Ketika Penonton Menjadi Pemusik
Judul
buku :
Apa Itu Musik? Kajian tentang
Sunyi dan Bunyi Berdasarkan 4'33"
karya John Cage
Penulis : Karina
Andjani
Penerbit : Marjin
Kiri
Cetakan : April
2014
Tebal : xii
+ 150 halaman
ISBN : 978-979-1260-30-5
Umumnya, kita mengisahkan musik dengan
bunyi atau suara. Musik adalah kumpulan dari bunyi, disusun atau dirangkai sedemikian
rupa sehingga membentuk alur melodi dan harmoni yang indah. Namun demikian,
anggapan musik sebagai sebuah komposisi bunyi kemudian harus gugur kala John
Cage mementaskan karya monumentalnya yang berjudul 4’33’’ di tahun 1952. Karya
itu juga disebut silence piece atau
kosong, berisi nada diam (tak bersuara) dari awal hingga akhir pertunjukan.
Sontak hal ini membuat penonton yang datang marah dan gerah. Bagaimana mungkin
mereka menyaksikan –mendengarkan- pertunjukan musik tanpa musik. Karya yang
berdurasi empat menit tiga puluh tiga detik itu serasa sejam, membosankan dan
tak menghibur. Setelah pertunjukan usai, media tiada habis mengulasnya. Di satu
sisi, banyak yang menganggap silence
sebagai karya aneh yang tak bermutu, bahkan dianggap bukan musik. Tapi di sisi
lain, karya itu dianggap sebagai tonggak musik avant garde (garda depan) bagi
musik kontemporer yang monumental. Membedah dan menganalisis silence tak dapat dilakukan dengan
menggunakan teori musik Barat pada umumnya, karena karya itu memang tak
berbunyi, apalagi bernada. Kesunyian dalam karya Chage membuat penonton yang
tadinya berfokus pada sisi estetis yaitu merasakan dan mendengarkan, terdorong
untuk berfokus pada sisi kognitif untuk dapat memahami gagasan atau ide di
balik karya itu. Dengan demikian, satu pertanyaan besar dapat dimunculkan, mana
yang lebih penting di dalam musik, ide atau bunyi musik itu sendiri?
Menyibak
Pada pertunjukan perdananya, di Living
Theatre, New York 29 Agustus 1952, seorang pianis unggul bernama David Tudor
didaulat menjadi musisi yang mempresentasikan 4’33’’ karya Chage. Tudor sama
sekali tak menyetuh tuts piano di hadapannya. Ekspresi yang dimunculkan dari
mimik wajahnya cenderung serius, seolah hendak memainkan karya musik besar yang
kompleks dan rigit. Tiba-tiba ia berdiri dan memberi hormat pada penonton,
pertunjukanpun telah selesai. Karina Andjani lewat buku ini berusaha menyibak
makna di balik karya Chage itu. Dalam karya musik, suara senantiasa
mengintervensi diam, bunyi mengintervensi kesunyian (hal. 31). Karya musik
melulu menghadirkan sesaknya rangkaian nada, sehingga ruang untuk diam
(setidaknya berhenti sejenak) cukup sedikit. Sejarah musik Barat menjelaskan
bahwa nada adalah aspek terpenting. Tacet
atau tanda diam dalam partitur musik semata dianggap sebagai jembatan atau
penghubung ke rangkaian nada-nada berikutnya. Walaupun diam menjadi satu
kesatuan dalam karya musik, namun jarang sekali orang menyebut diam sebagai
bagian dari karya musik.
Padahal tanpa (tanda) diam, karya musik
yang berisi bunyi itu tak akan dapat terbentuk. Artinya, diam sesungguhnya
aspek terpenting dalam musik (hal.142). Dinamika ditentukan oleh seberapa
banyaknya penggunaan tanda diam atau istirahat. Namun ketika di balik, saat
karya musik itu hanya berisi tanda diam, orang banyak menyebutnya bukan musik, kosong
dan tak berujud. Karya 4’33”
mengaburkan batasan antara yang musik dan tak musik. Saat pertunjukan berlangsung,
sebenarnya bukan tidak ada suara sama sekali. Suara-suara justru muncul dari
penonton yang bergumam, berbisik resah bahkan marah karena tak mendapatkan
bunyi musik yang diharapkan. Suara-suara yang dimunculkan dari penonton justru dianggap
sebagai satu rangkaian dalam pertunjukan musik silence. Hal ini sekaligus juga membiaskan antara kedudukan pemusik
dan penonton, dapat saling bertukar peran, bahkan terminologi di antara keduanya
dapat menjadi chaos. Penonton justru adalah pemusik itu sendiri. Karya 4’33” membuka dan menerima pelbagai
asupan suara (hal.97). Oleh karenanya, karya yang tak bersuara itu justru
menjadi karya yang penuh dengan suara.
Karya Chage sebenarnya memperlakukan
aspek visual –tontonan- sebagai rujukan utama, bukan auditif (pendengaran). Penonton
dapat saja berpendapat bahwa karya yang ditampilkan buruk atau indah. Namun
bagaimana dengan orang tunanetra? Tanpa pemberitahuan, ia mungkin tidak akan
pernah mengetahui bahwa sedang terjadi pertunjukan musik karena segalanya
terdengar sebagaimana biasanya. Otomatis, untuk mendudukkan karya 4’33” sebagai musik, Chage memperlakukan
citra visual dengan memposisikan piano sebagai instrumen utama (walau tanpa
dibunyikan). Karena ia menyadari, tak dapat mempresentasikan karya silence dengan panggung yang sepenuhnya
kosong melompong. Walaupun hasil bunyi keduanya sama, yakni tak berbunyi. Piano
secara visual sebagai tanda atau simbol yang mengukuhkan silence sebagai sebuah karya musik.
Kontemporer
Karya Chage mengokohkan zaman Avant
Garde dalam musik. Hal yang paling ditonjolkan adalah kejutan, inovatif dan
eksperimental (hal.9). Karya semacam ini pada awalnya kurang begitu disukai,
karena penuh dengan teka-teki dan multi tafsir. Tak jarang orang melihat dan
mendengarnya dengan mengerutkan dahi atau menggeleng-gelengkan kepala
kebingungan. Kita bisa saja memaknai karya 4’33”
sebagai sebuah musik dengan berusaha mencari sisi-sisi musikal yang dapat dipahami.
Namun dalam realitas sehari-hari, kita tidak pernah menganggap kesunyian
sebagai sebuah musik dengan mencari-cari aspek musikalnya. Sama halnya di tahun
1917, Marcel Duchamp menaruh urinal (tempat kencing laki-laki) dari porselen
dalam sebuah pameran seni rupa. Penonton melihatnya sebagai sebuah karya seni
dengan mencari sisi estetisnya. Namun mereka tak pernah memperlakukan hal serupa
terhadap tempat kencing di rumah masing-masing. Di titik inilah, posisi karya seni
dan tak seni menjadi abu-abu, paradoks.
Chage lewat karyanya, dihujat namun
kemudian dipuja. Ia membawa pengaruh besar dalam musik kontemporer. Musik yang
tak semata mementingkan isi atau bentuk, namun konsep dan gagasan. Karya silence adalah karya tentang gugusan
“ide” yang melebihi karya musik itu sendiri. Konsep diam sejatinya juga diacu
dalam musik karawitan di Jawa. Lihatlah pukulan gong di akhir gending yang
memiliki jeda diam. Walau tak bersuara, namun dalam benak musisi karawitan Jawa,
diam itu nampak begitu musikal. Akibatnya, jika pukulan gong terlalu cepat maka
akan berkurang nilai estetisnya, begitupun sebaliknya. Tak ada batasan seberapa
lama harus melakukan “diam”, karena yang mengatur adalah olah “rasa” bukan
logika. Karenanya, diam adalah puncak estetika musikal tertinggi dalam musik.
Karina Andjani menyadarkan kita tentang
hal ini lewat lajur-lajur pemikiran John Cage, seorang musikus tak bermusik. Buku
ini menjadi referensi berharga bagi komponis dan pengamat musik. Namun sayang
gaya bahasa yang digunakan banyak berkutat pada persolan teknis, sehingga cukup
membingungkan jika dibaca oleh orang yang tak memiliki bekal musik. Terlihat
pula penulis banyak memindah ulasan dan pendapat dari referensi yang dibacanya,
sehingga terkesan sebagai etalase tempelan dari pelbagai buku.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar