Kontroversi "Doktor Seniman" (dimuat di Solopos, 20 April 2014)

Kontroversi “Doktor Seniman”



Bagi seorang seniman, proses mencipta karya seni adalah perjalanan kreatif yang sangat subjektif. Antar seniman bisa sangat berbeda. Para empu dan pujangga dulu ada yang mengawalinya dengan bertapa atau semedi, berpuasa dan bahkan menyiksa diri. Mereka mengharap turunnya wahyu keilahian atau dalam kata lain “ide” untuk mencipta karya seni menumental. Hal-hal sakral yang transenden kemudian tak dapat dielakkan dari proses kreatif itu. Proses penciptaan satu karya membutuhkan rengtang waktu relatif lama, bahkan hingga puluhan tahun. Mereka tak ada tanggungjawab untuk menjelaskan serta mendeskripsikan latar belakang dan ide penciptaan karya kepada publik. Bisa jadi, mereka tak memiliki bekal kemampuan bicara dan menulis. Hubungan seniman dengan karyanya menjadi ruang gelap yang wingit dan sakral.
Setelah institusi pendidikan muncul, seniman masuk dalam kategori profesi intelektual. Muncullah kemudian sebutan “seniman sekolahan” atau “seniman akademis”. Mereka dituntut untuk mempertanggungjawabkan hasil karyanya di depan para dewan penguji. Tak hanya sebatas ide yang masih di awang-awang, alur proses penciptaan juga harus dapat ditulis dengan detail dan runtut. Dalam berkarya, seniman sekolahan itu disertai pendamping –dosen, profesor-, yang memantau, mengkritik, memberi saran dan membenahi karya anak bimbingannya itu. Polemik kemudian muncul saat lembaga pendidikan seni semacam Institut Seni Indonesia (ISI) Solo dan Yogyakarta membuka program penciptaan seni untuk jenjang S3 atau doktor. Pertanyaannya, di mana letak perbedaan karya dengan kualifikasi dotor dan yang bukan? Siapa itu doktor penciptaan seni?

Akademis
Rahayu Supanggah, komposer sekaligus guru besar ilmu karawitan itu mencermati kerancuan yang selama ini terjadi dalam pengembangan model disiplin penciptaan seni pada program studi S3 di ISI Surakarta (Yogyakarta?). Hal ini ia sampaikan dalam seminar nasional “Pengembangan Model Disiplin Seni” beberapa waktu lalu di Teater Besar ISI Surakarta bersama Sardowo W Kusumo, St. Sunardi, Timbul Raharjo, Bambang Sugiharto, Bambang Sunarto dan Sri Hastanto. Supanggah menilai, masih terdapat permasalahan terkait kualifikasi mahasiswa yang diperkenankan untuk menempuh jenjang “doktor seniman” itu. Lulusan doktor penciptaan seni idealnya setaraf dengan empu bahkan maestro di bidang seni.
Namun, banyak mahasiswa yang masuk pada program itu adalah dosen dan pengajar yang semata hanya ingin melengkapi gelar karier mereka. Jikalau ada yang murni seniman, adalah mereka yang ‘berpendidikan’ dan telah memiliki nama besar seperti I Wayan Sadra (alm), Wahyu Santosa Prabawa, Dedy Lutan, Oto Sidarta dan lain sebagainya. Kepakaran mahasiswa dalam bidang seni adakalanya justru jauh lebih besar dibandingkan para dosen yang mengajarnya. Di sisi lain, siapakah yang berhak mengajar calon doktor seniman itu? Sementara banyak dosen atau profesor yang tidak memiliki kualifikasi sebagai seniman, tidak pernah berkarya, namun mengajar metodologi penciptaan seni misalnya. Idealnya para pengajar adalah maestro atau empu seni di bidangnya. Namun sayang, mereka tak memiliki jenjang pendidikan tinggi, tak bergelar akademik apalagi profesor sebagaimana syarat untuk mengajar di program doktor.
Hal yang lebih penting adalah merumuskan pilar keilmuan bidang doktor seniman yang selama ini masih abu-abu. Pendidikan di tingkat itu mengharuskan segalanya dapat terjelaskan dengan detail, akademis, ilmiah dan tentu saja teoritis. Hal ini menjadikan seniman harus berfikir runtut dan kompleks mengikuti tahapan dan kaidah yang diperlakukan. Mulai dari proses pencarian ide hingga lahirnya sebuah karya. Akibatnya, hal-hal yang dianggap transenden, dunia imajinatif yang abstrak itu tak dapat diterima, karena tak sesuai logika akal sehat. Otomatis, cara kerja yang seperti itu tidak dianjurkan atau dihindari. Calon doktor seniman diwajibkan mencari ide dan berproses sesuai dengan buku panduan.
Bahkan konon durasi karya juga ditentukan. Karya seorang doktor seniman paling tidak berdurasi satu jam atau lebih dan berpengaruh langsung secara sosial bagi masyarakat. Durasi itu berimplikasi pada cara kerja, mengharuskan seniman mengais-ngais materi yang kadang tidak relevan namun dicocok-cocokkan. Kita bisa bayangkan, di lembaga itu kemungkinan besar tidak akan lahir karya-karya nakal seperti John Cage dengan musik silencenya (1952). Atau karya I Wayan Sadra dengan Otot Kawat Balung Wesinya (1995). Keliaran imajinasi seorang seniman menjadi terkurung dan tereliminasi. Lebih dari itu, para profesor pembimbing karya berhak dan turut merubah karya agar konon terlihat lebih indah dan diterima masyarakat. Karya itu kemudian menjadi tak seteril lagi, telah dipermak dan ditambalsulam. Usai seniman melakukan gelaran, ia harus mempresentasikan dan diuji layaknya sidang disertasi. Dicecar dengan pelbagai pertanyaan oleh para dewan penguji. Jika tak mampu menjelaskan dengan baik dan ilmiah, maka siap-siap mendapatkan nilai minus.

Polemik
Bagai buah simalakama. Di satu sisi, seniman membutuhkan kebebasan dalam berkarya sebagai wujud orisinalitas. Sementara di sisi lain ia harus dihadapkan dengan alur kerja kreatif yang “dibakukan”. Hal ini sebenarnya tak hanya terjadi di program doktor, tapi juga master dan sarjana. Akibatnya, dengan melalui proses kerja yang sama, karya yang dihasilkan kemudian nampak serupa dan seragam. Semata hanya memenuhi standart kualitas kampus yang dibangun dari satu visi. Dengan demikian, kampus seolah hanya menjadi “pabrik” pencipta karya seni massal laksana mi instan. Di program doktor, syarat yang ditempuh lebih ketat. Mahasiswa yang nyeniman itu diharuskan membuat kertas pertanggungjawaban, tebalnya mengalahkan disertasi. Ditulis dengan kaidah ilmiah dan mengandung satu teori tertentu. Bahkan, kertas itu yang menjadi acuan utama bagi para penguji untuk memberikan nilai daripada menelaah karya seni yang dipresentasikan. Di kertas itu, semua yang abstrak menjadi nampak gamblang dan jelas, dibanding melihat karya seni yang njlimet dan multitafsir itu. Proses berkarya seni terpetieskan alias “beku”.
Setali tiga uang, polemik juga terjadi pada Program Studi Kajian Seni. Hasil disertasi dan tesis kadang tak jauh beda dengan produk serupa di universitas non-kesenian yang memiliki program studi ilmu budaya semacam Universitas Gajah Mada (UGM) serta Universitas Indonesia (UI) dan lain sebagainya. Seni dalam konteks ini hanya menjadi subjek yang dibedah dengan menggunakan banyak teori, mulai dari sejarah, sosiologi, filsafat, antropologi dan komunikasi. Seni tidak mampu menjadi subjek kajian. Semata hanya pelengkap dalam banyak kajian ilmu itu. Akibatnya, ilmu tentang seni tak begitu berkembang baik. Hingga detik ini, konsep dan teori seni dapat dihitung dengan jari, dan itupun kebanyakan dilahirkan oleh para peneliti asing (lihat, pathet, garap dan rasa dalam seni pertunjukan). Padahal, institusi pendidikan seni semacam ISI, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) dan Institut Kesenian (IK) harusnya mampu mempelopori untuk lahirnya banyak varian teori seni untuk seni. Sekali lagi, seni sebagai subjek, bukan objek.
Persoalan di institusi pendidikan seni sudah selayaknya mendapat perhatian khusus.  Proses kekaryaan dan kajian harusnya dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup kesenian terkait. Serta dikembalikan kepada publik, untuk dapat memberi sumbangan berharga, tak semata hanya sebagai pelengkap jenjang studi untuk mencapai gelar. Kitapun patut menanyakan, berapa banyak seniman besar dan bermutu yang dilahirkan dari rahim institusi pendidikan seni kita di Indonesia? Jangan-jangan hanya segelintir, atau bahkan tidak ada. Lalu, apakah doktor seniman adalah seorang seniman? Atau jangan-jangan hanya ilmuwan yang mengambil jalur kesenimanan sebagai bidang kajiannya. Setelah lulus, mereka tak lagi berkarya, alias mandul. Sibuk dengan urusan pangkat dan birokratif. 
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Saya sangat tertarik dengan artikel Anda. Memang hal ini sangat sukar, mengingat dalam institusi berarti secara tidak langsung meng"institusi"kan pemikiran dan kreatifitas ke dalam suatu kerangka alur pendidikan. Di satu sisi perlu kesadaran para dosen pengajar untuk memberi ruang bagi kreatifitas dan kenakalan seniman, tetapi juga dituntut sebuah bobot dari kreatifitas ini. Dan yang diperlukan adalah sejauh mana para dosen ini bisa berdiskusi (jika bukan menilai atau menghakimi nilai estetika) mengenai bobot sebuah karya dari perspektif kekinian maupun historis. Tetapi saya pribadi yakin bahwa ini akan menjadi suatu hal yang tetap dilematis namun tetap bisa diantisipasi… Salam, Matius Shanboone

Pengikut