Bising dan Identitas Kultural (dimuat di Koran Joglosemar 12 Juli 2013)

Bising dan Identitas Kultural



Fenomena bunyi sebagai sebuah kegaduhan suara seringkali dianggap mengganggau dan oleh karena itu keberadaannya harus diatur. Demikianlah isu yang dalam beberapa waktu ini dihembuskan oleh Ketua Umum Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla. Menurutnya, penggunaan pengeras suara untuk kepentingan tahrim (pembacaan sholawat) di masjid-masjid dianggap menganggu bagi kehidupan bermasyarakat. Maklum saja, satu desa bisa memiliki empat masjid, dan di waktu yang bersamaan semua masjid itu melantunkan puji-pujian sholawat, pengajian, tadarus sehingga suara yang dikeluarkan tak jelas, saling tumpang tindih. Terlebih kala Puasa Ramadhan sedang berlangsung. Bagaimana apabila hal itu dilihat dalam konteks kebudayaan?

Merayakan Bising
Aton Rustandi Mulyana (2013), Etnomusikolog asal Sunda, menuliskan fenomena rame (bising) tak semata sebagai sebuah bunyi noise, merusak telinga. Namun lewat dikebisingan itulah kita bisa memberi makna atas identitas kultural masyarakat di Indonesia. Sebagai gambaran, berikut akan dipaparkan beberapa contoh yang relevan.
Kala musim kampaye tiba, lazim kitajumpai segerombolan orang memakai kaos partai dan dengan arogan menggeber keras sepeda motor yang dinaikinya. Dalam radius yang cukup jauh, suara knalpot sepeda motor itu terdengar berisik dan gaduh. Dengan segera hal itu membuat pengendara lain menyingkir ke tepi jalan. Lewat knalpot yang telah dimodifikasi sedemikian rupa itu, bunyi yang dihasilkan menjadi teror jalanan. Mereka ingin bersuara bahwa akulah sang penguasa jalanan. Mereka menunjukkan eksistensinya lewat bunyi. Masyarakat sekitar bisa saja menutup telinga rapat-rapat, walaupaun sejatinya kebisingan tersebut telah dirayakan dan dinikmati oleh para pelakunya.
Di sisi lain, saat musim nikah tiba, si punya gawe memasang banyak pengeras suara. Bahkan dibuat berlapis-lapis serta menghadapdua sisi jalan, kanan dan kiri. Tak main-main, batas volume yang tersedia dimaksimalkan. Mendengarkankannya membuat jantung berdegub kencang, kaca-kaca rumah bergetar. Semakin jauh rambatan bunyi dari pengeras suara itu maka dianggap semakin baik. Pada konteks inilah masyarakat memandang bahwa semakin keras dan gaduh bunyi yang ditimbulkan, seolah mampu mempresentasikan semakin besar pula hajad yang sedang dilangsungkan, tak peduli seberapa banyak tamu yang datang. Mereka mencoba menggali eksistensi lewat bunyi.
Fenomena bising yang ‘dinimkati’ dapat kita lihat dalam pertunjukan-pertunjukan tradisi di Nusantara. Sape Sono di Madura, Sekaten di Jogja-Solo, dan Ya Qowiyu di Klaten. Bising telah mampu menyatu dan luruh dengan ritus pertunjukan. Bayangkan bagaimana jika Sekaten tak gaduh oleh tumpang tindih berbagai suara alias sepi, yang ada hanya bunyi gamelan saja. Aneh bukan? Atau datanglah ke pasar, keramaian dikonstruksi untuk dinikmati dan justru tak berpotensi menganggu jalannya aktivitas jual-beli. Kita bisa mengetahui posisi para penjual daging lewat asahan pisaunya, penjual mainan anak-anak dengan bunyi mainannya, dan parutan kelapa dengan bunyi dieselnya. Sekali lagi, mereka ingin menunjukkan legitimasi keberadaannya dengan bunyi.
Lalu bagaimana dengan tradisi sholawatan, baca Al-Quran dan pengajian di masjid-masjid kala bulan Ramadhan? Sebenarnya tradisi itu tak hanya berlangsung di tempat ibadah semacam masjid semata, bahkan di rumah-rumah yang sedang memiliki hajad. Jalanan ditutup, pengeras suara wajib dihadirkan. Peristiwa semacam ini adalah pemandangan yang biasa. Bising yang membudaya. Noise yang dirayakan. Gaduh yang dinikmati. Anderson Sutton (1996) memandang fenomena bunyi itu dalam terminologi soundscape atau “bunyi lingkungan” yang menyertai keseharian masyarakat Indonesia. Lihatlah kala takbir dikumandangkan saat malam Idul Fitri, semua masjid dengan serentak melantunkannya. Jalanan disesaki dengan bunyi takbir keliling. Tak ada satupun yang menutup telinga, karena lewat bunyi mereka sejatinya sedang berpesta. Dengan demikian usaha mengatur volume kehadiran bunyi itu bukankah sama saja dengan merubah wajah kebudayaan kita?

Tak Sama
Pada tahun 2005, masjid-masjid di Kairo Mesir dianggap menganggu kenyamanan saat kumandang azan tiba. Masyarakat yang terganggu menilai bahwa setiap masjid seolah berlomba keras-kerasan suara azan. Akibatnya, masyarakat non-muslim gencar melayangkan protes yang selanjutnya ditindaklanjuti oleh Menteri Agama Mesir kala itu, Mahmud Hamdi Zaqzouq. Regulasi yang mengatur volume pengeras suara untuk ribuan masjid kemudian digodog. Namun hal itu bukannya tanpa perlawanan. Masyarakat muslim mendudukkan azan sebagai sebuah panggilan untuk sholat. Memanggil umat Islam di manapun dan sejauh apapun. Otomatis, volume yang dikeluarkan haruslah sekeras-kerasnya, agar didengar oleh umat yang terjauh sekalipun.
Dalam kacamata estetika musik barat, suara yang dikeluarkan oleh pengeras suara dalam peristiwa azan, sholawatan, pengajian, tadarus Al-Quran, secara bersamaan dikategorikan sebagai bunyi masking, atau suara tumpang tindih (Stephen E. Widen, 2006). Berada di atas ambang batas suara normal, noise. Kehadirannya dianggap memiliki benih untuk merusak kerja otak, dan meningkatkan kadar emosi diri. Tak mengherankan jika seseorang mudah marah karena suara bising knalpot dan klakson di jalan raya. Ketidakteraturan bunyi menyebabkan otak sulit menangkap, mengidentifikasi dan mencerna. Akibatnya, stress dan pusing. Lalu, apakah hal itu juga terjadi dalam perayaan bising di masjid?
Hingga saat ini, belum dijumpai laporan keberatan dari masyarakat atas bising di masjid. Merujuk dari pendapat Shin Nakagawa (1999) yang menjelaskan bahwa kehadiran bunyi-bunyian di masjid itu tidaklah dianggap sebagai sebuah teror. Namun layaknya melihat pertunjukan Sekaten, Ngarot, dan berbelanja di pasar. Keramain yang ditimbulkan telah menjadi satu kesatuan dalam ritus keagamaan maupun kebudayaan di Indonesia. Bisa jadi, yang merasa terganggu mungkin bukanlah orang asli pribumi. Oleh karenanya pengambilan kebijakan terkait penggunaan pengeras suara harus didasarkan dari banyak faktor, tak terkecuali aspek kebudayaan.
Apa yang diutarakan oleh Jusuf Kalla juga mengingatkan kita pada pernyataan Wakil Presiden Boediono saat membuka acara Muktamar VI DMI di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta pada 27 April 2012 lalu. Boediono menghimbau agar suara azan dapat diatur keras lirihnya. Senada dengan peristiwa yang sama di Mesir, pernyataan tersebut banyak menuai kecaman. Dengan demikian semua pihak harusnya dapat duduk bersama. Tentunya yang dilibatkan tak semata hanya para pengambil kebijakan, masyarakat, ustad, dan penghuni masjid. Namun juga para peneliti bunyi dan budayawan. Dengan demikian keputusan akhir yang diambil tidaklah merugikan salah satu pihak.
Bagaimanapun juga persoalan azan, sholawat, pengajian, tadarus dengan pengeras suara tak semata menjadi urusan agama, namun juga kesehatan, kenyamanan lingkungan, estetika musik, dan detak kultural. Memandang fenomena pengeras suara di masjid tak cukup dengan hanya meletakkan dualisme dalam terminologi “menganggu dan tidak”. Tapi lebih kompleks lagi. Pada akhirnya, ada sisi positif yang dapat kita petik, usul yang disampaikan oleh Jusuf Kalla dan Boediono setidaknya mengingatkan kita bahwa saat ini beribu suara azan, pengajian, sholawatan dengan karakteristiknya yang berbeda-beda telah berdengung di Nusantara, namun satu kajian (penelitian) dan perhatian terkait olehnya justru belum tentu lahir. 

Aris Setiawan
Etnomusikolog,Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut