Semua Berhak Menjadi Guru (dimuat di Majalah Basis Nomor 07-08- tahun 62, Juli-Agustus 2013)

Semua Berhak Menjadi Guru


Terenyuh kala membaca tulisan Rumongso berjudul “Guru Bukan Profesi Sampah” di Kompas edisi 29 Mei 2013. Dalam pemaparannya, Rumongso yang dibesarkan dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG), kemudian lebih dikenal dengan Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP), menyayangkan kala Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Uji Materi UU Nomor 14Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen terutama di pasal 9. Dengan ditolaknya ujimateri itu, otomatis semua lulusan perguruan tinggi (sarjana dan sederajad) diberi ruang yang sama untuk mengabdikan dirinya sebagai guru. Bagi Rumongso, guru adalah profesi spesifik yang seolah hanya bisa dididik dan dibesarkan lewat sekolah yang berbasis keguruan. Selebihnya di luar itu tidak. Persoalannya kemudian, sudahkah kampus-kampus keguruan mengakomodasi segala cabang bidang studi (mata pelajaran) yang ada di semua sekolah?

Tak Terakomodasi
Lain ceritanya jika IKIP atau Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) telah mampu menyediakan semua perangkat mata pelajaran di semua sekolah di Indonesia. Dengan demikian, segala mata pelajaran di sekolah-sekolah dapat ditangani langsung oleh lulusan sarjana pendidikan tanpa harus mencomot dari perguran tinggi non-keguruan. Namun, bagaimana jika hingga kini terdapat beberapa mata pelajaran yang tak menjadirujukan studi di LPTK? Seni misalnya. Apakah pengampu atau guru di mata pelajaran khusus itu (seni) masih harus dituntut dari lulusan kampus keguruan?
Kasus Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) berbasis kesenian setidaknya dapat digunakan sebagai rujukan untuk membenarkan putusan yang dibuat oleh MK. Banyak sekolah kesenian diIndonesia kini dihadapkan dengan masalah krusial. Tak memiliki kualifikasi guru atau pengajar sesuai dengan bidang keahlihan (seni). Di satu sisi, jumlah siswanya tiap tahun semakin membeludak banyak. Hal tersebut disebabkan oleh aturan yang awalnya mengharuskan seorang guru adalah produk lulusan dari perguruan tinggi yang berbasis LPTK. Padahal di LPTK tak menyediakan guru untuk spesifikasi pengajar di mata pelajaran karawitan, batik, teater dan pedalangan. Sementara di sisi lain, terdapat sarjana dari kampus-kampus seni yang program studinya sebidang dengan jurusan di sekolah-sekolah seni itu, semacam Institut Seni Indonesia (ISI), Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Institut Kesenian (IK), Akademi Seni (AS), Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI). Para sarjana seni itu tak lantas serta merta bisa menjadi guru seni di sekolah karena tak memiliki ijazah keguruan. Akibatnya, rasio jumlah guru dengan murid sangat timpang.
Seperti yang saya utarakan di Harian Joglosemar 13 Februari 2013 tentang ironi guru seni. Kiranya menjadi menarik untuk dihadirkan ulang konklusi tulisan saya dalam menganggapi pandangan Rumongso. Di SMKN 12 Surabaya misalnya. Sekolah seni itu saat ini hanya memiliki satu guru (produktif) untuk bidang keahlian Seni Pedalangan sementara jumlah siswanya mencapai hampir 40 orang. Di Jurusan Seni Karawitan, tujuh guru dengan jumlah siswa hampir 200 orang. Jurusan Teater hanya satu guru untuk siswa lebih dari 70 orang. Hal serupa juga terjadi di SMKN seni lainnya (Solo, Yogyakarta, Banyumas, Makassar, Denpasar, Bandung, Padang).  Celakanya, banyak guru yang tidak memiliki kompetensi utama bisa masuk sebagai pengajar dengan mudah hanya karena memiliki ijazah sebagai pendidik. Seni karawitan misalnya, dianggap sebagai seni musik, calon guru yang memiliki ijazah kependidikan musik dari LPTK dapat dengan mudah mendaftar. Padahal LPTK hanya menyediakan pendidikan musik Barat, bukan musik etnik seperti karawitan (gamelan). Pedalangan dianggap sebagai seni teater, sehingga lulusan dari jurusan teater di LPTK dapat mudah masuk. Padahal, isi dan rujukan ilmunya sangat berbeda, antara wayang dengan teater Barat. Jangan heran kemudian jika sarjana keguruan itu tak mampu menggerakkan wayang, apalagi menyesuaikan suara dengan nada gamelan, tentu saja falsh.
Rumongso mencoba menggugat. Menurutnya keputusan MK membuat lulusan LPTK terdesak, dirugikan dan kehilangan lapangan pekerjaan. Namun ia tak menyadari bahwa manusia Indonesai berhak bekerja dan berprofesi sebagai apapun tanpa adanya katub yang menghalangi, sejauh profesi itu tak melanggar undang-undang. Bukankah banyak sarjana pendidikan yang juga tak lantas menjadi guru? Banyak pula di antaranya menjadi arsitek, sastrawan, buka bengkel, musisi, dalang, petani, pengusaha. Kemudian, apakah kampus yang memiliki Jurusan Arsitektur, Seni, Sastra dan Teknik mempersoalkan karena para lulusan keguruan itu telah merebut ladang kerja bagi lulusannya? Saya kira tidak. Tolok ukurnya bukan ijazah, namun kemampuan. Penyelesaiannya adalah dengan menguji kapabelitas dan kapasitas intelektual di antara para sarjana calon guru berbeda kampus itu. Terlebih, sebelum menjadi pegawai tetap, apalagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), setiap calon guru harus diuji terlebih dahulu. Hasilnya tentu dapat dilihat dan dipertimbangkan. Sampai pada titik ini, ijazah tak lagi diperlakukan sebagai syarat mutlak. Namun sekali lagi, uji pengetahuan dan kompetensi yang lebih diutamakan. Sejauh mampu, apa salahnya diberi kesempatan.

Kilas
Putusan MK tersebut mengingatkan saya kala berdirinya kampus-kampus seni unggulan di Indonesia yang justru dipelopori oleh orang-orang tak berijazah seni. Namun dari merekalah mampu mengguratkan rona sejarah manis, dengan mencetak sarjana seni yang unggul dan mendunia. Lihatlah Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta yang dirintis oleh Affandi, Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta dengan Martopangrawit dan Gendhon Humardani, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung dengan Enoch Atmadibrata, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta dengan Djaduk Djajakusuma, Konservatori Karawitan Surakarta dengan Sindusawarno, Konservatori Tari Yogyakarta dengan Hardjosoebroto dan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya dengan Diyat Sariredjo. Mereka bukanlah sarjana, namun karena kemampuan dan kelebihan di bidangnya telah dihargai jauh di atas embel-embel sarjana (Widaryanto, 2009).
Lihatpula para sastrawan yang terkenal itu justru tidak lahir dari kampus sastra. Bahkan, hasil karyanya kemudian dibedah dan digunakan sebagai bahan kajian mata kuliah. Hal ini sekaligus mendekostruksi ketakutan jika sarjana kependidikan tak lagi mendapat tempat sebagai seorang guru. Justru sebaliknya, dengan adanya putusan MK itu, persaingan menjadi guru akan lebih kompotetif. Tak ada jalur khusus dan pesanan, semua setara. Putusan MK sekaligus menutup celah persoalan yang selama ini menghampiri di banyak SMKN di Indonesia. Dengan demikian, sarjana karawitan dapat mengajar di SMKN Jurusan Seni Karawitan, sarjana pedalangan dapat mengajar di sekolah jurusan pedalangan, sarjana batik dapat mengajar di sekolah batik, dan sarjana elektro dapat mengajar di sekolah jurusan elektronika.
Bayangkan jika putusan MK tersebut berbeda, sekolah-sekolah itu akan kekurangan guru profesional yang mampu mendidik sesuai dengan bidang keahliannya. Oleh karena itu, di satu sisi saya menyambut baik putusan MK, karena akan membangun semangat bersaing yang terukur. Namun di sisi lain patut dipertimbangkan pula, jika kran kebebasan menjadi guru telah dibuka, kemudian bagaimana nasib LPTK ke depan sebagai sebuah lembaga? Pemerintah seharusnya mampu mencari jalan keluar dan solusi ideal dengan tidak merugikan salah satu instansi pendidikan. Bisa saja terjadi sinergi dan kerja sama antara LPTK dengan perguruan tinggi lain, untuk menghantarkan para sarjana nonkependidikan menjadi guru, terutama guru untuk mata pelajaran yang tak terakomodasi di LPTK.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Dosen di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut