Agama dan Penampilan Punk (dimuat di Solopos edisi 23 Desember 2011)

Agama dan Penampilan Punk 


 
Beberapa waktu lalu ramai diperbincangkan oleh media cetak maupun elektronik tentang tindakan polisi di Kota Banda Aceh yang menangkap 65 pemuda dari sebuah konser amal punk-rock di Taman Budaya Banda Aceh (10 Desember 2011). Polisi menahan mereka dengan alasan sikap dan penampilan mereka seperti gaya rambut "Mohawk" dan memakai tindikan di beberapa bagian wajah, dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap nilai-nilai ideologi bangsa. Dengan dalih pembinaan, para punker berambut mohawk tersebut dicukur paksa, tindikan dicopot. Tak hanya itu, mereka juga harus menjalani pelatihan ala militer, direndam di kubangan air, dijemur di bawah terik matahari. Persoalannya kemudian adakah yang salah dengan punk lewat musik, penampilan dan gaya hidupnya?

Belajar dari Punk
Ahmad Fikri Hadi (2008) dan Ronald Byrnside (1975) menjelaskan bahwa punk sebagai sebuah aliran musik lahir di Inggris pada tahuan 1970-an. Hal ini dimotori oleh grub band Inggris Sex Pistol yang dalam setiap kali konsernya selalu didatangi oleh anak-anak muda berpenampilan eksentrik. Lewat lagunya yang berjudul “Anarchy in U.K.”, Sex Pistol bersuara lantang dalam mengkritik peningkatan jumlah pengangguran di pinggiran kota-kota Inggris (terutama generasi muda), serta kondisi keterpurukan ekonomi Inggris sekitar tahun 1976-1977. Tidak jelas memang dari mana asal kata ‘punk’ itu muncul. Tapi secara garis besar kelompok punk senantiasa meluapkan kemarahan-kemarahan yang diwujudkan lewat musik dengan tema berisi lirik-lirik resistensial terhadap kemapanan dan penguasa, serta protes sosial politik yang dianggapnya melenceng seperti korupsi, kolusi, nepotisme, perusakan lingkungan, deskriminasi dan kekerasan.
Tak hanya dalam konteks bermusik saja, kelompok punk biasanya menandai diri mereka lewat penampilannya yang unik seperti rambut mohawk ala suku Indian, atau dipotong ala feathercut dan dicat dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh. Semua menunjukkan jati diri anti kemapanan. Mereka berpegang pada pedoman hidup ‘do it your self’, bahwa segala sesuatu dapat dilakukan dengan mandiri tanpa campur tangan pihak lain. Hal itu terlihat dalam usaha menyebar dan merekam musiknya secara indie, konser musiknya pun terbatas dengan didanai dan diselenggarakan secara mandiri.
Uniknya, Dylan Clark lewat tulisannya “The Death and Life of Punk, The Last Subculture” (2003) memandang bahwa sebenarnya musik punk adalah aliran bunyi yang paling jujur dalam menyuarakan ketertindasan diri. Oleh karena itu tak jarang kelompok musik punk dianggap sebagai virus yang mengganggu stabilitas suatu negara lewat kerasnya lirik lagu yang mereka bawakan, sebut saja misalnya group Ramones, The Clash, Buzzcocks, Sex Pistol, Joy Division, The Fall, Dead Kennedys. Punk menjadi katalisator ideal dalam meluapkan akumulasi kepahitan hidup di saat media dan musik lainnya ‘mati rasa’ serta bersolek begitu glamour dengan hanya memburu pamrih semata. Punk memberi tauladan berharga, yang terkadang suara liriknya lebih pedas dan mampu didengar oleh sang otoritas (negara) dari pada suara sumbang demonstrasi ribuan rakyat.
Berjuang lewat punk, ibarat ibadah dalam agama. Punk menjadi aliran musik yang paling lantang dan ‘keras’, bahkan oleh kaum musik underground lainnya dianggap sebagai ‘ideologi berhaluan kiri’. Punk menjadi medium kritik yang mahal dalam melawan kuatnya spirit musik pop saat itu (bahkan hingga kini) yang hanya mengandalkan kekuatan lirik romantis, asmara dan cinta-cintaan semata. Punk tak ubahnya lagu kritikan Iwan Fals, John Lennon, Bob Marley, sepaham walau tak sebadan. Punk merupakan contoh ideal dalam perjuangan lewat musik, yang kini sangat jarang kita jumpai di Indonesia. Oleh karena itu dengan melihat ‘keras’nya punk di antara ingar-bingar musik-musik yang ‘glamour’ saat ini, tak heran jika punk ala Indonesia justru tereduksi sebagai kaum militan, perman, ditakuti dan dianggap meresahkan stabilitas masyarakat hingga oleh sang penguasa (atas nama agama) keberadaannya harus dimusnahkan.

Anarkis
Mencekal pelaku musik punk berarti juga tidak dikehendaki lahirnya punk sebagai musik. Padahal sebagai sebuah hasil olah kreatif, musik punk telah melalui sinergi yang pekat dengan zamannya hingga membentuk karakter dan kharismanya yang khas. Harusnya mampu menjadi simbol contoh panutan pergerakan musik (kritik) muthakhir. Namun, tak jarang kita jumpai segerombolan pemuda yang berpenampilan atas nama ‘punk’ bertindak anarkis ala preman, brutal, meresahkan. Hal inilah yang sering menjadi tanda tanya kita akan anak punk, dandanan (penampilan) mereka yang nyleneh kadang mengkaburkan idealisme seni dan kenyataan hidup. Terlebih diperparah dengan keberadaan punk di Indonesia yang masih belum mampu menunjukkan tajinya sebagai musik kritik yang tajam, sehingga otomatis masyarakat memusatkan perhatiannya hanya pada aspek penampilan semata dengan penuh kecurigaan dan keresahan. Tak pernah berjumpa dengan indahnya tema bunyi yang mereka ciptakan.
Itulah yang mendasari perlakuan polisi dan Pemda Aceh dalam menangkap kelompok pemuda atas nama ‘punk’. Hanya karena rambutnya yang mohawk, anting dan bajunya yang kusut, seperti preman, kemudian tanpa tindakan dan prosedur hukum yang jelas harus dieksekusi secara sepihak. Hal ini mengingatkan kita ketika rezim orde baru, di mana Petrus di masa Soeharto harus membunuh orang hanya karena orang tersebut bertato dan gondrong, tanpa ada proses hukum. Atau militer di tahun 60-an yang menciduk dan membantai sebagian orang karena disangka PKI tanpa pernah ada pembuktian dan peradilan. Pertanyaannya kemudian, apakah mereka kelompok punk sudah diadili dan disidangkan terlebih dahulu? Telah ditentukan kadar kesalahannya? Pasal apa yang mereka langgar?
Wakil Walikota Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal sebagaimana dilansir kompas.com (14 Desember 2011) menolak keberadaan komunitas anak punk karena meresahkan masyarakat dan dikhawatirkan mempengaruhi generasi muda di daerah itu. Apabila logika tersebut yang dipakai, terkesan berlebihan jika hanya karena ‘prasangka’ masyarakat yang merasa resah dengan penampilan mereka kemudian menjadi dasar untuk menangkap, menahan, menggunduli, merendam di air kotor, menjemur, mendidik ala tentara. Pun apabila logika itu dibenarkan, kita dapat mengajukan asumsi akan keresahan kita ketika melihat gerombolan aliran Islam garis keras ada di sekeliling kita, yang berjubah, berjenggot panjang dan bercelana cingrang. Lalu kita lapor polisi dan menuntut agar jenggot mereka dipangkas habis, karena penampilan mereka yang demikian telah begitu meresahkan.
Hal itu tentu saja tidak dapat dilakukan, karena menghukum berdasarkan prasangka jelas tidak dibenarkan, harus dibuktikan kebenarannya. Sama halnya, tak boleh menghukum Islam berdasar prasangka Islam itu teroris, orang Asia tak dapat dilecehkan hanya karena prasangka beda ras dan kualitas dari orang Eropa, orang hitam tak boleh direndahkan hanya karena prasangka warna kulitnya, sama halnya anak-anak punk tak boleh diperlakukan dengan semena-mena atas prasangka kepremanannya. Sejarah, perkembangan dan dedikasi positif punk harusnya dapat digunakan sebagai acuan, pijakan dan referensi dalam melakukan pembinaan yang ideal tanpa harus dengan kekerasan.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Bagai Srikandi (dimuat di Joglosemar edisi 22 Desember 2011)

Bagai Srikandi


 
Lazim kita jumpai, ibu dan pahlawan-pahlawan wanita masa kini dianalogikan “bagai Srikandi”. Tentu pelukisan semacam ini bukannya tanpa maksud, namun sarat akan bingkai penaknaan kultural atau bahkan mungkin yang transenden. Srikandi, sosok wanita dalam epos wayang Mahabarata yang tradisional itu kini abadi dalam percaturan icon mutakhir. Seperti apa Srikandi, dan kenapa harus Srikandi?

Ia yang Maskulin
Banyak stereotip muncul bahwa perempuan masa kini telah memasuki jaman keemasannya. Ia tidak lagi harus terkungkung dalam ‘ketiak’ kaum Adam yang konon memiliki kuasa dalam ‘kontrol-mengkontrol’ kehidupannya, seperti zaman Kartini atau Siti Nurbaya dulu. Di banyak kasus, perempuan seringkali memberikan solusi bagi apa yang tidak bisa diselesaikan oleh laki-laki. Lihatlah Srikandi, ia menjadi pusat dari medan penting pemegang jalannya cerita Mahabarata. Ia adalah satu-satunya perempuan yang berhasil menyelesaikan tugas besar yang tidak mampu dituntaskan oleh pihak laki-laki, membunuh Resi Bisma (Kurawa).
Ia menjadi simbol perempuan dengan dualisme karakter, gagah sekaligus feminim. Gagah ketika hanya dia satu-satunya orang yang mampu membunuh resi Bisma di pihak Kurawa dengan berjibaku di medan perang Kuruka Setra. Dan begitu feminim, lembut ketika menempatkan dirinya sebagai istri atau pendamping hidup dari Arjuna si ksatria Pandawa itu. Srikandi adalah sosok figur perempuan idaman. Karakternya dikagumi dan dipuja. Ia memberi ilham sekaligus guratan pesan bahwa perempuan mampu menjadi apapun, melampaui batas-batas yang selama ini menjadi sekat akan kreativitasnya.
Namun jika kita tenggok jauh pada realitas panggung tradisi, taukah kita bahwa tokoh Srikandi yang monumental itu justru lebih elok diperankan oleh laki-laki, bukannya perempuan. Nah, kenapa demikian?

Muara Hawa dan Adam
Srikandi adalah muara bertemunya dua karakter manusia. Ia merupakan percampuran dalam dikotomi sang Hawa dan Adam. Ia adalah abu-abu, tidak menginduk pada satu karakter yang pasti. Ia memiliki kelainan persona, berwajah cantik namun memiliki kekuatan ksatria. Atipikal, ia dapat merubah perannya menjadi saling silang, perempuan dan laki-laki.
Dalam epos cerita yang dikisahkan oleh ki Slamet Gundono yang juga pernah ditulis oleh Joko Gombloh (2005), Srikandi pernah menikah dengan seorang putri dan memiliki anak. Syahdan, setibanya Srikandi di Imantaka, ia melihat seorang putri yang akan dimakan oleh raksasa. Srikandi menyelamatkannya dengan merubah ujudnya menjadi laki-laki. Karena kemampuannya mengalahkan raksasa itu, ia diperlakukan dan dihormati layaknya laki-laki dan dikawinkan dengan putri Imantaka, memiliki anak bernama Niwatakwaca. Cerita serupa juga pernah ditulis oleh Seno Gumira A (2000), Srikandi memiliki nama laki-laki yakni “Sikhandi”. Nama itu digunakan ketika dirinya berubah ujud menjadi laki-laki.
 Kompleksitas karakter yang dimiliki oleh Srikandi inilah menyebabkan tidak semua penari mampu memerankan penokohannya dalam dunia wayang wong maupun tari di Jawa. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki ‘kelebihan’ -kalau bukannya ‘kelainan’- saja yang mampu memerankannya. Bukan perempuan, bukan pula laki-laki, namun perpaduan di antara keduanya. Ya! Merekalah yang cross gender, laki-laki dengan sikapnya yang keperempuanan (James L Peacock, 1967).
Begitu banyak penari laki-laki di Solo yang sangat mempesona memerankan tokoh Srikandi. Tengoklah bagaimana Didhik Nini Thowok begitu elok memerankannya dalam pentas berjudul ‘Srikandi’ di Gedung Kesenian Jakarta (17 Mei 2011) lalu. Atau lihat pula bagaimana Gembong Hari Wibowo, seorang laki-laki berkepala plontos yang sehari-harinya berperan sebagai Srikandi setiap kali pentas wayang wong Sriwedari diberlangsungkan. Ia sangat terkenal, dan begitu piawai memerankan sosok Srikandi (gong, 2005). Ia mampu menjiwai, memiliki karakter feminim layaknya perempuan dengan bersikap dan bersuara. Namun, ia tidak pula bisa melepaskan beban-beban kultural dengan kodratnya sebagai sang Adam. Terlepas dari itu, hal yang lebih penting, bagaimana semangat militansi perjuangan yang dimilikinya mampu memberi inspirasi bagi perempuan-perempuan Indonesia masa kini.

Sumber Inspirasi
Srikandi banyak memberikan tafsir akan kebudayaan. Ia adalah sumber inspirasi untuk apapun, bahkan yang transenden sekalipun. Demi memerankannya dengan sempurna, laki-laki harus berias layaknya perempuan. Bahkan, gejala semacam ini juga dapat kita jumpai di Bugis, Sulawesi Selatan. Lelaki mendandani tubuh serta sifatnya seperti perempuan untuk dapat menjadi bissu, yakni penjaga pusaka kerajaan, pemimpin upacara ritual. Peran yang tidak bisa dilakukan oleh laki-laki dan permpuan biasa. Hanya yang memiliki jiwa  “Srikandi”lah yang mampu
Di Jawa, laki-laki yang ‘menSrikandikan’ dirinya dapat dijumpai pada kesenian Lengger sebagai sarana upacara ritual. Pengejung pada seni Remoh di Madura. Pada titik ini, perempuan sejati bukannya tidak mampu. Justru sebaliknya, kesrikandian memberikan satu jalan bagi laki-laki untuk mengarungi sisi kehidupan yang lain, menjelma sebagai sebuah kodrat budaya transenden yang keberadaannya tak dapat ditiadakan. Bukan lagi mempermasalahkan bagaimana ujud Srikandi itu, tapi bagaimana semangat, jiwa lembut namun tegas dan berwibawalah yang menjadi syarat serta ilham bagi semuanya.
Namun sayang, adakalanya makna Srikandi dewasa ini cenderung dangkal. Ia ditafsir hanya dalam konteks ujud, benda, material atau ketubuhannya semata, tanpa mampu menangkap militansi pemaknaan kultural pada keunikan karakternya. Lihatlah kefeminiman kini dimainkan, dielaborasi bahkan dieksploitasi laki-laki. Di layar kaca, mereka memperempuankan dirinya, yang kadang melebihi ambang batas. Ke “Srikandian” hanyalah teknik dan strategi dalam meraih popularitas semata.
Padahal, lebih dari itu, sosok Srikandi tergurat bukan untuk melegalkan akan tafsir kultural yang abu-abu terhadap makna keperempuanan. Srikandi hanya salah satu contoh lorong kecil yang menggambarkan bagaimana perempuan dan laki-laki adalah satu –menyatu-. Ia muara dari yang unik, bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama,  memiliki peran dan tanggung jawab sama dengan tidak ada yang lebih tinggi atau rendah di antaranya. Itulah tafsir dan pemaknaan yang mencoba ditelurkan dari keniscayaan karakter dalam sosoknya.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Kebudayaan di Garis Margin(al) (dimuat di Koran Joglosemar edisi 1 Desember 2011)

Kebudayaan di Garis Margin(al) 


 
Tidak banyak yang mengetahui bagaimana bentuk ekspresi kebudayaan di garis perbatasan NKRI dengan negara lain. Selama ini kita lebih akrab dan mengenal kebudayaan yang berpusat pada seting wilayah tertentu yang lebih populer. Sementara itu, bukan rahasia lagi, kebanyakan ekspresi budaya pada ‘wilayah margin’ itu kurang mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Padahal garis margin konon merupakan pintu awal atau wajah yang menghantarkan dalam memasuki belantara penampilan budaya (suku) bangsa Indonesia yang lebih kompleks. Cermin ketangguhan, kebesaran dan kemajuan suatu bangsa harusnya nampak pada kualitas kebudayaan di wilayah-wilayah yang tergolong margin itu.

Garis Margin
Beberapa waktu lalu kita disibukkan dengan berita dilema posisi batas wilayah Indonesia dengan negara lain terutama Malaysia yang senantiasa bergeser. Fokus utama penanganannya lebih pada penguatan keamanan dengan menambah prajurit TNI untuk menjaga garis batas itu, sementara pada sisi kesejahteraan masyarakat Indonesia paling pinggir itu tidak pernah terpikirkan. Sehingga bukan rasia lagi, masyarakat margin tersebut cenderung cuek ketika posisi batas bergeser, mereka lebih disibukkan dengan mencari kesejahteraan diri yang konon di negara tetangga lebih menjanjikan untuk hidup. Oleh karenanya banyak masyarakat Indonesia yang beralih kewarganegaraan karena dirasa lebih menjanjikan.
Masyarakat margin selama ini dianggap marginal. Mereka yang lebih dekat dan menggantungkan hidupnya dari hutan maupun laut dianggap sebagai makhluk primitif yang tak berbudaya. Padahal mereka sebenarnya adalah cendela yang memperlihatkan sekaligus mencerminkan wajah dari tubuh NKRI yang sejatinya. Berbagai penguatan harusnya dilakukan, tidak hanya dalam domain keamanan semata. Lebih dari itu, aspek kebudayaan justru menjadi spektrum yang tak kalah penting dalam usaha pembentukan jatidiri yang baik.
Pesoalan tersebut menjadi topik perbincangan hangat di berbagai kalangan budayawan akhir-akhir ini. Bahkan Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, secara khusus menyediakan forum seminar nasional dua kali berturut-turut untuk tema ini pada tanggal 15 Desember 2010 dan 24 November 2011 kemarin. Beberapa pakar kebudayaan dihadirkan seperti Prof. Tjetjep Rohendi Rohidi, Prof. Rahayu Supanggah dan Endo Suanda MA dan Prof. Dr Sri Hastanto.
Membicarakan NKRI berarti membaca akan satu kompleksitas ‘batasan’ wilayah yang di dalamnya terdapat beraneka ragam suku-bangsa dalam balutan pulau-pulau. Sementara wilayah garis margin adalah garda depan dalam menampilkan wajah ke-Indonesian. Namun, ia pula yang akan menjadi tumbal pertama ketika dua negara atau lebih sedang terlibat sengketa, layaknya pada kasus perbatasan Korea Utara dan Selatan serta Malaysia dan Indonesia pada akhir-akhir ini. Dengan demikian, harusnya wilayah-wilayah pada garis margin ini memiliki posisi tawar kebudayaan dan peradaban yang lebih maju.
Banyak makanan atau kuliner, pakaian adat, upacara adat, seni, arsitektur, kearifan lokal yang khas dimiliki oleh mereka. Sayangnya hal tersebut selama ini tidak terekam dengan baik. Sementara apabila dilakukan penguatan pada salah satu diantaranya, bukan satu hal yang mustahil kemudian akan menjadi citra positif yang dapat diunggulkan pada dunia. Terlebih jika perangkat kebudayaan tersebut masuk menjadi menu utama dalam pendidikan, tentu akan sangat membanggakan. Pemikiran semacam ini bagi Sri Hastanto (2011) adalah solusi ideal dalam mengatasi masalah pelik yang beberapa dekade ini dihadapi masyarakat wilayah Indonesia pada garis margin itu. Mereka dapat menghidupi dirinya dengan layak ketika keunikan, kekhasan, kekuatan lokal mampu dimunculkan dan diwacanakan dengan luas hingga menarik perhatian media dan pemerintah untuk senantiasa bersinergi lewat regulasi kebudayaan dan pariwisata yang konstruktif.
Bahkan usulan Hastanto disambut dengan baik oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan untuk mendirikan sekolah tinggi seni pada tahun 2012 mendatang di beberapa daerah batas margin yang selama ini dianggap memiliki potensi untuk diolah, koservasi dan dikembangkan. Dengan demikian daerah yang selama ini dianggap margin tidak lagi marginal. Mampu bersaing dengan wilayah lainnya yang selama ini dianggap glamour dan ideal.

Dekonstruksi Budaya
Pandangan yang selama ini menganggap bahwa daerah perbatasan yang paling marginal dari seluruh wilayah NKRI, tidaklah sepenuhnya benar. Dalam peradaban kotapun sejatinya banyak kebudayaan yang termarginalkan. Kebudayaan Banyumas, Cilacap, Magelang, Brebes adalah daerah yang termarginalkan di antara ingar-bingar kebudayaan Jawa dengan Yogja dan Solo sebagai pusatnya. Atau Betawi dengan Jakarta sebagai sentralnya.
Ironisnya, suatu kebudayaan dikatakan lebih maju jika memiliki sistem klasifikasi yang lebih kompleks dan terstruktur. Bagaimana strata Priyayi, Santri dan Abangan di Jawa terutama Yogja dan Solo dianggap sebagai sebuah hierarki hasil olah kebudayaan yang adiluhung dibanding dengan Banyumas atau Magelang atau daerah perbatasan yang cenderung kerakyatan.
Bagaimana juga dengan kesenian keraton yang dianggap berkelas karena memiliki sistem praktek yang kompleks dan konstruktif dibanding dengan lainnya. Bahasa Jawa Solo yang terdiri dari berbagai tingkatan struktur itu (alus, krama, ngoko, inggil dan lain sebagainya) dianggap hasil dari olah kebudayaan yang lebih mapan atau elit. Sementara bahasa Banyumasan atau Surabayan dianggap sebagai bahasa kerakyatan yang kasar. Oleh karena itu tidak heran bila hingga kini bahasa yang terstruktur tersebut menjadi satu mata pelajaran wajib di berbagai sekolah di Jawa, mengalahkan bahasa lokal di lokus yang sebenarnya.
Yang tak bernama dianggap tak jelas, yang tak beraturan dianggap tak bernilai, yang tak kompleks dianggap tak bermutu. Kebudayaan dengan konsep-konsepnya yang dapat dijelaskan sampai pada bagian-bagian terkecil dianggap sebagai kebudayaan yang terbaik, beradab (civilization) sementara yang lain layaknya di daerah perbatasan adalah ‘marginal’. Oleh karena itu, kadang jika seseorang yang tidak bisa mengikuti tatacara dari kebudayaan ‘kasta tinggi’ itu, maka dengan serta-merta ia dicap sebagai ‘kampungan’ alias ‘primitif’. Hal ini yang mengispirasi Trans TV menggunakan kata ‘Primitif Runaway’ sebagai tajuk salah satu acaranya dengan menganggap masyarakat margin itu kolot dan kuno. Judul acara tersebut kemudian beralih menjadi ‘ethnic runaway’ setelah mendapat kritik dari berbagai kalangan.
Dengan demikian sudah selayaknya kita mendekostruksi kebudayaan dengan stereotipnya yang demikian dan menempatkannya dalam satu ruang kesetaraan, karena tidak ada yang lebih baik ataupun rendah di antaranya.


Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Keraton Bangkrut Eksistensi (dimuat di Solopos edisi 16 November 2011)

 Keraton Bangkrut Eksistensi



Keraton atau kraton merupakan tempat seorang penguasa yakni raja atau ratu dalam menjalankan aktifitas pemerintahannya. Tak kurang dari 200 keraton bertebaran di bumi nusantara. Tentu saja setiap keraton pernah mengalami masa kejayaan. Tak tanggung-tanggung gaung masa keemasannya begitu mempesona hingga terkadang keluar dari batas-batas bumi Indonesia (baca sejarah Majapahit). Menerobos sekat-sekat pemikiran yang sempit dalam menempatkan supremasi keraton di nusantara sebagai pusat dari sebuah peradaban maju yang mutakhir.
Namun ironisanya, di era milenium ini dominasi keraton tidak lagi dapat terlihat. Keraton yang awalnya menjadi pusat dari medan penting sebuah peradaban kebudayaan kemudian harus beralih menjadi gedung tua yang lapuk tanpa eksistensi. Keraton hanya menjadi pajangan memori masa lampau. Sebatas jembatan dalam menelisik sejarah penguasa berserta dinamika politik dan legitimasi kekuasaan untuk mengkisahkan kejayaan, kekalahan dan sekaligus kebangkrutan sebuah rezim.   

Bangkrut  
Ada yang menarik dari perayaan pernikahan putri Sultan Hamengku Buwana X kemarin (17-18 Oktober 2011). Di sela-sela pernikahan agung tersebut Ketua Forum Keraton Raja Ternate Paduka Yang Mulia Sri Sultan Ternate Joou Kolano Sultan Mudaffar Sjah ke 48 Alammakolano mengungkapkan perlunya pemerintah menyusun undang-undang yang mengakui keistimewaan keraton di seluruh nusantara. Tentu pernyataan tersebut bukannya tanpa dasar. Dengan melihat detak hidup keraton saat ini, hanya di beberapa lokus saja yang masih memiliki eksistensi, seperti Yogyakarta misalnya karena ditopang sebagai daerah istimewa dengan penunjukan rajanya sebagai gubernur. Selebihnya keraton telah beralih menjadi monumen dan pajangan wisata, sebatas ditonton dan diabadikan lewat jepretan kamera. Terlebih sang pemilik keraton –raja- yang awalnya memiliki kuasa penuh dalam mengartikulasikan keraton sebagai pusat dari medan kekuasannya, kini hanya tinggal kenangan. Ia tak ubahnya biksu tua penjaga kuil yang rapuh, tanpa legitimasi serta kuasa dalam ‘kontrol-mengontrol’ stuktur kebudayaan apalagi politik.
Bagi Surya Kencana dalam disertasinya yang berjudul Ritual, Heritage and Power in Contemporary Java: The Pasamuan Ageng and Pusaka of Keraton Surakarta Hadiningrat (2007) keraton lebih dari sekedar tempat yang didiami oleh bangunan-banguan kuno. Keraton adalah muara tempat bergumulnya berbagai mitos. Keraton menyibak sensibilitas manusia akan sesuatu yang magis dan sakral. Keraton pula yang menjadi tempat cikal-bakal lahirnya sejarah politik dan dominasi kekuasan di negeri Ini. Keraton mengguratkan sesuatu yang agung, suci dan religius. Hans Deang (1991) memandang keraton sebagai simbol yang menyediakan pegangan hidup bagi masyarakat pengikutnya. Keraton berusaha menjadi sosok yang menerjemahkan bingkai-bingkai keagungan kuasa Tuhan dalam realitas kehidupan nyata. Keraton adalah singasana suci yang dimiliki sang Raja. Tidak setiap ruangan dapat dengan bebas ditembus dan dimasuki oleh semua orang. Ruangan-ruangan tertentu menjadi begitu wingit dengan berbagai menu legenda dan sesaji yang menyertainya. Oleh karena itu keratonlah yang memperkuat keagungan mitos sang raja dalam tugasnya memayu hayuning bawana (menjaga perdamaian dunia).
Demi tugas itu, hingga detik ini setiap penguasa membutuhkan tempat sebagai legitimasi atas kuasa dan keagungannya. Sayangnya nama ‘keraton’ di era yang lebih milenium ini dianggap tidak lagi mencerminkan kemodernan zaman. Nama keraton direduksi menjadi ‘istana’ dalam mengkisahkan sebuah rezim yang seolah lebih muthakir. Keraton hanya untuk sang raja masa lalu sementara raja masa kini membutuhkan supremasi nama yang lebih glamour dan populis. Istana Negara, Istana Merdeka, Istana Bogor. Istana Cipanas, Istana Tampaksiring dan Istana Gedung Agung adalah hasil olah pemikiran dalam mendekonstruksi mitos masa lampau akan sebuah keraton yang dianggap lapuk dan basi.

Demi Sebuah Eksistensi
IGP Wiranegara lewat film dokumenter besutannya yang berjudul Pakubuana XII: Berjuang Untuk Sebuah Eksistensi (2004) mengungkapkan bahwa sejarah seolah mengelabuhi masyarakat dengan tidak mengungkap fakta-fakta yang berharga terkait peranan penting keraton Surakarta dalam perjalanan bangsa Indonesia. Dalam menapaki lajur kemerdekaan, aset-aset keraton diambil alih atas nama nasionalitas. Persenjataan, mobil, kuda dan keretanya serta prajurit dan barang penting lainnya diatas namakan milik bangsa Indonesia. Sayangnya setelah ‘terjarah’, keraton menjelma sebagai bangunan tua yang tidak lagi diperhatikan.
Persoalan ini agaknya tidak hanya sebatas dihadapai oleh keraton Surakarta namun hampir semua keraton di segenap penjuru nusantara. Aart van Beek (1990) berusaha menarasikan bagaimana keraton-keraton di nusantara dengan rela melepas beban-beban tanggung jawab kulturalnya demi terbentuknya negara kesatuan republik Indonesia. Tanpa resistensi atau penolakan, keraton dengan rela pula memberikan beban kuasanya yang paling berharga yakni legitimasi politik ke tangan Republik. Masa indah dari awal terbentuknya negara Indonesia, adalah masa akhir dari sebuah eksistensi keraton di nusantara.
Era baru mengharuskan keraton menjadi bentuknya sebagai pajangan sejarah. Klaim-klaim kejayaanya hanya menjadi mitos yang keropos, kalah bersaing dengan mitos baru bentukan zaman yang lebih populis. Sejarah seolah gagal mengingatkan sumbangan besar keraton. Lebih ironis lagi, dominasi pergulatan politik saat ini menjadikan pemilik kuasa keraton –raja- bak macan ompong. Hanya mampu menonton riuh ramainya persoalan negeri tanpa diberi sejengkal wewenang untuk menyampaikan guratan pemikiran politisnya. Singkatnya, kebangkrutan kuasa seorang raja menjadi kebangkrutan dominasi keraton.
Dengung keraton sebagai warisan masa lampau yang wajib dipertahankan hanya menjadi narasi pelipur lara yang rawan reduksi arti. Para pemimpin negeri ini lebih disibukkan oleh intrik politik dengan berbagai bentuknya seperti korupsi, kolusi, kekerasan dan lupa menelisik lakon perjuangan keraton dalam pembentukan negeri ini. Keraton hanya diukur dalam takaran uang, eksistensinya sekadar mampu dilihat dalam kalkulasi jumlah seberapa banyak wisatawan yang datang dan membidik lewat jepretan lensa kameranya. Perlahan keraton terdekonstruksi secara kebendaan yang akan terus dipertahankan sejauh menguntungkan dalam bisnis pariwisata. Sementara dominasi raja dan para abdi dalem beserta perangkat keraton lainnya hanya menjadi pemain pelengkap yang jika jujur diakui keberadaannya kini tidak lagi dibutuhkan.
Begitulah narasi keraton nusantara di era milenium ini. Kuasa politik tak mampu diraih sementara supremasi kebudayaanpun luput dari genggaman. Kasihan!


Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Menghadirkan Pahlawan Musik (dimuat di Suara Merdeka edisi 10 November 2011)

 Menghadirkan Pahlawan Musik 

 

Mengenang momentum hari pahlawan, banyak hal yang patut kita pertanyakan. Parameter apa yang dapat kita gunakan untuk mengukur sejauh mana refleksi dan semangat dalam menghargai para pahlawan terlukiskan saat ini? Ketika stabilitas domain yang lebih besar yakni politik, ekonomi terlebih hukum masih senantiasa menerima kritik, kiranya tidak berlebihan apabila seni menjadi tolok ukur utamanya. Bagi Suka Harjana (2004), standar nilai suatu bangsa terlukiskan dalam perkembangan tingkat seninya, di mana musik menjadi salah satu elemen yang cukup penting.
Setiap pembabakan sejarah Indonesia senantiasa ditandai dengan lahirnya musik tertentu. Begitu pula ketika momentum hari pahlawan dikumandangkan. Pada awalnya, musik-musik yang sifatnya patriotis begitu terselubung, menggema dari satu mulut ke mulut yang lain, satu daerah ke daerah lain hingga mencapai derajatnya sebagai musik nasionalis. Atau sebut saja sebagai musik (ke)pahlawan(an). Musik pahlawan tidak hanya dibuat dan diperuntukkan sebagai pemompa semangat para pahlawan kala perjuangan melawan penjajah diberlangsungkan. Lebih dari itu, musik pahlawan dibuat dan dihadirkan sebagai satu monumen tonggak sejarah, bahwa peristiwa besar pernah terjadi di bumi Pertiwi.
Halo-Halo Bandung, Surabaya, Hari Merdeka, Maju Tak Gentar dan lain sebagainya adalah lagu-lagu yang kehadirannya pernah menjadi saksi perjuangan negeri ini dalam merebut kemerdekaannya. Dengan mendengarkan lagu-lagu kepahlawanan tersebut, diharapkan akan menstimuli diri kita untuk kembali mengenang dan menghargai semangat nasionalis. Kemudian pertanyaanya, bagaimana keberadaan dan nasib lagu-lagu tersebut di masa kini?

Musik Pahlawan
Djohan (2005) menekankan bahwa musik adalah jembatan yang menghantarkan penikmatnya untuk mengenang memori baik tragedi, tonggak pengalaman hidup, orientasi cita-cita dan lain sebagainya. Dengan demikian, tidak jarang seseorang akan menangis, tertawa, bahkan stress jika mendengarkan sebuah musik tertentu karena rasa traumatik, haru dan senang akan pengalaman yang pernah dilaluinya. Seseorang memilih menyukai musik tertentu berarti secara tidak langsung ia menyatakan bahwa musik tersebut adalah cerminan dari keadaan dirinya. Contoh kecilnya, seorang pemuda-pemudi yang sedang dilanda asmara, tentu yang didengar adalah musik bertemakan cinta-cintaan. Atau bahkan ketika berduka atas kematian seseorang (saudara), yang didengar(kan) adalah lagu-lagu bertemakan religi. Kini, ketika momentum hari pahlawan tiba, apakah musik-musik pahlawan juga telah hadir kembali dalam rutinitas kehidupan kita dewasa ini? Jawabnya dapat ditebak, tidak.
Padahal, strategi dalam menempatkan musik sebagai salah satu katalisator yang menghubungkan manusia dengan momen sejarah boleh dikata cukup efisien. Bayangkan, tanpa harus pergi ke museum, monumen, galeri atau sengaja menghadirkan benda peninggalan sejarah lainnya, dengan hanya mendengarkan musik kepahlawanan, seolah kita diajak kembali untuk menjadi saksi sejarah perjuangan bangsa dan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan kala itu.
Dengan demikian sebagai bentuknya yang tak kasat mata, intangible, musik justru memiliki kadar kandungan makna yang melimpah. Efeknya begitu besar, lebih menyentuh. Satu sisinya menjadi positif, tapi satu sisi yang lain dapat menjadi negatif jika digunakan oleh tangan yang salah. Misalnya, efek musik Marylin Manson di tahun 90-an­- yang membuat banyak kalangan pemuda waktu itu mencoba melakukan usaha bunuh diri ketika mendengarkannya. Berbanding terbalik ketika Bob Marley memproklamirkan musiknya yang secara aklamasi membawa pembaharuan bagi masyarakat Jamaika ke arah yang lebih baik.
Begitupun musik pahlawan di Indonesia. Misi utama yang diembannya adalah menyampaikan satu ruang naratif tentang deskripsi perjuangan pahlawan tempo dulu. Menjadi ironis karena kini musik-musik pahlawan tidak dapat menampakkan wujudnya secara lebih terbuka. Terhimpit pada ruangnya yang seolah begitu disakralkan. Berjalan di tempat tanpa mampu menerobos sekat-sekat ke arah yang lebih populis. Tergilas oleh varian budaya musik yang lebih mainstream, dengan menempatkan tema cinta-cintaan cenderung yang begitu transparan.

Pahlawan Musik?
Musik pahlawan tidak hanya dapat dimaknai pada satu spektrumnya yang sempit. Yang hanya ditujukan untuk mengenang perjuangan para pahlawan tempo dulu, alias masa lampau. Kini ketika zaman telah bergulir ke arah yang lebih ‘maju’, tidak tertutup kemungkinan untuk dapat mereduksi kembali keberadaan musik-musik pahlawan yang mungkin dewasa ini dirasa sudah mulai “membasi”. Dengan demikian, jika pada awalnya telah muncul pahlawan musik seperti Ismail Marzuki, Cornel Simanjuntak, W.R. Supratman dan lain sebagainya, sudah selayaknya kini dibutuhkan pahlawan-pahlawan musik baru yang lebih kreatif.
Namun demikian, seharusnya pula pemaknaan terhadap ‘pahlawan musik’ bukan berarti individu yang menciptakan musik nasionalis semata. Lebih dari itu, makna pahlawan musik telah mensublimasi ke arah yang lebih luas. Adalah individu-individu kreatif yang melalui musik mencoba melakukan perjuangan pembaharuan hidup, mendobrak ketidak mapanan melalui alunan dinamika teks musikalnya. Sebut saja Bob Marley di Jamika, John Lennon di Amerika atau Iwan Fals di Indonesia.
Mereka adalah musisi yang tidak menciptakan musik untuk semangat pertempuran melawan penjajah seperti era perjuangan merebut kemerdekaan dahulu kala. Namun, mereka lebih menekankan pada situasinya yang kontekstual. Bob Marley dengan semangat tema musiknya menentang anti rasis yang dikemudian hari membawa masyarakat Jamaika ke zaman perubahan. Atau Sex Pistol lewat syair-syair lagunya yang menyuarakan semangat anti kolonial, aborsi, kekejaman serta apartheit yang dikemudian hari mengharumkan namanya untuk senantiasa dikenal masyarakat Inggris. Begitu pun Iwan Fals di Indonesia, menjadi begitu anggun ketika bersuara lantang mengkritik penguasa dengan menyuarakan suara ketertindasan. Ia menjadi ‘penyambung lidah’ yang mewakili “seribu” kata hati rakyat Indonesia.
Ironis, kini tema-tema lagu yang demikian telah terkikis oleh budaya mainstream. Belum atau bahkan tidak ada individu yang rela mentasbihkan dirinya sebagai ‘pahlawan’ musik masa kini. Jika suara lantang Iwan Fals menggema di zaman orde baru, belum ada pengganti yang mampu bersuara se-nyaring itu di masa kini. Kalaupun ada hanya ekstase spiritual sesaat yang jejaknya hanya sepintas lalu saja.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Staf Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Beban Sejarah Genjer-Genjer (dimuat di Koran Tempo edisi 1 Oktober 2011)

Beban Sejarah Genjer-Genjer  

 
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler (2x)
Emake thulik teko-teko muputi genjer (2x)
Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tulih-tulih
Genjer-genjer saiki wis digowo mulih

Jika anda pernah menyaksikan film Pengkhianatan G 30S/PKI besutan sutradara Arifin C.Noer tentu tidak asing lagi dengan sepenggal teks lagu di atas. Ya, dalam film itu teks lagu yang berjudul genjer-genjer di atas dinyanyikan oleh anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat ketika beberapa jendral diculik dan disiksa. Lagu yang diidentikkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) tersebut menjadi haram di era orde baru.
Setiap momen sejarah perjuangan di negeri ini senantiasa ditandai dengan semangat militansi perjuangan lewat musik. Lagu genjer-genjer secara lugas mengkisahkan bagaimana kondisi ekonomi rakyat saat itu berada dalam titik nadir. Kelaparan dan kemiskinan menyeruak, sehingga genjer (Limnocharis flava) yang merupakan tanaman gulma dan biasanya dikonsumsi itik menjelma menjadi makanan utama bagi sebagian rakyat Indonesia karena ketidak mampuannya membeli beras dan daging.
Lagu genjer-genjer menjadi pelipur lara di tengah dahaga akan kemakmuran. Terlebih Partai Komunis Indonesia semasa jayanya menggunakan lagu ini sebagai medan perjuangan dalam menyampaikan faham dan konstruksi nalar ideologinya. Persebaran lagu ini melalui radio-radio yang kala itu cukup populer dengan penyanyi Lilis Suryani dan Bing Slamet. Namun sejak pemberangusan faham komunis yang ditandai dengan gerakan 30 September, lagu ini menjadi sayup-sayup dan semakin tak terdengar lagi. Ibarat kitab Kamasutra di India yang awalnya dilarang tapi kemudian menjadi buku terbajak paling laris di dunia, begitu juga genjer-genjer, menjadi lagu haram namun paling sering didendangkan, walau secara sembunyi-sembunyi. Kekokohannya bergulir secara oral dari mulut ke mulut. Lagu ini menjadi abadi dalam detak sanubari walaupun tak mampu menjulang menunjukkan eksistensinya lewat bunyinya secara verbal.

Mistis
Jejak-jejak perjuangan lewat musik senantiasa dapat dilihat dalam menghiasai berbagai peristiwa penting di negeri ini. Wisnu Mintargo dalam bukunya Musik Revolusi Indonesia (2008) memandang bahwa peristiwa bunyi juga menjelma sebagai peristiwa sejarah peradaban manusia. Musik bukan semata rentetan nada dalam menggali ungkapan estetika semata. Lebih dari itu, musik pada satu ujudnya yang lain berupaya menjadi medan kritik dan katalisator semangat militansi perjuangan dalam meraih satu impian hidup yang lebih mapan. Musik jenis demikian lahir ketika terjadi ketimpangan dalam stuktur kehidupan. John Lennon, Bob Marley, El Pamas, Sex Pistol, Iwan Fals, Koes Plues adalah musisi dan kelompok musik yang dengan teguh menziarahkan konsep bermusik lewat beberapa karyanya sebagai medan perjuangan melawan ketertindasan.
Genjer-genjer pun demikian, kehadirannya menggoreskan dan sekaligus mengingatkan kita akan luka lama sejarah perjuangan anak negeri. Jika tangan tak mampu memanggul senjata, musik adalah medium pilihan utama melawan ketimpangan (Suripan Sadi Hutomo,1990). Genjer-genjer menjadi tonggak awal dimulainya rentetan lagu perjuangan dan kritik. Di masa orde baru lagu-lagu jenis tersebut banyak berseliweran. Bimbo lewat lagunya ‘tante sun’ yang mengkritik dominasi ibu negara Tien Soeharto, atau Mogi Darusman yang menggegerkan Indonesia lewat lagunya ‘rayap-rayap’ yang menyindir koruptor dan secara otomatis lagu ini dipasung oleh Soeharto.
Namun di luar kebisingan lagu-lagu bertemakan kritik lainnya. Genjer-genjer mengguratkan aura mistis dan ketakutan masa silam hingga kini. Doktrin kekejaman PKI oleh orde baru membuat genjer-genjer tidak dapat menampakkan ujud jati dirinya sacara lebih terbuka. Hal terbaru yang dapat kita amati ketika kontingan dari Indonesia membawakan lagu tersebut dalam misi kesenian yang bertajuk Majelis Sastera Asia Tenggara di Brunai Darussalam tanggal 17 September 2011 kemarin. Indonesia yang diwakili beberapa seniman dari Banyuwangi mementaskan tetaer berjudul ‘Kidung Senyap Seorang Perempuan Sumirah’. Dalam ceritanya, Sumirah adalah istri dari Muhammah Arief pencipta lagu Genjer-genjer. Namun sayangnya, lagu tersebut tidak diperkenankan untuk dinyanyikan. Panitia berpandangan bahwa lagu genjer-genjer mampu mematik konflik jika tetap dimunculnya dalam pentas teater itu.
Tak hanya di Indonesia, genjer-genjer mampu menghipnotis masyarakat dunia. Lagu yang sederhana namun menyimpan banyak sejarah tabir kelam. Tabu untuk dinyanyikan, haram jika didendangkan. Padahal jika dikembalikan pada kondratnya, genjer-genjer tak lebih dari sekedar peristiwa bunyi yang tak berbeda dengan bunyi lainnya.. Strukturnya dengan deretan nada, kontur melodi, konsep harmoni menguratkan tadirnya sebagai sebuah musik, dan tak akan pernah berubah. Peristiwa dan tragedi yang menyertainya menjadikan genjer-genjer sarat akan mitos. Menjadi begitu sakral melebihi mantra-mantra ritual yang pernah ada.

Melepas Beban
Beban-beban sejarah yang menyertainya menjadikan genjer-genjer terkungkung dalam sangkar yang tak mampu merestorasi ujudnya dengan lebih baik. Ia menjadi monumen dan saksi bisu atas sebuah tragedi pilu. Di kala musik-musik dan lagu perjuangan lainnya mampu merubah dirinya menyesuaikan zaman dengan ditandai munculnya aransemen-aransemen baru, genjer-genjer masih terpasung pada ujudnya yang lama. Sejarah menjadikannya bunyi dari benturan suara yang kalah. Ia tetap menjadi musik namun yang paling sayup-sayup terdengar di antara gempuran bunyi yang glamour. Genjer-genjer seolah melukiskan derit sebuah tangisan sejarah suram. Jangan menyanyikannya jika tidak ingin dicap sebagai PKI.
Pada konsteks ini kekuatan musik telah melebihi segalanya. Ia mampu menjadi begitu tajam melebihi tajamnya parang, dan menjadi panas melebihi bara api. Tak heran jika musik menjadi sarana dan medium yang paling efektif dalam mempangkitkan dan memompa semangat juang. Kehadirannya menjadi kekal, karena setiap saat mampu dimunculkan lewat untaian nada-nadanya. Musik menjadi jembatan yang menghubungkan manusia menapaki jalur sejarah yang telah diguratnya. Tak jarang air mata akan menetes ketika mendengar dan menyanyikannya. Namun terkadang sejarah pula yang memasung sebuah musik layaknya genjer-genjer untuk berkembang. Ia tak mampu menapaki jalan hidupnya sebagai sebuah karya seni dengan sifatnya yang kinetis, berubah oleh tuntutan zaman.
Padahal zaman telah berganti. Kini era keterbukaan dan kebebasan dalam berekspresi telah digulirkan. Berbagai macam mitos kelam tereliminasi dan sedikit demi sedikit mulai dapat terluruskan. Oleh karena itu sudah selayaknya dalam masa peringatan G 30S/PKI kini kita mencoba melepas beban-beban kultural dalam lagu tersebut. Mengembalikan kodratnya sebagai sebuah bunyi yang tak lain adalah musik. Yang dapat dinyanyikan dengan bebas tanpa terusik bias-bias ketakutan akan sejarah masa silam.


Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Refleksi 30 Tahun Taman Budaya Jawa Tengah Berproses (dimuat di Koran Joglosemar, 20 September 2011)

 Refleksi 30 Tahun Taman Budaya Jawa Tengah Berproses


Tahun ini Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) genap berusia 30 Tahun. Sebuah usia yang tidak muda lagi. Uniknya apabila Taman Budaya di seluruh Indonesia berada di pusat pemerintahan yakni ibukota provinsi, maka TBJT justru berada di Solo bukan Semarang (ibukota). Pemilihan Solo sebagai tempat berdirinya taman budaya bukanlah tanpa alasan. Solo dipandang sebagai muara dari medan yang mengkultuskan seni sebagai detak hidupnya. Jika keberadaan keraton menjadi sentra seni-seni yang adi luhung itu, maka taman budaya justru lebih terbuka dengan mengangkat pula seni-seni rakyat yang selama ini terpinggirkan.
Solo telah berproses menjadi kota yang begitu glamour. Berbagai event seni tingat dunia diadakan di kota ini. Tahun ini saja setidaknya terdapat 30-an lebih festival seni yang konon berkaliber internasional. Panggung-panggung megah pertunjukan dengan banyak memanfaatkan ruang publik bertebaran. Berbagai prosesi carnaval atau pawai budaya juga nampak di jalan-jalan pusat kota. Hal ini sedikit banyak merubah konsep ruang pewacanaan seni. Jika segala aktivitas budaya di Solo dalam dekade terakhir ini mampu dihadirkan pada berbagai ruang dan tempat di manapun itu, lalu bagaimana dengan TBJT? Akankah keberadaannya masih perlu dipertahankan? Atau sebaliknya, di usianya yang seperempat abad lebih itu justru mengkultuskan dirinya sebagai wadah penting yang turut berproses dalam percaturan sejarah dan polemik seni di Solo, Jawa Tengah dan Indonesia pada umumnya.

Sejarah
Rintisan lahirnya TBJT pertama kali ditetaskan oleh Gendhon Humardani yang kala itu menjabat sebagai direktur ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia, sekarang Institut Seni Indonesia -ISI-) dan pemimpin proyek Pengembangan Kesenian Jawa Tengah (PKJT). Tepat pada tahun 1981 -tak terekam jejak tanggal dan bulannya-, TBJT mulai berdiri. Kehadirannya dirasa penting oleh berbagai kalangan sehingga wacana lahirnya TBJT telah mengemuka walaupun tidak diimbangi dengan prasarana yang memadai. Pada awalnya, TBJT menempati bangunan keraton dan satu atap bersama ASKI dan PKJT di Sasono Mulyo Baluarti Surakarta. Dengan demikian, proses kerjanya saling berbagi fasilitas antar satu instansi yang lain. Baru pada tahun 1987 aktifitas TBJT dipindah ke tempatnya yang baru di jalan Ir. Sutami 57 Surakarta hingga saat ini.
Dibentuknya TBJT tak lepas dari semangat militansi dalam menjaga detak dan denyut kehidupan seni-seni tradisi yang ada. Tentu dalam sebuah kurun tujuan yang mulia itu bukannya tanpa hambatan yang problematik. Boleh dikata, dewasa ini taman budaya menjadi palang pintu terakhir dalam menyuplai oksigen bagi seni-seni tradisi yang sedang kembang kempis di balik gemerlapnya seni-seni populer yang cenderung glamour dan megah. Di kala seni-seni populis membuncah, menguasai jepretan lensa media yang setiap hari dapat kita jumpai di layar kaca, taman budaya masih saja ‘bersikeras’ menyajikan yang tradisi itu, yang bagi sebagian orang dianggap kuno alias ketinggalan zaman. Sebuah perjuangan dan tanggung jawab yang patut diapresiasi.
Oleh karena itu, di kala Solo sibuk menghiasi dirinya dengan berbagai aksesoris seni rekaan yang glamour dan megah, mencoba meraih supremasi sebagai ‘kota budaya’ (the spirit of Java), adanya TBJT justru menjadi medan kritik yang tajam. Bagaimanapun derasnya budaya pop merekonstruksi wajah kota, namun habitus akar tradisi juga harus senantiasa dipupuk, dijaga dan diolah sebagai sumber baru yang ideal. Di titik inilah TBJT memainkan perannya. Pada saat perayaan budaya tandingan menyeruak seperti SIPA (Solo International Performing Arts), SIEM (Solo International Ethnic Music), Solo Batik Carnival, Indonesia Performing Art Mart (IPAM), Bengawan Solo Festival (BSF), Kampong Arts Festival dan seabreg lainnya dengan menghadirkan berbagai ekspresi seni mutakhir, TBJT justru tetap mempertahankan kodratnya di luar kebisingan itu. TBJT masih sibuk mewacanakan musik keroncong, karawitan (klenengan), wayang kulit, festival dalang cilik, musik rakyat, ketoprak, dan sebagainya.
Imbasnya, tak jarang pengagum setia taman budaya justru lahir dari masyarakat ‘pinggiran’. Masyarakat yang selama ini dianggap kalah dan tak mampu menunjukkan eksistensinya dalam mengimbangi struktur kebudayaan yang mewah dan populis itu. Masyarakat yang masih mengais-ngais nilai tradisi dalam penekanan peradaban modern. Namun, justru masyarakat yang dianggap kalah itulah sejatinya kita dapat menemukan pemaknaan akan bingkai ke Indonesiaan atau mungkin ke Jawa dan Solo-an. Masyarakat yang karena kegigihannya dalam membentengi diri dengan tradisi dari dinamika budaya pop yang gemerlap dan cenderung menjebak. Namun apakah tujuan TBJT telah terpenuhi dan berhenti pada titik yang demikian? Atau diperlukan solusi dalam mengimbangi kegaduhan wadah-wadah baru yang membuncah di Solo saat ini?

Problematik
Ironisnya, selama ini lewat TBJT kita tidak menjumpai tawaran alternatif yang membuka prospek dan horizon pemikiran problematik akan kesenian di Solo dan Jawa Tengah, baik di masa kini dan yang akan datang. Sebagai sebuah wadah, TBJT tentu bukan semata ruang yang menarik jika konsep pewacanaan seni mengacu dari barang yang sudah jadi atau bahkan yang tradisi tanpa restorasi. Di balik kegaduhan berbagai festival seni di Solo, harusnya TBJT juga memiliki solusi perimbangan dalam mendudukkan derajad keberadaannya sebagai institusi yang prestisus dan diperhitungkan. Mampu menampilkan spirit pemikiran ‘lain’ akan seni, tidak sekadar repetisi atau bahkan meniru ramainya pasar. Hal ini menjadi penting dalam mewacakan kepada masyarakat, bahwa detak hidup TBJT yang ke 30 tahun kini tidak lagi hanya sebatas wadah konservasi seni, namun mampu berperan sebagai katalisator dan laboratorium ‘menemukan dan menjadi’ dalam sebuah proses berkesenian.
Terlebih beberapa waktu lalu Temu Taman Budaya se-Indonesia telah diberlangsungkan di TBJT (22- 26 Juli 2011). Tak kurang 25 kelompok perwakilan taman budaya se Indonesia turut ambil bagian. Sayangnya, forum tersebut seolah sekadar rutinitas tahunan yang tiada menelurkan hasil. Sebatas menghamburkan dana dalam kemarakan tontonan dan pesta seni semata. Padahal harusnya lewat forum itu medan transaksi dapat diberlangsungkan, muara bertemunya beragam profesi yang saling berinteraksi seperti seniman, birokrat, pengusaha, masyarakat umum bahkan mahasiswa, guna bersinergi dalam merumuskan ruang hidup taman budaya di masa depan. Sayang hal tersebut tidak terealiasasi.
Berkaca lewat 30 tahun kehadirannya di Solo, tentu tidak berlebihan jika harapan disematkan pada TBJT untuk turut pula berproses, bersaing dengan wadah-wadah baru yang lebih populis dengan melahirkan gebrakan yang fenomenal. Jangan merasa tua dan bergelut dengan kemonotonan. Dunia berubah, Solo juga telah berubah, berbeda dengan 30 tahun silam. Oleh karena itu TBJT sudah selayaknya mampu menunjukkan denyut kehidupan sebuah proses dalam membangun konstruksi wadah pewacanaan seni yang ‘ideal’ dan representatif di masa kini dan yang akan datang. Selamat hari jadimu, dan selamat berproses...!

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Kampung dan Sejarah Kebudayaan (dimuat di Koran Joglosemar 24 Agustus 2011)

Kampung dan Sejarah Kebudayaan 

 

Memasuki hari besar seperti hari raya, sering kali terdengar istilah ‘pulang kampung’. Padahal tidak selalu tempat tujuan tersebut mencerminkan keadaan suatu kampung, bisa saja kota. Namun toh demikian tetap saja istilah kampung digunakan. Kenapa harus kampung? Sebegitu pentingkah kampung hingga seseorang merasa kehilangan identitasnya jika tidak memiliki kampung. Lalu bagaimana dengan ‘kampungan’?
Disadari atau tidak, melihat kampung berarti melihat sejarah peradaban manusia. Dari sana berlangsung sebuah tradisi pewarisan kebiasaan satu generasi ke generasi berikutnya. Di sana pula muara bertemunya berbagai elemen kehidupan, dari yang kultural hingga transenden. Lewat kampung, sebuah kebudayaan sejatinya telah ditetaskan, mulai dari bahasa, kesenian, teknologi, adat hingga kekuasan dan politik.

Lahir di Kampung
Tradisi mendiami suatu wilayah telah berlangsung sejak zaman purba dulu. Membentuk koloni dirasa lebih kuat dan bermanfaat dibanding harus hidup secara individu. Dalam tulisan Agus Bing yang berjudul Rumah, Alam Kecil di Jagad Raya (2009) menjelaskan bahwa ‘bermukim’ diambil dari kata “mukim” dalam bahasa Arab yang berarti tiga elemen yakni membangun keluarga, mencari lahan dan membangun tempat tinggal. Di situlah awal mula manusia saling mengenal, bertemu, dan berinteraksi hingga membuat kesepakatan-kesepakatan kolektif untuk melegalkan keutuhan kelompoknya.
Keadaan hidup bersama itu yang kemudian memunculkan istilah kampung. Istilah yang konon berasal dari bangsa Portugis “campo” yang berarti wadah tempat bernaungnya sebuah koloni manusia. Dari wadah itu mereka membentuk aturan, adat, rumah, kebiasaan, bahasa, pakaian dan lain sebagainya yang menandakan sebuah legitimasi identitas. Dengan demikian satu kampung memiliki corak yang khas dan berbeda dengan kampung lainnya.
Setiap kampung memiliki pemikiran lokal yang diolah dan dikerjakan secara lokal. Pemikiran-pemikiran demikian di saat ini menjelma sebagai kearifan budaya yang tak ternilai harganya. Dari kampunglah sikap kebersamaan dan kegotong-royongan lahir. Dari kampung juga makanan-minuman khas seperti soto, tahu kupat, gudeg, rendang yang menggiurkan itu ditetaskan. Bahkan dari kampung pula pelajaran berharga terkait sistem pengetahuan dan teknologi dapat kita pelajari, yang mana hal tersebut tak dapat kita peroleh dari pemikiran ‘modern’. Lihat saja teknologi pengairan ala “Subak” di Bali, jamu tradisional di Jawa serta rumah tahan gempa di Pauh Minang dan Pangalengan Bandung.
Kampung sebenarnya tercipta tidak hanya sebatas mewakili bentuk dan wujud kebendaan semata. Namun, ia merupakan representasi ungkapan dari “alam imajinasi”, alam yang menggambarkan dunia seutuhnya. Kampung adalah jagad rekaan, dunia khayalan sebagai repetisi dari yang nyata dan ideal. Darinyalah berbagai tata cara yang dianggap mapan diberlakukan. Bahkan kadang melewati batas nalar dengan lahirnya berbagai mitos, legenda, atau sesuatu yang transenden. Lihatlah bagaimana sebuah masyarakat harus melakukan kegiatan ritual untuk hasil panen yang melimpah, sebuah persembahan bagi Dewi Sri. Atau bagaimana masyarakat di kampung Jawa melakukan tradisi injak telur dan ruwatan ketika ritual pernikahan, berbeda dengan Minang, Sunda atau Bali yang memiliki konsepnya tersendiri namun berporos pada satu pemaknaan yang sama. Kampung melegalkan lahirnya berbagai mitos akan kehidupan. Ahimsa Putra lewat tulisannya Mitos dan Sinkretisasi Islam di Jawa (2006) menganggap bahwa mitos sengaja dibuat sebagai bagian dari upaya membangun jaringan struktur kebudayaan demi menguatkan identitas kelompok tertentu.
Kampung pula yang menjadikan seseorang memiliki kepercayaan diri. Bangga akan kampungnya melebihi kampung yang lain. Sebuah prestise di mana kampungnya dianggap memiliki perangkat dan konsep yang lebih maju dibanding kampung-kampung lainnya. Tak jarang kita jumpai seseorang yang menyombongkan dirinya karena berasal dari kampung tertentu. Hal yang kemudian menyebabkan budaya kekerasan atas nama pembelaan kampung seringkali terjadi.
Bersumber dari kampung, pemerintahan dan politik dijalankan. Untuk menjaga ketenangan kampung terdapat seseorang yang ditugaskan menjadi juru pimpin. Kedudukannya dihormati dan ditaati segala ucapannya. Bahkan kampunglah yang mereduksi bahwa seorang pemimpin tidak dapat disematkan pada orang biasa atau umum. Seorang pemimpin kampung adalah orang khusus yang terpilih. Pemimpin atau sebut pula kepala suku dengan para perangkatnya merupakan representasi kecil dari sebuah kekuasaan di jagad yang makro. Bahkan kampung melegalkan mitos bahwa orang terpilih itu adalah titisan dari yang suci. Konsep dewa raja di Jawa adalah contohnya. Masyarakat kampung Jawa mempercayai bahwa raja adalah titisan dewa. Hal inipun masih dipertahankan hingga kini. Setelah tiada, makam si pemimpin menjadi begitu sakral, agung dan dipuja.

Pulang Kampung
Kampung bukanlah sebatas wadah yang statis atau diam. Namun, kampung dapat berpindah dan diadakan di dalam bangunan kampung yang lain. Umumnya masyarakat pendatang akan mencari koloninya (dari daerah asal) untuk membentuk kelompok dan berupaya mengkonstruksi kampung di lahannya yang baru. Simaklah kampung Madura di Surabaya, kampung Minang di Jakarta serta kampung Pecinan di Solo. Mereka menciptakan kampung baru di dalam kampung lama. Membentuk cita rasa baru yang bersumber pada kampung asalnya. Membuat jagad rekaan yang sebisa mungkin menyerupai jagad asal di mana mereka dilahirkan. Kampung di dalam kampung.
Namun dewasa ini istilah kampung yang membanggakan itu semakin bias ketika budaya kota menyeruak ke permukaan. Kampung kemudian dianggap sebagai sebuah representasi wadah yang ketinggalan zaman, udik, kuno dan kolot. Di kota itulah, bangunan-bangunan megah pencakar langit bermunculan, mobil-mobil indah bertebaran, serta berbagai aksesoris yang glamor begitu membuncah. Kampung sendiri digunakan sebagai sapaan, ejekan dan sekaligus hinaan bagi seseorang yang tak mampu bercengkerama dengan struktur penekanan budaya kota yang konon modern itu, “dasar kampungan!”. Tanpa sadar masyarakat kota berusaha meninggalkan cita rasa kampung, padahal tanpa disadari pula mereka membutuhkan kampung sebagai ruang identitasnya. Dari kampung manakah Anda?
Lewat kampung, segala kenangan tergurat, masa kanak-kanak, bunyi-bunyian, makanan, orang-orang, rumah, atau berbagai hal yang dijelaskan di atas. Tak jarang hal tersebut membuat rindu untuk kembali lagi ke kampung menikmati suasana itu. Menunggu momen yang tepat untuk menumpahkannya bahkan bagi orang-orang yang mengaku lahir di kota sekalipun. Dan momen itu muncul ketika hari raya akan tiba. Segala kenangan akan kampung dapat kembali lagi diulang. Kemudian timbul satu ajakan, mari pulang kampung!

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di ISI Surakarta

Gamelan Musik Bangsa Primitif (dimuat di Suara Merdeka Minggu edisi 31 Juli 2011)

Gamelan Musik Bangsa Primitif


 
Bukan rahasia lagi, gamelan kini telah mendunia. Bahkan banyak yang mengetengahkan derajad gamelan kini menjelma sebagai orkestra dunia ke dua setelah musik klasik di Eropa. Tengoklah berbagai pertunjuan termegah dewasa ini, semua senantiasa menggunakan gamelan. Mulai dari drama musikal ‘Tusuk Konde’ (diambil dari trilogi film Opera Jawanya Garin Nugroho tahun 2006) yang dipentaskan keliling Eropa, hingga yang paling baru yakni pertunjukan tari ‘Matah Ati’. Khusus yang terakhir itu telah dipentaskan di Singapura serta Jakarta (Mei 2010), secara eksklusif disiarkan oleh stasiun televisi swasta negeri ini, menyedot begitu banyak animo masyarakat. Mau tidak mau, gamelan turut andil dan berperan besar akan suksesnya pagelaran itu.
Banyak media yang mengekspos suksesnya gamelan di kancah musik internasional. Joss Wibisono (2011) bahkan menganggap seorang komponis dunia dianggap ketinggalan zaman jika tidak memasukkan unsur-unsur gamelan pada karyanya. Sampai pada titik ini, kita dapat menyimpulkan bahwa gamelan telah mendominasi percaturan budaya musik dunia, menjadi simbol legitimasi alat musik modern yang mutakhir. Gamelanpun nongkrong di universitas-universitas unggulan dunia, terbentang dari benua Amerika, Asia hingga Eropa.
Prestise indah yang disandang gamelan memang membanggakan. Tapi taukah kita bahwa di balik balik kemegahan sejarah yang mengagumkan itu, gamelan ternyata juga menyimpan cerita suram. Gamelan pada awalnya oleh bangsa Barat –Eropa- dianggap sebagai alat musik primitif, kuno dan terbelakang.

Primitif
Suka Hardjana (1991) menjelaskan tentang ekspansi bangsa-bangsa Eropa keseluruh penjuru nusantara termasuk Jawa, pada awalnya telah mengejutkan perhatian mereka bahwa bangsa-bangsa di luar Eropa ternyata berbudaya juga. Oleh karena keterbatasan pengetahuan bangsa Eropa terhadap kebudayaan lain, mereka mencoba memasukkan kebudayaan-kebudayaan lain itu ke dalam kategori ‘non-europe culture’. Sayangnya, kategori itu cenderung meletakkan pemahaman bahwa kebudayaan Eropa adalah kebudayaan dengan kasta yang tinggi dan superior, selebihnya di luar itu inferior. Lahirlah kemudian pandangan etnosentris, dengan menganggap kebudayaan termasuk seni di luar bangsa Eropa itu primitif, kuno, kolot dan terbelakang.
Hal yang paling nampak ketika Brandts Buys lewat bukunya De Toonkunst bij de Madereezen tahun 1928 menganggap nyanyian gamelan di Madura tidak berbudaya. Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa musiknya tidak lebih dari suara kodok, berteriak-teriak layaknya bajak laut. Bahkan tidak hanya dari segi musikalnya saja, Buys juga menilai pakaian dan palaku musik itu kumuh dan bau.
Hal yang mendasar dari tulisan Buys adalah usaha membanding-bandingkan (komparatif) antara musik yang dilihatnya dengan musik yang dimilikinya. Ia menganggap musik klasik di Eropa lebih bernilai dan layak didengar dari pada musik  yang ‘tidak jelas’ itu. Pemain musik klasik Eropa terlihat lebih rapi dengan memakai jas berdasi, sepatu kulit warna hitam yang mengkilat. Bandingkan dengan palaku musik gamelan kala itu -apalagi di Madura yang kental dengan budaya kerakyatan- tidak memakai alas kaki, baju seadanya, terlilit oleh keadaan ekonomi dan lain sebagainya.
Rizaldi Siagian (2009) dengan lebih jelas menyatakan bahwa sejarah musik di Nusantara termasuk Jawa dibangun dari satu stereotip yang memprihatinkan. Untuk melihat musik pribumi, layaknya Buys di atas, bangsa Eropa cenderung membandingkan dengan musik yang dimilikinya. Dalam studi etnomusikologi hal ini disebut sebagai vergleichen de Musikwissenshaft (musik perbandingan). Orang-orang Eropa yang berusaha melukiskan gamelan dalam sebuah catatannya senantiasa menggunakan kacamata musik Barat. Nakagawa (1999) pernah mencontohkan bagaimana orang Eropa yang sudah terbiasa melihat musik klasik dengan tangga nada diatonis merasa aneh ketika mendengar nada-nada gamelan yakni pelog dan slendro, pentatonis. Mereka berpandangan interval yang ada pada gamelan telah salah, melenceng, falsch, blero, tidak akurat.
Jaap Kunts lewat tulisannya Music in Java (1934) serta Hood dengan The Nuclear Theme as a The Determinant of Pathet in Javanese Music (1954) juga pernah melakukan kesalahan yang sama dengan melihat pathet gamelan Jawa berdasar atas konsep tonika dalam musik Barat. Hal yang kemudian memicu perdebatan menarik serta bantahan dari para musisi pribumi seperti Ki Hajar Dewantara, Martapangrawit, Sindusawarna, Rahayu Supanggah, dan Sri Hastanto lewat disertasinya “The Concept of Pathet in Central Javanese Gamelan Music” (1986).

Gamelan vs Musik Klasik
Selain menganggap musik Eropa paling baik, Santosa (2005) mengindikasikan setidaknya ada dua alasan kenapa orang-orang Barat pada awalnya cenderung merendahkan musik pribumi termasuk gamelan. Pertama, mereka bukanlah sarjana di bidang musik atau yang secara khusus mengetahui ilmu musik dengan baik apalagi musik lain yang didengarnya. Umumnya mereka adalah misionaris yang melakukan misi penjajahan untuk menguasai secara ekonomi dan politik.
Kedua, oleh karena bermaksud untuk menguasai sehingga timbullah rasa superioritas tinggi yang kemudian meredahkan dan menjelek-jelekkan kebudayaan atau seni yang dijajahnya. Tak heran jika pada abad 18 banyak terdapat lukisan atau karikatur dari orang Belanda yang menggambarkan bagaimana monyet atau kera bermain gamelan. Orang Jawa disamakan dengan kera, atau bagi Buys, suara orang Madura tak lebih dari suara kodok. 
Eropa lewat musik klasiknya kemudian dianggap sebagai acuan, sehingga pada tahun 1950an di Jawa terdapat gerakan meng-Eropakan gamelan. Lahirlah kemudian Karawitan Wiyata Praja, bermain gamelan dengan menggunakan kaidah musik klasik, pemain gamelan menggunakan kursi, memakai jas berdasi dan sepatu hitam, menggunakan music stand dan lain sebagainya. Bahkan ada usaha untuk menyeragamkan nada-nada gamelan. Hal ini mengacu dan mencotoh pada nada musik Barat yang telah memiliki ukuran dan interval serta pitch dengan harga mati atau absolut di setiap negara. Padahal dalam gamelan memiliki apa yang disebut embat, semacam pitch yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, Surakarta berbeda dengan Yogjakarta, Madura, Surabaya, Banyuwangi dan lain sebagainya.
Hal tersebut memicu kritik yang keras dari musisi pribumi -seperti tersebut di atas-. Bahkan Sri Hastanto lewat tulisannya tentang Embat dalam Gamelan Jawa  (2010) menegaskan bahwa dengan menyamaratakan interval nada gamelan satu dengan yang lain, maka dengan serta merta akan menghilangkan identitas serta warna gamelan yang meng-lokal di setiap daerah di Jawa. Kamarakan dan keramaian laras dalam gamelan akan hilang.
Itulah cerita perjalanan gamelan dari sisi yang berbeda. Hal positifnya, berkat penilaian yang cenderung merendahkan musik gamelan oleh bangsa Eropa, kemudian menggerakkan hati para musisi dan peneliti pribumi (Jawa, Indonesia) untuk unjuk gigi meluruskannya. Hal ini ditandai dengan berdirinya sekolah-sekolah ‘seni gamelan’ di Jawa seperti Solo, Jogja, Surabaya dan Bandung bahkan Bali dengan nama Konservatori Karawitan (KOKAR) Indonesia. Usaha membanding-bandingkan itupun kini telah tiada dengan ditandai pula oleh berdirinya jurusan ‘ethnomusicology’ di University of California Los Angles Amerika Serikat tahun 1960 yang dipelopori oleh Kunts, Merriam, Bruno Nettle, Mantle Hood dengan maksud melihat musik suatu bangsa di manapun dalam konteks kesetaraan dan kesejajaran. Persoalannya kini, jika gamelan telah mendunia, bagaimana dengan di Indonesia utamanya bagi generasi muda kita sendiri?

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Wayang Orang Sriwedari, Wadah Senja yang Abadi (dimuat di Suara Merdeka edisi 18 Juli 2011)

 Wayang Orang Sriwedari, Wadah Senja yang Abadi



Tanggal 10 Juli kemarin, Wayang Orang (WO) Sriwedari genap berusia 101 tahun. Sebuah pencapaian yang monumental. Lebih dari seabad, WO Sriwedari turut berproses meramaikan percaturan kebudayaan Indonesia terutama Solo. Menjadi saksi sejarah, menggurat kenangan kejayaan di masa silam. Pelajaran berharga guna mengkonstruksi perjalanan yang lebih baik di masa kini dan yang akan datang. Sejauh mana WO Sriwedari telah berproses? Apa yang dapat kita petik dari usianya yang lebih dari seabad di tahun ini?

Menjelang Senja
Kini, jika seseorang menemukan sebuah benda purbakala yang terkubur lama seperti candi, patung atau bahkan perunggu, segera dengan kemudian akan menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan sebagai sebuah penemuan arkeologis kebudayaan nenek moyang atau leluhur yang adi luhung (Suka Hardjana, 2004). Sebuah prestasi yang membanggakan. Berbeda kasus dengan dunia seni pertunjukan. Tidak demikian ramai dipergunjingkan apabila yang ditemukan kembali itu adalah karya-karya kesenian lama seperti musik, tari atau bahkan Wayang Orang. Alasan utamanya, kesenian-kesenian lama itu kini tidak lagi ‘modern’, unik, apalagi tipikal. Jauh ketinggalan zaman dibanding ciptaan-ciptaan baru yang lebih glamour dan populis. Sementara benda-benda purbakala terpendam itu justru bernilai jual mahal. Semakin lama usianya, semakin mahal pula harganya. Berbalik, bagi dunia seni pertunjukan, semakin lama usia kesenian itu hidup, semakin rendah dan murah harganya. Oleh karena itu, menjadi hal yang biasa jika kesenian itu mati, punah dan hidup lagi kemudian mati dan punah lagi. 
Namun, di kala seni-seni lain sedang kembang kempis atau bahkan mati dan punah, seolah menjadi satu kewajaran bagi kita untuk mengiklaskan walau dengan sedikit ratapan. Berbanding terbalik dengan WO Sriwedari, dalam beberapa dekade terakhir ia mencoba pamit untuk menutup lembaran hidupnya. Tapi tak seorangpun yang dengan rela mengiklaskan kepergiannya. Menggali beraneka cara untuk mempertahankannya, memberi asupan oksigen agar hidupnya dapat dipertahankan, walau kadang opname lalu kembali koma. Begitu seterusnya.
Alasan logis, mempertahankan WO Sriwedari sama hanya mempertahankan peradaban Solo sebagai sebuah kota budaya. Detak kehidupan kota yang konon pekat bersentuhan dengan nilai-nilai kehidupan yang ‘adi luhung’ itu seolah menyatu dengan denyut nadi kehidupan WO Sriwedari. Oleh karena itu, berbicara Solo berarti berbicara WO Sriwedari. Keduanya adalah dua sisi mata uang, berbeda rupa namun satu bingkai pemaknaan bahwa sejarah Solo adalah sejarah WO Sriwedari.

Medan Interaksi
Dalam balutan sejarah, diciptakan dan dibentuknya WO Sriwedari tidak hanya sebatas ruang dalam menumpahkan estetika seni semata. Lebih dari itu, WO Sriwedari juga menjadi saksi kunci bagaimana konsep manunggalin kawula gusti terealisasi. Pemimpin (raja) dan rakyaknya duduk dalam satu kesetaraan, kesepahaman akan nilai-nilai kemanusiaan. Tiada yang lebih tinggi dan rendah di antaranya, keduanya saling membutuhkan dan mengikat. WO Sriwedari dibangun sebagai medan interaksi antara Paku Buwana X dan para puta-sentana dengan rakyatnya kala itu (Hasapandi, 1999). Dengan demikian keberadaan WO Sriwedari menjadi begitu prestisius. Keunikannya yang demikian tidak dimiliki oleh jenis kesenian lain kala itu.
Satu kenyataan yang dewasa ini sangat jarang dijumpai, pemimpin dan rakyat kadang tidak menemukan wadah untuk duduk bersama. Tidak menemukan jembatan yang menghubungkan di antara keduanya. Akibatnya sering terjadi konflik dan silang pendapat yang tak jarang berujung pada kekerasan. Bayangkan, jika dalam memecahkan masalah dan proses mediasi dilakukan dengan menonton wayang orang bersama-sama. Kemudian dibantu dengan cerita yang diolah sedimikian rupa sesuai dengan tema permasalahan yang mencuat. Selain estetika sebagai kodrat utama seni, hal-hal dan tujuan lain seperti pesan tentunya dapat tersalurkan dengan lebih konstruktif. Kadang jika kata dan tangan tak mampu dirasakan, biarlah seni yang bicara.
Jika Wali Kota Solo Jokowi selama ini telah menemukan jalan mediasi dengan diadakannya makan malam bareng rakyatnya, kenapa sesekali tidak dilakukan dengan bersama-sama nonton WO Sriwedari? Hal ini tentu berimplikasi ganda. Pertama, hal tersebut akan membantu loncatan drastis terhadap pertunjukan WO Sriwedari sebagai tontonan gaya hidup. Menggemari dan memanfaatkan WO Sriwedari dapat dimulai dari kecintaan pejabat terhadapnya. Wujud kecintaan tentu tidak semata hanya sekadar membiayai, namun juga turut andil bagian menjadi penonton yang setia. Hal yang kemudian menjadi panutan dan contoh bagi masyarakat luas.
Kedua, WO Sriwedari akan menemukan logika tema penceritaan yang kreatif. Tidak harus senantiasa mengacu dari kitab pertunjukannya (pakem). Namun dengan disaksikan gusti dan kawulanya, WO Sriwedari mampu merambah tema-tema yang substansial dewasa ini, terutama di Solo yang dikemas dengan balutan estetika khas pewayangan. Oleh karena itu, jika kita yakin dinamika problematik kota Solo tetap bergulir, maka kreativitas pertunjukan WO Sriwedari juga tidak akan pernah mati.

Abadi
Di kala berbagai kalangan telah pesimistis akan daya hidup WO Sriwedari, dengan senantiasa melontarkan pandangan yang sentimentil, saya tetap yakin bahwa ia tidak akan pernah mati apalagi punah. Usianya yang seabad lebih adalah buktinya. Setiap masa memiliki ceritanya sendiri. Lika-liku perjalanan yang dihadapi WO Sriwedari harusnya menjadikannya lebih dewasa dalam menyikapi perkembangan zaman. Segala usaha yang telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam upaya memberi detak dan denyut kehidupannya patut diapresiasi secara mendalam. Dengan melihat jalan ke depan yang kelihatannya semakin terjal, maka tak berlebihan kiranya jika diusianya yang ke 101 tahun ini WO Sriwedari mau merestorasi dirinya. Memunculkan berbagai ide dan solusi baru menggantikan gagasan lama yang mungkin dirasa telah usang dan basi. Tanggung jawab besar ini bukan saja ditumpahkan pada pemain dan pihak pengelola, namun semua lapisan golongan.
Menjadi penting pula untuk dibentuknya masyarakat kreatif WO Sriwedari. Masyarakat yang tidak hanya berupaya menyelematkan kehidupannya dengan sebatas nguri-nguri dan mempertahankan. Namun mampu menelorkan gebrakan-gebrakan solusi frontal agar WO Sriwedari menemukan ritme kehidupannya kembali. Masyarakat kreatif yang mampu merumuskan dan menelorkan gagasan baru ke depan dalam upaya memberi pijakan WO Sriwedari untuk terus bergumul dengan zaman sebagai satu seni yang monumental, abadi.
Selamat ulang tahun WO Sriwedari, terimakasih telah turut berproses menyemarakkan sejarah dan polemik kebudayaan di Solo.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Pengikut