Pelaksana tugas
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kacung
Marijan berencana mendirikan Museum Musik Indonesia di Lokananta, Solo.
Lokananta merupakan perusahaan rekam yang menjadi saksi penting pembabakan
sejarah musik Tanah Air.
Ironisnya,
wacana ”memuseumkan” Lokananta tak berangkat dari urgensi persoalan yang
menghantui denyut hidup musik Tanah Air, tetapi semata karena kondisi
perusahaan rekam itu yang kian memprihatinkan. Ketakutan akan rusaknya koleksi
berharga Lokananta menyebabkan kebijakan itu diambil. Persoalannya kemudian,
bagaimana wujud dan format museum musik itu? Perlukah musik untuk dimuseumkan?
Musik-musik seperti apakah yang layak untuk menghuni museum?
Museum
Museum adalah
kata yang masih cenderung diartikan secara salah kaprah. Kebanyakan masyarakat
kita memandang museum sebagai kumpulan benda-benda purbawi, kuno, berdebu, tak
terpakai alias bekas. International Council of Museum mendefinisikan museum
sebagai institusi permanen dan nirlaba yang melayani kebutuhan publik dengan
sifat terbuka, dengan cara melakukan usaha pengoleksian, mengonservasi,
meriset, menginformasikan, dan memamerkan benda materi kepada masyarakat untuk
kebutuhan studi penelitian, pendidikan, dan kesenangan (Al-Mujabudda’wat,
2011). Poin terakhir, kesenangan, agaknya yang selama ini belum sepenuhnya
terpenuhi. Masyarakat lebih suka menghabiskan waktu liburnya untuk berlama-lama
di mal daripada ke museum.
Di sisi lain,
museum di Indonesia cenderung ”pasif” dengan hanya mengandalkan satu sumber pembiayaan
dari pemerintah yang jumlahnya tidak banyak. Tentu kita masih ingat polemik
Museum Pusat Dokumentasi Sastra Hans Bague Jassin (HB Jassin) yang kekurangan
dana operasional. Museum yang memiliki 50.000 lebih koleksi karya sastra itu
hanya disokong dengan dana Rp 50 juta per tahun. Akibatnya, museum-museum di
Indonesia kembang kempis, hanya mampu menjaga dan memamerkan benda koleksinya
tanpa berupaya untuk mengembangkan. Di Jakarta sendiri bahkan terdapat 60 lebih
museum dan menjadi provinsi dengan jumlah museum terbanyak. Namun, sayang, tak
banyak yang mengetahuinya, Jakarta justru lebih dikenal sebagai kota fashion,
metropolis, industri, megapolitan, daripada kota museum atau sejarah.
Oleh karena
itu, mau tak mau wacana untuk mendirikan museum musik Indonesia (MMI) tak bisa
dilepaskan dari persoalan yang selama ini menghantui museum di Indonesia.
Terlebih dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Pasal 18 yang
menyebutkan museum sebagai lembaga penyimpan benda-benda dengan kategori ”cagar
budaya”. Hal ini memunculkan kesan benda koleksi yang cenderung tua, monoton,
membosankan, dan tak menyenangkan. Mendatangi museum tak jauh beda dengan
menziarahi makam. Wajar kemudian jika banyak tontonan di televisi yang
menjadikan museum sebagai tempat syuting acara mistis atau horor. Kesan suram
dan menakutkan muncul kala mendatangi museum.
Di sisi lain,
pertanyaan yang cukup menggelitik, perlukah musik dengan kodratnya sebagai
sebuah bunyi atau suara dimuseumkan? Bukankah selama ini musik telah ”termuseumkan”
dengan sendirinya lewat internet. Berbagai macam bunyi dapat kita jumpai di
situ. MMI mungkin hanya mampu mempertontonkan alat-alat rekam, piringan hitam,
dan kaset analog. Selebihnya untuk materi musik dapat dengan mudah kita dengar
kapan pun dan di manapun. Otomatis, tak harus mengunjungi MMI untuk menemukan
lagu-lagu karya Gesang. Cukup ketik nama judul lagunya di situs pencari Google,
maka dengan sendirinya kita dapat memilikinya setiap saat.
Sejarah
mencatat, era teknologi dunia digital pula yang sejatinya menghentikan denyut
hidup Lokananta. Perusahaan yang berdiri tahun 1956 itu tak mampu bercengkerama
dengan perubahan zaman. Pembajakan musik terjadi di mana-mana. Hari ini musik
direkam, besok sudah dapat diunduh secara gratis dan bebas lewat internet. Tak
hanya Lokananta, tetapi juga banyak perusahaan musik yang mengalami nasib
serupa alias bangkrut karena masalah tersebut. Biaya produksi merekam dam
memublikasikan musik tak mampu tertutupi dengan hasil penjualan kaset yang
terus menurun. Setiawan (2012) menuturkan, akibat dari pembajakan
besar-besaran, negara dirugikan lebih dari Rp 600 miliar per tahun. Tercatat
tak kurang dari 117 label rekaman lokal dan nasional telah gulung tikar.
Lokananta
Tak banyak yang
mengetahui sumbangan besar Lokananta bagi kehidupan musik Indonesia. Lokananta
adalah gerbang utama yang memelopori bangkitnya lagu-lagu bercita rasa
Indonesia untuk lebih dikenal masyarakat luas termasuk dunia. Keberadaan
Lokananta dirasakan dampak besarnya bagi seniman tradisi. Karawitan dan wayang,
misalnya, di kala perusahaan rekam lain menaruh cemas akan kebangkrutan karena
merekam gamelan—dianggap tak disukai masyarakat—Lokananta dengan gagah
mendekonstruksi anggapan itu. Gending-gending gamelan dengan berbagai versi
direkam, dipublikasikan, dan secara otomatis membantu denyut hidup gamelan
dikenal masyarakat dunia.
Heri Priyatmoko
(2008) menjelaskan bahwa di Lokananta banyak tersimpan rekaman awal dari
penyanyi-penyanyi terkenal, seperti Gesang, Waldjinah, Titiek Puspa, Bing
Slamet, dan Sam Saimun. Bahkan, pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1945 serta
acara KTT Nonblok di Bandung tahun 1955 juga ada. Jejak sejarah yang
dimilikinya menjadikan Lokananta ”barang antik” yang langka, tetapi tak lagi
terurus. Ide menjadikannya MMI di satu sisi memang harus disambut baik dalam
upaya menyelamatkan Lokananta dari kematian. Namun, di sisi lain, juga harus
disadari bahwa persoalan karut-marut permuseuman di Indonesia yang terjadi
selama ini tentu akan berimbas pula pada Lokananta kala menjadi MMI.
Musik-musik
seperti apa yang layak dimuseumkan juga menjadi catatan penting tersendiri. Hal
yang tentu dapat kita tebak, musik-musik tradisi Nusantara pastilah menjadi
penghuni utama. Alasannya klasik, musik-musik tradisi dianggap sebagai bagian
dari peninggalan masa lalu, atau sebut saja sebagai benda antik cagar budaya.
Sementara musik-musik yang konon dianggap ”modern” tak layak untuk menghuni
museum musik. Dikotomi antara yang termuseumkan dan yang tak termuseumkan
justru akan semakin memperuncing pandangan masyarakat dalam menilai musik
tradisi sebagai sesuatu yang kuno, kolot, dan tertinggal. Generasi masa kini
pun semakin malu untuk menjamahnya.
Perlu
diketahui, sebelum Kacung Marijan mewacanakan isu MMI, sebenarnya MMI telah
terbentuk di Kota Malang, Jawa Timur, tahun 2012 yang dikelola oleh teman-teman
dari komunitas Gallery Malang Bernyanyi. MMI versi mereka telah menyimpan lebih
dari 7.000 kaset dan berbagai benda yang pernah bersentuhan dengan sejarah
dunia musik di Indonesia dan dunia. Bahkan, Lokananta telah menjadi salah satu
mitra kerja dari museum musik itu. Uniknya, MMI nonpelat merah itu dihidupi
oleh masyarakat dan komunitas pencinta musik Tanah Air dan dunia. Mereka dengan
rela hati memberikan koleksinya untuk dipajang di museum. Pengunjung dapat
mendengarkan ribuan koleksi musik dari berbagai zaman dengan gratis. Suasana
dibuat semenyenangkan mungkin, birokrasi yang tak ribet dan berbelit. Lebih
penting lagi tidak angker dan wingit. Tidak ada batas antara musik tradisi dan
baru, semua didudukkan dalam satu ruang yang sama.
Dengan demikian, isu untuk mendirikan MMI sebenarnya bukan barang baru. Alangkah baiknya jika pejabat terkait mengerti dengan peta dan ruang lingkup persoalan yang terjadi wilayah di akar rumput agar tak gagap dalam mengambil serta mewacanakan suatu keputusan. Semangat dalam mendirikan MMI oleh pemerintah seolah mengingatkan kita pada upaya membakukan Hari Musik Nasional beberapa waktu lalu yang tak jelas ujud serta tujuannya. Dibutuhkan dialog dalam menampung pemikiran serta saran dan kritik agar MMI tak semata menyelamatkan hidup Lokananta, tetapi juga musik Indonesia seutuhnya. Semoga saja Lokananta tak sekadar digunakan sebagai ajang proyek yang akan menghamburkan banyak anggaran
2 komentar:
Lagu lawas tetap eksis di dunia kita...ada proyek pasti akan bergandengan tangan dengan korupsi..semoga sj SDM sekarang akan lebih baik dari tahun lalu....
:)
Posting Komentar