Aku Rapopo
Kata “aku rapopo” kini menjadi cukup
populer. Kata itu awalnya diucapkan oleh Jokowi dalam menjawab serangan lawan
politiknya. Aku rapopo juga menjadi
tema lagu Julia Peres. Terakhir dan terbaru, puisi berjudul Raisopopo dibuat Fadli Zon. Kata yang
awalnya biasa saja itu kemudian seolah menjadi “sakral” dan “magis”. Mengandung
maksud penuh arti. Kata itu berasal dari bahasa Jawa, terutama Jawa Tengah dan
Yogyakarta. Kata ra kependekan dari ora, yang berarti tidak. Sementara popo adalah opo-opo yang berarti
apa-apa. Oleh karena itu, aku rapopo memiliki
maksud “saya tidak apa-apa”, i am fine.
Namun demikian, kata itu kadang tak mengartikan makna sesungguhnya. Di balik
kata rapopo bisa jadi opo-opo, bahkan lebih kompleks lagi. Melihat kata itu, terlebih diucapkan
oleh Jokowi, berarti harus melihat hubungan mendasar antara pengucap dan apa
yang diucap –bahasa- dalam konstelasi kebudayaan.
Jawa
Di Jawa, segala kata bisa menjadi penuh
kias dan simbol. Saat orang Jawa disakiti, dengan mudah mereka akan tersenyum
sambil berucap Gusti Allah mboten sare
yang berarti “Tuhan tidak tidur”. Memang seolah tak ada hubungan langsung
antara rasa sakit yang diderita dengan ucapan yang diproduksi. Namun demikian,
kata tersebut memiliki makna yang dalam. Orang Jawa mencoba untuk iklas dan
berharap agar Tuhanlah yang membalas perbuatan buruk yang ditimpakan pada
mereka. Tentu kita semua tahu bahwa pembalasan Tuhan akan lebih berat daripada
manusia bukan? Di satu sisi, orang Jawa mencoba untuk iklas, namun di sisi lain
mereka nabok nyileh tangan (memukul
dengan menggunakan tangan yang lain), berhadap pembalasan yang lebih kejam dan
berat. Bahkan muncul pameo, kenapa blangkon di Jawa –terutama Solo- memiliki benjolan
di bagian belakangnya? Bagi banyak orang (terutama di luar Jawa) benjolan itu
diartikan sebagai perwujudan dari simbol sikap “memukul dari belakang”. Orang
Jawa mampu menunjukkan dirinya tak tersakiti dengan ekspresi tawa dan senyum,
namun sebenarnya hati dan perasaan terlukai, mbendol ngguri (dongkol di belakang). Mereka akan menunggu
kesempatan yang pas untuk membalas sakit hati yang dideritanya. Adapaun istilah
yang tepat adalah meneng-meneng ndlendemi
yang berarti diam-diam menghanyutkan. Sikap yang menghanyutkan itulah yang dilukiskan
dengan benjolan blangkon, walaupun kadang hubungan keduanya juga terkesan
dipaksakan.
Orang Jawa kemudian dengan mudah
mengatakan bahwa dirinya tidak masalah disakiti lewat ucapan aku rapopo. Sebagai wujud kepasrahan dan
keiklasan diri. Namun, bisa saja mereka memendam dendam dan menunggu waktu yang
tepat untuk membuktikan bahkan membalas semua serangan tersebut. Julia Peres
berulangkali berdendang lagu Aku Rapopo
kala diduakan oleh kekasihnya dengan tertawa dan senang. Namun tak lama
kemudian ia menangis dan bersedih. Kata itu adalah ekspresi verbal yang nampak
di luar, namun bisa jadi sangat berbeda dalam hati dan perasaan. Terlebih
semakin lengkap kala yang mengucapkan kata itu adalah orang Jawa layaknya
Jokowi. Dengan demikian, Jokowi tak dapat dilepaskan dari beban-beban kulturnya.
Melihat Jokowi dengan segala sikap dan karakternya berarti menelisik tentang
kebudayaan dan peradaban manusia Jawa masa kini.
Orang Jawa memiliki tutur kata halus,
pelan dan santun. Ucapannya sedikit namun membekas. Sitik neng nentremake ati, sedikit namun menentramkan jiwa. Atau
sebalinya, sitik neng nylekit, yang
berarti sedikit kata-katanya tapi bikin sakit di hati. Segala tindak-tanduk dan ucapannya diukur dalam kuasa kebudayaan.
Banyak kemudian yang mengatakan wong Jawa ora
njawani, berarti orang Jawa yang tak mampu menjadi “manusia Jawa”. Kata itu
terucap jika melihat orang Jawa yang berbuat jahat, culas, tidak sopan, urakan,
kasar dan arogan. Stereotip Jawa yang halus dan santun juga tertuang dalam
bentuk keseniannya. Brandts Buys lewat
tulisannya yang berjudul De Toonkunst bij de Madereezen (1928)
menganggap musik masyarakat pesisiran seperti Madura tidak jelas seperti suara
kodok, sedangkan musik di Jawa (Solo) mengalun indah dan merdu. Kesenian di
Solo dianggap adiluhung karena
memiliki hubungan yang erat dengan keraton, sementara di luar itu adalah
kesenian rakyat yang tak jarang dianggap kasar dan urakan.
Begitupun dengan bahasa. Gaya bicara dan
diksi kata bahasa Surabaya dan Banyumas dianggap kasar, blak-blakan, tanpa tedeng aling-aling, pinggiran.
Sementara di Solo (dan Yogya) adalah bahasa halus yang lembut dan santun.
Karenanya, gaya bahasa Solo dipakai sebagai standart pelajaran materi Bahasa
Jawa di Jawa. Sementara kata yang diucapkan oleh Jokowi, aku rapapa, adalah tergolong bahasa ngoko, berarti ucapan atau jawaban yang ditujukan kepada orang yang
sebaya, lebih muda atau lebih rendah kedudukannya. Artinya, jawaban kata aku rapopo dari Jokowi sebenarnya
sekaligus juga sindiran secara tak langsung, bahwa derajad lawan politik yang
menyerangnya tak jauh lebih baik darinya. Bisa saja Jokowi menjawab dengan kata
serupa (fonetik) seperti i am fine
atau saya tidak masalah, baik-baik saja, seperti kebanyakan pejabat yang
menjawab kritikan. Namun tafsir terhadap kata itu kemudian menjadi “mati” atau
tak berkembang. Jokowi, walaupun hidup di Ibukota, berusaha “memainkan” kultur Jawa
(fonemik) untuk memberi tafsir baru dalam dunia politik tanah air mutakhir.
Identitas
Kata itu menegaskan identitas. Ucapan
Jokowi jika dimaknai lebih lanjut juga menjadi satir dalam dunia kebahasaan
kita dewasa ini. Di mana anak-anak lebih dimanjakan dengan sajian bahasa “cepat
saji” yang diproduksi tanpa arti. Semata hanya auforia sesaat. Kitapun kemudian
dihidangkan dengan kata ”gaul”, “cabe-cabean”, “alay” dan lain sebagainya. Sementara
di sisi lain pemujaan terhadap bahasa asing juga tiada henti disuluh. Agar
terlihat lebih intelektual dan modern, tak jarang para pengamat dan pejabat itu
menggunakan terminologi bahasa asing. Membuat masyarakat manggut-manggut terpukau,
walau kadang tak diimbangi dengan pemahaman kejelasan arti, yang penting cas-cis-cus. Sementara Jokowi, orang nomor satu
di Jakarta, dengan percaya diri membawa bahasa Jawa dalam kancah politik
nasional. Jakarta, kota metropolis, Ibu Kota Negara Indonesia, pusat segala
kemajuan dan moderanitas itu seolah diingatkan kembali tentang habitus –akar- tradisinya
yang selama ini telah pudar.
Namun kata itu, aku rapopo, kadang juga tak
mampu dimaknai sebagai sebuah pesan kultural. Kemudian semata hanya menjadi
bahan candaan, cercaan, ejekan dan apalagi menjatuhkan. Hal ini terlihat ketika
aku rapopo diucap oleh Jokowi
kemudian diproduksi masal oleh banyak orang tanpa mempertimbangkan sisi
gramatika, legasi, bahkan kultur yang terkandung di dalamnya. Tak ubahnya kata
yang udik, ndeso dan memalukan. Aku rapopo bertebaran di media sosial dan
percakapan sehari-hari tanpa memiliki maksud dan tujuan yang jelas. Semata
terucap demi pengundang tawa. Menjadi kata banyolan
dalam setiap program komedi di layar kaca. Kata itu semakin kehilangan makna. Ia
menjadi beribu tafsir. Kultur Jawa di kata aku
rapopo dalam konteks ini telah mati. Sama layaknya ketika penari Jawa yang
tak lagi memiliki kuasa atas tubuhnya kala ia menari di diskotik. Setiap orang
dapat dengan bebas menikmati tubuh (kata) itu menjadi apapun.
Kata itu menjadi menarik kala terucap
oleh Jokowi. Sayangnya, lawan politik yang menyerangnya, serta masyarakat Ibu
Kota banyak yang kurang begitu faham dengan kata kias dari Jokowi. Mereka
seolah gegar budaya, sehingga tanggapan Jokowi lewat kata aku rapopo itu justru dimaknai sebagai sikap kalah, pasrah menerima
segala caci dan maki. Jika memang ditafsirkan demikian, maka silahkan saja, karena
aku rapopo!!
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Solo