Guru Berlagu
Hari guru di bulan ini (25 November) senantiasa
diiringi dengan dendang Hymne Guru
yang mengisahkan puja-puji guru. Dalam nyanyian itu, guru menjadi sosok
terpuji, embun penyejuk dalam kehausan, pelita yang menerangi kegelapan. Namun
ada satu kalimat lagu yang kemudian menjadi perdebatan. Teks musikal yang
menarasikan guru sebagai “pahlawan tanpa
tanda jasa” sudah tak lagi dianggap relevan dengan kondisi zaman di abad
XXI kini. Guru telah bertabur pamrih dan jasa. Guru menapaki kehidupan yang layak,
tak lagi bisa disebut miskin apalagi kekurangan. Ribuan orang berebut menjadi
guru. Mengajar adalah profesi yang membanggakan. Profesi idaman dan dambaan. Teks
musikal “tanpa tanda jasa” itupun beralih
“pembangun insan cendekia”. Lagu guru
telah berganti baju. Pertanyaannya kemudian, pentingkah perubahan teks musikal
itu dilakukan? Bukankah musik tak semata berisi tentang nada, namun juga
penggerak sejarah Indonesia?
Ziarah Nada
Musik telah turut menggerakkan roda
sejarah Indonesia. Banyak momentum dan peristiwa bersejarah dikisahkan lewat
lagu. Musik juga menjadi pahlawan yang menghantarkan manusia masa kini untuk
kembali menapaki jejak perjuangan bangsa atas peristiwa besar yang pernah
terjadi. Musik menyelinap di balik selebrasi peringatan hari-hari besar.
Menjadi lagu wajib yang diajarkan di setiap bangku sekolahan. Dengan demikian, menyanyikan
musik tak semata menziarahi nada, namun juga sebuah ritus untuk kembali
menelisik tentang siapa dan dari mana kita berasal. Para komposer musik adalah
sosok yang kadang terlupakan. Indonesia negeri yang kaya musik namun miskin
mengukuhkan pencipta sebagai pahlawan. Kita senantiasa mengunakan musik, namun
menihilkan jasa para pencipta. Sartono misalnya, pencipta lagu Hymne Guru, hingga masa purna tugasnya
sebagai guru tahun 2002 lalu, masih menyandang guru honorer. Tak pernah
mendapatkan gaji pensiun. Semasa mengajar sebagai guru musik ia menerima gaji
Rp. 60.000 perbulan. Hal yang kontradiktif, di saat para guru lainnya sedang
menikmati pesta kejayaan. Sang guru berlagu justru terabaikan.
Di hymne
itu, Sartono begitu mafhum mendendangkan narasi guru di zamannya. Teks
musikalnya sederhana, namun jelas, lugas dan bernas. Ia melukiskan sosok guru
dari kacamata seorang guru. Hasilnya sesuai realitas, tak hiperbolis, apalagi
mengada-ada. Indonesia adalah negeri yang membutuhkan nyanyian untuk mengenang
dan berkisah. Hari guru kemudian bukan sekadar tanggal upacara. Namun juga hari
untuk bernyanyi Hymne Guru. Lagu itu
kembali menggema di antero negeri di bulan ini. Mengajak para murid melihat
guru dalam balutan nada dan harmoni. Kisah guru dalam lagu juga pernah
dinyanyikan oleh Iwan falsh lewat Oemar
Bakrie (1981). Iwan justru lebih gamblang dan berani melukiskan Oemar Bakri
sebagai seorang guru yang telah mengabdi selama 40 tahun. Banyak menjadikan
muridnya profesor dan menteri. Namun sayang, gajinya seperti dikebiri. Iwan dan
lagunya adalah satir dari masyarakat akar rumput -yang tak lain adalah guru-,
pada pemerintah kala itu. Ia menwakili ribuan guru dalam menyuarakan
ketertindasan hidup. Lagu Iwan Fals masih dinyanyikan merdu hingga kini.
Walaupun dalam realitasnya, banyak guru telah menemukan ruang kemuliaan.
Lagu-lagu itu laksana monumen yang
mengingatkan kita tentang sejarah dunia “per-guru-an” di Indonesia. Karenanya,
dengan merubah teks lagu, bukankah akan merubah fakta sejarah yang pernah ada?
Tak ada lagi “pahlawan tanpa tanda jasa”. Anak-anak masa kini mungkin tak lagi mengetahui
bagaimana sejarah nasib guru di Indonesia, yang disemai dari peluh dan sulitnya
perjuangan hidup. Lagu tentang guru dapat dengan mudah dirubah dan diganti.
Kita lupa bahwa dalam lirik dan nada ada fakta sejarah yang tak bisa diingkari.
Dalam lagu ada doa dan air mata. Hymne
Guru dan kata Pahlawan Tanpa Tanda
Jasa telah menjadi senyawa yang tak
bisa dipisahkan. Lagu itu tercipta di tahun 1980. Memotret guru sesuai realitas
di zamannya. Kini lagu itu telah berusia 32 tahun. Belum ada lagu sepadan yang
menandinginya dalam melukiskan sosok guru. Lagu Hymne Guru justru dianggap telah membasi alias ketinggalan zaman.
Tak mampu lagi memotret nasib guru sesuai dengan kenyataan di masa kini. Manusia
Indonesia justru enggan untuk mencipta dan miskin kreativitas bermusik.
Akibatnya, tak ada jalan lain, lebih baik merubah –jika tak boleh dibilang
merusak- dari pada berkompetisi mencipta lagu baru.
Ironi
Karsono lewat tulisannya Hymne Guru: Kontradiksi Teks dan Konteks
(2012) mengamati bagaimana perubahan sosial yang terjadi dengan nasib hidup
guru dari zaman ke zaman. Pada akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa perubahan
teks musikal dalam Hymne Guru menjadi
penting untuk dilakukan. Institusi yang berperan besar dalam perubahan teks
lagu tersebut adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNS
Surakarta. Bahkan, untuk mendapatkan keabsahan perubahan teks lagu, dekan FKIP
UNS, Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, secara khusus meminta ijin kepada Sartono
si pencipta lagu. Diterbitkanlah surat edaran dari Persatuan Guru Republik Indonesia Nomor:
447/Um/PB/XIX/2007 tentang publikasai perubahan teks Hymne Guru pada baris terakhir, dari kalimat “tanpa tanda jasa” menjadi “pembangun insan cendikea”. Empat tahun berikutnya, dalam acara penganugerahaan FKIP Awards
pada 9 September 2011, Sartono untuk pertama kalinya ikut menyanyikan teks lagu
versi perubahan tersebut.
Tidak ada yang salah memang. Namun ada
kisah yang hilang dalam lantunan lagu versi baru itu. Dan kisah itu adalah bab
terpenting dalam pembabakan sejarah pendidikan Indonesia. Tak sekadar susunan kata
bernada, namun juga narasi pengorbanan, pengalaman dan perjuangan. Kalimat “tanpa tanda jasa” menunjukkan
pengabdian guru yang suci. Tak menghamba pada materi. Tulus dalam menyemai
insan cerdas berintelektual. Kata itu justru menjadi nyanyian yang menyadarkan
guru di masa kini. Napak tilas, menjelaskan siapa dan dari mana kita berasal. Lagu
Hymne Guru diperdengarkan ke publik
sebagai rujukan dalam mengenang peristiwa bersejarah. Dengan hilangnya teks
kalimat lagu tersebut berarti hilang pula jejak historis-kulturalnya. Kita
patut bersedih karena gubahan lagu itu berlangsung sepihak. Tanpa disertai
dengan diskusi dan perjalanan panjang dalam konteks kebudayaan. Tak lagi
melihat fakta sejarah, semata mengganti tanpa menelisik arti.
Indonesia telah berubah, nasib guru
telah terentas dari kisah pahit di masa Sartono dan Iwan Fals. Sekolah-sekolah
musik tumbuh subur. Seniman dan komposer menyesaki ruang layar kaca kita. Tapi
belum terbesit untuk berkompetisi melahirkan lagu yang setara dengan karya Sartono
dan Iwan. Gurupun menjadi miskin lagu. Penghormatan padanya tak cukup dengan
mencium tangan dan berkata santun. Menghormatinya justru abadi dengan lantunan nada
yang mengandung doa. Lagu adalah ungkapan jiwa. Kita masih mempertahankan Hymne Guru namun malu untuk menyanyikan
teks aslinya. Gubahan teks baru semata hanya memanjakan beberapa guru yang kini
nasibnya telah mulia. Sementara di pelosok sana, banyak guru yang serba
kekurangan, mengabdi puluhan tahun tanpa pamrih, menjalani hidup dengan penuh
ambisi untuk melihat murid-muridnya menjadi pemimpin yang baik di negeri ini.
Merekalah yang masih pantas membutuhkan Hymne
dengan menyebut dirinya sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta