Semua Berhak Menjadi Guru
Terenyuh kala membaca tulisan Rumongso berjudul “Guru Bukan Profesi Sampah” di Kompas edisi
29 Mei 2013. Dalam pemaparannya, Rumongso yang dibesarkan dari Sekolah
Pendidikan Guru (SPG), kemudian lebih dikenal dengan Institut Keguruan
Ilmu Pendidikan (IKIP), menyayangkan kala Mahkamah Konstitusi (MK)
menolak permohonan Uji Materi UU Nomor 14Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen terutama di pasal 9. Dengan ditolaknya ujimateri itu, otomatis
semua lulusan perguruan tinggi (sarjana dan sederajad) diberi ruang yang
sama untuk mengabdikan dirinya sebagai guru. Bagi Rumongso, guru adalah
profesi spesifik yang seolah hanya bisa dididik dan dibesarkan lewat
sekolah yang berbasis keguruan. Selebihnya di luar itu tidak.
Persoalannya kemudian, sudahkah kampus-kampus keguruan mengakomodasi
segala cabang bidang studi (mata pelajaran) yang ada di semua sekolah?
Tak Terakomodasi
Lain
ceritanya jika IKIP atau Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
(LPTK) telah mampu menyediakan semua perangkat mata pelajaran di semua
sekolah di Indonesia. Dengan demikian, segala mata pelajaran di
sekolah-sekolah dapat ditangani langsung oleh lulusan sarjana pendidikan
tanpa harus mencomot dari perguran tinggi non-keguruan. Namun,
bagaimana jika hingga kini terdapat beberapa mata pelajaran yang tak
menjadirujukan studi di LPTK? Seni misalnya. Apakah pengampu atau guru
di mata pelajaran khusus itu (seni) masih harus dituntut dari lulusan
kampus keguruan?
Kasus Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN)
berbasis kesenian setidaknya dapat digunakan sebagai rujukan untuk
membenarkan putusan yang dibuat oleh MK. Banyak sekolah kesenian
diIndonesia kini dihadapkan dengan masalah krusial. Tak memiliki
kualifikasi guru atau pengajar sesuai dengan bidang keahlihan (seni). Di
satu sisi, jumlah siswanya tiap tahun semakin membeludak banyak. Hal
tersebut disebabkan oleh aturan yang awalnya mengharuskan seorang guru
adalah produk lulusan dari perguruan tinggi yang berbasis LPTK. Padahal
di LPTK tak menyediakan guru untuk spesifikasi pengajar di mata
pelajaran karawitan, batik, teater dan pedalangan. Sementara di sisi
lain, terdapat sarjana dari kampus-kampus seni yang program studinya
sebidang dengan jurusan di sekolah-sekolah seni itu, semacam Institut
Seni Indonesia (ISI), Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Institut
Kesenian (IK), Akademi Seni (AS), Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI).
Para sarjana seni itu tak lantas serta merta bisa menjadi guru seni di
sekolah karena tak memiliki ijazah keguruan. Akibatnya, rasio jumlah
guru dengan murid sangat timpang.
Seperti yang saya utarakan di Harian Joglosemar
13 Februari 2013 tentang ironi guru seni. Kiranya menjadi menarik untuk
dihadirkan ulang konklusi tulisan saya dalam menganggapi pandangan
Rumongso. Di SMKN 12 Surabaya misalnya. Sekolah seni itu saat
ini hanya memiliki satu guru (produktif) untuk bidang keahlian Seni
Pedalangan sementara jumlah siswanya mencapai hampir 40 orang. Di
Jurusan Seni Karawitan, tujuh guru dengan jumlah siswa hampir 200 orang.
Jurusan Teater hanya satu guru untuk siswa lebih dari 70 orang. Hal
serupa juga terjadi di SMKN seni lainnya (Solo, Yogyakarta, Banyumas,
Makassar, Denpasar, Bandung, Padang). Celakanya, banyak guru yang tidak
memiliki kompetensi utama bisa masuk sebagai pengajar dengan mudah
hanya karena memiliki ijazah sebagai pendidik. Seni karawitan misalnya,
dianggap sebagai seni musik, calon guru yang memiliki ijazah
kependidikan musik dari LPTK dapat dengan mudah mendaftar. Padahal LPTK
hanya menyediakan pendidikan musik Barat, bukan musik etnik seperti
karawitan (gamelan). Pedalangan dianggap sebagai seni teater, sehingga
lulusan dari jurusan teater di LPTK dapat mudah masuk. Padahal, isi dan
rujukan ilmunya sangat berbeda, antara wayang dengan teater Barat.
Jangan heran kemudian jika sarjana keguruan itu tak mampu menggerakkan
wayang, apalagi menyesuaikan suara dengan nada gamelan, tentu saja falsh.
Rumongso
mencoba menggugat. Menurutnya keputusan MK membuat lulusan LPTK
terdesak, dirugikan dan kehilangan lapangan pekerjaan. Namun ia tak
menyadari bahwa manusia Indonesai berhak bekerja dan berprofesi sebagai
apapun tanpa adanya katub yang menghalangi, sejauh profesi itu tak
melanggar undang-undang. Bukankah banyak sarjana pendidikan yang juga
tak lantas menjadi guru? Banyak pula di antaranya menjadi arsitek,
sastrawan, buka bengkel, musisi, dalang, petani, pengusaha. Kemudian,
apakah kampus yang memiliki Jurusan Arsitektur, Seni, Sastra dan Teknik
mempersoalkan karena para lulusan keguruan itu telah merebut ladang
kerja bagi lulusannya? Saya kira tidak. Tolok ukurnya bukan ijazah,
namun kemampuan. Penyelesaiannya adalah dengan menguji kapabelitas dan
kapasitas intelektual di antara para sarjana calon guru berbeda kampus
itu. Terlebih, sebelum menjadi pegawai tetap, apalagi Pegawai Negeri
Sipil (PNS), setiap calon guru harus diuji terlebih dahulu. Hasilnya
tentu dapat dilihat dan dipertimbangkan. Sampai pada titik ini, ijazah
tak lagi diperlakukan sebagai syarat mutlak. Namun sekali lagi, uji
pengetahuan dan kompetensi yang lebih diutamakan. Sejauh mampu, apa
salahnya diberi kesempatan.
Kilas
Putusan
MK tersebut mengingatkan saya kala berdirinya kampus-kampus seni
unggulan di Indonesia yang justru dipelopori oleh orang-orang tak
berijazah seni. Namun dari merekalah mampu mengguratkan rona sejarah
manis, dengan mencetak sarjana seni yang unggul dan mendunia. Lihatlah
Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta yang dirintis oleh
Affandi, Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta dengan
Martopangrawit dan Gendhon Humardani, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI)
Bandung dengan Enoch Atmadibrata, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta
dengan Djaduk Djajakusuma, Konservatori Karawitan Surakarta dengan
Sindusawarno, Konservatori Tari Yogyakarta dengan Hardjosoebroto dan
Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya dengan Diyat
Sariredjo. Mereka bukanlah sarjana, namun karena kemampuan dan kelebihan
di bidangnya telah dihargai jauh di atas embel-embel sarjana
(Widaryanto, 2009).
Lihatpula para sastrawan yang terkenal itu
justru tidak lahir dari kampus sastra. Bahkan, hasil karyanya kemudian
dibedah dan digunakan sebagai bahan kajian mata kuliah. Hal ini
sekaligus mendekostruksi ketakutan jika sarjana kependidikan tak lagi
mendapat tempat sebagai seorang guru. Justru sebaliknya, dengan adanya
putusan MK itu, persaingan menjadi guru akan lebih kompotetif. Tak ada
jalur khusus dan pesanan, semua setara. Putusan MK sekaligus menutup
celah persoalan yang selama ini menghampiri di banyak SMKN di Indonesia.
Dengan demikian, sarjana karawitan dapat mengajar di SMKN Jurusan Seni
Karawitan, sarjana pedalangan dapat mengajar di sekolah jurusan
pedalangan, sarjana batik dapat mengajar di sekolah batik, dan sarjana
elektro dapat mengajar di sekolah jurusan elektronika.
Bayangkan
jika putusan MK tersebut berbeda, sekolah-sekolah itu akan kekurangan
guru profesional yang mampu mendidik sesuai dengan bidang keahliannya.
Oleh karena itu, di satu sisi saya menyambut baik putusan MK, karena
akan membangun semangat bersaing yang terukur. Namun di sisi lain patut
dipertimbangkan pula, jika kran kebebasan menjadi guru telah dibuka,
kemudian bagaimana nasib LPTK ke depan sebagai sebuah lembaga?
Pemerintah seharusnya mampu mencari jalan keluar dan solusi ideal dengan
tidak merugikan salah satu instansi pendidikan. Bisa saja terjadi
sinergi dan kerja sama antara LPTK dengan perguruan tinggi lain, untuk
menghantarkan para sarjana nonkependidikan menjadi guru, terutama guru
untuk mata pelajaran yang tak terakomodasi di LPTK.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Dosen di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar