Nyadran dan
Kohesi Sosial
Poerwardarminto (1937) mengartikan nyadran sebagai ritual menziarahi makam
laluhur yang waktunya telah ditentukan. Nyadran biasanya dilangsungkan secara
kolektif menjelang bulan puasa atau ramadhan. Aktifitas ini tak semata ungkapan
ekspresi religius masyarakat Jawa, namun juga kultural. Tradisi ini menjadi
simbol yang mempertautkan masyarakat Jawa dengan leluhur atau nenek moyangnya.
Di wilayah itu, orang Jawa menyadari bahwa dirinya memiliki garis keturunan,
tidak lahir secara tiba-tiba. Karenanya, mereka dituntut untuk berbakti, menghargai
jasa para leluhur dengan berkirim doa dan sesaji. Mengisahkan hubungan
kekerabatan tidak putus walaupun ajal telah menjemput. Ritual nyadran biasanya
diisi dengan aktifitas membersihkan makam, selamatan atau kenduri, membuat kue
apem dan ketan. Di sisi lain, nyadran juga menjadi sarana implementasi
terbentuknya kohesi sosial masyarakat Jawa. Sanak keluarga dari rantau pulang
kampung untuk melakukan nyadran, sekaligus menjadi ajang silaturahmi dan
komunikasi.
Komunikasi
sosial
Masyarakat kampung berbondong-bondong
pergi menziarahi makam dan melakukan kenduri. Kenduri biasanya dilangsungkan di
balai desa, atau gedung pertemuan desa. Di ruang itu, pelbagai komunikasi
sosial dilangsungkan dengan bertukar makanan. Segala masalah kampung diulas dan
berusaha ditemukan solusinya. Masyarakat saling bertegur sapa. Menyadarkan
bahwa hidup tidak mempribadi namun saling membutuhkan. Nyadran adalah ujud
pengorbanan masyarakat Jawa dalam mempertahankan nilai-nilai tradisi. Dengan
mendoakan arwah para leluhur merupakan ujud negosiasi pada tuhannya, agar
diberi kemudahan dan kesuksesan hidup. Arwah keluarga dianggap lebih dekat pada
tuhan, sehingga dirasa mampu menyampaikan segala pesan dan doa dengan lebih
gamblang. Bahkan aktifitas menziarahi makam juga dilakukan oleh banyak pemimpin
negeri ini. Soekarno dan Soeharto dianggap sebagai presiden yang tekun
menziarahi makam-makam Jawa yang dianggap keramat. Hal itu juga masih ditiru
hingga sekarang, lihatlah calon presiden kita yang juga melakukan aktifitas
serupa. Prabowo nyekar di makam
Soeharto dan Soekarno, begitupun Jokowi yang ke makam Gus Dur dan ayahnya.
Bagi orang Jawa, makam bukan dianggap
sebagai tempat peristirahatan terakhir, namun terminal yang menghubungkan
manusia dengan dunia lain, fana dan gaib. Oleh karena itu, “terminal” tersebut
haruslah dirawat dan dibersihkan. Semakin indah makam atau kuburan, menunjukkan
bahwa mereka merawat masa lalu dengan mengenang leluhur, dan menghargai masa
depan melalui doa dan pengharapan. Nyadaran datang lewat akulturasi yang
harmonis antara Islam dan Jawa. Ritual itu berada di ruang abu-abu, bukan hitam
apalagi putih. Nyadran bukan sepenuhnya Islam, tidak pula seutuhnya Jawa. Ia
berada di tengah-tengah, perpaduan antara keduanya. Nyadran adalah cara orang
Jawa dalam memahami esensi Islam. Layaknya mendengarkan gamelan Sekaten di
masjid Agung dan menonton pertunjukan wayang kulit dengan lakon Dewa Ruci.
Nyadran mampu mengisahkan jejak kultural masyarakat Jawa dengan indah. Di mana
rasa gotong royong, guyub rukun, kekerabatan, kasih sayang masih dapat dijumpai
dengan lentur.
Dengan kata lain, nyadran menghasilkan
tata hubungan yang vertikal dan horizontal. Meningkatkan hubungan dengan Tuhan
dan sesama manusia. Lewat aktifitas nyadran, manusia Jawa saling berkumpul
bersama tanpa adanya sekat atau kelas-kelas sosial. Tak lagi dibedakan status
golongan, partai dan pilihan politik. Semua setara dan tidak ada yang lebih
baik-buruk dan tinggi-rendah. Ritual nyadran menarasikan bagaimana kebudayaan
Jawa dibangun atas persamaan, tidak berdasar perbedaan. Setelah ritus itu
dilangsungkan, kehidupan dilangsungkan dengan semangat dan cita-cita baru.
Berharap di masa kini dan yang akan datang menjadi lebih baik. Nyadran kemudian
tak lebih dari usaha orang Jawa dalam memotifasi diri. Mereka bukannya
menggantungkan segala doa lewat makam, namun diimbangi usaha dengan membangun
jaringan lewat pertemuan sosial di ritual ini. Oleh karena itu, pelbagai
kesepakatan, kerjasama, solusi masalah, saling membantu dilahirkan kala
pertemuan sosial dilangsungkan. Nyadran mengakomodasi segala kemungkinan
tersebut. Di bulan ini, menjelang Ramadhan, nyadran seolah berusaha
mengingatkan kita tentang arti penting saling mengasihi dan menyayangi sesama demi
kerukunan hidup. Di mana hal tersebut semakin sulit dijumpai dan menjadi
peristiwa yang langka.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta