Nyadran dan Kohesi Sosial (dimuat di Koran Tempo 27 Juni 2014)

Nyadran dan Kohesi Sosial



Poerwardarminto (1937) mengartikan nyadran sebagai ritual menziarahi makam laluhur yang waktunya telah ditentukan. Nyadran biasanya dilangsungkan secara kolektif menjelang bulan puasa atau ramadhan. Aktifitas ini tak semata ungkapan ekspresi religius masyarakat Jawa, namun juga kultural. Tradisi ini menjadi simbol yang mempertautkan masyarakat Jawa dengan leluhur atau nenek moyangnya. Di wilayah itu, orang Jawa menyadari bahwa dirinya memiliki garis keturunan, tidak lahir secara tiba-tiba. Karenanya, mereka dituntut untuk berbakti, menghargai jasa para leluhur dengan berkirim doa dan sesaji. Mengisahkan hubungan kekerabatan tidak putus walaupun ajal telah menjemput. Ritual nyadran biasanya diisi dengan aktifitas membersihkan makam, selamatan atau kenduri, membuat kue apem dan ketan. Di sisi lain, nyadran juga menjadi sarana implementasi terbentuknya kohesi sosial masyarakat Jawa. Sanak keluarga dari rantau pulang kampung untuk melakukan nyadran, sekaligus menjadi ajang silaturahmi dan komunikasi.

Komunikasi sosial
Masyarakat kampung berbondong-bondong pergi menziarahi makam dan melakukan kenduri. Kenduri biasanya dilangsungkan di balai desa, atau gedung pertemuan desa. Di ruang itu, pelbagai komunikasi sosial dilangsungkan dengan bertukar makanan. Segala masalah kampung diulas dan berusaha ditemukan solusinya. Masyarakat saling bertegur sapa. Menyadarkan bahwa hidup tidak mempribadi namun saling membutuhkan. Nyadran adalah ujud pengorbanan masyarakat Jawa dalam mempertahankan nilai-nilai tradisi. Dengan mendoakan arwah para leluhur merupakan ujud negosiasi pada tuhannya, agar diberi kemudahan dan kesuksesan hidup. Arwah keluarga dianggap lebih dekat pada tuhan, sehingga dirasa mampu menyampaikan segala pesan dan doa dengan lebih gamblang. Bahkan aktifitas menziarahi makam juga dilakukan oleh banyak pemimpin negeri ini. Soekarno dan Soeharto dianggap sebagai presiden yang tekun menziarahi makam-makam Jawa yang dianggap keramat. Hal itu juga masih ditiru hingga sekarang, lihatlah calon presiden kita yang juga melakukan aktifitas serupa. Prabowo nyekar di makam Soeharto dan Soekarno, begitupun Jokowi yang ke makam Gus Dur dan ayahnya.
Bagi orang Jawa, makam bukan dianggap sebagai tempat peristirahatan terakhir, namun terminal yang menghubungkan manusia dengan dunia lain, fana dan gaib. Oleh karena itu, “terminal” tersebut haruslah dirawat dan dibersihkan. Semakin indah makam atau kuburan, menunjukkan bahwa mereka merawat masa lalu dengan mengenang leluhur, dan menghargai masa depan melalui doa dan pengharapan. Nyadaran datang lewat akulturasi yang harmonis antara Islam dan Jawa. Ritual itu berada di ruang abu-abu, bukan hitam apalagi putih. Nyadran bukan sepenuhnya Islam, tidak pula seutuhnya Jawa. Ia berada di tengah-tengah, perpaduan antara keduanya. Nyadran adalah cara orang Jawa dalam memahami esensi Islam. Layaknya mendengarkan gamelan Sekaten di masjid Agung dan menonton pertunjukan wayang kulit dengan lakon Dewa Ruci. Nyadran mampu mengisahkan jejak kultural masyarakat Jawa dengan indah. Di mana rasa gotong royong, guyub rukun, kekerabatan, kasih sayang masih dapat dijumpai dengan lentur.
Dengan kata lain, nyadran menghasilkan tata hubungan yang vertikal dan horizontal. Meningkatkan hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia. Lewat aktifitas nyadran, manusia Jawa saling berkumpul bersama tanpa adanya sekat atau kelas-kelas sosial. Tak lagi dibedakan status golongan, partai dan pilihan politik. Semua setara dan tidak ada yang lebih baik-buruk dan tinggi-rendah. Ritual nyadran menarasikan bagaimana kebudayaan Jawa dibangun atas persamaan, tidak berdasar perbedaan. Setelah ritus itu dilangsungkan, kehidupan dilangsungkan dengan semangat dan cita-cita baru. Berharap di masa kini dan yang akan datang menjadi lebih baik. Nyadran kemudian tak lebih dari usaha orang Jawa dalam memotifasi diri. Mereka bukannya menggantungkan segala doa lewat makam, namun diimbangi usaha dengan membangun jaringan lewat pertemuan sosial di ritual ini. Oleh karena itu, pelbagai kesepakatan, kerjasama, solusi masalah, saling membantu dilahirkan kala pertemuan sosial dilangsungkan. Nyadran mengakomodasi segala kemungkinan tersebut. Di bulan ini, menjelang Ramadhan, nyadran seolah berusaha mengingatkan kita tentang arti penting saling mengasihi dan menyayangi sesama demi kerukunan hidup. Di mana hal tersebut semakin sulit dijumpai dan menjadi peristiwa yang langka.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta
   



Angka Bicara Politik (dimuat di Koran Jakarta 21 Juni 2014)

Angka Bicara Politik


Apa yang menarik dari hasil pengundian nomor urut pencoblosan dua calon presiden Indonesia dan wakilnya beberapa waktu lalu? Masing-masing saling membanggakan nomor urut yang didapatnya. Nomor itu kemudian tak berhenti sebagai angka semata. Namun menjelma beraneka ragam rupa interpretasi dan tafsir kultural, historis, religius, politik dan sosial. Prabowo dan Hatta Rajasa begitu bangga memamerkan nomor urut satu yang didapatnya. Dianggap sebagai yang terdepan, angka sang pemenang, tunggal dan tak terkalahkan. Angka satu identik dengan juara pertama. Angka yang diburu dan diperebutkan di pelbagai ajang lomba. Sementara Jokowi dan Jusuf Kalla mendapat nomor urut dua, lebih dapat memaknai angka itu dari unsur kosmis. Angka dua diidentikkan dengan dua unsur  (pasangan, ying-yang) yang ada di dunia untuk saling melengkapi, seperti siang-malam, panas-dingin, hitam-putih, pria-wanita, tua-muda dan lain sebagainya. Semua calon presiden dan wakilnya bangga mendapatkan nomor urut yang diperoleh. Bisa jadi, jauh hari sebelumnya, pelbagai ramalan dan tafsir nomor dan angka telah qatam dikaji oleh mereka. Hal ini kemudian mengingatkan kita tentang jejak kultural bangsa Indonesia yang juga dibangun dan diwarnai dari deretan angka atau nomor. Angka dirasa mampu membawa kebahagiaan, namun juga tak jarang mengisahkan kematian.

Kisah Angka
Di Jawa, untuk melangsungkan pernikahan, calon pengantin wajib memilih hari baik yang didasarkan atas hitung-hitungan angka kelahiran mereka (pasaran). Bisa jadi pula pernikahan batal dilangsungkan karena pertemuan angka sepasang calon pengantin dianggap jelek dan membawa kesialan. Biasanya mitos angka 25 adalah yang paling buruk, biang malapetaka. Namun bagi orang Jawa, selalu punya siasat untuk mengatasi hal itu dengan pelpagai laku sakral dan pensucian diri (ruwatan sukerta). Ruwatan dilakukan oleh orang-orang yang faham makna dan arti filosofis nomor. Dukun bahkan dalang wayang kulit adalah salah satunya. Bahkan konon, hari dan nasib buruk yang didasarkan atas hitung-hitungan nomor sengaja dibuat oleh seorang dalang ruwat. Agar si dalang laris (payu) dan senantiasa dibutuhkan. Karena hal ini pula dalang-dalang ruwat dinggap orang sakti yang memiliki ilmu kanuragan berlebih. Di Jawa, mitos angka telah bertahan lama, mengakar dan menjadi rahasia umum. Angka mencoba dihubung-hubungkan dengan fenomena kehidupan dan alam. Di Yunani, lahir pula ramalan-ramalan bintang berdasar tanggal dan tahun lahir (zodiak). Di ramalan itu menyebutkan bahwa setiap orang memiliki angka dan digit-digit nomor yang membawa konsekuensi pertanggungjawaban moral, karakter diri, prilaku yang tipikal dan sikap khas. Tentu saja tidak semua masyarakat percaya akan hal itu, namun tak sedikit pula yang menganggapnya benar.
Jika dijabarkan, angka-angka itu menjadi hidup dan mampu berbicara lugas tentang nasib dan kodrat manusia. Tafsir angka layaknya primbon tak sekadar menjadi mitos, namun dipercaya dan diyakini akan kebenarannya. Muncullah para dukun-peramal yang menjinakkan pelbagai “hitung-hitungan” angka yang mungkin juga dengan gaya otak-atik gathuk. Hidup manusia kemudian seolah ditentukan oleh deretan angaka-angka dan nomor-nomor. Bahkan untuk mendapatkan tanggal lahir dan perhitungan hari yang dianggap baik, seorang ibu hamil rela melahirkan bayinya lebih cepat (caesarean) dari yang seharusnya. Semua demi mengejar imajinasi tentang angka. Hotel-hotel berbintang menghilangkan beberapa angka atau nomor kamar karena takut merugi dan apes. Bahkan di Yogya, konon ada nomor kamar khusus yang dipersembahkan pada Ratu Pantai Selatan. Pelat nomor kendaraan dan telepon seluler juga dipesan secara khusus agar deretan angka yang ditampilkan memiliki arti dan makna positif, serta dapat membawa peruntungan hidup. Nomor dalam kostum sepakbola dianggap sakral. Tak jarang hanya diperuntukkan bagi satu pemain yang menjadi legenda.
Dalam terminologi budaya Konghucu, nomor-nomor itu dianggap mampu membawa “hoki”. Sementara jika kesialan selalu datang melanda bisa jadi nomor dan angka adalah penyebabnya. Kisah lain menyebutkan jika para pemburu togel rela menyepi di kuburan dan tempat wingit demi mendapatkan nomor. Makhluk gaib yang transenden dianggap memiliki kekuatan untuk memprediksi arus perjudian berdasarkan angka. Demi angka, logika telah terkalahkan oleh fenomena. Bahkan peristiwa alam dan lingkungan sekitar menjadi simbol dari angka dan nomor tertentu. Saat banjir menerjang atau seorang terjatuh dari sepeda motor, pemburu togel melabelinya dengan nomor untuk menjadi taruhan. Bisa jadi nomor urut calon presiden dan wakilnya telah mengalami nasib serupa. Karenanya, nomor dan angka bagi manusia tidak datang secara kebetulan, namun dianggap telah tergariskan oleh tuhan.
Peradaban manusia masa kini berisi angka, mengarap angka, dan merubah angka. Di otak, hanya berisi timbunan angka-angka. Hitung-hitungan untung rugi disimbolkan dengan angka. Angka menerjemahkan apa yang abstrak. Uang menjadi bermakna ketika dihiasi dengan angka. Tak sekadar menunjukkan jumlah, namun juga makna dan arti. Bisa jadi jumlahnya hanya satu tapi maknanya bervariasi. Dengan hanya selembar kertas kita dapat membeli mobil, atau bahkan hanya mampu membeli permen anak-anak. Jumlah angka di kertas itu sangat menentukan. Di dunia musik, nada-nada disimbolkan dengan angka. Membaca angka kemudian bernada. Semakin tinggi angkanya semakin tinggi nada suaranya. Angka diperlukan dalam pelbagai hal kehidupan manusia. Dengan angka, hidup menjadi lebih mudah atau juga sebaliknya.

Angka Presiden
Hal terbaru, Prabowo dan Jokowi kini dimaknai secara baru lewat nomor. Di jalan, iklan televisi, berita koran bertebaran nomor-nomor yang mempresentasikan sosok calon presiden kita. Kita dihantui setiap saat dengan nomor. Teror nomor selama pemilihan presiden sengaja dibuat untuk memperngaruhi persepsi masyarakat. mampu terpikat dan teringat selalu dengan nomor dan orang penting di balik itu. Satu adalah Prabowo, dua adalah Jokowi. Di jejaring sosial semacam Facebook dan Twitter, komentar dan tafsir tentang nomor itu ramai diperbincangkan dan diulas. Masing-masing kubu memberi penafsiran nomor urut itu dalam pelbagai konteks. Bahkan tak jarang menjurus pada hal yang transenden atau nir nalar. Hal ini bertujuan agar publik tak lagi ragu mencoblos nomor itu. Kita kemudian lupa melihat calon presiden berdasarkan atas kemampuan, pengalaman dan pemikirannya. Semata karena angka yang didapatnya. Indonesia mutakhir penuh sesak dengan tafsir nomor dan angka. Nomor itu mengisahkan ambisi politik. Masyarakat dipertontonkan perdebatan nomor, antara sisi intelektualitas dan transenden berbaur menjadi satu, tak jelas dan abu-abu. Masyarakat kembali diajak menelusuri jejak-jejak angka secara kultural namun pekat beraroma politis. Sekali lagi, menghiasi pikiran mereka dengan digit-digit. Jika percaya, pilih saja presiden berdasarkan atas nomor undian yang didapatnya. Silahkan ditafsir, direnungkan, dihitung, kemudian dijabarkan sisi positif dan negatifnya. Jangan lihat presidennya, lihatlah nomor undiannya saja. Siapa tau nasib Indonesia menjadi lebih baik di pemerintahan mendatang karena efek nomor dan angka. Atau sebaliknya, nomor dan angka itu tak lebih dari simbol yang tak memiliki makna berlebih. Semata hanya membantu kita untuk berhitung, menata urutan tampil, mempermudah proses pemilu. Tak lebih dari itu.
Berapa nomor yang hendak angka pilih? Satu atau dua? Atau seperti lagunya Gamma Band, Satu atau dua pilih aku atau dia yang engkau suka/Satu atau dua pilih aku atau dia yang engkau cinta/Dua atau satu pilih dia atau kamu aku tak tahu/Karena diriku bingung harus pilih dia atau dirimu. Nah looh..

Aris Setiawan (Esais)

Dolly (dimuat di Koran Joglosemar 18 Juni 2014)

Dolly



Dolly, tempat prostitusi di Surabaya yang akan ditutup (tenggat 18 Juni 2014). Konon lokalisasi tersebut terbesar se-Asia Tenggara. Mengalahkan Phat Pong di Thailand dan Geylang di Singapura. Dolly seolah menjadi “institusi resmi” bisnis esek-esek. Kehadiran dan eksistensinya diakui secara aklamasi, walau tak jarang dicaci dan dihujat oleh pihak-pihak tertentu atas nama moralitas. Seksualitas adalah pengubah sejarah paling tua dalam peradaban manusia, begitulah kata Michael Foucault (1926-1984). Seksualitas tabu untuk diumbar namun tiada usai diperbincangkan. Kitab Kamasutra di India, awalnya dihujat dan diharamkan, namun kemudian menjadi buku terbajak paling laris di dunia. Dolly hanya menjadi contoh bagaimana seksualitas dirayakan secara terbuka, di saat hal serupa di wilayah dan daerah lain masih abu-abu, tersembunyi, ilegal dan remang-remang. Melihat Dolly sebagai sebuah lokalisasi berarti juga menelisik tentang sejarah seksualitas dalam konteks kebudayaan di Indonesia. Saat di mana prostitusi telah mengakar sejak zaman kerajaan di Nusantara.

Telisik
Pada masa kerajaan di Jawa, seks disiarkan lewat serat yang berisi suluk dan tembang. Membacanya tak cukup dengan hanya berbekal kemampuan bahasa, namun juga musikalitas. Tak ubahnya mendendangkan musikalisasi puisi. Lihatlah serat Centhini, Nitimani, Gatholoco dan Dhamogandul. Di banyak serat tersebut kisah-kisah seksualitas diuraikan secara indah penuh citra estetik. Di ruang publik, pembicaraan tentang seksualitas direpresi dengan ketat. Namun ia justru dapat terjelaskan lewat tetembangan (Macapat, Dandhanggula, Asmaradhana, dan lain sebagainya). Antara estetika dengan erotika berbaur menjadi satu. Serat-serat tersebut segera menjadi primadona. Dilagukan tapi juga dihayati makna dan artinya. Hal ini menunjukkan bahwa informasi mengenai seks sudah ada pada tahun 1814 semasa pemerintahan Paku Buwana IV sebagai Raja Surakarta yang ditandai dengan hadirnya serat Centhini. Bahkan konon, Centhini merupakan serat paling vulgar memberitakan seksualitas. Tersusun menjadi 722 jenis tembang.
Kisah-kisah prostitusi dalam serat Centhini begitu realis, seolah menunjukkan jejak pengalaman pribadi dari si pengarang. Artinya, serat itu dituliskan setelah pengarang mengalami pelbagai kejadian seksualitas secara nyata. Ada yang mengindikasikan bahwa serat tersebut dibuat oleh raja sendiri, orang yang memiliki “kuasa” untuk melakukan hubungan seksualitas dengan banyak orang. Tak hanya wanita, sesama lelaki, bahkan prilaku menyimpang hubungan intim antara manusia dan hewan disiarkan dengan jelas lewat serat tersebut. Seksualitas kemudian dianggap sebagai sebuah ritus sakral, tak semata sebagai gejolak nafsu. Lahirlah tradisi yang mengambil seksualitas sebagai sumber. Patung linga-yoni (kelamin lelaki dan perempuan) bertebaran secara terbuka lewat relief candi (lihat candi Sukuh di Jawa Tengah). Kesenian-kesenian yang mengangkat ritus kesuburan (persentuhan lelaki-wanita) diciptakan seperti Tayub, Gandrung dan Lengger. Gending-gending gamelan yang berkisah tentang seksualitas seperti Cucur Bayuk dan Rembun dibunyikan.
Hadir pula tempat-tempat sakral yang ditujukan untuk berhubungan seks. Keraton memiliki ruang-ruang “persetubuhan” yang wingit antara raja dan ratu pantai selatan. Bahkan raja juga memiliki kuasa, hak dan tempat khusus –baca Umbul Pasiraman Taman Sari- berhubungan seks dengan siapapun wanita yang ditunjuknya. Lihat pula misalnya sejarah penari bedhaya di keraton. Otto Sukatno dalam Seks Para Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme Jawa (2002) menjelaskan, prilaku penguasa yang demikian memberi umpan bagi rakyat di bawah pemerintahannya untuk meniru dan melakukan hal serupa. Bedanya, masyarakat akar rumput melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Semakin lama, lahirlah tempat dan komunitas yang memperdagangkan tubuh dan raga wanita. Kegiatan prostitusi tersebut adakalanya berlindung di balik nama tradisi ritus kesuburan Jawa. Simak kemudian bagaimana lokalisasi yang terjadi di gunung Kemukus Jawa Tengah. Seksualitas dijalankan atas nama tradisi, demi mengharap pamrih pesugihan. Konon untuk mendapatkan kekayaan, seseorang harus melakukan pesta seks dengan wanita (bukan istri) selama tujuh kali berturut-turut dengan pasangan yang sama. Ritual ini agaknya masih berlangsung hingga sekarang.

Dolly
Wanita di zaman kerajaan banyak digunakan sebagai persembahan atau seserahan bagi penguasa dan raja. Tradisi ini mengharuskan wanita dihargai dalam jumlah nominal tertentu dan berkembang menjadi bisnis prostitusi. Pada akhirnya setiap daerah berlomba untuk memiliki “bilik” lokaliasasi sendiri, Pasar Kembang di Yogyakarya, Kramat Gantung di Jakarta, Saritem di Bandung, dan Dolly di Surabaya. Terlebih bagi kota-kota perdagangan semacam Surabaya. Para saudagar yang singgah menyempatkan diri untuk “menikmati” wanita pribumi. Lewat catatan Terence H. Hull dan Gavin W. Jones, Surabaya pada 1864, telah memiliki 18 rumah prostitusi dan pelakunya berjumlah 228 wanita. Surabaya menjadi tempat berlabuh bagi banyak kapal dari daerah lain untuk pelbagai kepentingan. Akibatnya ada semacam keharusan untuk menyediakan pelbagai layanan jasa tak terkecuali seksualitas.
Sejarah terciptanya Dolly sebagai tempat prostitusi cukup sulit untuk dilacak dengan jelas. Namun tradisi lisan menyebutkan bahwa nama Dolly sendiri didapat dari perempuan keturunan Belanda yang dikenal dengan nama Dolly van der mart. Lokalisasi Dolly laksana aquarium. Memajang wanita dengan pelbagai bentuk raga dan rupa. Transaksi seksualitas dapat diberlangsungkan secara terbuka tanpa tabu dan ragu. Tak hanya bisnis prostitusi, pelbagai mata pencaharian saling terkait antar satu dengan yang lain. Dari tukang becak, ojek, warung makan dan minuman, pemilik penginapan, pemain musik, penjual rokok dan kondom, tukang parkir dan jasa keamanan menggantungkan hidupnya di tempat itu. Oleh karenanya, membicarakan Dolly tak cukup hanya melihatnya dengan kacamata kuda sebagai sebuah tempat prostitusi. Namun jaringan sistem ekonomi makro. Keberadaannya selama ini tak lekas ditutup karena pertimbangan efek berantai atau domino. Ia seolah didiamkan, dianggap tak ada, namun dapat dirasakan kehadiran dan dampaknya.
Jika meminjam pandangan Michael Foucault lewat bukunya The History of Sexuality (1976), prostitusi sejak zaman kerajaan, semakin direpresi, ditekan dan dihilangkan, justru semakin mampu berpendar menjadi ujudnya yang lain. Begitu seterusnya. Seksualitas, semakin ia dikontrol dengan pelbagai aturan religius, dogma agama dan undang-undang, justru ia semakin bertahan, eksis dan berkembang. Lihatlah banyaknya skandal seks yang tersebar lewat video porno, anak-anak sekolahan tanpa malu berhubungan intim layaknya suami istri, bahkan kasus-kasus sodomi terhadap anak akhir-akhir ini telah menjadi pemberitaan yang tiada habis. Dengan demikian, tak cukup dengan hanya menutup Dolly, memblokir situs pornografi, namun juga dibutuhkan gebrakan untuk merubah cara berfikir holistik tentang seksualitas.
Telisik sejarah seksualitas di negeri ini memberi pemaham mendasar bahwa Dolly terbentuk tidak semata karena faktor ekonomi, namun juga budaya. Seksualitas telah mengakar dan mampu mengisahkan peradaban. Dolly menjadi monumen di mana seksualitas dirayakan namun di sisi lain juga mencoba untuk dirumahkan. Kitapun patut bertanya dan mengetahui tentang nasib Dolly dan para penghuninya ke depan. Jika Dolly hendak ditutup, hal serupa juga seharusnya dilakukan di kota lain. Namun demikian, hilangkah bisnis seksualitas? Atau, sekali lagi, mereka ditutup, tapi dengan segera mampu menjadi ujudnya yang baru, bertebaran namun lebih profesional. Nah looh...!
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Anak dalam Kisah Budaya (dimuat di Koran Joglosemar 4 Juni 2014)

Anak dalam Kisah Kebudayaan



Pemerintah mendengung-dengungkan generasi emas pemimpin Indonesia tahun 2045, tepat seratus tahun negara ini merdeka. Namun dalam perjalanan mempersiapkan generasi unggul tersebut, justru dinodai dengan tragedi yang memilukan bagi dunia anak-anak kita masa kini. Kasus pelecehan seksual dan kekerasan anak menjadi hal yang tiada habis diberitakan. Bahkan di dunia pendidikan, tak sedikit guru yang seharusnya menjadi ujung tombak pembentukan karakter (ilmu) kemudian turut menjadi pelaku atau aktor jahat di balik itu. Seharian penuh anak-anak berada di bangku sekolah. Setelah selesai, kursus privat diberlangsungkan hingga malam. Semua dilakukan demi memburu nilai dan prestasi. Anak-anak tak memiliki waktu untuk bersisoalisasi dengan sesama. Rasa individualpun timbul. Dunia anak-anak yang idealnya penuh dengan canda, tawa, bermain besama, bersahabat harus hilang. Yang ada kemudian kisah persaingan antar satu anak dengan yang lain, keharusan untuk saling mengalahkan. Perkelahian karena sesuatu hal yang sepelepun marak terjadi. Bahkan tak jarang nyawa menjadi taruhannya. Kisah anak Indonesia dewasa ini seolah menjadi satir dan ironi bagi dunia pendidikan dan kebudayaan kita.

Kisah
Di masa lalu, dunia anak-anak mampu dikisahkan begitu indah. Pelbagai episentrum tradisi seperti permainan tradisional, dongeng, tembang pengantar tidur, lagu-lagu dolanan diperkenalkan untuk membentuk karakter kepribadian anak. Antar satu dengan yang lain dibiasakan dan diajarkan untuk bersahabat, bekerjasama menghadapi masalah dan saling membatu. Budaya kekerasan jarang sekali muncul. Sekolah bukanlah satu-satunya hal terpenting bagi kehidupan anak. Sekolah hanya menjadi ruang bersosialisasi yang lebih luas, bukan ajang untuk bertaruh dan bersaing. Supartinah lewat tulisannya Contribution of Nusantara Children Classic Literature for Culture-Visioned Primary Education (2013), menjelaskan bahwa kebudayaan –tradisi- kita telah mewariskan bentuk pendidikan karakter dan budi pekerti luhur bagi anak. Pendidikan karakter itu berbasis kekuatan lokal, dengan menggali unsur-unsur tradisi di daerahnya masing-masing. Akibatnya, anak-anak selain belajar bersosialisasi juga memahami perangkat kebudayaan yang dimilikinya seperti bahasa, prilaku, sikap dan kesenian. Di Jawa misalnya, kita mengenal pelbagai permainan dan tembang dolanan seperti cublak-cublak suweng, gajah-gajah, jamuran, kidang talun, kupu kuwi, lir-ilir, menthok-menthok, padhang bulan, pitik tukung, jothang alang-alang. Tetembangan itu sarat tuntunan dan pesan moral, dimainkan secara bergerombol, bersama-sama. Kekompakan dan kebersamaan manjadi hal terpenting.
Namun kini, permainan dan tembang dolanan itu telah tergantikan dengan kuasa teknologi semacam playstation dan game-online. Anak-anak lebih menyibukkan waktu luangnya untuk bermain secara virtual, berlama-lama sendirian untuk manekur di kamar. Permainan yang berbau kekerasan membawa dampak psikologis bagi anak, dipraktikan pada kehidupan nyata. Tak mengherankan kemudian jika anak-anak yang duduk di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Peratama (SMP) seringkali terlibat tawuran. Iklim persaingan di sekolah dilengkapi dengan iklim kekerasan di ruang permainan menyebabkan vandalisme anak-anak merebak. Terlebih setiap hari mereka disuguhi dengan tontonan berbau asmara dan cinta-cintaan lewat media elektronik. Kisah-kisah yang demikian kemudian ditiru. Tak jarang anak-anak bunuh diri karena persoalan asmara. Video asusila menyebar. Atau banyaknya yang hamil di usia yang masih belia. Di televisi pula, mereka diperkenalkan dengan pelbagai jenis prilaku manusia, dari yang jahat, baik bahkan yang menyimpang. Mereka mengenal kisah laki-laki yang kebanci-bancian. Menyukai sesama jenis. Kasus-kasus fedofil kemudian tumbuh subur di dunia anak. Mereka menjadi korban. Tekanan yang dihadapai di lingkungan pendidikan dan pergaulan keseharian seolah mengamini pelbagai prilaku yang demikian.  
Dahulu kala, saat malam datang, anak-anak dihantarkan oleh ibunya ke peraduan tidur dengan dongeng-dongeng menggoda. Malin Kundang, Kancil Nyolong Timun, Luthung Kasarung, Bandung Bandawasa dan lain sebagainya. Ibu melukiskan kisah itu dengan pelbagai ekspresi dan mimik wajah. Kisah itu terbawa hingga mimpi. Memberi tauladan pesan bagi anak untuk berbuat bijak terhadap sesama. Pendidikan budi pekerti diberlangsungkan di atas tempat tidur, kamar imajiner bagi anak untuk berimajinasi dengan bebas. Dongeng adalah jembatan yang mengantarkan anak belajar tentang arti kedewasaan. Namun kini waktu bertemunya ibu dan anak boleh dikata sebagai peristiwa yang langka. Ibu-ibu masa kini disibukkan dengan urusan emansipasi, menempatkan kedudukannya sebagai figur yang berpengaruh secara sosial. Ibu idaman adalah seorang dokter, arsitek, pengusaha, politikus, pejabat. Ibu bukan lagi “orang tua” bagi anaknya. Ibu hanya simbol status. Dengan segala kelebihan materi yang dimilikinya, para ibu berusaha menyekolahkan anaknya di sekolah prestisius, mahal dan berkelas mega-internasional, setiap jengkal ruangan penuh dengan pengawasan ketat. Namun sekolah yang demikian tak ubahnya penjara, mengurung anak, tak mampu bersentuhan dengan alam dan lingkungan sosial. Bahkan kejadian pelecehan seksual terhadap anak kerap terjadi di sekolah-sekolah berjenis demikian. Ironis!

Budaya
Kembalikan anak pada dunianya. Dunia yang dipenuhi oleh keceriaan. Sekolah yang membentuk iklim persaingan untuk saling mengalahkan mengikis kisah-kisah anak dalam narasi kebudayaan. Pendidikan kemudian diberlangsungkan dengan ukuran-ukuran angka atau nilai-nilai. Anak yang baik berarti sukses secara prestasi akademik. Sementara di lain pihak, anak-anak dengan nilai rendah merasa bodoh dan tak berguna. Mereka bekerja lebih keras, belajar hingga larut malam, sibuk mengikuti kelas tambahan. Hari-harinya dihabiskan demi mengejar angka atau nilai. Dendang tembang dolanan, dongeng, lagu pengantar tidur dan permainan tradisional semakin bangkrut eksistensi. Anak-anak terlalu sibuk, apalagi untuk mengurusi hal-hal yang dianggapnya tak membawa efek berarti bagi prestasi dan nilai akademik. Para orang tua gagal dalam memberi tauladan berharga terkait pembentukan karakter dan budi pekerti. Otak anak semata berisi rumus-rumus pelajaran. Mereka menjadi sensitif terhadap sesama, mudah tersinggug dan marah.
Karsono lewat tulisannya Lagu Anak-anak Tradisi Nusantara: Mutiara Kebijaksanaan yang Terlupa (2011) menganggap bahwa lagu-lagu dolanan anak penting untuk kembali dihadirkan sebagai dektoksinasi pengaruh negatif yang berkembang dewasa ini. Sudah selayaknya anak-anak menemukan dunianya, bermain dan bersosialisasi. Bermain tidak memiliki target, mereka dapat berhenti kapanpun mereka mau. Yang paling penting adalah perjumpaan dengan sesama, saling mengenal dan membangun kisah pertemanan. Kekayaan tradisi menjadi kisah berharga dalam membentuk mental anak. Namun pengaruh zaman dan teknologi yang semakin berkembang mengakibatkan dunia anak dilipat. Perjumpaan dengan sesama dilakukan lewat perangkat canggih semacam handphone atau gadget. Dunia anak kemudian juga menjadi ajang pamer, dari merek handphone, sepatu hingga tas. Adanya kelas-kelas khusus berlabel internasional semakin menambah rentang jarak antara yang kaya dan miskin. Kita dibuat takjub kala terjadi pelecehan seksual di lingkungan sekolah mahal dan elit, namun menganggap biasa perjuangan anak-anak di daerah tertinggal. Di mana mereka bertaruh nyawa, menyebrang kali, mendaki bukit hanya untuk bersekolah. Kitapun memandang biasa kala gedung-gedung sekolah di pelosok daerah Indonesia telah lapuk dan reot. Kisah-kisah manis dunia anak dalam narasi kebudayaanpun semakin sayup tak terdengar. Dunia anak tak lagi berisi tawa, namun tangis dan luka. Mereka selalu menjadi korban, baik oleh kebijakan maupun tuntutan zaman.
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Solo 

Pengikut