Guru Berlagu (dimuat di Jawa Pos, 27 November 2013)



Guru Berlagu



Hari guru di bulan ini (25 November) senantiasa diiringi dengan dendang Hymne Guru yang mengisahkan puja-puji guru. Dalam nyanyian itu, guru menjadi sosok terpuji, embun penyejuk dalam kehausan, pelita yang menerangi kegelapan. Namun ada satu kalimat lagu yang kemudian menjadi perdebatan. Teks musikal yang menarasikan guru sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” sudah tak lagi dianggap relevan dengan kondisi zaman di abad XXI kini. Guru telah bertabur pamrih dan jasa. Guru menapaki kehidupan yang layak, tak lagi bisa disebut miskin apalagi kekurangan. Ribuan orang berebut menjadi guru. Mengajar adalah profesi yang membanggakan. Profesi idaman dan dambaan. Teks musikal “tanpa tanda jasa” itupun beralih “pembangun insan cendekia”. Lagu guru telah berganti baju. Pertanyaannya kemudian, pentingkah perubahan teks musikal itu dilakukan? Bukankah musik tak semata berisi tentang nada, namun juga penggerak sejarah Indonesia?

Ziarah Nada
Musik telah turut menggerakkan roda sejarah Indonesia. Banyak momentum dan peristiwa bersejarah dikisahkan lewat lagu. Musik juga menjadi pahlawan yang menghantarkan manusia masa kini untuk kembali menapaki jejak perjuangan bangsa atas peristiwa besar yang pernah terjadi. Musik menyelinap di balik selebrasi peringatan hari-hari besar. Menjadi lagu wajib yang diajarkan di setiap bangku sekolahan. Dengan demikian, menyanyikan musik tak semata menziarahi nada, namun juga sebuah ritus untuk kembali menelisik tentang siapa dan dari mana kita berasal. Para komposer musik adalah sosok yang kadang terlupakan. Indonesia negeri yang kaya musik namun miskin mengukuhkan pencipta sebagai pahlawan. Kita senantiasa mengunakan musik, namun menihilkan jasa para pencipta. Sartono misalnya, pencipta lagu Hymne Guru, hingga masa purna tugasnya sebagai guru tahun 2002 lalu, masih menyandang guru honorer. Tak pernah mendapatkan gaji pensiun. Semasa mengajar sebagai guru musik ia menerima gaji Rp. 60.000 perbulan. Hal yang kontradiktif, di saat para guru lainnya sedang menikmati pesta kejayaan. Sang guru berlagu justru terabaikan.
Di hymne itu, Sartono begitu mafhum mendendangkan narasi guru di zamannya. Teks musikalnya sederhana, namun jelas, lugas dan bernas. Ia melukiskan sosok guru dari kacamata seorang guru. Hasilnya sesuai realitas, tak hiperbolis, apalagi mengada-ada. Indonesia adalah negeri yang membutuhkan nyanyian untuk mengenang dan berkisah. Hari guru kemudian bukan sekadar tanggal upacara. Namun juga hari untuk bernyanyi Hymne Guru. Lagu itu kembali menggema di antero negeri di bulan ini. Mengajak para murid melihat guru dalam balutan nada dan harmoni. Kisah guru dalam lagu juga pernah dinyanyikan oleh Iwan falsh lewat Oemar Bakrie (1981). Iwan justru lebih gamblang dan berani melukiskan Oemar Bakri sebagai seorang guru yang telah mengabdi selama 40 tahun. Banyak menjadikan muridnya profesor dan menteri. Namun sayang, gajinya seperti dikebiri. Iwan dan lagunya adalah satir dari masyarakat akar rumput -yang tak lain adalah guru-, pada pemerintah kala itu. Ia menwakili ribuan guru dalam menyuarakan ketertindasan hidup. Lagu Iwan Fals masih dinyanyikan merdu hingga kini. Walaupun dalam realitasnya, banyak guru telah menemukan ruang kemuliaan.
Lagu-lagu itu laksana monumen yang mengingatkan kita tentang sejarah dunia “per-guru-an” di Indonesia. Karenanya, dengan merubah teks lagu, bukankah akan merubah fakta sejarah yang pernah ada? Tak ada lagi “pahlawan tanpa tanda jasa”. Anak-anak masa kini mungkin tak lagi mengetahui bagaimana sejarah nasib guru di Indonesia, yang disemai dari peluh dan sulitnya perjuangan hidup. Lagu tentang guru dapat dengan mudah dirubah dan diganti. Kita lupa bahwa dalam lirik dan nada ada fakta sejarah yang tak bisa diingkari. Dalam lagu ada doa dan air mata. Hymne Guru dan kata Pahlawan Tanpa Tanda Jasa telah menjadi senyawa yang tak bisa dipisahkan. Lagu itu tercipta di tahun 1980. Memotret guru sesuai realitas di zamannya. Kini lagu itu telah berusia 32 tahun. Belum ada lagu sepadan yang menandinginya dalam melukiskan sosok guru. Lagu Hymne Guru justru dianggap telah membasi alias ketinggalan zaman. Tak mampu lagi memotret nasib guru sesuai dengan kenyataan di masa kini. Manusia Indonesia justru enggan untuk mencipta dan miskin kreativitas bermusik. Akibatnya, tak ada jalan lain, lebih baik merubah –jika tak boleh dibilang merusak- dari pada berkompetisi mencipta lagu baru.

Ironi
Karsono lewat tulisannya Hymne Guru: Kontradiksi Teks dan Konteks (2012) mengamati bagaimana perubahan sosial yang terjadi dengan nasib hidup guru dari zaman ke zaman. Pada akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa perubahan teks musikal dalam Hymne Guru menjadi penting untuk dilakukan. Institusi yang berperan besar dalam perubahan teks lagu tersebut adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNS Surakarta. Bahkan, untuk mendapatkan keabsahan perubahan teks lagu, dekan FKIP UNS, Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, secara khusus meminta ijin kepada Sartono si pencipta lagu. Diterbitkanlah surat edaran dari Persatuan Guru Republik Indonesia Nomor: 447/Um/PB/XIX/2007 tentang publikasai perubahan teks Hymne Guru pada baris terakhir, dari kalimat “tanpa tanda jasa” menjadi “pembangun insan cendikea. Empat tahun berikutnya, dalam acara penganugerahaan FKIP Awards pada 9 September 2011, Sartono untuk pertama kalinya ikut menyanyikan teks lagu versi perubahan tersebut.
Tidak ada yang salah memang. Namun ada kisah yang hilang dalam lantunan lagu versi baru itu. Dan kisah itu adalah bab terpenting dalam pembabakan sejarah pendidikan Indonesia. Tak sekadar susunan kata bernada, namun juga narasi pengorbanan, pengalaman dan perjuangan. Kalimat “tanpa tanda jasa” menunjukkan pengabdian guru yang suci. Tak menghamba pada materi. Tulus dalam menyemai insan cerdas berintelektual. Kata itu justru menjadi nyanyian yang menyadarkan guru di masa kini. Napak tilas, menjelaskan siapa dan dari mana kita berasal. Lagu Hymne Guru diperdengarkan ke publik sebagai rujukan dalam mengenang peristiwa bersejarah. Dengan hilangnya teks kalimat lagu tersebut berarti hilang pula jejak historis-kulturalnya. Kita patut bersedih karena gubahan lagu itu berlangsung sepihak. Tanpa disertai dengan diskusi dan perjalanan panjang dalam konteks kebudayaan. Tak lagi melihat fakta sejarah, semata mengganti tanpa menelisik arti.
Indonesia telah berubah, nasib guru telah terentas dari kisah pahit di masa Sartono dan Iwan Fals. Sekolah-sekolah musik tumbuh subur. Seniman dan komposer menyesaki ruang layar kaca kita. Tapi belum terbesit untuk berkompetisi melahirkan lagu yang setara dengan karya Sartono dan Iwan. Gurupun menjadi miskin lagu. Penghormatan padanya tak cukup dengan mencium tangan dan berkata santun. Menghormatinya justru abadi dengan lantunan nada yang mengandung doa. Lagu adalah ungkapan jiwa. Kita masih mempertahankan Hymne Guru namun malu untuk menyanyikan teks aslinya. Gubahan teks baru semata hanya memanjakan beberapa guru yang kini nasibnya telah mulia. Sementara di pelosok sana, banyak guru yang serba kekurangan, mengabdi puluhan tahun tanpa pamrih, menjalani hidup dengan penuh ambisi untuk melihat murid-muridnya menjadi pemimpin yang baik di negeri ini. Merekalah yang masih pantas membutuhkan Hymne dengan menyebut dirinya sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta


Persoalan Kantung Budaya (dimuat di Joglosemar 21 November 2013)

Persoalan Kantung Budaya



Dalam beberapa waktu terakhir, ramai diperbincangkan di media sosial terutama oleh para seniman dan pemerhati kebudayaan. Mereka pada dasarnya menyayangkan sikap kantung atau lembaga kebudayaan semacam Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta (TBS) yang mengomersialisasikan fasilitas yang dimiliki. Komersialisasi itu berujud penyewaan pendopo untuk acara-acara hajatan semacam pernikahan, kithanan, syukuran dan pesta sejenis lain yang berlangsung dalam waktu cukup intens. Yang agak mengejutkan, kala prosesi pernikahan sedang berlangsung di pendopo TBS, di sebelahnya yakni gedung pameran seni rupa sedang berlangsung pembukaan pameran. Saling silang kegaduhan suarapun tak terelakkan. Hasilnya bisa ditebak, suasana pameran menjadi kacau, tidak lagi khusyuk. Para undangan yang datang kadang salah masuk “kamar”, niatnya ke pameran namun masuk ke hajatan, atau sebaliknya. Pameran tiba-tiba disaksikan oleh banyak pengunjung yang tidak lain adalah tamu dari hajatan pernikahan. Mereka sekadar melihat-lihat acuh, cuek dan sambil lalu. Fenomena semacam itu tak hanya terjadi di Surakarta, namun dihampir semua lembaga kebudayaan di Indonesia mengalami nasib serupa.

Sapi Perah
Terkait dengan persoalan di atas, Halim HD beberapa waktu lalu melontarkan kritik lewat tulisan “Jateng dan Persoalan Kebudayaan” yang dimuat Suara Merdeka (11/8/2013). Halim mencoba membandingkan kala TBS dipimpin oleh sosok yang “qatam” dengan seluk beluk kebudayaan, Murtijono, dengan pimpinan yang abal-abal. Murtijono, menurut Halim mampu membawa perubahan besar bagi TBS. Ia menjadi sosok yang dikagumi karena ketegasan dan pemikirannya. Di tangan Murti, TBS menjadi kantung kebudayaan yang disegani. Banyak forum-forum pertunjukan bermutu digelar. Seniman merasa terayomi. TBS menjadi “rumah” bagi para budayawan dan seniman dalam laku olah kreatif. Murti tidak mata duitan apalagi mengejar untung. Tak jarang ia harus merugi alias tombok kala menyelenggarakan acara seni. Berulangkali namanya muncul di media massa sebagai sosok pemimpin kantung kebudayaan anutan. Halim bernostalgia dengan mengenang kembali lika-liku kesuksesan Murti memimpin TBS.
Setelahnya, pimpinan kantung kebudayaan plat merah itu dihuni oleh orang-orang asing yang penunjukannya kadang tidak didasarkan pada kualitas, namun jenjang kepangkatan kepegawaian yang memenuhi syarat. Tak hanya TBS namun kantung kebudayaan lain di Indonesia juga serupa. Banyak figur-figur anyar dengan basis keilmuan “non-kebudayaan” menjadi pemimpin. Akibatnya, pelbagai kebijakan baru diambil secara sepihak. Para seniman dan budayawan tak lagi nyaman berproses di institusi itu, tak merasa dilibatkan dalam program, ada jarak antara keduanya. Forum-forum kesenian dibuat ala kadarnya, yang penting memenuhi kriteria laporan ke pusat. Kantung-kantung kebudayaan kemudian menjadi “aquarium seni”, tempat memajang kesenian untuk ditonton dan dinikmati tanpa ada wacana kritis yang dapat dipetik setelahnya. Terlebih kantung kebudayaan semacam Taman Budaya telah menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Dinas Pariwisata. Orientasi kepariwisataan adalah bisnis berupa hitung untung rugi. Otomatis, kantung kebudayaan kemudian menjadi sapi perah yang diharuskan mampu membawa keuntungan melimpah. Dengan kata lain, tekanan itu membuat kepala kantung kebudayaan mengubah institusinya sebagai pabrik penarik modal sebanyak-banyaknya (Haryatmoko, 2009). Kebudayaan, terutama kesenian tak lebih dari sekadar barang dagangan.
Untuk tampil di kantung tersebut, kesenian-kesenian harus dipoles menjadi semenarik mungkin agar menaikkan pasaran harga jual. Karenanya, kesenian-kesenian yang tak lagi mampu bersolek mengalami kesulitan untuk hadir di panggung institusi kapital itu. Kalaupun mampu menunjukkan ujudnya secara terbuka, cacian dan kritikanlah yang didapat. Tentu kita masih ingat kala Gubernur Jawa Tengah kala itu, Bibit Waluyo, dengan lantangnya menyebut Jaran Kepang sebagai kesenian paling jelek sedunia. Jika dilihat lebih dalam, pangkal persoalannya terjadi hanya karena kostum yang dipakai terkesan ndeso alias memalukan (isin-isini). Pola pikir kapitalis mengharuskan pejabat melihat kebudayaan, kesenian, dengan pandangan baru yang konon harus lebih glamour, gemerlap dan modern.

Apes
Di sisi lain, kantung-kantung kebudayaan sebagai tempat persinggahan kesenian dianggap tak memberi keuntungan melimpah jika dibanding institusi plat merah lainnya. Bahkan muncul pameo, bekerja dan menjadi pimpinan di suatu kantung kebudayaan seolah membajak ladang gersang yang tak memberi keuntungan, alias nasib lagi apes! Halim HD bahkan berujar bahwa lembaga kebudayaan hanya menjadi “tempat penampungan” bagi pegawai tua yang mendekati masa pensiun. Guna mencukupi kebutuhan hidup, lembaga-lembaga kebudayaan itu mengomersialisasikan fasilitas yang dimilikinya. Walaupun kadang tidak jelas jluntrungan hasil dari komersialisasi itu, untuk apa dan bagaimana prosedurnya.
Akibatnya, demi memburu keuntungan melimpah, banyak forum kesenian yang dikorbankan. Rutinitas berkesenian dikalahkan oleh ambisi bisnis. Mayarakat menjadi bingung dengan posisi kantung kebudayaan. Antara media interaksi publik, dengan wilayah privasi yang dapat dibeli. Kasus di TBS setidaknya menyadarkan kita bagaimana institusi kebudayaan masih rapuh dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Sebagai lembaga negeri, harusnya pembiayaan dan operasional kerjanya telah terukur dan ditanggung secara penuh oleh negara. Dengan demikian, komersialisasi yang dilakukan patut untuk dicurigai sebagai pemanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan segelintir pihak. Hal itu wajar karena publik tidak pernah menerima pertanggungjawaban komprehensif alokasi dana yang didapatkan dari hasil “jualan” tersebut.
Seniman dan budayawan nampak tak berdaya ketika menghadapi tembok birokratif yang sarat dengan pelbagai kepentingan. Pada akhirnya, kita dapat membaca keresahan mereka lewat media sosial yang dimiliki. Pelbagai diskusi dan kritik bergulir, namun mungkin tak pernah terbaca dan terdengar oleh pihak pemilik kebijakan. Hasilnya, kita dapat melihat bagaimana kantung-kantung kebudayaan belum melahirkan sumbangan prestisius bagi perkembangan peradaban di masa kini dan yang akan datang. Bisa jadi, manajemen dan pengelolaan yang amburadul menyebabkan publik tak lagi menaruh kepercayaan pada poros kerja yang dimilikinya. Kantung kebudayaan bukan lagi rumah kreatif yang mampu membuncahkan karya-karya monumental. Bukanpula medan iteraksi sosial, tempat di mana masyarakat saling bertegur sapa, bercengkrama dengan seniman, dan tempat membangun kreativitas. Namun lapak untuk berdagang dalam menawarkan barang dalam kisaran harga.
Kantung kebudayaan sudah saatnya berbenah. Persoalan komersialisasi –tempat- sebenarnya bukan isu baru. Masalah yang sama bahkan telah terjadi di institusi pendidikan seni semacam Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Pendopo kampus sering kali digunakan untuk kepentingan di luar proses misi pendidikan dan kesenian. Kegiatan belajar mengajar mahasiswa kadang terkalahkan. Pimpinan baru (rektor) di lembaga pendidikan seni itu diharapkan mampu membenahi sistem dan mengembalikan kodrat kampus sebagaimana mestinya. Pada konteks inilah semua harus menyadari tugas pokok dan fungsinya (tupoksi). Sebenarnya, pemanfaatan fasilitas bisa dilakukan dengan bijak, asalkan jelas, terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Lebih penting lagi, tidak mengorbankan visi dan misi utama dari masing-masing lembaga. Kantung kebudayaan adalah wilayah dan ruang publik. Karenanya, kontrol dari segala lapisan terutama masyarakat menjadi penting untuk dihadirkan.  
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta 

Topeng Monyet dan Seni Pertunjukan Indonesia (dimuat di Solopos 18 November 2013)

Topeng Monyet dan Seni Pertunjukan Indonesia




Ramai diperbincangkan di media massa tentang fenomena Jakarta bersih dari topeng monyet. Jakarta, kota metropolis itu sedang bersolek menyambut tahun 2014. Topeng monyet tak lagi dikukuhkan sebagai tontonan, namun dianggap penyiksaan terhadap binatang. Monyet dituntut untuk tampil lucu, berlenggak-lenggok layaknya manusia dengan bersepeda mini, naik becak, memakai topeng reog dan membawa gerobak. Membuat orang yang menonton tertawa terpingkal-pingkal. Topeng monyet menjadi hiburan kaki lima, dinikmati oleh anak-anak dan masyarakat akar rumput. Siapa sangka, keberadaannya sebagai sebuah seni pertunjukan di nusantara telah berusia senja. Jejak perjalanan topeng monyet telah menyertai lika-liku kebudayaan Indonesia. Memberi warna dan sumbangan besar dalam membentuk jati diri bangsa.

Jejak Perjalanan
“Sarimin pergi ke pasar”, kata-kata itu yang membekas dalam memori dan imajinasi kita kala mengisahkan topeng monyet. Hewan itu mencoba untuk “dimanusiakan”, dinamakan layaknya orang Jawa, Sarimin. Tontonan monyet diiringi dengan tetabuhan musik perkusif. Musik yang dimainkan berupa kendang dan alat melodi semacam saron mini dari Jawa (tak jelas berlaras slendro atau pelog). Satu tangan si pawang memainkan alat musik, sementara tangan yang lain memegang rantai untuk menarik dan mengontrol tindak-tanduk si monyet. Arena pertunjukan adalah sejauh rantai dibentangkan. Suara musik yang gaduh itu menarik perhatian anak-anak untuk mendekat. Tidak ada patokan harga yang harus dikeluarkan untuk menghadirkan tontonan topeng monyet. Penonton memberikan uang ala kadarnya. Pelaku pertunjukan ini berjalan keliling kompleks permukiman padat penduduk, dari satu rumah ke rumah lain.
Jejak perjalanan topeng monyet di Indonesia dapat kita telusuri lewat tulisan Matthew Isaac Cohen berjudul Multiculturalism and Performance in Colonial Cirebon (2002), pertunjukan yang menyajikan monyet merupakan miniatur dari sirkus yang berkembang di Eropa. Di Jawa biasanya disebut sebagai Ledhek Kethek. Keberadaanya mulai semarak pada akhir tahun 1889. Di awal kemunculannya, monyet ditemani oleh seekor anjing. Keduanya menunjukkan atraksi lucu. Anjing diperlakukan layaknya kuda dan sang monyet adalah koboinya. Lambat laun, anjing mulai tidak dipergunakan. Monyet tampil secara mandiri karena dianggap lebih ringkas dan hemat. Pertunjukan topeng monyet pernah menjadi tontonan unggulan di Jawa. Tingkah-polahnya senantiasa mengundang decak kagum, anak-anak dan masyarakat berbondong-bondong menyaksikan. Pengusaha topeng monyetpun meraih untung melimpah. Kehadirannya selalu dipuja dan dinanti-nanti.
Maklum saja, kala itu topeng monyet menjadi satu-satunya pertunjukan “sirkus” ala Indonesia. Sementara di negara lain (Eropa), kehadiran pelpagai hewan seperti gajah, macan, singa, kuda, kuda laut dan lumba-lumba telah terlebih dahulu menjadi atraksi hiburan. Semasa penjajahan Belanda, topeng monyet menemani laku hidup masyarakat kolonial yang berumah di Indonesia. Hal ini dapat ditelisik lewat foto-foto koleksi Tropenmuseum Amsterdam, Belanda. Foto yang berangka tahun 1900-1920 itu memperlihatkan seorang pawang dengan dua monyetnya sedang menghibur anak-anak keturunan Belanda, berambut pirang dan berwajah bule. Topeng monyet menjadi “oase” dalam melampiaskan kerinduan terhadap pertunjukan sirkus di kampung halaman (Belanda). Charles Breijer, seorang juru foto asal Belanda, banyak mengisahkan kehidupan masyarakat Indonesia termasuk tontonan topeng monyet antara tahun 1947 sampai 1953. Tak jauh berbeda dengan si monyet, sang pawang berpenampilan lusuh, kotor dan tidak rapi. Topeng monyet menjelma sebagai kesenian jalanan, pada akhirnya menjadi tontonan masyarakat kelas bawah.
Kehadirannya semakin tersisihkan. Kalah oleh tontonan yang dirasa lebih menghibur, menyerbu lewat pelbagai media elektronik. Masyarakat semakin mengacuhkan topeng monyet. Kampung-kampung tak lagi menjadi “lahan” ideal dalam mengeruk pundi-pundi keuntungan bisnis pantomim si monyet. Sang pawang tak kekurangan akal, ia menjadikan persimpangan jalan di bawah ‘lampu merah’ sebagai ruang pementasan si monyet. Pawangpun terdiri dari dua orang atau lebih. Tugas pawang yang lain menadahkan tangan, meminta uang seiklasnya pada pengguna jalan. Banyak masyarakat yang merasa iba. Bukan pada si pawang ataupun si monyet. Namun pada kebangkrutan eksistensi “arena panggung pertunjukan” si topeng monyet.
Monyetpun menjadi tak terurus. Banyak mengandung virus dan penyakit berbahaya bagi manusia. Dialy Mail lewat ulasannya berjudul Misery of Indonesia's monkeys: Chained macaques forced to dress up in doll costumes and ride scooters for tourists (2012) membawa berita yang tak kalah garang, penyiksaan terhadap monyet diberlangsungkan selama menjalani masa pelatihan sebagai topeng monyet. Banyak monyet yang mati karena tak diberi makan. Tanggannya diikat dan dicambuk. Pemberitaan tentang hal tersebut tiada habis di suluh lewat media massa. Anak-anak dan masyarakat semakin menjauhi pentas topeng monyet. Ia menjadi bentuk pertunjukan yang paling tak dikehendaki kehadirannya di masa kini. Di balik kelucuan yang mengundang tawa, ada tragedi dan air mata.

Sumber
Bagaimanapun juga, topeng monyet adalah bagian dari kebudayaan terutama seni pertunjukan masyarakat Indonesia. Yang selama ini justru setia menemani perjalanan bangsa ini di pelbagai peralihan zaman. Membicarakan topeng monyet berarti menarasikan tentang Indonesia. Sama layaknya dengan membicarakan kesenian tradisi komedi stamboel, semacam ludruk atau ketoprak. Manusia Indonesia dan (topeng) monyet telah menjadi satu senyawa yang tak dapat dipisahkan. Monyet menemukan tafsir kebebasannya lewat berbagai epos seni pertunjukan tradisi di nusantara. Monyet memberi inspirasi bagi terciptanya banyak karya seni yang melegenda. Monyet dianggap sebagai hewan sakral dan suci, lahirlah kemudian cerita Luthung Kasarung di Jawa Barat atau Kethek Ogleng di Jawa. Semua mengisahkan kegagahan dan kepandaian si monyet melebihi manusia.
Garin Nugroho lewat pertunjukan Opera Jawa Ledhek Kethek (2013) dengan lugas mengisahkan monyet sebagai bapak dari manusia. Monyet disiksa, diikat, dicaci dan dihina, namun dengan segera ia mampu bertiwikrama menjadi Hanoman yang sakti itu. Hanoman bukanlah sembarang monyet. Tinggi tegap berjalan dan berfikir cerdas layaknya manusia, memiliki kemampuan dan ilmu kanuragan layaknya para dewa. Darinya adalah simbol dari bersatunya hewan –alam-, manusia dan tuhan –dewa-. Lewat monyet, epos Ramayana berusaha mengisahkan pesan kesetaraan dan keselarasan hidup, manusia-alam-tuhan. Monyet kemudian menjadi hewan terpilih. Kehadirannya dilukiskan dengan indah oleh Darwin lewat teori evolusi yang dicetuskannya. Tidak penting apakah teori itu benar atau salah. Justru ada pesan lain yang seolah mencoba disampaikan, bahwa sebenarnya monyet tak jauh beda dengan kita. Kita adalah monyet dan monyet adalah kita. Atau bahkan, monyet lebih baik dari pada kita, manusia.
Topeng monyet tak semata pertunjukan yang menyemai tawa. Darinya juga banyak berkisah tentang keseimbangan hidup, kesetaraan, kemanusiaan, perjuangan dan keadilan. Menghilangkan topeng monyet tak cukup kiranya jika hanya dilihat dalam domain kesehatan dan kekerasan. Faktor kebudayaan juga menjadi penting untuk dilibatkan. Topeng monyet mungkin telah tersisih dalam struktur penekanan kehidupan masa kini. Namun ia akan tetap menjadi bagian penting peradaban yang mampu menjelaskan dengan gamblang siapa dan dari mana sebenarnya kita berasal, Indonesia.
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta 

Ritus Mangan (dimuat di Suara Merdeka 10 November 2013)


Ritus Mangan





Idul Adha telah usai digelar. Banyak hal yang dapat kita petik setelahnya. Lewat perayaan itu kita bisa melihat pelbagai kisah, tentang perjuangan untuk menikmati daging kurban, kebahagiaan hingga tak jarang berujung pada kematian. Masyarakat rela berpanas-panas, berdesakan hanya untuk sebungkus lauk yang selama ini tergolong langka dan mahal bagi mereka. Daging yang sedikit itu kadang harus dibayar dengan derita. Idul Adha tak semata berisi tentang panggilan agama untuk berbagi, namun juga sesak dengan ambisi politik. Sapi dan kambing kemudian bernomor partai, berlogo poltikus dan berpamer foto birokrat. Masyarakat tak menggubris itu, bagi mereka “makan enak” adalah tujuannya. Hal tersebut seolah mengingatkan kita tentang pelbagai ritus manganan di Jawa. Ritual yang tak hanya menumpahkan ambisi untuk makan sepuasnya, namun juga tentang solidaritas, kebersamaan, dan interaksi sosial.



Makan dan Tragedi

Makan memang menjadi kebutuhan utama bagi manusia. Makan untuk menyambung hidup, meneruskan peradaban. Makan adalah hal primer naluriah yang dirasakan setiap makhluk. Namun, peristiwa makan di masa kini juga mengguratkan strata sosial, prestise dan harga diri. Siapa kita ditentukan oleh apa yang kita makan. Masyarakat akar rumput dikategorikan miskin hanya karena setiap hari memakan ubi dan nasi aking. Sementara orang kota melihatnya dengan penuh miris, iba dan mengelus dada. Makan menyuguhkan kontestasi. Kedai-kedai jajanan ala Barat tumbuh subur bertarung dengan warung-warung kaki lima di pinggir jalan. Manusia Indonesia menganggap dirinya beradab karena mendandani mulutnya dengan pelbagai makanan mahal, bercita rasa yang konon “medern”. Menyombongkan diri, bangga jika mampu masuk mal dan warung berpendingin ruangan. Foto-foto makanan disebar lewat jejaring sosial. Mencoba mengisahkan tentang siapa aku yang sebenarnya. Narasi itu pernah didendangkan oleh Ari Wibowo dengan lagunya yang berjudul Singkong dan Keju atau lebih dikenal dengan Anak Singkong. Singkong adalah ekspresi orang miskin sedangkan keju adalah representasi dari budaya kota yang maju.

Sementara iklan-iklan di televisi hilir mudik menyuguhkan menu makanan asing namun menggoda. Daging adalah menu utama yang banyak ditawarkan. Iklan-iklan itu secara masif mempengaruhi konstruksi kebudayaan makan di abad XXI. Media mampu mempermainkan naluri, rasa, nafsu dan imajinasi. Orang Indonesia awalnya muntah memakan pizza, hot dog dan burger, namun kemudian menjadi menu wajib keseharian. Mulut kita dipaksa untuk mengikuti selera universum media, dari benci menjadi suka. Gedung-gedung tinggi dibuat hanya untuk kenyamanan ritus makan. Manusia Indonesia mendandani tubuhnya untuk makan dan memasuki gedung itu. Tampil secantik dan setampan mungkin, membawa uang sebanyak-banyaknya. Makan membawa konsekuensi pada penampilan dan materi. Di meja makan itu pelbagai hal diobrolkan, dari gosip kacangan hingga deal-deal politik. Makan kemudian juga menjadi strategi dalam “mengambil hati”.

Perubahan dalam ritus makan membawa dampak besar bagi kebudayaan. Masyarakat rela untuk menabung demi bisa makan enak di gedung menjulang. Singkong, aking, gandum, gaplek mulai tertepikan. Dianggap sebagai makanan usang yang merendahkan martabat, memalukan. Terlebih kala Orde Baru mengukuhkan beras atau nasi sebagai santapan utama orang Indonesia. Indonesia pernah surplus beras alias swasembada pangan. Nasi menghapus kekayaan tradisi makan di nusantara. Nasi meniadakan keragaman identitas Indonesia. Nasi menjelma barang penting yang kehadirannya wajib ada setiap waktu di atas meja makan. Di kemudian hari kala sawah semakin hilang dan sulit dijumpai, nasipun semakin sulit terbeli. Beras menjadi barang langka yang mahal. Indonesia menjadi negara pengimpor beras dalam skala besar. Manusia Indonesia manapaki sejarah penderitaan baru hanya karena “makanan”. Sementara, karena harga diri, masyarakat malu untuk kembali menengok singkong, tela, gaplek, gandum dan nasi aking.

Idul Adha menjadi momentum untuk berpesta. Daging menjadi lauk yang diimpikan. Tak semua orang mampu membeli. Mendapatkannya secara gratis adalah anugerah besar. Ribuan orang datang ke masjid dan mushola bahkan beberapa hari sebelumnya, berdesakan dan berpanas di bawah terik matahari. Pingsan sudah menjadi pemandangan biasa. Bahkan kematian selalu hadir di perayaan itu setiap tahunnya. Seperti yang diberitakan Kompas (18 Oktober 2013), satu orang tewas akibat berdesakan saat mengantre daging kurban di Masjid Istiqlal. Kita tidak penah belajar dari pengalaman yang lalu. Manajemen dalam mendapatkan makan tidak pernah dikelola dengan baik, berebut dan saling sikut. Asalkan perut kenyang, hati senang. Makan akhirnya membawa tragedi kematian.



Mangan

Tradisi di nusantara mengajarkan arti penting tentang bagaimana menghargai makan sebagai sebuah peristiwa budaya. Di Jawa Tengah –Blora- terdapat ritus manganan. Sebuah ritual sedekah bumi yang dilaksanakan setelah panen raya usai. Tak jauh beda dengan Idul Adha, ritus manganan dilangsungkan sebagai ungkapan wujud syukur atas rejeki yang selama ini didapat. Uniknya, dalam perayaan ritus manganan, tak diperkenankan untuk saling berebut. Semua pasti mendapat jatah. Keiklasan dalam mendapatkan makan adalah satu pelajaran penting. Masyarakat dengan rela hati bertukar makanan, memberi dan menerima. Puncak manganan sendiri adalah makan bersama, tertawa dan bahagia. Ritus yang diskralkan, mempererat tali silaturahmi. Ajang interaksi sosial, bertegur sapa pada sesama. Berpesta makan dari penatnya rutinitas bekerja sehai-hari. Makanpun menjadi aktifitas untuk melepaskan diri dari beban-beban sosial. Tak ada pertaruhan harga diri, prestise dan ajang pamer. Semua makan bersama, duduk setara. Ritus manganan mengajarkan pada kita tentang makna makan yang sebenarnya.

Idul Adha melegalkan pesta makan atas nama agama. Emile Durkheim (1915) melihat agama sebagai sarana dalam memperkuat solidaritas. Hal itu dapat dilihat dari tujuan setiap kegiatan keagamaan yang ada. Malinowski (1939) memandang adanya hubungan agama dan kedudukannya dalam peristiwa ritual. Mereka yang terlibat dalam ritual keagamaan dapat melihat dan merasakan bahwa agama merupakan katalisator yang meningkatkan hubungan spiritual dengan tuhan. Pada konteks inilah, agama menjadi “alat” yang mengintegrasikan perbedaan dan berfungsi sebagai wahana solidaritas. Pemahan itu yang selama ini tidak sepenuhnya dimengerti. Perayaan makan di Idul Adha semata hanya dimaknai sebagai kompetisi perebutan makan. Solidaritas, kebersamaan layaknya dalam ritus manganan tidak mampu diterwacanakan dengan gamblang. Padahal jika kembali kita memaknai, makan tak lebih dari peristiwa sesaat yang akan habis tak tersisa sesudahnya. Ia hanya berusaha memanjakan mulut, namun belum tentu memanjakan tubuh dan kesehatan juga.

Dari peristiwa makan kita bisa banyak belajar tentang kehidupan, agama dan kebudayaan. Ritus tradisi serupa yang sebelumnya telah mengakar di nusantara tak semata terhenti sebagai sebuah peristiwa. Apalagi didengungkan sebagai laku sirik, menyimpang yang diharamkan. Tradisi manganan itu justru memberi tauladan berharga bagi perayaan Idul Adha di Indonesia. Ironisnya, Hari Kurban itu kini semakin bersolek, menjadi ajang dalam membaptis pelbagai kepentingan di mana masyarakat menjadi tikar dan alas. Kita bisa saja berharap perayaan dan pesta makan pada Idul Adha di tahun mendatang menjadi lebih baik. Namun jika konstruksi kebudayaan kita masih menganggap makan sebagai ajang kontestasi, harga diri, pamer dan prestise maka jangan harap kemapanan itu akan datang. Ritus manganan adalah satir berharga bagi Idul Adha di hari ini dan juga esok.


Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Banyuwangi, Obor dalam Gelap Tradisi (dimuat di Jawapos Radar Banyuwangi 8 November 2013)



Banyuwangi, Obor dalam Gelap Tradisi




Membicarakan kebudayaan Banyuwangi seolah tiada tuntas. Banyuwangi menjadi oase yang menyejukkan dalam menelisik jejak-jejak kuatnya persentuhan tradisi dengan ritus sosial masyarakatnya. Di saat daerah-daerah lain di Jawa Timur sedang bersolek meninggalkan habitus akar tradisinya, Banyuwangi justru menjadikan tradisi sebagai sumber dalam menentukan warna jatidiri. Setidaknya itulah yang kami lihat kala mengunjungi Banyuwangi akhir Oktober lalu dalam Program Praktik Kerja Lapangan (PKL) oleh 31 mahasiswa Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Namun Sayang, dalam percaturan kesenian di nusantara dan Jawa Timur khususnya, nama Banyuwangi kadang hanya menjadi nukilan kecil, tertimbun dalam ingar-bingar kuasa Surabaya sebagai jantung ibu kota. Tak mengherankan kemudian jika institusi pendidikan seni semacam SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia –sekarang SMKN 12-) dan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) tak berada di pusat kesenian semacam Banyuwangi, namun di Surabaya yang justru rapuh akar kulturalnya.

Menggapai Mimpi
Banyuwangi adalah daerah pulau Jawa terjauh yang pernah disinggahi PKL mahasiswa Etnomusikologi ISI Surakarta. Perjalanan 12 jam itu terbayar lunas dengan eksotisme kesenian yang menggoda dan tak pernah luntur. Waktu empat hari terasa singkat saat menikmati Gandrung Mudaiyah, Jaran Kincak Paju Gandrung, Seblang Bakungan, Kendang Kempul, Prosesi Kuntulan serta Barong Kemiren. Kesenian-kesenian itu tak hanya mampu dimaknai sebagai sebuah peristiwa dalam perayaan pesta. Lebih dari itu, kesenian yang ada merupakan sarana komunikasi dan pertemuan kelas sosial. Tempat di mana masyarakat bertegur sapa, berjumpa, bercengkrama yang selama ini hilang termakan sibuknya rutinitas kerja serta pagar yang membatasi rumah mereka. Kesenian mampu menjadi tolok ukur objektif dalam melihat dinamika kebudayaan yang berkembang di masyarakatnya. Setiap daerah di Banyuwangi memiliki agenda kesenian yang padat. Dari program plat merah pemerintah hingga selebrasi masyarakat akar rumput, semacam pesta pernikahan, kithanan, bersih desa hingga sekadar temu para tukang Paju –gandrung-.
Jangan harap dapat mendengarkan lagu pop dengan mudah seperti Noah, Nidji, Kotak, Kerispatih, Afgan, Agnes Monica atau sejenisnya. Banyuwangi adalah “kerajaan kecil” yang memiliki citra estetika tersendiri tentang musik. Masyarakat setempat lazim menyebutnya dengan “kendang kempulan”. Permainan harmoninya berkisar di nada-nada minor. Mengisahkan pertautan yang mesra dengan akar musik tradisinya, gamelan berlaras Slendro. Artis lokal semacam Catur Arum, Reni Farida dan Dian Ratih justru sangat mendominasi. Lagu-lagu mereka diputar di pelbagai forum dan pesta. Semakin meneguhkan bahwa Masyarakat Using tak terkontaminasi ingar-bingar musik pop mainstream yang cenderung “kacangan”. Keunikan tersebut yang membuat banyak kalangan terpesona.
 Ironisnya, potret tentang Banyuwangi kadang masih luput dalam jepretan lensa pembahasan kebudayaan di Jawa Timur. Banyak festival besar digelar, namun masih terlalu didominasi oleh Surabaya sebagai pusatnya. Ibu Kota Provinsi itu seolah menjadi etalase dan gerbang utama yang menontonkan varian kebudayaan di Jawa Timur. Tak hanya institusi pendidikan, kantung-kantung kebudayaanpun bercokol di kota itu, semacam Taman Budaya Jawa Timur dan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT). Di satu sisi, Surabaya justru semakin bangkrut eksistensi tradisi. Kehilangan jati diri, tergerus dengan masuknya budaya populis yang glamour dan gemerlap. Institusi pendidikan seni dan kantung kebudayaan itu harus bertarung dengan mal, apartemen, gedung perkantoran dan diskotik. Pada akhirnya, tradisi terkalahkan. Tontonan dan festival besar hanya dinikmati oleh kumpulan tukang becak. Masyarakat tak sempat untuk sekadar melihat seni tradisi yang berpentas karena lebih nyaman untuk menziarahi bioskop dan mal. Di sisi lain, Surabaya hanya mampu menjadi tuan rumah tanpa mampu melahirkan gagasan yang memperkuat habitus akar kulturalnya. Seniman-seniman kondang didatangkan, sementara seniman lokal diabaikan. Akibatnya, hingga detik ini, perayaan festival di Surabaya dengan mengatasnamakan Jawa Timur hanya menjadi ajang selebrasi penghamburan dana.  
Institusi pendidikan seni di kota itu juga semakin kehilangan arah. Tak jelas tradisi dari daerah mana yang digunakan sebagai rujukan dalam sarana proses pembelajaran. Jurusan Karawitan misalnya, diisi dengan materi gending-gending Suroboyoan (Cokro Negoro, Samirah, Luwung, dan sebagainya) yang selama ini justru tak lagi mampu dapat didengar di kehidupan nyata, alias mati. Hasilnya, materi yang diajarkan tak lagi up-to-date, hanya klangenan untuk mengenang kejayaan tradisi di masa lampau. Sementara keberadaan Banyuwangi sebagai daerah yang masih kuat memegang teguh tradisi belum dianggap penting.
Hal inilah yang menjadi tema diskusi saya, para mahasiwa dan beberapa dosen Etnomusikologi dengan Sahuni (pengamat kebudayaan Banyuwangi, anggota komite musik DKJT, seniman, pensiunan pegawai Dinas Kebudayaan, sekarang lurah Singojuruh). Kami punya mimpi bahwa ke depan Banyuwangi dapat berdikari dengan memiliki institusi pendidikan seni negeri (setingkat SMA dan perguruan tinggi) serta kantung kebudayaan yang ideal. Setidaknya mimpi tersebut membuncahkan satu harapan besar agar Banyuwangi mampu menjadi tuan rumah yang nyaman atas kesenian-kesenian yang dimilikinya. Bukan satu hal yang mustahil, kekayaan tradisi yang dimiliki menjadi bekal dasar dalam menjadikan Negeri Balambangan sebagai “pusat penciptaan dan kajian” kebudayaan tradisi nusantara (baik seni pertunjukan, seni rupa dan sastra). Terlebih kami dengar perhatian Bupati saat ini begitu kencang terhadap kebudayaan, kesenian dan adat Banyuwangi. Sebuah momen yang harusnya tak boleh dilewatkan begitu saja terutama oleh para budayawan setempat, seniman, masyarakat adat dan akademisi.



Obor
Banyuwangi mematik obor harapan bagi cahaya dan nafas kehidupan tradisi di Jawa Timur. Ia menjadi dendang pelibur lara di kala tradisi ramai-ramai berpamit untuk mati. Banyuwangi serupa dengan nyanyian malam pengantar tidur yang memberi harapan dan mimpi tentang masa depan kebudayaan yang lebih baik. Bagi masyarakat Using, tradisi adalah harga mati. Sejauh apapun zaman telah berubah, Banyuwangi adalah medan akulturatif yang paling ideal. Lihatlah biola, di tangan seniman Banyuwangi mampu menjadi instrumen tradisi baru yang khas dan tipikal. Menghancurkan universum nada-nada diatonis yang selama ini dikenal publik. Akbiatnya, ia dapat bercengkrama mesra dengan vokal penari gandrung yang aduhai itu. Menghilangkan imajinasi kita tentang Eropa sebagai pemilik instrumen berdawai tersebut. Atau lihatpula kuntulan yang mampu luruh dengan lagu-lagu Sholawat khas Timur Tengah (Khasidah). Permainan yang rampak, trengginas dan menghentak menjelaskan bagaimana semangat dan pribadi Using yang terbuka dan luwes namun tegas dengan mengais tradisi sebagai sumber.
Itulah pengalaman-pengalaman yang kami dapatkan selama bermukim di Banyuwangi walaupun sesaat. Membuncahkan pelbagai diskusi panjang oleh para mahasiswa di kelas-kelas perkuliahan hingga saat ini. Banyuwangi membawa cita-cita baru, membangkitkan semangat bahwa tradisi masih berdegub kencang. Bagaimanapun juga, keberadaannya harus senantiasa dirawat, dijaga dan dipertahankan. Dengan adanya lembaga pendidikan seni dan kantung kebudayaan, niscaya tak hanya mampu melahirkan seniman-seniman ulung, namun juga pemikir dan kiritikus kebudayaan –seni- Banyuwangi yang handal. Tentu mimpi itu bukan sekedar imajinasi. Dibutuhkan kerja keras, diskusi dan terutama kebijakan yang mendukung. Semoga.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Pengikut