Presiden, Raja dan Keraton (dimuat di Koran Joglosemar 26 Februari 2014)



Presiden, Raja dan Keraton



Langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Keraton Kasunanan patut mendapat apresiasi. Walau pekat beraroma politis menjelang pemilu. Namun peristiwa tersebut seolah mengingatkan kita tentang kisah pertemuan antara penguasa “alit” dalam bingkai kerajaan di Jawa –Solo- dengan penguasa “ageng” dalam bingkai negara dan republik –Indonesia-. Soekarno dan Soeharto tentu sangat mafhum kala dirinya tak dapat dilepaskan dalam pengaruh Jawa dan Keraton sebagai sumber kosmis-religius kehidupan. Namun demikian, jejak itu tak lantas dapat ditemui pada Presiden-Presiden setelahnya.
Hubungan antara negara dan kerajaan tak serta merta menempatkan keduanya dapat lentur membaur. Penyerahan kerajaan (keraton) menjadi bagian dari negara republik bukannya tanpa asa dan pengorbanan. Kisah itu mengharuskan keraton merelakan sebagian besar legitimasi kekuasaanya, terutama secara politis. Keraton dan kerajaan menjadi bagunan masa lampau yang dilindungi keberadaannya oleh undang-undang. Raja masih ada, namun sebatas simbol kultural. Setiap tahun mendapat kucuran dana yang kadang tak mencukupi untuk perawatan bangunan dan kegiatan ritual-ritual budaya. Karenanya, konflik tak berujung di Keraton Kasunanan Surakarta sangat disayangkan. Apa sebenarnya yang diperebutkan antar pihak yang bertikai? Bukankah hal itu semakin menambah kebangkrutan eksistensi keraton di mata masyarakat. Presiden kemudian diharapkan mampu menjadi jembatan “negosiasi” yang memberi solusi ideal tanpa pamrih tersembunyi.

Tempat Berteduh
Masyarakat Solo telah jemu dengan konflik yang selama ini terjadi. Karenanya, kehadiran Presiden yang mencoba memediasi konflik tersebut juga ditanggapi dingin oleh sebagian besar masyarakat. Terlebih turun tangan Presiden juga banyak dihubungkan dengan ambisi mengeruk kepentingan dalam mendulang suara di momen pemilu tahun ini. Tentu saja pelbagai sinisme tersebut tak dapat dihindarkan. Namun, kita masih menjumpai secercah harapan, bahwa sejatinya pemerintah pusat masih menunjukkan perhatian seriusnya bagi keraton. Lebih dari itu, keraton adalah “tempat berteduh” yang memberi kekuatan ingantible bagi kehidupan penguasa. Pelbagai sesaji dan benda pusaka dianggap memiliki petuah yang mampu menentramkan jiwa. Bahkan konon Soekarno dan Soeharto membutuhkan benda-benda keramat keraton untuk mengukuhkan supremasi kekuasaanya. Merekapun tak segan untuk “lari” ke keraton guna mendapat ketentraman jiwa kala situasi politik sedang kacau. Keraton dengan demikian bukan semata tempat dan bangunan atau benda mati, namun menjadi “ruang terapis” yang memberi kesejukan jiwa penguasa negeri.
Penguasa masa kini mengingat keraton kala mendekati puncak akhir kekuasaannya. Hiruk pikuk kehidupan pilitik dan hukum yang tiada tuntas membutuhkan keraton sebagai tempat berteduh. Ritual-ritual kratonis yang dilangsungkan memberi kesan kuat bahwa keberadaan keraton tak semata menyangkut hajat hidup manusia yang ada di dalamnya, tapi juga hubungan vertikal dengan sang pencipta. Era kerajaan menarasikan bahwa raja adalah manusia yang ditempa secara sempurna dan paripurna. Ia dianggap memiliki ilmu linuwih yang tak dimiliki manusia pada umumnya. Hal yang kemudian begitu jelas membedakan kala Indonesia “berkerajaan” dengan “berepublik”. Di era republik yang menjunjung tinggi demokrasi sebagai pilar utama, raja dalam konteks ini Presiden kehilangan ruang legitimasi yang menghubungkan dirinya dengan sang pencipta. Presiden hanya sebatas manusia biasa yang memiliki kekuatan mengatur roda pemerintahan, namun tak memiliki kuasa memberi dalil ketuhanan dan kuktural layaknya titah raja. Di ruang yang “irasional” itulah seorang raja masih unggul jika dibandingkan dengan Presiden.
Presiden tak memiliki ritual sakral yang dihelat untuk mengukuhkan supremasi kekuasaannya. Ia berurusan dengan waktu yang mengharuskan dirinya kembali menjadi manusia biasa. Sementara menjadi raja akan selamanya hingga akhir hayat menjemput. Kesetiaan para sentana dan abdi dalem kerajaan tulus tanpa mengharap pamrih. Mereka mengabdi pada raja menandakan jalan ibadah pada tuhannya. Sementara mengabdi pada Presiden berarti memuja pamrih berupa materi dan jabatan. Keduanya seolah sama namun sejatinya berbeda. Presiden kaya akan kuasa namun miskin legitimasi kultural, berbanding terbalik dengan raja. Pada konteks inilah pertemuan SBY dengan Raja Kasunanan selain bisa dikategorikan pekat unsur politis, namun juga wujud kerinduan untuk menjadikan keraton sebagai “ruang teduh” bagi keduanya. Kisah itu menjadi ironis kala melihat penghuni keraton lain yang menaruh curiga dan apriori terhadap pertemuan kedua “raja” itu. Kita pun cemas Jika sekelas Presiden tak sanggup meredam dan mendamaikan konflik keraton, lalu siapa lagi yang mampu? Kehadiran Presiden di tengah-tengah konflik menunjukkan jika masalah yang terjadi telah akut dan parah.

Bijak
Raja tanpa kuasa politis bertemu Presiden tanpa kuasa kultural menjadi nukilan dalam pembabakan sejarah –kebudayaan- di Indonesia. Keduanya dapat saja saling mengadu dan berkeluh tentang keadaan. Berbagi pandangan dan bertukar pengalaman. Sangat mungkin konflik yang terjadi tak lantas menjadi satu-satunya tujuan dari pertemuan tersebut. Tapi juga usaha dalam membuat keraton kembali ke habitus akar tradisinya. Muara kosmis, tempat di mana manusia Jawa menemukan oase spiritual dalam menjalani kegamangan hidup di balik situasi ekonomi, hukum dan politik yang semakin tak menentu. Manusia di abad XXI telah jauh meninggalkan tradisi, berlagak menjadi manusia modern yang parlente, namun semakin lama merasa kehilangan pegangan hidup berupa jati diri kebudayaan. Mereka kemudian merindukan keraton, raja dan kisah-kisah kulturalnya. Menjadi acuan dalam kehidupan. Karenanya, masalah keraton dan kehadiran Presiden harus ditanggapi secara bijak.
Presiden butuh sentuhan kultural. Ia memilih hadir di tengah konflik Keraton Kasunanan dibanding mengurus masalah ekonomi, hukum dan politik negeri ini menunjukkan dirinya rindu budaya Jawa yang damai. Bahkan mungkin ia membutuhkan pegangan kala menjelang pensiun dari tugasnya. Kisah-kisah kerajaan dalam mitologi Mahabarata dan Ramayana menjelaskan bahwa raja akan menenangkan diri, berserah diri, dan bertapa kala ia paripurna dari tugasnya. Ia membutuhkan tempat bernaung dan berteduh untuk mendukung keiinginannya tersebut. Bagi SBY, keraton mungkin menjadi tempat paling ideal untuk menziarahkan hidup menjadi lebih “agak” berbudaya. Budaya keraton menunjukkan sebuah peradaban yang dibangun dari hasil seleksi karakter manusia Jawa. Karenanya ia disebut yang “adi luhung”, “santun” dan “mempesona”. Jangan biarkan hal tersebut hilang begitu saja karena konflik yang mendera.
Masyarakat kota Solo memiliki Presiden namun seolah tak memiliki raja. Kehadiran raja semakin tak terbaca dengan jalas. Ritual-ritual penting diadakan tanpa kehadirannya. Raja kemudian menjadi mitos di keratonnya sendiri. Di balik pertemuan keduanya (raja-Presiden), mari dengan bijak kita lepaskan terlebih dahulu beban-beban apriori dan sinisme. Kita tunggu saja bagaimana hasil yang dapat dicapai dari pertemuan tersebut. Apakah mampu menghasilkan satu solusi yang mengangkat hidup keraton menjadi lebih baik? Atau hanya sebatas angin lalu yang tiada guna. Presiden, raja dan keraton memiliki hubungan “mesra” yang tak dapat dilupakan. Jawa membawa dampak besar bagi kepemimpinan nasional. Siapa tau setelah Presiden SBY paripurna dari tugasnya, ia justru memilih keraton Solo sebagai penziarahan laku hidupnya kelak.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut