ujud, takaran dan manfaat yang cukup. Namun sayang, ritus semacam itu tak banyak lagi dijumpai. Manusia menafikan diri dari usaha ritus memohon dan meminta. Gempuran air kemudian menjadi ironi dan malapetaka kultural.

Kisah Air
Syahdan, Bima mendapat perintah dari sang guru Durna untuk mencari tirtapawitra, air kehidupan. Air suci yang mampu memberikan hidup abadi, membersihkan segala kotoran diri. Namun sayang, mencari air itu tidaklah mudah. Bima harus masuk ke dalam hutan yang angker, dihadapkan dengan dua raksasa buruk rupa Rukmuka dan Rukmakala. Setelah dua raksasa itu berhasil dibunuh, barulah diketahui bahwa keduanya adalah jelmaan dari dewa Indra (penguasa hujan dan petir) dan Bayu (penguasa angin). Pencarian dilanjutkan ke tengah samudra, Bima harus berhadapan dengan naga yang sangat sakti. Naga itupun berhasil dimusnahkan. Sesaat kemudian barulah apa yang disebut air suci itu didapatnya. Bukan berujud air seperti kebanyakan, namun berupa dewa bajang (dewa ruci). Dari dewa inilah Bima mendapat banyak manfaat berupa nasihat, doa, pelajaran keagamaan dalam menjaga harmonisasi kehidupan.
Air menjadi simbol. Tak semata benda berbentuk cair. Darinya tersimpan berjuta kisah tentang kehidupan. Dari pertemuan air, manusia bisa tercipta. Air wajib ada dalam setiap prosesi ritus upacara tradisi. Air bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Air adalah sarana penghubung antara manusia dengan sang pemberi sembuh. Simaklah bagaimana air dalam prosesi bekas jamasan (penyucian) pusaka di Keraton Solo yang dianggap bertuah oleh masyarakat. Air yang bercampur dengan karat logam keramat itu kemudian harus diminum dan dibasuhkan ke wajah. Atau bagaimana batu Ponari, dukun cilik asal Jombang, yang menjadi mujarab karena medium air.
Dari kisah-kisah tradisi, air diperlakukan layaknya benda antik. Keberadaannya harus dirayakan, sekaligus juga dihargai, diyakini dan dijaga. Falsafah hidup yang sebenarnya telah tertuang dalam tonggak sejarah berdirinya bangsa ini. Kalimat “cintailah tanah air”, tak semata melukiskan ibu pertiwi dan kesatuan Indonesia. Diksi air menorehkan cerita dan sekaligus kisah perjuangan bangsa. Air adalah cermin ketangguhan dan simbol kepemilikan atas hak sebuah bangsa, tak semata tanah. Falsafah air banyak mengajarkan akan arti kesungguhan dan kesabaran. Batu yang setebal dan sekuat apapun kemudian harus luluh dan berlubang hanya karena tetesan air yang intens. Konsistensi, walaupun kecil dan sederhana ternyata mampu menimbulkan akibat yang besar. Itu hanya dari tetesan air, bagaimana jika tetes demi tetes itu bersatu dan membentuk gumpalan sekaligus gelombang yang besar. Bisa dibanyangkan akibatnya.
Karenanya menjadi penting untuk kembali membuncahkan perilaku bijak dalam memperlakukan air. Yang tak semata harus membuat wadah dan mengalirkannya ke hilir. Namun sebuah sikap menempatkan air dalam pusaran sumber kehidupan dengan kembali menggelar ritus, memanjatkan doa-doa, pengharapan, permintaan dan mungkin pengampunan atas salah yang telah kita lakukan. Tradisi mengajarkan kita akan ritus ini. Pemanjatan doa atas Dewi Sri misalnya, tak semata hanya meminta hasil panen padi yang melimpah, namun juga ketercukupan air. Cukup dalam artian tidak banyak dan tidak kurang, pas sesuai takaran. Sehingga apa salahnya jika musim hujan datang, kita kembali mengkontemplasikan diri sebagai ritus memohon dan meminta pada sang sumber air.


Ombak
Air mengisyaratkan pelajaran berharga. Bagaimana kita memperlakukan lingkungan, tumbuhan, sampah serta tanah akan tertukur dan terlihat saat musim air –hujan- tiba. Hasilnya dapat ditebak, banjir melanda dan meruntuhkan segala ambisi keduniawian. Ekonomi lumpuh, macet tak terelakkan, rumah roboh, penyakit bermunculan, airmata menetes, pesta kumpulan sampah mulai nampak. Di manapun yang terlihat hanya air. Orang yang paling berkuasa kemudian terlihat tak jauh beda dengan para petani desa ketika menggarap sawahnya. Sama-sama menyingsingkan celana. Menjadi makhluk yang tak berdaya. Air tak melihat status sosial.
Tsunami dalam beberapa tahun lalu, mengingatkan kita akan ombak. Meluluhlantakkan kota. Beribu manusia harus meregang nyawa. Pengertian air yang selama ini kita sangka hanya sekedar tetes, kemudian menjadi gulungan ombak dan deru gelombang. Yang kita sangka kecil ternyata mampu membunuh dan melumpuhkan. Kuasa air adalah kuasa tuhan. Namun jejak tradisi telah ditinggal, tak banyak perayaan doa dan ritus meminta dilangsungkan. Yang ada kemudian arogansi diri untuk menantang. Lahirlah berbagai program penangkal banjir. Dari kuasa teknologi, beton dan mesin-mesin dikerahkan.
Apa yang dilakukan Gundono beberapa waktu lalu barangkali hanya menjadi satu dari sekian banyak umat manusia Indonesia yang menghadapi banjir dengan selebrasi ritus. Dengan bunyi-bunyian, alunan doa, dan kisah koreksi diri. Hasilnya memang tak dapat diukur. Karena kuasa atas doa hanya tuhan yang tau. Setidaknya, Gundono tidak menantang. Hanya melukiskan air dalam tradisi memohon dan meminta ampunan. Narasi yang sama kemudian mengingatkan kita akan kisah para nabi dan air, kala keinginan untuk terus hidup digersangnya padang pasir terkabul berkat ‘titian doa. Muhammad, Musa, Ibrahim dan Ismail adalah beberapa di antaranya.
Kisah suram air pernah dilukiskan oleh Nuh dan bahtera kapalnya. Awal cerita itu dimulai saat Tuhan mengamati perilaku jahat manusia dan memutuskan untuk mengirimkan banjir ke bumi dan menghancurkan seluruh kehidupan. Namun Nuh yang dianggap sebagai manusia utama, khusyuk dengan doa-doanya terselamatkan. Tentu saja Gundono bukanlah Nuh atau sebaliknya. Namun kisah itu pengajarkan pada kita untuk kembali melihat air dalam konteksnya yang lain.
Air menjadi banjir. Dan banjir menjadi tradisi. Sementara di sisi lain, kita tidak pernah belajar dan mengkritisi diri. Kita masih saja menyampahi air, menebang pohon, menjulangkan gedung berbeton. Ironi negeri air. Kala musim datang menyumbang banjir dan kala gersang menyumbang api. Manajemen air masih nampak sebagai sebuah barang mahal. Di sini air diperlakukan secara dilematis, bersinergi dengan sampah dan kotoran. Padahal di sisi dunia yang lain, air menjadi barang mahal, banyak manusia mati karena tak mampu berjumpa dengannya. Karenanya, wajar jika timbul pertanyaan, kapan kita mampu hidup bijak bersanding dengan air? Air tak semata benda, air adalah ‘makhluk’ yang perlu di rawat dan dijaga.
Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut