Musim(an) Lagu Religi
Ramadan tak semata
bulan suci bagi umat Islam. Namun juga sebagai bulan penuh peruntungan
bagi pelaku bisnis musik di Indonesia. Lagu-lagu religius berlomba-lomba
diciptakan. Band-band yang awalnya khusyuk menggarap tema cinta dan
asmara, kemudian turut larut dalam mengolah nada berirama dakwah. Bulan
puasa menjadi orientasi utama kenapa lagu-lagu Islami tercipta. Selain
diharapkan mampu meningkatkan kadar ibadah dan keimanan, di sisi lain
juga berambisi dalam meraih laba sebanyak-banyaknya. Sejarah ramadan
senantiasa diikuti dengan perubahan pelbagai dimensi kehidupan, dari
penampilan, laku ekonomi hingga citra estetika musikal.
Nilai
Luthfi Khuffana lewat tulisannya yang berjudul Nilai-nilai Pendidikan Agama Islam dalam Syair-syair Lagu Religi Karya Opick
(2011) menjelaskan bahwa musik Islami memiliki peran besar dalam
membangun karakter serta meningkatkan kekhusyukan ibadah bagi
pendengarnya. Hakikat musik pada dasarnya merupakan bunyi yang
tersetruktur sehingga mampu menimbulkan gejolak emosional dan keindahan.
Musik merupakan sarana paling efisien dalam mempengaruhi kadar kejiwaan
seseorang. Karenanya, mendengarkan musik kadang membuat kita meneteskan
air mata, sedih, tertawa dan bahagia. Adegan romantis dalam sebuah film
misalnya tak akan mampu luruh dan membekas di hati penonton jika tak
diimbangi dengan kesesuaian musik. Musik berisikan lirik puitis yang
musikal.
Begitupun musik religi saat ini yang lahir di
momen dan ruang yang pas, bulan Ramadan. Musik religi sebagai sebuah
bunyi tentu tak hanya dimaknai sempit berupa nada yang telah diatur
sedemikian rupa. Pada dasarnya, sejarah dan jejak tradisi Islam telah
cukup pekat bersentuhan dengan dunia musik. Azan, tadarus Al Quran,
shalawatan, tahlilan, pengajian adalah ritus yang tak semata berkisah
tentang doa, namun juga melodi dan irama. Walaupun banyak di antaranya
yang tak memiliki kekuatan hukum nada layaknya sol-mi-sasi dalam musik
barat atau pelog-selendro di Jawa, namun darinya telah mampu melahirkan
kesan bunyi yang dirasa indah. Sama layaknya jika kita mendengar kicauan
merdu burung-burung di alam.
Darmo Budi Suseno lewat tulisannya yang berjudul Lantunan Shalawat dan Nahsyid untuk Kesehatan dan Melejitkan IQ-EQ
(2005) memandang bahwa pembacaan shalawat adalah bagian penting dari
musik. Lebih jauh,mendendangkan shalawat dengan struktur melodi yang
bebas (sesuai tafsir personal) mampu menjadikan seseorang bertambah
pandai. Tambah Darmo, menyanyikan shalawat membuat hati merasa bahagia,
mampu melepaskan beban persoalan karena doa senantiasa terpanjatkan
lewat makna senandung teks yang tertuang di dalamnya. Walaupun kadang
sejatinya seseorang itu tak sedang berdoa, namun semata bersenandung.
Dengan demikian, ziarah doa tak harus dengan menadahkan kedua tangan
dengan ucapan kalimat yang sayup-sayup tak terdengar. Berdoa bisa juga
lewat musik. Karena membaca ayat doa berarti mengerti akan hukum melodi,
dengan memberi tekanan aksentuasi musikal tinggi rendah nada pada ruang
kalimat atau kata tertentu. Hal ini sekaligus mendekonstruksi anggapan
yang selama ini berkembang bahwa musik itu haram hukumnya bagi umat
Islam, karena sejatinya ayat-ayat dalam kitab suci Al-Quran sangatlah
musikal.
Di bulan yang suci, pembacaan senandung ayat-ayat
suci Al-Quran dan musik religius menjadi menu santapan sehari-hari.
Ramadan tak semata merubah nada dan teks dalam musik, namun juga
penampilan. Para penyanyi tak lagi dijumpai memakai celana ketat atau
rok pendek dengan rambut berwarna-warni. Semua berhijab, berpakaian dan
berkata santun. Walaupun tak jarang kesan itu begitu dipaksakan hanya
demi pamrih materi dan ajang bisnis. Hal itu wajar dijumpai, dan
masyarakat seolahmengamini gejala yang demikian. Musik Religi di bulan
ini menjadi ajang pesanan instan siap saji.
Di sisi lain,
musik-musik itu menyampaikan makna tentang kesantunan, kesabaran dan
keindahan dalam hidup. Penyampaian pesan itu lewat musik dipandang lebih
mudah dan efisien. Bukan satu hal asing jika nasihat yang dikisahkan
lewat Al-Quran dan Hadis hanya terhenti di ruang-ruang orasi para ustad,
kiai, ulama tanpa mampu merasuk lebih dalam ke hati nuranipara umat.
Dengan musik, pesan yang tersampaikan menjadi lebih gamblang dan mengena
karena dibantu dengan penggunaan nada dan kesan ritmis yang mampu
membuai pendengarnya. Lirik lagu TomboAti dari Opick
misalnya, hingga kini masih didengar dan dihafal oleh umat Islam di
Indonesia. Padahal teks liriknya berbahasa Jawa, bersumber dari ajaran
para wali Islam di Jawa. Nada mengekalkan kalimat berpetuah. Sebelumnya,
lagu itu seringkali hanya dinyanyikan di banyakmasjid atau musholla di
Jawa, namun kini mampu menjadi milik masyarakat Islam Indonesia
seutuhnya.
Pengingkaran
Al-Quran
dan Hadis banyak memberi berjuta ide bagi manusia untuk mengolahnya
kembali menjadi ajang kreatif berujud seni, tak terkecuali musik.
Sayangnya, teks-teks kalimat dalam Al-Ruran dan Hadis kadang hanya
dicomot bukan hanya untuk kepentingan dakwah. Kuasa ekonomi menyebabkan
manusia kreatif masa kini melegalkan segala cara agar mampu bertahan
hidup dalam perebutan sesuap nasi. Lahirlah kemudian teks-teks suci itu
dalam balutan nada-nada musikal yang merdu. Membicarakan dakwah lewat
musikdi abad XXI berarti membicarakan pula bisnis yang berujung untung
dan rugi. Pemandangan seperti itu dapat dengan mudah kita jumpai di
bulan ramadan. Setelahnya, saat bulan itu usai, musik-musik Indonesia
akan kembali ke habitat awalnya. Jilbab dilepaskan, rok mini dipakai
kembali, rambut berwarna-warni, berjoget dengan seksinya membuat mata
penonton tak berkedip melihatnya.
Ramadan menjadi ajang pertaubatan sesaat bagi kultur musik Indonesia. Aunur Rofik Lil Firdaus lewat Oase Spiritual dalam Senandung
(2006) mengungkapkan jika lantunan tembang-tembang religius di bulan
ramadan menjadi oase yang menyegarkan di balik gersangnya penciptaan
lagu Islami masa kini. Diluar Ramadan, teks dan lirik religi itu
tertimbun dalam tumpukan musik populis. Tak banyak memang para musisi
yang dengan tekun dan konsisten menziarahkan musiknya khusus bertemakan
lagu religi. Di antaranya yang dapat dilihat hanya Opick, Hadad Alwi dan
Emha Ainun Najib beserta gamelan Kiai Kanjengnya. Mendengarkan musik
mereka bagi kebanyakan kaum muslim di Indonesia menjadi sarana
detoksifikasi racun musikal yang selama ini mengendap di tubuh.
Ramadan
bagaimanapun juga adalah bulan suci yang harusnya mampu diisi dengan
amalan dan doa. Menggunakan musik sesuai dengan waktu dan ruangnya
adalah hal yang baik, dan tentu akan lebih baik lagi jika kesadaran itu
muncul tak hanya di momen Ramadahan, namun juga setelahnya.
Tembang-tembang Islami kehadirannya senantiasa ditunggu, yang ironisnya
begitu sayup-sayup tak terdengar di luar Ramadan. Oleh karena itu, bulan
ini juga menjadi satire pedas bagi musisi musik Indonesia. Tak hanya
musik religi sebenarnya, musik-musik kritik era Iwan Fals yang dulu
gaungnya begitu membahana juga telah kalah dipersaingan zaman.
Karenanya, jangan heran jika melihat musik pop di Indonesia menjadi sama
dalam segi rasa dan pembawaannya. Jikalau tak mendayu-dayu dengan lirik
yang cenderung cengeng dan sensual layaknya “cinta satu malam” dan
“belah duren”, pasti jingkrak-jingkrakan menjadi boys dan girls band.
Belajar dari Opick lewat lirik album musiknya yang berjudul Istighfar (2005), “nafsu jiwa yang membuncah, menutupi mata hati, seperti terlupa bahwa nafas kanterhenti”. Nal looh!!
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar