Monumen Kegagalan (dimuat di Koran Tempo 31 Mei 2014)

Monumen Kegagalan


Indonesia memiliki ribuan monumen untuk menghormati segala jasa perjuangan para pahlawan, mengandung misi sejarah, politik, sosial, geografis, budaya, dan ekonomi. Monumen senantiasa berisi tentang peringatan atas keberhasilan dan kemuliaan. Kita jarang menjumpai monumen yang memperingati kegagalan, kekalahan, dan kebodohan. Padahal ada kalanya kekalahan dan kegagalan justru lebih banyak dijumpai daripada kemenangan dan keberhasilan.
Kita berusaha mengangkat apa-apa yang baik, tanpa pernah mengingat yang buruk. Kita dimanjakan dengan keberhasilan semu, dengan hadirnya banyak monumen. Peristiwa korupsi, kekerasan seksual terhadap anak, dan kemiskinan bukankah telah menjadi peristiwa besar di negeri ini yang patut untuk kita monumenkan? Mengenang keburukan bukan berarti hendak mengulang dan mengagungkannya. Tapi, sebaliknya, sebagai medan kontemplasi sekaligus koreksi untuk tak jatuh di lubang serupa.
Monumen tak ubahnya simbol yang mempresentasikan kuatnya masa lalu. Menjelajahi monumen berarti menelisik peristiwa besar yang pernah terjadi di negeri ini. Monumen mengekalkan kuasa seorang penguasa. Sukarno dan Soeharto adalah bapak monumen Indonesia, banyak membangun, dan membekukan sebuah kisah. Patung-patung para pahlawan bertebaran, peristiwa sakral diabadikan lewat monumen. Masyarakat diharapkan melek sejarah dengan melihat dan menziarahi monumen.
Namun banyak monumen yang telah beralih fungsi menjadi tempat pelancongan dan bisnis pariwisata. Masyarakat abai dalam membaca sejarah. Monumen adalah tempat menyenangkan untuk berfoto ria dan memadu kasih para pemuda-pemudi. Monumen kehilangan kesakralannya. Sejak awal kita sudah dibiasakan melihat monumen sebagai simbol atas keberhasilan dan kesuksesan. Akibatnya, kita jarang menitikkan air mata kala pergi ke monumen. Semua berisi tawa dan canda. Monumen tak ubahnya tempat hiburan yang menyenangkan.
Indonesia dewasa ini perlu segera membuat monumen kegagalan. Kita bisa saja membuat monumen tentang perilaku korupsi, keserakahan, atau kekerasan seksual terhadap anak, kemiskinan, dan buruknya kualitas pendidikan. Monumen itu dibuat dengan dalih penyadaran. Monumen korupsi, misalnya, dapat diisi dengan patung-patung koruptor yang tertawa licik seolah mengejek sambil membawa sekoper uang. Masyarakat menziarahi monumen korupsi dengan perasaan marah dan luka, menimbulkan rasa benci. Mereka bisa saja melempari patung itu dengan telur busuk atau merusaknya. Kita juga tak pernah melihat monumen kekalahan kita oleh penjajahan Belanda dan Jepang. Semua monumen berkisah tentang kemenangan atas kaum penjajah itu. Masyarakat dari awal dimanjakan dengan pelbagai narasi kemenangan dan keberhasilan. Akibatnya, kita jarang mampu menerima kegagalan serta kekalahan dengan hati lapang dan ikhlas.
Perilaku licik dalam perebutan kekuasaan, kekerasan, dan anarkistis lahir karena kita tak terbiasa kalah dan gagal. Kita semua seolah dibentuk untuk menjadi manusia sempurna tanpa cacat. Monumen mengekalkan pelbagai kisah itu. Kehadiran monumen sekaligus juga menjadi tolok ukur sebuah peradaban dan kebudayaan dibentuk. Sudah saatnya kita membuat Monumen Kegagalan di segala bidang kehidupan sebagai penyeimbang, agar kita sadar bahwa hidup tak semanis apa yang dibayangkan.


Aris Setiawan
Etnomusikolog

Ketika Penonton Menjadi Pemusik (dimuat di Koran Jawa Pos 25 Mei 2014)

Ketika Penonton Menjadi Pemusik




Judul buku                : Apa Itu Musik? Kajian tentang Sunyi dan Bunyi Berdasarkan 4'33"
                                          karya John Cage
Penulis                        : Karina Andjani
Penerbit                      : Marjin Kiri
Cetakan                       : April 2014
Tebal                            : xii + 150 halaman
ISBN                             : 978-979-1260-30-5

Umumnya, kita mengisahkan musik dengan bunyi atau suara. Musik adalah kumpulan dari bunyi, disusun atau dirangkai sedemikian rupa sehingga membentuk alur melodi dan harmoni yang indah. Namun demikian, anggapan musik sebagai sebuah komposisi bunyi kemudian harus gugur kala John Cage mementaskan karya monumentalnya yang berjudul 4’33’’ di tahun 1952. Karya itu juga disebut silence piece atau kosong, berisi nada diam (tak bersuara) dari awal hingga akhir pertunjukan. Sontak hal ini membuat penonton yang datang marah dan gerah. Bagaimana mungkin mereka menyaksikan –mendengarkan- pertunjukan musik tanpa musik. Karya yang berdurasi empat menit tiga puluh tiga detik itu serasa sejam, membosankan dan tak menghibur. Setelah pertunjukan usai, media tiada habis mengulasnya. Di satu sisi, banyak yang menganggap silence sebagai karya aneh yang tak bermutu, bahkan dianggap bukan musik. Tapi di sisi lain, karya itu dianggap sebagai tonggak musik avant garde (garda depan) bagi musik kontemporer yang monumental. Membedah dan menganalisis silence tak dapat dilakukan dengan menggunakan teori musik Barat pada umumnya, karena karya itu memang tak berbunyi, apalagi bernada. Kesunyian dalam karya Chage membuat penonton yang tadinya berfokus pada sisi estetis yaitu merasakan dan mendengarkan, terdorong untuk berfokus pada sisi kognitif untuk dapat memahami gagasan atau ide di balik karya itu. Dengan demikian, satu pertanyaan besar dapat dimunculkan, mana yang lebih penting di dalam musik, ide atau bunyi musik itu sendiri?

Menyibak
Pada pertunjukan perdananya, di Living Theatre, New York 29 Agustus 1952, seorang pianis unggul bernama David Tudor didaulat menjadi musisi yang mempresentasikan 4’33’’ karya Chage. Tudor sama sekali tak menyetuh tuts piano di hadapannya. Ekspresi yang dimunculkan dari mimik wajahnya cenderung serius, seolah hendak memainkan karya musik besar yang kompleks dan rigit. Tiba-tiba ia berdiri dan memberi hormat pada penonton, pertunjukanpun telah selesai. Karina Andjani lewat buku ini berusaha menyibak makna di balik karya Chage itu. Dalam karya musik, suara senantiasa mengintervensi diam, bunyi mengintervensi kesunyian (hal. 31). Karya musik melulu menghadirkan sesaknya rangkaian nada, sehingga ruang untuk diam (setidaknya berhenti sejenak) cukup sedikit. Sejarah musik Barat menjelaskan bahwa nada adalah aspek terpenting. Tacet atau tanda diam dalam partitur musik semata dianggap sebagai jembatan atau penghubung ke rangkaian nada-nada berikutnya. Walaupun diam menjadi satu kesatuan dalam karya musik, namun jarang sekali orang menyebut diam sebagai bagian dari karya musik.
Padahal tanpa (tanda) diam, karya musik yang berisi bunyi itu tak akan dapat terbentuk. Artinya, diam sesungguhnya aspek terpenting dalam musik (hal.142). Dinamika ditentukan oleh seberapa banyaknya penggunaan tanda diam atau istirahat. Namun ketika di balik, saat karya musik itu hanya berisi tanda diam, orang banyak menyebutnya bukan musik, kosong dan tak berujud. Karya 4’33” mengaburkan batasan antara yang musik dan tak musik. Saat pertunjukan berlangsung, sebenarnya bukan tidak ada suara sama sekali. Suara-suara justru muncul dari penonton yang bergumam, berbisik resah bahkan marah karena tak mendapatkan bunyi musik yang diharapkan. Suara-suara yang dimunculkan dari penonton justru dianggap sebagai satu rangkaian dalam pertunjukan musik silence. Hal ini sekaligus juga membiaskan antara kedudukan pemusik dan penonton, dapat saling bertukar peran, bahkan terminologi di antara keduanya dapat menjadi chaos. Penonton justru adalah pemusik itu sendiri. Karya 4’33” membuka dan menerima pelbagai asupan suara (hal.97). Oleh karenanya, karya yang tak bersuara itu justru menjadi karya yang penuh dengan suara.
Karya Chage sebenarnya memperlakukan aspek visual –tontonan- sebagai rujukan utama, bukan auditif (pendengaran). Penonton dapat saja berpendapat bahwa karya yang ditampilkan buruk atau indah. Namun bagaimana dengan orang tunanetra? Tanpa pemberitahuan, ia mungkin tidak akan pernah mengetahui bahwa sedang terjadi pertunjukan musik karena segalanya terdengar sebagaimana biasanya. Otomatis, untuk mendudukkan karya 4’33” sebagai musik, Chage memperlakukan citra visual dengan memposisikan piano sebagai instrumen utama (walau tanpa dibunyikan). Karena ia menyadari, tak dapat mempresentasikan karya silence dengan panggung yang sepenuhnya kosong melompong. Walaupun hasil bunyi keduanya sama, yakni tak berbunyi. Piano secara visual sebagai tanda atau simbol yang mengukuhkan silence sebagai sebuah karya musik.

Kontemporer
Karya Chage mengokohkan zaman Avant Garde dalam musik. Hal yang paling ditonjolkan adalah kejutan, inovatif dan eksperimental (hal.9). Karya semacam ini pada awalnya kurang begitu disukai, karena penuh dengan teka-teki dan multi tafsir. Tak jarang orang melihat dan mendengarnya dengan mengerutkan dahi atau menggeleng-gelengkan kepala kebingungan. Kita bisa saja memaknai karya 4’33” sebagai sebuah musik dengan berusaha mencari sisi-sisi musikal yang dapat dipahami. Namun dalam realitas sehari-hari, kita tidak pernah menganggap kesunyian sebagai sebuah musik dengan mencari-cari aspek musikalnya. Sama halnya di tahun 1917, Marcel Duchamp menaruh urinal (tempat kencing laki-laki) dari porselen dalam sebuah pameran seni rupa. Penonton melihatnya sebagai sebuah karya seni dengan mencari sisi estetisnya. Namun mereka tak pernah memperlakukan hal serupa terhadap tempat kencing di rumah masing-masing. Di titik inilah, posisi karya seni dan tak seni menjadi abu-abu, paradoks.
Chage lewat karyanya, dihujat namun kemudian dipuja. Ia membawa pengaruh besar dalam musik kontemporer. Musik yang tak semata mementingkan isi atau bentuk, namun konsep dan gagasan. Karya silence adalah karya tentang gugusan “ide” yang melebihi karya musik itu sendiri. Konsep diam sejatinya juga diacu dalam musik karawitan di Jawa. Lihatlah pukulan gong di akhir gending yang memiliki jeda diam. Walau tak bersuara, namun dalam benak musisi karawitan Jawa, diam itu nampak begitu musikal. Akibatnya, jika pukulan gong terlalu cepat maka akan berkurang nilai estetisnya, begitupun sebaliknya. Tak ada batasan seberapa lama harus melakukan “diam”, karena yang mengatur adalah olah “rasa” bukan logika. Karenanya, diam adalah puncak estetika musikal tertinggi dalam musik.
Karina Andjani menyadarkan kita tentang hal ini lewat lajur-lajur pemikiran John Cage, seorang musikus tak bermusik. Buku ini menjadi referensi berharga bagi komponis dan pengamat musik. Namun sayang gaya bahasa yang digunakan banyak berkutat pada persolan teknis, sehingga cukup membingungkan jika dibaca oleh orang yang tak memiliki bekal musik. Terlihat pula penulis banyak memindah ulasan dan pendapat dari referensi yang dibacanya, sehingga terkesan sebagai etalase tempelan dari pelbagai buku.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Jejak Lokalisasi di Jawa (dimuat di Koran Suara Merdeka 25 Mei 2014)

Jejak Lokalisasi di Jawa



Wacana penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya membawa kita menapaki jejak sejarah seksualitas di tanah Jawa. Seksualitas adalah pengubah sejarah paling tua dalam peradaban manusia, begitulah kata Michael Foucault (1926-1984). Karenanya ia telah ada sejak manusia pertama kali diciptakan. Jawa telah mengubah seksualitas tak semata sebagai sebuah persetubuhan, namun ritus dan pamrih religius. Ia direpresi dengan ketat, namun jejaknya masih dapat kita telisik dengan jelas. Seksualitas dianggap sebagai sebuah kebutuhan kultural, sehingga lahirlah tempat-tempat khusus untuk merayakannya.
Pada masa kerajaan di Jawa, seks disiarkan lewat serat yang berisi suluk dan tembang. Membacanya tak cukup dengan hanya berbekal kemampuan bahasa, namun juga musikalitas. Tak ubahnya mendendangkan musikalisasi puisi. Lihatlah serat Centhini, Nitimani, Gatholoco dan Dhamogandul. Di banyak serat tersebut kisah-kisah seksualitas diuraikan secara indah penuh citra estetik. Di ruang publik, pembicaraan tentang seksualitas dikontrol dengan pelbagai aturan norma susila. Namun ia justru dapat tergambarkan jelas lewat tetembangan Jawa (Macapat, Dandhanggula, Asmaradhana, dan lain sebagainya). Antara estetika dengan erotika berbaur menjadi satu. Serat-serat tersebut segera menjadi primadona. Dilagukan tapi juga dihayati makna dan artinya. Hal ini menunjukkan bahwa informasi mengenai seks sudah ada pada tahun 1814 semasa pemerintahan Paku Buwana IV sebagai Raja Surakarta yang ditandai dengan hadirnya serat Centhini. Bahkan konon, Centhini merupakan serat paling vulgar memberitakan seksualitas. Tersusun menjadi 722 jenis tembang.
Kisah-kisah prostitusi dalam serat Centhini begitu realis, seolah menunjukkan jejak pengalaman pribadi dari si pengarang. Bahkan ada yang mengindikasikan serat tersebut dibuat oleh raja sendiri (Paku Buwana IV), orang yang memiliki “kuasa” untuk melakukan hubungan seksualitas dengan banyak orang. Tak hanya wanita, sesama lelaki, bahkan prilaku menyimpang hubungan intim antara manusia dan hewan disiarkan dengan jelas lewat serat tersebut. Seksualitas kemudian dianggap sebagai sebuah ritus sakral, tak semata sebagai gejolak nafsu. Lahirlah tradisi yang mengambil seksualitas sebagai sumber. Patung linga-yoni (kelamin lelaki dan perempuan) bertebaran secara terbuka lewat relief candi (lihat candi Sukuh di Jawa Tengah). Kesenian-kesenian yang mengangkat ritus kesuburan (persentuhan lelaki-wanita) diciptakan seperti Tayub, Gandung dan Lengger. Gending-gending gamelan yang berkisah tentang seksualitas seperti Cucur Bawuk dan Rembun dibunyikan.
Hadir pula tempat-tempat sakral yang ditujukan untuk berhubungan seks. Keraton memiliki ruang-ruang “persetubuhan” yang wingit antara raja dan ratu pantai selatan seperti Panggung Sanggabuwana di Surakarta. Bahkan raja juga memiliki kuasa, hak dan tempat khusus –baca Umbul Pasiraman Taman Sari Yogyakarta- untuk berhubungan seks dengan siapapun wanita yang ditunjuknya. Lihat pula misalnya sejarah penari bedhaya di keraton. Raja berhak memilih salah satu penari Bedhaya untuk menemaninya “tidur”. Penari tersebut dianggap memiliki kekuatan mistis, sebagai titisan dari Kanjeng Ratu Pantai Selatan. Persetubuhan dilangsungkan atas nama pamrih kultural dan kepentingan religius. Raja di Jawa kemudian memiliki banyak anak karena memiliki banyak wanita pendamping. Seksualitas tumbuh subur. Lelaki dianggap jantan dan berkuasa kala mampu berhubungan dengan banyak wanita. Raja dan penguasa di Jawa mengajarkan tradisi itu.
Otto Sukatno dalam Seks Para Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme Jawa (2002) menjelaskan, prilaku penguasa Jawa yang demikian memberi umpan balik bagi rakyat untuk meniru dan melakukan hal serupa. Bedanya, masyarakat akar rumput melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Semakin lama, lahirlah tempat dan komunitas yang memperdagangkan tubuh dan raga wanita. Kegiatan prostitusi tersebut adakalanya berlindung di balik nama tradisi ritus kesuburan Jawa. Simak kemudian bagaimana lokalisasi yang terjadi di gunung Kemukus Jawa Tengah. Seksualitas dijalankan atas nama tradisi, demi mengharap pamrih pesugihan. Konon untuk mendapatkan kekayaan, seseorang harus melakukan pesta seks dengan wanita (bukan istri) selama tujuh kali berturut-turut dengan pasangan yang sama. Ritual ini agaknya masih berlangsung hingga sekarang.
Wanita di zaman kerajaan banyak digunakan sebagai persembahan atau seserahan bagi penguasa dan raja. Tradisi ini mengharuskan wanita dihargai dalam jumlah nominal tertentu, kemudian berkembang menjadi bisnis prostitusi. Pada akhirnya setiap daerah berlomba untuk memiliki “bilik” lokaliasasi sendiri, Pasar Kembang di Yogyakarya, Kramat Gantung di Jakarta, Saritem di Bandung, kawasan RRI di Solo, dan Dolly di Surabaya. Terlebih bagi kota-kota perdagangan semacam Surabaya. Para saudagar yang singgah menyempatkan diri untuk “menikmati” wanita pribumi. Lewat catatan Terence H. Hull dan Gavin W. Jones, Surabaya pada 1864, telah memiliki 18 rumah prostitusi dan pelakunya berjumlah 228 wanita (Tom Saptaatmaja, 2014). Surabaya menjadi tempat berlabuh bagi banyak kapal dari daerah lain untuk pelbagai kepentingan. Akibatnya ada semacam keharusan untuk menyediakan pelbagai layanan jasa tak terkecuali seksualitas.
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Ritus Menulis (dimiat di Koran Joglosemar 20 Mei 2014)

Ritus Menulis


Semua orang dapat menulis, tapi tidak setiap orang dapat menjadi seorang penulis. Kita semua menulis status di media sosial namun tidak pernah menyebut diri kita sebagai “penulis”. Artinya, penulis membutuhkan ruang dan kemampuan khusus. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) menyebut penulis sebagai profesi atau pekerjaan. Namun kita tidak pernah menemukan kata itu saat pengisian di kolom pekerjaan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal ini mengindikasikan bahwa penulis belum dianggap atau diakui sebagai sebuah profesi. Kalah bersaing dengan “paranormal” yang justru ada di kolom pekerjaan KTP itu. Akibatnya, definisi tentang penulis menjadi samar dan abu-abu. Padahal banyak orang yang menggantungkan hidupnya dari menulis. Menulis tak semata berbagi infomasi, ide dan gagasan namun ada pamrih dan pertanggungjawaban yang disemai di balik itu.

Media
Hadirnya media sosial semacam Fecebook dan Twitter menjadikan manusia masa kini gemar menuliskan dan berkomentar tentang apapun. Baik berupa pengalaman yang menyenangkan, menyedihkan, kisah asmara hingga persoalan ekonomi, budaya, sosial, hukum dan politik. Tidak ada editor yang mengedit setiap kata sehingga menjadi layak untuk di baca dan dipublikasikan. Akibatnya, kata dapat bertebaran, tak peduli baik dan buruk. Kita kemudian seolah dibentuk menjadi penulis dadakan. Layaknya wartawan, merasa perlu untuk memberitakan setiap jengkal informasi. Satu orang dapat menulis atau lebih tepatnya meng-update status hingga berulangkali dalam satu hari. Menulis di media sosial seolah tak mengisyaratkan beban, bebas dan terbuka. Realitas yang yang demikian memberi satu dampak positif, tentang dunia tulis-menulis yang kembali bergairah. Namun di sisi lain, keingingan untuk senantiasa menuliskan sesuatu menjadikan informasi lebih padat, sesak, banyak yang tak terbaca. Kita terlihat berlomba-lomba menjadi penulis tanpa terlebih dahulu diawali untuk menjadi pembaca yang baik.
Menulis tak semata membekukan kata. Namun juga membawa konsekuensi logis berupa pertanggungjawaban moral. Banyak orang dipuja karena tulisan yang dilahirkannya. Namun banyak pula yang menuai kritik, ancaman dan cacian. Bahkan tak jarang di antaranya harus bertaruh nyawa. Derrida pernah berkata bahwa tulisan dapat membunuh penulisnya. Tulisan menjadi teror, senjata yang mematikan. Era digital mengawali jumlah tulisan semakin membeludak, berserakan di mana-mana. Semua ruang menjadi ajang beradu tulisan. Hal ini mengharuskan pemerintah melakukan kontrol dan pengawasan lewat undang-undang informatisi dan transaksi elektronik. Salah menulis dapat diperkarakan secara hukum. Tentu hal ini berbeda dengan dekade lalu, di mana kuasa tulisan semata hanya dimiliki oleh media massa semacam koran dan majalah. Keterbukaan dan kebebasan dalam menulis di banyak ruang (media sosial dan blog) tersebut, mengubah aktifitas serupa di media massa (koran-majalah) menjadi begitu sakral dan didamba.
Tidak semua orang dapat bebas memasukkan tulisannya ke media massa. Ada kontrol (editorial), seleksi ketat dan aturan yang jelas. Ratusan tulisan setiap harinya harus gugur untuk dapat termuat di media massa. Tulisan dianggap tidak layak karena pelbagai alasan, dari persoalan tema-topik yang basi hingga teknis susunan kalimat, gaya bahasa yang berantakan. Banyak orang kemudian mudah menyerah. Merasa dirinya tak mampu untuk menulis dan menuangkan gagasannya di koran, buletin atau majalah. Mereka kemudian membunuh mimpi menjadi penulis. Sebaliknya, jika berhasil termuat, ucapan selamat berdatangan. Tulisan itu dibaca berulang kali, dibagi lewat jejaring sosial. Komentar dan tanggapan silih berganti. Menjadi ajang kebanggaan –prestise- tersendiri. Dengan segara menyebut dirinya sebagai “penulis”. Bahkan jika beberapa kali dimuat dengan tema yang spesifik, begitu percaya diri mengubah difinisi itu menjadi “kolumnis”. Semua sah-sah saja memang, karena pembaptisan seorang penulis –sama seperti seniman dan budayawan- tak dapat dijumpai dan dilakukan layaknya meraih gelar kesarjanaan di pelbagai jenjang kampus (arsitek, dokter, insinyur, dan lain sebagainya).

Ritus
Banyak orang menggantungkan hidupnya dari aktifitas menulis. Menulis untuk memberi pencerahan. Bahkan tak jarang untuk makan dan bertahan hidup. Menulis menjadi pekerjaan pokok sehari-hari. Ide tak muncul secara tiba-tiba namun dicari dan diburu. Memburu ide dalam menulis dapat dilakukan lewat pelbagai hal, salah satunya adalah membaca. Mustahil seseorang dapat menulis dengan baik tanpa pernah menjadi pembaca yang baik pula. Menulis-membaca adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Ironisnya, kita seringkali banyak menulis tapi tak banyak membaca. Akibatnya tulisan yang dilahirkan cenderung mengulang dan dangkal informasi atau miskin temuan baru. Hal ini pula yang terjadi dalam dunia pendidikan kita semacam sekolah dan kampus. Kaum terpelajar layaknya mahasiswa seringkali melakukan aktifitas menulis dengan serius semata karena tuntutan tugas demi memburu nilai. Setelahnya mereka menjadi mandul menuliskan ide. Bahkan perkembangan teknologi informasi seolah membabtis prilaku penjiplakan –plagiasi- sebagai hal yang lumrah. Mahasiswa bisa mengerjakan makalah semalam jadi hanya berbekal dua jam di warung internet (warnet). Kampus menjadi catwalk, tempat ajang pertarungan pelbagai merek handphone, pamer baju, tas, sepatu dan make-up. Mahasiswa lebih tertarik mendadani penampilan daripada pemikiran. Menulis untuk menuangkan gagasan dan ide hanya menjadi ritual yang membosankan. Menghambur-hamburkan tenaga dan pikiran. Bahkan calo-calo tulisan bertebaran. Pembuatan makalah, skripsi, tesis hingga disertasi dapat diatur sesuai ketersediaan biaya (wani piro). Kaum intelektual masa kini begitu dimanjakan. Menulis sekenanya di media sosial dianggap lebih menantang, berisi sebaran gosip sekaligus tempat menarsiskan diri. Banyak kolom-kolom di media massa khusus mahasiswa digelar, namun tak banyak yang tertarik untuk terlibat. Jikalau ada, peminatnya dapat dihitung dengan jari. Menulis mengalami kebangkrutan eksistensi dalam jagat pendidikan kita.
Menulis tak semata menata kata, namun juga usaha untuk menolak lupa dan “mempeti-eskan” sebuah peristiwa. Menulis adalah proses kerja intelektual. Di wilayah itu, pertautan antara imajinasi, gagasan dan kenyataan terjadi. Tulisan adakalanya lebih bermakna daripada ucapan (lisan). Tulisan menjadi beku dan tahan lama daripada wicara. Tulisan menjadi jejak sebuah diri. Seseorang dapat mati, namun tulisan yang ditinggalkan akan kekal. Oleh karena itu, menulis berarti laku sakral, ritual di mana ide diretas dan dituangkan. Menulis bertujuan merubah peradaban menjadi lebih baik. Berbagi ide, solusi atau jalan keluar terhadap masalah sosial yang sedang terjadi. Menjadi penulis berarti tak mengenal lelah untuk senantiasa belajar dan membaca. Tulislah ide apapun tentang apapun dengan serius. Tidak ada tulisan yang percuma lahir. Tulisan ada karena buah kegelisahan, berniat untuk mencerahkan dan memberi pemahaman baru bagi publik.
Manfaatkan keterbukaan-perkembangan teknologi dan informasi untuk melahirkan karya-karya tulis bermutu yang mampu memberi sumbangsih berharga bagi kehidupan. Menulis tak harus menjadi “penulis”. Siapapun dan profesi apapun dapat melakukan aktifitas menulis, tak ada sekat dan batasan. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah kerja keabadian (Rumah Kaca, 1988). Peninggalan yang paling berharga adalah tulisan. Jangan biarkan ide dan gagasan menguap tak berbekas. Menulis berarti mewariskan kerja kebudayaan. Peradaban manusia dapat diukur dari seberapa banyak ia telah melahirkan karya tulis yang bermutu. Jadi, tuliskan ide anda dengan baik dan bertanggungjawab.
Aris Setiawan

Penulis

Aku Rapopo (dimuat di Koran Joglosemar 13 Mei 2014)

Aku Rapopo



Kata “aku rapopo” kini menjadi cukup populer. Kata itu awalnya diucapkan oleh Jokowi dalam menjawab serangan lawan politiknya. Aku rapopo juga menjadi tema lagu Julia Peres. Terakhir dan terbaru, puisi berjudul Raisopopo dibuat Fadli Zon. Kata yang awalnya biasa saja itu kemudian seolah menjadi “sakral” dan “magis”. Mengandung maksud penuh arti. Kata itu berasal dari bahasa Jawa, terutama Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kata ra kependekan dari ora, yang berarti tidak. Sementara popo adalah opo-opo yang berarti apa-apa. Oleh karena itu, aku rapopo memiliki maksud “saya tidak apa-apa”, i am fine. Namun demikian, kata itu kadang tak mengartikan makna sesungguhnya. Di balik kata rapopo bisa jadi opo-opo, bahkan lebih kompleks lagi. Melihat kata itu, terlebih diucapkan oleh Jokowi, berarti harus melihat hubungan mendasar antara pengucap dan apa yang diucap –bahasa- dalam konstelasi kebudayaan.

Jawa
Di Jawa, segala kata bisa menjadi penuh kias dan simbol. Saat orang Jawa disakiti, dengan mudah mereka akan tersenyum sambil berucap Gusti Allah mboten sare yang berarti “Tuhan tidak tidur”. Memang seolah tak ada hubungan langsung antara rasa sakit yang diderita dengan ucapan yang diproduksi. Namun demikian, kata tersebut memiliki makna yang dalam. Orang Jawa mencoba untuk iklas dan berharap agar Tuhanlah yang membalas perbuatan buruk yang ditimpakan pada mereka. Tentu kita semua tahu bahwa pembalasan Tuhan akan lebih berat daripada manusia bukan? Di satu sisi, orang Jawa mencoba untuk iklas, namun di sisi lain mereka nabok nyileh tangan (memukul dengan menggunakan tangan yang lain), berhadap pembalasan yang lebih kejam dan berat. Bahkan muncul pameo, kenapa blangkon di Jawa –terutama Solo- memiliki benjolan di bagian belakangnya? Bagi banyak orang (terutama di luar Jawa) benjolan itu diartikan sebagai perwujudan dari simbol sikap “memukul dari belakang”. Orang Jawa mampu menunjukkan dirinya tak tersakiti dengan ekspresi tawa dan senyum, namun sebenarnya hati dan perasaan terlukai, mbendol ngguri (dongkol di belakang). Mereka akan menunggu kesempatan yang pas untuk membalas sakit hati yang dideritanya. Adapaun istilah yang tepat adalah meneng-meneng ndlendemi yang berarti diam-diam menghanyutkan. Sikap yang menghanyutkan itulah yang dilukiskan dengan benjolan blangkon, walaupun kadang hubungan keduanya juga terkesan dipaksakan.
Orang Jawa kemudian dengan mudah mengatakan bahwa dirinya tidak masalah disakiti lewat ucapan aku rapopo. Sebagai wujud kepasrahan dan keiklasan diri. Namun, bisa saja mereka memendam dendam dan menunggu waktu yang tepat untuk membuktikan bahkan membalas semua serangan tersebut. Julia Peres berulangkali berdendang lagu Aku Rapopo kala diduakan oleh kekasihnya dengan tertawa dan senang. Namun tak lama kemudian ia menangis dan bersedih. Kata itu adalah ekspresi verbal yang nampak di luar, namun bisa jadi sangat berbeda dalam hati dan perasaan. Terlebih semakin lengkap kala yang mengucapkan kata itu adalah orang Jawa layaknya Jokowi. Dengan demikian, Jokowi tak dapat dilepaskan dari beban-beban kulturnya. Melihat Jokowi dengan segala sikap dan karakternya berarti menelisik tentang kebudayaan dan peradaban manusia Jawa masa kini.
Orang Jawa memiliki tutur kata halus, pelan dan santun. Ucapannya sedikit namun membekas. Sitik neng nentremake ati, sedikit namun menentramkan jiwa. Atau sebalinya, sitik neng nylekit, yang berarti sedikit kata-katanya tapi bikin sakit di hati. Segala tindak-tanduk dan ucapannya diukur dalam kuasa kebudayaan. Banyak kemudian yang mengatakan wong Jawa ora njawani, berarti orang Jawa yang tak mampu menjadi “manusia Jawa”. Kata itu terucap jika melihat orang Jawa yang berbuat jahat, culas, tidak sopan, urakan, kasar dan arogan. Stereotip Jawa yang halus dan santun juga tertuang dalam bentuk keseniannya. Brandts Buys lewat tulisannya yang berjudul De Toonkunst bij de Madereezen (1928) menganggap musik masyarakat pesisiran seperti Madura tidak jelas seperti suara kodok, sedangkan musik di Jawa (Solo) mengalun indah dan merdu. Kesenian di Solo dianggap adiluhung karena memiliki hubungan yang erat dengan keraton, sementara di luar itu adalah kesenian rakyat yang tak jarang dianggap kasar dan urakan.
Begitupun dengan bahasa. Gaya bicara dan diksi kata bahasa Surabaya dan Banyumas dianggap kasar, blak-blakan, tanpa tedeng aling-aling, pinggiran. Sementara di Solo (dan Yogya) adalah bahasa halus yang lembut dan santun. Karenanya, gaya bahasa Solo dipakai sebagai standart pelajaran materi Bahasa Jawa di Jawa. Sementara kata yang diucapkan oleh Jokowi, aku rapapa, adalah tergolong bahasa ngoko, berarti ucapan atau jawaban yang ditujukan kepada orang yang sebaya, lebih muda atau lebih rendah kedudukannya. Artinya, jawaban kata aku rapopo dari Jokowi sebenarnya sekaligus juga sindiran secara tak langsung, bahwa derajad lawan politik yang menyerangnya tak jauh lebih baik darinya. Bisa saja Jokowi menjawab dengan kata serupa (fonetik) seperti i am fine atau saya tidak masalah, baik-baik saja, seperti kebanyakan pejabat yang menjawab kritikan. Namun tafsir terhadap kata itu kemudian menjadi “mati” atau tak berkembang. Jokowi, walaupun hidup di Ibukota, berusaha “memainkan” kultur Jawa (fonemik) untuk memberi tafsir baru dalam dunia politik tanah air mutakhir.

Identitas
Kata itu menegaskan identitas. Ucapan Jokowi jika dimaknai lebih lanjut juga menjadi satir dalam dunia kebahasaan kita dewasa ini. Di mana anak-anak lebih dimanjakan dengan sajian bahasa “cepat saji” yang diproduksi tanpa arti. Semata hanya auforia sesaat. Kitapun kemudian dihidangkan dengan kata ”gaul”, “cabe-cabean”, “alay” dan lain sebagainya. Sementara di sisi lain pemujaan terhadap bahasa asing juga tiada henti disuluh. Agar terlihat lebih intelektual dan modern, tak jarang para pengamat dan pejabat itu menggunakan terminologi bahasa asing. Membuat masyarakat manggut-manggut terpukau, walau kadang tak diimbangi dengan pemahaman kejelasan arti, yang penting cas-cis-cus. Sementara Jokowi, orang nomor satu di Jakarta, dengan percaya diri membawa bahasa Jawa dalam kancah politik nasional. Jakarta, kota metropolis, Ibu Kota Negara Indonesia, pusat segala kemajuan dan moderanitas itu seolah diingatkan kembali tentang habitus –akar- tradisinya yang selama ini telah pudar.
Namun kata itu, aku rapopo, kadang juga tak mampu dimaknai sebagai sebuah pesan kultural. Kemudian semata hanya menjadi bahan candaan, cercaan, ejekan dan apalagi menjatuhkan. Hal ini terlihat ketika aku rapopo diucap oleh Jokowi kemudian diproduksi masal oleh banyak orang tanpa mempertimbangkan sisi gramatika, legasi, bahkan kultur yang terkandung di dalamnya. Tak ubahnya kata yang udik, ndeso dan memalukan. Aku rapopo bertebaran di media sosial dan percakapan sehari-hari tanpa memiliki maksud dan tujuan yang jelas. Semata terucap demi pengundang tawa. Menjadi kata banyolan dalam setiap program komedi di layar kaca. Kata itu semakin kehilangan makna. Ia menjadi beribu tafsir. Kultur Jawa di kata aku rapopo dalam konteks ini telah mati. Sama layaknya ketika penari Jawa yang tak lagi memiliki kuasa atas tubuhnya kala ia menari di diskotik. Setiap orang dapat dengan bebas menikmati tubuh (kata) itu menjadi apapun.
Kata itu menjadi menarik kala terucap oleh Jokowi. Sayangnya, lawan politik yang menyerangnya, serta masyarakat Ibu Kota banyak yang kurang begitu faham dengan kata kias dari Jokowi. Mereka seolah gegar budaya, sehingga tanggapan Jokowi lewat kata aku rapopo itu justru dimaknai sebagai sikap kalah, pasrah menerima segala caci dan maki. Jika memang ditafsirkan demikian, maka silahkan saja, karena aku rapopo!!
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Solo  

Serat dan Pujangga Jawa (dimuat di Koran Suara Merdeka edisi 11 Mei 2014)

Serat dan Pujangga Jawa



Jawa sangat kaya dengan karya sastra. Di zaman Kerajaan Mataram dahulu kala telah mampu melahirkan sastrawan-sastrawan kondang seperti Yasadipura maupun Ranggawarsita. Mereka membuat “cerpen” dan “novel” dalam ujud tetembangan Jawa. Membacanya tak cukup dengan hanya berbekal kemampuan bahasa, namun juga kemampuan musikal (mijil, dandhanggula, sinom, kinanthi dan lain sebagainya). Oleh karena itu, tidak semua orang dapat dengan mudah memahami karya sastra Jawa. Adakalanya, gaya bahasa yang dilukiskan cenderung elitis, sulit untuk dicerna, penuh tafsir dan simbol. Terlebih, saat di mana bahasa Jawa semakin tak mampu menunjukkan ujudnya secara lebih terbuka di masa kini. Kalah dengan bahasa yang dianggap lebih modern dan gaul. Serat-serat di Jawapun mengalami kebangkrutan eksistensi, tak lagi menarik untuk dibaca dan ditembangkan. Melihat serat tak ubahnya benda antik, peninggalan nenek moyang yang kuno dan ketinggalan zaman.

Jejak
Hampir semua serat di Jawa berkisah tentang tuntunan hidup. Beberapa di antaranya Niti Sruti, Wira Wiyata, Catur Kandha, Centhini, Cabolek, Cipto Waskitho, Darmagandhul, Gatoloco, Arjuna Wiwaha, Rengganis, Rerepen, dan masih banyak lagi. Serat-serat itu menjadi kitab bagi sang pengisah seperti dalang dan penembang untuk didendangkan di hadapan publik (termasuk raja dan abdi dalem keraton). Setiap bait kemudian ditafsirkan, diinterpretasi ulang, dihayati dan dipetik maknanya bagi kehidupan. Tak jarang, lewat keindahan suara seorang penembang ulung, pendengar dapat menitihkan air mata karena tersentuh batin dan jiwanya.
Serat-serat itu konon tak dibuat semalam jadi. Namun membutuhkan laku khusus dan perenungan yang panjang. Tak jarang seorang pujangga harus tapa brata, menyepi, semedi dan puasa untuk mendapatkan ide dan ilham atas karya yang hendak dibuatnya. Setelah jadi, karya tersebut justru dipersembahkan dan diaklamasikan sebagai ciptaan seorang raja yang saat itu berkuasa. Wajar jika telisik sejarah kekuasaan di Jawa menyebutkan seorang raja mampu menciptakan puluhan serat yang monumental. Pujangga Jawa dalam konteks ini tak mengharap pamrih berupa nama besar. Bagi mereka, mempersembahkan karya untuk raja adalah wujud dari kuatnya pengabdian lahir dan batin, manembah kawula-gusti.
Pujangga Jawa bukan hanya orang terpilih yang pandai menulis dan mengarang, namun juga pandai menembang. Mereka membuat karya sastra tak ubahnya orkestra karya musik. Mempertimbangkan jumlah kata, suku kata, bait dan bunyi konsonan. Setiap serat terikat dengan hukum-hukum musikal tembang-suluk di Jawa. Serat-serat itupun mampu berpendar sebagai kidung pengantar tidur oleh para orang tua. Mengahantarkan anak keperaduan mimpi dengan tauladan kisah-kisah kehidupan yang berharga. Oleh karena itu, membaca serat berarti menelisik tentang kebudayan dan peradaban manusia di Jawa.
Parwati Wahjono (2004) dan Nurnaningsih (2010) mencoba membedah kandungan makna dalam serat Candrarini dan Centhini. Keduanya berkesimpulan bahwa ide, gagasan dan isi serat di Jawa telah melampaui peradaban di zamannya. Tema-tema yang dikisahkan adakalanya menjadi nampak kekinian di masa sekarang. Lihatlah misalnya kisah dalam serat Candrarini tentang poligami, Kalatidaha tentang zaman edan, ataupun narasi seksualitas dalam Centhini (prilaku menyimpang seperti hubungan sejenis). Artinya, pujangga Jawa memiliki kelebihan dalam melihat dan menafsir peristiwa yang akan terjadi di masa depan dengan gamblang. Mereka bukan dukun atau paranormal. Menulis tak ubahnya ibadah dan ritus sakral. Tempat bertemuanya antara kuasa intelektualitas dengan ziarah religius pada sang pencipta.
Terkait dengan hal ini, Ken Widyawati lewat tulisannya Nilai-nilai Luhur Pujangga Jawa menjelaskan bahwa serat di Jawa memiliki kuasa pesan moral yang kuat. Artinya, apa yang dikisahkan oleh sang pujangga adalah refleksi atau cerminan karakter dari si pujangga itu sendiri. Dengan demikian, pujangga berarti orang yang “qatam” seluk beluk kebudayaan Jawa (nilai, filosifis, prilaku, karakter). Ia adalah budayawan sejati, yang tak hanya sekadar berteori namun juga mampu memberi aplikasi berupa tauladan hidup. Oleh karenanya, serat-serat yang dihasilkan begitu monumental, laksana kitab yang memberi arah dan tuntunan bagi kehidupan manusia Jawa (Indonesia) menjadi lebih baik dan harmonis.
Namun kini serat-serat itu jarang dibaca, apalagi berharap untuk ditembangkan (slendro-pelog). Kemuncullannya semata hanya menjadi bahan untuk subjek penelitian kesarjanaan, sebagai syarat kelulusan mahasiswa di pelbagai kampus jurusan ilmu budaya dan bahasa. Setelahnya, ia kembali terkubur dalam ingatan sejarah. Manusia masa kini lebih khusyuk untuk menyimak kisah-kisah kehidupan instan yang didendangkan lewat televisi, handphone, tablet dan internet. Serat-serat di Jawa kemudian “terpeti-eskan”, beku dan tak mampu mencair menemani kehidupan masyarakat Jawa mutakhir. Semata menjadi mitos yang seolah tak pernah ada.  
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Pengikut