Bising dan Identitas Kultural
Fenomena bunyi
sebagai sebuah kegaduhan suara seringkali dianggap mengganggau dan oleh
karena itu keberadaannya harus diatur. Demikianlah isu yang dalam
beberapa waktu ini dihembuskan oleh Ketua Umum Pengurus Pusat Dewan
Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla. Menurutnya, penggunaan pengeras
suara untuk kepentingan tahrim (pembacaan sholawat) di masjid-masjid
dianggap menganggu bagi kehidupan bermasyarakat. Maklum saja, satu desa
bisa memiliki empat masjid, dan di waktu yang bersamaan semua masjid itu
melantunkan puji-pujian sholawat, pengajian, tadarus sehingga suara
yang dikeluarkan tak jelas, saling tumpang tindih. Terlebih kala Puasa
Ramadhan sedang berlangsung. Bagaimana apabila hal itu dilihat dalam
konteks kebudayaan?
Merayakan Bising
Aton Rustandi Mulyana (2013), Etnomusikolog asal Sunda, menuliskan fenomena rame (bising) tak semata sebagai sebuah bunyi noise,
merusak telinga. Namun lewat dikebisingan itulah kita bisa memberi
makna atas identitas kultural masyarakat di Indonesia. Sebagai gambaran,
berikut akan dipaparkan beberapa contoh yang relevan.
Kala
musim kampaye tiba, lazim kitajumpai segerombolan orang memakai kaos
partai dan dengan arogan menggeber keras sepeda motor yang dinaikinya.
Dalam radius yang cukup jauh, suara knalpot sepeda motor itu terdengar
berisik dan gaduh. Dengan segera hal itu membuat pengendara lain
menyingkir ke tepi jalan. Lewat knalpot yang telah dimodifikasi
sedemikian rupa itu, bunyi yang dihasilkan menjadi teror jalanan. Mereka
ingin bersuara bahwa akulah sang penguasa jalanan. Mereka menunjukkan
eksistensinya lewat bunyi. Masyarakat sekitar bisa saja menutup telinga
rapat-rapat, walaupaun sejatinya kebisingan tersebut telah dirayakan dan
dinikmati oleh para pelakunya.
Di sisi lain, saat musim nikah
tiba, si punya gawe memasang banyak pengeras suara. Bahkan dibuat
berlapis-lapis serta menghadapdua sisi jalan, kanan dan kiri. Tak
main-main, batas volume yang tersedia dimaksimalkan. Mendengarkankannya
membuat jantung berdegub kencang, kaca-kaca rumah bergetar. Semakin jauh
rambatan bunyi dari pengeras suara itu maka dianggap semakin baik. Pada
konteks inilah masyarakat memandang bahwa semakin keras dan gaduh bunyi
yang ditimbulkan, seolah mampu mempresentasikan semakin besar pula
hajad yang sedang dilangsungkan, tak peduli seberapa banyak tamu yang
datang. Mereka mencoba menggali eksistensi lewat bunyi.
Fenomena bising yang ‘dinimkati’ dapat kita lihat dalam pertunjukan-pertunjukan tradisi di Nusantara. Sape Sono di Madura, Sekaten di Jogja-Solo, dan Ya Qowiyu
di Klaten. Bising telah mampu menyatu dan luruh dengan ritus
pertunjukan. Bayangkan bagaimana jika Sekaten tak gaduh oleh tumpang
tindih berbagai suara alias sepi, yang ada hanya bunyi gamelan saja.
Aneh bukan? Atau datanglah ke pasar, keramaian dikonstruksi untuk
dinikmati dan justru tak berpotensi menganggu jalannya aktivitas
jual-beli. Kita bisa mengetahui posisi para penjual daging lewat asahan
pisaunya, penjual mainan anak-anak dengan bunyi mainannya, dan parutan
kelapa dengan bunyi dieselnya. Sekali lagi, mereka ingin menunjukkan
legitimasi keberadaannya dengan bunyi.
Lalu
bagaimana dengan tradisi sholawatan, baca Al-Quran dan pengajian di
masjid-masjid kala bulan Ramadhan? Sebenarnya tradisi itu tak hanya
berlangsung di tempat ibadah semacam masjid semata, bahkan di
rumah-rumah yang sedang memiliki hajad. Jalanan ditutup, pengeras suara
wajib dihadirkan. Peristiwa semacam ini adalah pemandangan yang biasa.
Bising yang membudaya. Noise yang dirayakan. Gaduh yang dinikmati.
Anderson Sutton (1996) memandang fenomena bunyi itu dalam terminologi soundscape
atau “bunyi lingkungan” yang menyertai keseharian masyarakat Indonesia.
Lihatlah kala takbir dikumandangkan saat malam Idul Fitri, semua masjid
dengan serentak melantunkannya. Jalanan disesaki dengan bunyi takbir
keliling. Tak ada satupun yang menutup telinga, karena lewat bunyi
mereka sejatinya sedang berpesta. Dengan demikian usaha mengatur volume
kehadiran bunyi itu bukankah sama saja dengan merubah wajah kebudayaan
kita?
Tak Sama
Pada tahun 2005,
masjid-masjid di Kairo Mesir dianggap menganggu kenyamanan saat
kumandang azan tiba. Masyarakat yang terganggu menilai bahwa setiap
masjid seolah berlomba keras-kerasan suara azan. Akibatnya, masyarakat
non-muslim gencar melayangkan protes yang selanjutnya ditindaklanjuti
oleh Menteri Agama Mesir kala itu, Mahmud Hamdi Zaqzouq. Regulasi yang
mengatur volume pengeras suara untuk ribuan masjid kemudian digodog.
Namun hal itu bukannya tanpa perlawanan. Masyarakat muslim mendudukkan
azan sebagai sebuah panggilan untuk sholat. Memanggil umat Islam di
manapun dan sejauh apapun. Otomatis, volume yang dikeluarkan haruslah
sekeras-kerasnya, agar didengar oleh umat yang terjauh sekalipun.
Dalam
kacamata estetika musik barat, suara yang dikeluarkan oleh pengeras
suara dalam peristiwa azan, sholawatan, pengajian, tadarus Al-Quran,
secara bersamaan dikategorikan sebagai bunyi masking, atau suara tumpang tindih (Stephen E. Widen, 2006). Berada di atas ambang batas suara normal, noise.
Kehadirannya dianggap memiliki benih untuk merusak kerja otak, dan
meningkatkan kadar emosi diri. Tak mengherankan jika seseorang mudah
marah karena suara bising knalpot dan klakson di jalan raya.
Ketidakteraturan bunyi menyebabkan otak sulit menangkap,
mengidentifikasi dan mencerna. Akibatnya, stress dan pusing. Lalu,
apakah hal itu juga terjadi dalam perayaan bising di masjid?
Hingga
saat ini, belum dijumpai laporan keberatan dari masyarakat atas bising
di masjid. Merujuk dari pendapat Shin Nakagawa (1999) yang menjelaskan
bahwa kehadiran bunyi-bunyian di masjid itu tidaklah dianggap sebagai
sebuah teror. Namun layaknya melihat pertunjukan Sekaten, Ngarot, dan
berbelanja di pasar. Keramain yang ditimbulkan telah menjadi satu
kesatuan dalam ritus keagamaan maupun kebudayaan di Indonesia. Bisa
jadi, yang merasa terganggu mungkin bukanlah orang asli pribumi. Oleh
karenanya pengambilan kebijakan terkait penggunaan pengeras suara harus
didasarkan dari banyak faktor, tak terkecuali aspek kebudayaan.
Apa
yang diutarakan oleh Jusuf Kalla juga mengingatkan kita pada pernyataan
Wakil Presiden Boediono saat membuka acara Muktamar VI DMI di Asrama
Haji Pondok Gede Jakarta pada 27 April 2012 lalu. Boediono menghimbau
agar suara azan dapat diatur keras lirihnya. Senada dengan peristiwa
yang sama di Mesir, pernyataan tersebut banyak menuai kecaman. Dengan
demikian semua pihak harusnya dapat duduk bersama. Tentunya yang
dilibatkan tak semata hanya para pengambil kebijakan, masyarakat, ustad,
dan penghuni masjid. Namun juga para peneliti bunyi dan budayawan.
Dengan demikian keputusan akhir yang diambil tidaklah merugikan salah
satu pihak.
Bagaimanapun juga persoalan azan, sholawat, pengajian,
tadarus dengan pengeras suara tak semata menjadi urusan agama, namun
juga kesehatan, kenyamanan lingkungan, estetika musik, dan detak
kultural. Memandang fenomena pengeras suara di masjid tak cukup dengan
hanya meletakkan dualisme dalam terminologi “menganggu dan tidak”. Tapi
lebih kompleks lagi. Pada akhirnya, ada sisi positif yang dapat kita
petik, usul yang disampaikan oleh Jusuf Kalla dan Boediono setidaknya
mengingatkan kita bahwa saat ini beribu suara azan, pengajian,
sholawatan dengan karakteristiknya yang berbeda-beda telah berdengung di
Nusantara, namun satu kajian (penelitian) dan perhatian terkait olehnya
justru belum tentu lahir.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar