Musim(an) Lagu Religi (dimuat di Koran Solopos 20 Juli 2013)

Musim(an) Lagu Religi



Ramadan tak semata bulan suci bagi umat Islam. Namun juga sebagai bulan penuh peruntungan bagi pelaku bisnis musik di Indonesia. Lagu-lagu religius berlomba-lomba diciptakan. Band-band yang awalnya khusyuk menggarap tema cinta dan asmara, kemudian turut larut dalam mengolah nada berirama dakwah. Bulan puasa menjadi orientasi utama kenapa lagu-lagu Islami tercipta. Selain diharapkan mampu meningkatkan kadar ibadah dan keimanan, di sisi lain juga berambisi dalam meraih laba sebanyak-banyaknya. Sejarah ramadan senantiasa diikuti dengan perubahan pelbagai dimensi kehidupan, dari penampilan, laku ekonomi hingga citra estetika musikal.

Nilai
Luthfi Khuffana lewat tulisannya yang berjudul Nilai-nilai Pendidikan Agama Islam dalam Syair-syair Lagu Religi Karya Opick (2011) menjelaskan bahwa musik Islami memiliki peran besar dalam membangun karakter serta meningkatkan kekhusyukan ibadah bagi pendengarnya. Hakikat musik pada dasarnya merupakan bunyi yang tersetruktur sehingga mampu menimbulkan gejolak emosional dan keindahan. Musik merupakan sarana paling efisien dalam mempengaruhi kadar kejiwaan seseorang. Karenanya, mendengarkan musik kadang membuat kita meneteskan air mata, sedih, tertawa dan bahagia. Adegan romantis dalam sebuah film misalnya tak akan mampu luruh dan membekas di hati penonton jika tak diimbangi dengan kesesuaian musik. Musik berisikan lirik puitis yang musikal.
Begitupun musik religi saat ini yang lahir di momen dan ruang yang pas, bulan Ramadan. Musik religi sebagai sebuah bunyi tentu tak hanya dimaknai sempit berupa nada yang telah diatur sedemikian rupa. Pada dasarnya, sejarah dan jejak tradisi Islam telah cukup pekat bersentuhan dengan dunia musik. Azan, tadarus Al Quran, shalawatan, tahlilan, pengajian adalah ritus yang tak semata berkisah tentang doa, namun juga melodi dan irama. Walaupun banyak di antaranya yang tak memiliki kekuatan hukum nada layaknya sol-mi-sasi dalam musik barat atau pelog-selendro di Jawa, namun darinya telah mampu melahirkan kesan bunyi yang dirasa indah. Sama layaknya jika kita mendengar kicauan merdu burung-burung di alam.  
Darmo Budi Suseno lewat tulisannya yang berjudul Lantunan Shalawat dan Nahsyid untuk Kesehatan dan Melejitkan IQ-EQ (2005) memandang bahwa pembacaan shalawat adalah bagian penting dari musik. Lebih jauh,mendendangkan shalawat dengan struktur melodi yang bebas (sesuai tafsir personal) mampu menjadikan seseorang bertambah pandai. Tambah Darmo, menyanyikan shalawat membuat hati merasa bahagia, mampu melepaskan beban persoalan karena doa senantiasa terpanjatkan lewat makna senandung teks yang tertuang di dalamnya. Walaupun kadang sejatinya seseorang itu tak sedang berdoa, namun semata bersenandung. Dengan demikian, ziarah doa tak harus dengan menadahkan kedua tangan dengan ucapan kalimat yang sayup-sayup tak terdengar. Berdoa bisa juga lewat musik. Karena membaca ayat doa berarti mengerti akan hukum melodi, dengan memberi tekanan aksentuasi musikal tinggi rendah nada pada ruang kalimat atau kata tertentu. Hal ini sekaligus mendekonstruksi anggapan yang selama ini berkembang bahwa musik itu haram hukumnya bagi umat Islam, karena sejatinya ayat-ayat dalam kitab suci Al-Quran sangatlah musikal.
Di bulan yang suci, pembacaan senandung ayat-ayat suci Al-Quran dan musik religius menjadi menu santapan sehari-hari. Ramadan tak semata merubah nada dan teks dalam musik, namun juga penampilan. Para penyanyi tak lagi dijumpai memakai celana ketat atau rok pendek dengan rambut berwarna-warni. Semua berhijab, berpakaian dan berkata santun. Walaupun tak jarang kesan itu begitu dipaksakan hanya demi pamrih materi dan ajang bisnis. Hal itu wajar dijumpai, dan masyarakat seolahmengamini gejala yang demikian. Musik Religi di bulan ini menjadi ajang pesanan instan siap saji.  
Di sisi lain, musik-musik itu menyampaikan makna tentang kesantunan, kesabaran dan keindahan dalam hidup. Penyampaian pesan itu lewat musik dipandang lebih mudah dan efisien. Bukan satu hal asing jika nasihat yang dikisahkan lewat Al-Quran dan Hadis hanya terhenti di ruang-ruang orasi para ustad, kiai, ulama tanpa mampu merasuk lebih dalam ke hati nuranipara umat. Dengan musik, pesan yang tersampaikan menjadi lebih gamblang dan mengena karena dibantu dengan penggunaan nada dan kesan ritmis yang mampu membuai pendengarnya. Lirik lagu TomboAti  dari Opick misalnya, hingga kini masih didengar dan dihafal oleh umat Islam di Indonesia. Padahal teks liriknya berbahasa Jawa, bersumber dari ajaran para wali Islam di Jawa. Nada mengekalkan kalimat berpetuah. Sebelumnya, lagu itu seringkali hanya dinyanyikan di banyakmasjid atau musholla di Jawa, namun kini mampu menjadi milik masyarakat Islam Indonesia seutuhnya.

Pengingkaran
Al-Quran dan Hadis banyak memberi berjuta ide bagi manusia untuk mengolahnya kembali menjadi ajang kreatif berujud seni, tak terkecuali musik. Sayangnya, teks-teks kalimat dalam Al-Ruran dan Hadis kadang hanya dicomot bukan hanya untuk kepentingan dakwah. Kuasa ekonomi menyebabkan manusia kreatif masa kini melegalkan segala cara agar mampu bertahan hidup dalam perebutan sesuap nasi. Lahirlah kemudian teks-teks suci itu dalam balutan nada-nada musikal yang merdu. Membicarakan dakwah lewat musikdi abad XXI berarti membicarakan pula bisnis yang berujung untung dan rugi. Pemandangan seperti itu dapat dengan mudah kita jumpai di bulan ramadan. Setelahnya, saat bulan itu usai, musik-musik Indonesia akan kembali ke habitat awalnya. Jilbab dilepaskan, rok mini dipakai kembali, rambut berwarna-warni, berjoget dengan seksinya membuat mata penonton tak berkedip melihatnya.
Ramadan menjadi ajang pertaubatan sesaat bagi kultur musik Indonesia. Aunur Rofik Lil Firdaus lewat Oase Spiritual dalam Senandung (2006) mengungkapkan jika lantunan tembang-tembang religius di bulan ramadan menjadi oase yang menyegarkan di balik gersangnya penciptaan lagu Islami masa kini. Diluar Ramadan, teks dan lirik religi itu tertimbun dalam tumpukan musik populis. Tak banyak memang para musisi yang dengan tekun dan konsisten menziarahkan musiknya khusus bertemakan lagu religi. Di antaranya yang dapat dilihat hanya Opick, Hadad Alwi dan Emha Ainun Najib beserta gamelan Kiai Kanjengnya. Mendengarkan musik mereka bagi kebanyakan kaum muslim di Indonesia menjadi sarana detoksifikasi racun musikal yang selama ini mengendap di tubuh.
Ramadan bagaimanapun juga adalah bulan suci yang harusnya mampu diisi dengan amalan dan doa. Menggunakan musik sesuai dengan waktu dan ruangnya adalah hal yang baik, dan tentu akan lebih baik lagi jika kesadaran itu muncul tak hanya di momen Ramadahan, namun juga setelahnya. Tembang-tembang Islami kehadirannya senantiasa ditunggu, yang ironisnya begitu sayup-sayup tak terdengar di luar Ramadan. Oleh karena itu, bulan ini juga menjadi satire pedas bagi musisi musik Indonesia. Tak hanya musik religi sebenarnya, musik-musik kritik era Iwan Fals yang dulu gaungnya begitu membahana juga telah kalah dipersaingan zaman. Karenanya, jangan heran jika melihat musik pop di Indonesia menjadi sama dalam segi rasa dan pembawaannya. Jikalau tak mendayu-dayu dengan lirik yang cenderung cengeng dan sensual layaknya “cinta satu malam” dan “belah duren”, pasti jingkrak-jingkrakan menjadi boys dan girls band. Belajar dari Opick lewat lirik album musiknya yang berjudul Istighfar (2005), “nafsu jiwa yang membuncah, menutupi mata hati, seperti terlupa bahwa nafas kanterhenti”. Nal looh!!

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut